Oleh
Karlina Supelli
Saudara-saudara
yang terhormat, Salam Budaya! Batang Garing atau Pohon Kehidupan berbuah dan
berdaun emas. Pucuknya runcing menjulang ke langit seolah-olah menunjuk ke
kuasa Ranying Mahatala Langit yang menurunkan para leluhur ke Bumi (1). Di
sekitar pohon terlihat rupa-rupa bentuk. Tampak dua ekor ketam, masing-masing
di kiri dan kanan bagian batang yang dekat ke tanah. Saat kedua ketam
berpasangan, mereka beranakpinak banyak sekali. Lewat kecerdasan menganyam
perempuan-perempuan Dayak Ngaju menuangkan kisah asal muasal mereka langsung
dari ingatan menjadi selembar tikar rotan (2). Ketika hutan menipis, rotan
semakin langka. Di Kalimantan Timur, perempuan Dayak Benuaq memintal serat
tanaman Doyo (Curculigo latifola) menjadi benang, mencelupnya ke pewarna dari
sari tetumbuhan lalu menenunnya menjadi ulap (tenun) Doyo yang elok. Sudah
beberapa belas tahun terakhir ini perempuan-perempuan Dayak Benuaq kesulitan
menemukan tanaman Doyo yang hanya hidup di lantai-lantai hutan yang gelap dan
lembap. Hutan sekitar kampung beralih menjadi perkebunan raksasa monokultur,
atau habis terbabat untuk industri perkayuan atau bekas galian tambang yang
dibiarkan menganga meninggalkan kubangan raksasa.
Bagi
banyak masyarakat adat di Indonesia, hutan bukan sekadar sumber mata
pencaharian. Hutan terutama adalah acuan bagi rasa merasa akan kosmos, sejarah
muasal, tata hukum dan tunjuk ajar perilaku. Di atas tikar dan tenun itulah
terjalin kisah tawa dan airmata suku mereka serta adat kebiasaan. Kita dapat
menilik ukiran di Rumah Lamin masyarakat Dayak Kenyah Datah Bilang Hulu di
Kalimantran Timur untuk menemukan kisah migrasi mereka menembus hutan dan
meniti tepian sungai. Mereka berjalan selama hampir satu abad sambil mengolah
tanah untuk berladang. Kelekatan dengan hutan, tanah dan sungai juga kita
temukan dalam nyanyian panjang Orang Petalangan, Bujang Tan Domang. Atau dalam
tuturan Orang Amungme tentang danau sebagai sumsum tulang, tanah sebagai tubuh
dan gunung sebagai kepala. Dari karya-karya budaya seperti itulah kita mengerti
bingkai pengetahuan dan sistem nilai yang melahirkan cara bertindak terhadap
alam serta sesama. “Sakola Hate,” demikian seorang tetua adat Baduy
Dalam menamakannya.
Dengan
penggalan-penggalan pendek itu marilah kita bayangkan Indonesia tiga puluh dua
tahun yang akan datang, pada peringatan seabad kemerdekaan. Itulah saat hutan
di Kalimantan diramalkan mendekati punah apabila laju pembabatan tidak
berkurang2-6x lapangan sepak bola per menit. Itulah juga saat sebagian besar
mineral yang berharga serta minyak bumi sudah tersesap habis, kecuali ekplorasi
menghasilkan sumber-sumber baru terbukti di cekungan-cekungan ramalan. Bersama
kerusakan hutan dan lenyapnya puspa satwa, rupa-rupa intuisi, imajinasi dan
sumber-sumber pengetahuan tergulung pelan-pelan ke balik kabut waktu. Mungkin
kita tidak perlu terlalu gelisah. Kita tidak menyesali peradaban kuno yang
punah lebih daripada kita menyesali mamut yang juga sudah binasa, demikian
pendapat filsuf Richard Rorty. Manusia masa depan boleh jadi akan lebih baik
dengan kemajemukan budaya hasil persilangan yang kaya (3). Seperti mamut
meninggalkan fosil, kebudayaan meninggalkan jejak dan tradisi dari generasi
yang sudah mati. Dia bagai mimpi buruk yang menghantui benak generasi
berikutnya. Masalahnya, kita tahu bahwa kita bukan sedang berada di ruang
akademis untuk mempertarungkan gagasan tentang siapa sang pemenang dalam
evolusi kebudayaan. Kita berhadapan dengan persekongkolan untuk memperebutkan
apa saja yang bisa dijarah dari negeri ini. Lahirlah ironi berikut ini:
sementara kearifan lokal terus disanjung sebagai tradisi yang perlu dirawat dan
diwariskan, rujukan material-spiritualnya justru hancur berantakan. Rupanya
bukan tradisi itu sendiri yang ingin dibela, melainkan citra tentang tradisi
yang lebih mudah untuk dikemas dalam pertunjukan.
Jerit
Kepala adat besar Masyarakat Dayak Bahau pun menggema sepanjang Mahakam, “hutan
raya di sini adalah hidup kami dengan kehilangan hutan kami akan kehilangan
segalanya Kami akan mempertahankannya dengan nyawa kami” (4). Tentu
merupakan suatu tragedi apabila ramalan pelapor khusus PBB tentang Masyarakat
Adat dan Hak atas Pangan sungguh menjadi kenyataan (5). Pembangunan industri
ketahanan dengan membuka hutan seluas sejuta hektar di sekitar Merauke justru
akan meruntuhkan ketahanan pangan 50.000 anggota suku Malind dan sekitarnya.
Saudara-saudara
yang terhormat! Bagaimanakah kita akan memahami isi dialog kebudayaan kita
sekarang ini? Atau mungkin pertanyaan itu keliru? Mungkin dialog itu sudah lama
berhenti dan kita terseret sajamengikut arah ke mana arus mendamparkan kita.
Alangkah sulitnya memenuhi undangan untuk menyampaikan Pidato Kebudayaan ini. Saya
tidak fasih dengan kerumitan masalah-masalah kebudayaan, apalagi kalau ditinjau
dari realisasinya yang paling langsung dan kasat mata, yaitu seni. Cukup lama
saya menjadi peneliti bidang ilmu-ilmu kealaman, khususnya kosmologi dan
astrofisika. Sebuah bidang yang dalam keluhan C.P Snow di kuliah terbuka 1959
di Universitas Cambridge, berada di kutub berseberangan dengan humaniora atau
ilmu-ilmu budaya. Tidak adajembatan di antara keduanya. Snow mengkritik pola
pendidikan yang membentangkan jurang lebar di antara keduanyaa gulf of mutual
incomprehension (6).
Dari
salah satu sisi jurang itulah terdengar sindiran penyair William Blake kepada
Newton sang begawan fisika jauh di seberang, “May God us keep/From Single
vision and Newton’s sleep!” Blake menganggap Newton telah memicu cara
pandang materialistik yang menciutkan dunia ke visi tunggal. Sungguh berbahaya
jurang itu, kata Snow di bagian akhir kuliahnya. Ilmu dan teknologi akan
melesat tanpa dibarengi dengan perkembangan kebudayaan dan moral yang memadai,
padahal keduanya merupakan landasan material bagi hidup kita. Snow menutup
kuliahnya dengan sebuah himbauan. Demi kehidupan intelektual … demi masyarakat
Barat yang hidup kaya raya namun rapuh di tengah-tengah kemiskinan dunia, demi
kaum miskin yang tidak perlu hidup miskin seandainya dunia cukup cerdas …
Menjembatani dua budaya itu adalah sebuah keharusan, baik dalam arti
intelektual maupun praktis. Ketika keduanya terpisah, masyarakat tidak lagi
dapat berpikir dengan bijak.
Bukan
karena himbauan Snow ketika akhirnya saya memutuskan belajar filsafat.
Kosmologi membawa saya jauh ke tepian semesta, ke sebuah masa ketika kosmos
masih berupa dawai-dawai energi yang orkestrasinya menghadirkan ruang waktu
beserta seluruh isinya, termasuk aneka gejala sehari-hari yang kini
menggelisahkan kita. Kosmologi, sebuah bidang perbatasan yang membuat saya
tidak dapat mengabaikan mitologi sekaligus tidak dapat mengabaikan fisika dan
matematika. Juga sebagai bagian dari ilmu-ilmu kealaman kontemporer, kosmologi
meneruskan kerinduan purba manusia untuk memahami asal usulnya. Di situ saya
terbentur pada corak antropologis pengetahuan. Atau dengan ungkapan lebih
sederhana, batas pengetahuan manusia ketika berhadapan dengan kehendak yang
selalu ingin mengetahui lebih. Pelan-pelan saya belajar. Di dalam tubuh saya,
di antara sel-selnya yang renik terdapat materi yang sama dengan yang terdapat
di ruang-ruang senyap antar bintang. Saya adalah alam. Tubuh saya patuh kepada
hukum gravitasi sama seperti benda-benda langit. Tubuh saya akan hancur terurai
menjadi tanah dan debu. Suatu hari tubuh saya akan kembali ke alam. Namun, saya
juga belajar mengatasi hukum-hukum alam yang deterministik sekaligus
memanfaatkannya, dimulai dengan belajar berenang lalu naik pesawat terbang. Demikianlah
ilmu-ilmu kealaman membawa saya tertatih-tatih melalui jalan melingkar akhirnya
sampai ke pengertian kebudayaan. Filsafat membantu saya memahami, kelirulah
kita apabila melawankan alam dengan budaya. Kebudayaan adalah alam yang
membangun daya-daya bagi transendensialam yang melampaui kealamannya sendiri (7).
Hidup dalam kebudayaan adalah hidup terayun dalam tegangan ini.
Ada
masa ketika kebudayaan dipandang sebagai pencapaian tertinggi peradaban dalam
menata rasa merasa, olah pikir dan laku bertindak agar sejalan dengan
nilai-nilai agung yang memantulkan kemanusiaan manusianilai-nilai keindahan,
keluhuran, dan kebaikan. Manusia bukan satu-satunya mahluk yang mengolah alam.
Tetapi dialah satu-satunya mahluk yang sekaligus juga mengolah budi (mind; nalar
hanyalah salah satu aspek budi). Dari upaya mengolah tanah untuk bertahan
hidup, kata agri-cultura mendapat makna figuratifnya menjadi cultura animi.
Seperti lahan subur yang tidak membuahkan panen kecuali kita olah, demikianlah
budi manusia tidak menghasilkan apa-apa kecuali kita olah dengan tekun.
Demikian keyakinan Marcus Tullius Cicero, filsuf dan orator Romawi abad pertama
sebelum Masehi (8). Kira-kira dua setengah abad sebelumnya, filsuf Yunani
Aristoteles melahirkan istilah koinona politik dalam karyanya Politicon (c.
335-323 SM). Para filolog sepakat bahwa istilah inilah yang pada abad
pertengahan diterjemahkan ke bahasa Latin menjadi societas civilis, atau civil
society. Kita menerjemahkannya menjadi masyarakat warga atau masyarakat sipil.
Apa hubungannya dengan kebudayaan? Bagi Aristoteles, manusia yang sudah
membangun kota (Yunani: polis; Latin: civitas) dan hidup sebagai warga
kota/negara (civis) tidak lagi melulu mengikuti naluri alamiahnya dan bertindak
semau-maunya tanpa aturan. Warga akan bertindak sebagai komunitas politik yang
bertujuan mencapai kebaikan tertinggi bagi kehidupan bersama (9). Dari civis,
civitas lahirlah civilization.
Melalui
sejarah yang panjang, konsep-konsep tersebut berjalin dan tidak selalu
memperlihatkan batas-batas yang tegas (10). Para pemikir Eropa sampai akhir abad
ke-18 masih menggunakan kata kebudayan dan peradaban secara saling bertukar.
Kebudayaan meliputi proses belajar dan pengejawantahan nilai-nilai intelektual,
spiritual dan estetik manusia sebagai mahluk yang beradab, khususnya seni,
sastra, filsafat, agama, ilmu pengetahuan, dsb. Peradaban menandai proses dan
hasil belajar tersebut. Dalam refleksinya atas Revolusi Prancis, misalnya,
Edmund Burke menulis, “sikap kita, peradaban kita, dan semua hal-hal baik
yang terkait dengan keadaban dan dengan peradaban” (11). Dipandu oleh
semangat Pencerahan yang percaya pada gagasan manusia universal, para pemikir
Eropa percaya bahwa semua manusia, kendati berbeda ras dan asal muasalnya, akan
sampai ke tingkat peradaban yang sama. Seolah-olah ada garis lempanghukum
sejarahyang akan membawa setiap kelompok masyarakat di dunia ke arah yang sama.
Tentu ada pengandaian bahwa kebudayaan tertinggi manusia terjelma dalam
kebudayaan Eropa. Dalam pengertian ini, baik kebudayaan maupun peradaban
sama-sama mengandung makna deskriptif dan normatif. Kebudayaan dalam arti
normatif menunjuk ke kemampuan manusia mengatasi tegangan antara determinisme
alam dan peluang bagi kebebasan budi, antara naluri-naluri yang buas dan
pertimbangan etis. Peradaban dalam arti normatif menunjuk ke bentuk-bentuk
masyarakat yang telah tercerahkan oleh kemanusiaannya sebagai lawan dari
barbarisme. Darwinisme sosial yang berkembang abad ke-19 tidak saja menjadi
alat analitis, tetapi strategi untuk menyebarluaskan peradaban Barat ke kawasan
lain dunia. Sebuah misi memberadabkan kelompok masyarakat yang dinilai barbar.
John Stuart Mill menuliskan pendapatnya dengan tegas, “Masyarakat ‘barbar’
perlu ditaklukkan dan dikuasai oleh orang asing demi kebaikan mereka sendiri
Orang-orang barbar tidak punya hak sebagai bangsa kecuali hak untuk menerima
perlakuan yang akan membuat mereka beradab” (12). Tidak perlu refleksi
panjang untuk melihat kaitan gagasan di atas dengan pelunakan kata kolonialisme
menjadi misi pemberadaban.
Perjumpaan
dengan keanekaragaman kebudayaan di luar Eropa menimbulkan kegamangan di
kalangan ilmuwan dan para pemikir Barat. Ketika di Eropa berkumandang ideal
Pencerahan mengenai kesamaan martabat manusia universal, di kawasan kolonial
penduduk pribumi menerima perlakuan tidak manusiawi. Kaum Romantisis
melancarkan kritik yang keras terhadap rasionalitas dan pengandaian sejarah
linier manusia. Dari situ mereka membedakan konsep kebudayaan dari peradaban,
seraya menekankan bahwa kebudayaanlah yang semestinya menjadi penanda bagi
perkembangan manusia. Setiap masyarakat mengembangkan cara hidup menurut
bingkai pengetahuan dan perangkat nilainya sendiri. Tidak ada narasi tunggal
menuju satu model peradaban. Kita tidak dapat membandingkan kebudayaan yang
berbeda dengan mengenakan tolok ukur yang berasal dari suatu kebudayaan. Para
pemikir Jerman abad ke-19 menggunakan kata Zivilisation untuk menunjuk ke
konsep utilitarian kebudayaan seperti teknologi, ekonomi, hukum, dll. Sedang
Kultur berisi pencapaian tertinggi aspek rohani dan intelektual seperti sastra,
seni, ilmu pengetahuan, dan agama. Dari bingkai inilah lahir konsep kemajemukan
dan relativisme budaya. Pada masa pascakolonial, yang lain dan yang berbeda ini
menuntut cerita-cerita kecil didengar ketimbang kisah besar yang mau mendaku
kesahihan universalitas. Dari satuan- satuan kebudayaan itu lahir satuan-satuan
politik. Kebudayaan menjadi landasan jati diri suatu bangsa berdasarkan
keterikatannya ke tanah air, tradisi dan bahasa.
Ketika
aspek deskriptif dan normatif peradaban retak sehingga suatu peradaban tidak
lagi dapat menjadi tolok ukur bagi hal-hal yang baik dan luhur, kebudayaan akan
mengambil peran sebagai kritik atas peradaban. Namun yang sebaliknya juga dapat
terjadi. Bila suatu kebudayaan dipandang masih memperlihatkan ciri-ciri kaum
belum beradab, peradaban mengambil tugas untuk mendidik kebudayaan. Segeralah
tampak bahwa kedua konsep ini, kebudayaan dan peradaban, kendati berbeda
landasan epistemologisnya sama-sama dapat digunakan untuk mencapai tujuan
politis. Entah sebagai misi meningkatkan peradaban atau sebagai koreksi budaya,
pemerintah kolonial Belanda membungkusnya ke dalam Politik Balas Budi menjelang
permulaan abad ke-20. Kebudayaan ibarat paket yang dapat disusun rapi ke dalam
kotak lalu dikirim ke tanah jajahan untuk meningkatkan cara pikir, cara merasa
dan cara bertindak penduduk terjajah agar sesuai dengan tolok ukur kebudayaan
modern, namun masih dalam kontrol kepentingan kolonial. Ketika Politik Balas
Budi terbukti tidak terlalu berhasil, pemerintah kolonial beralih ke “tugas
mulia” mendukung pengembangan ilmu-ilmu murni, sehingga melahirkan apa yang
dalam sejarah ilmu dikenal sebagai periode gemilang keilmuan Hindia Belanda
menjelang akhir zaman kolonial (13). Kajian atas periode ini memperlihatkan
hubungan saling menguatkan antara strategi politik dan ilmu-ilmu murni melalui
politik-kebudayaan.
Kebudayaan
adalah peta jerih payah manusia yang tidak pernah selesai. Sebagian selalu saja
berisi kawasan yang tidak terjelajahi, sebagian lainnya tinggal sebagai kawasan
gelap yang menjadi terang sedikit demi sedikit hanya kala perjalanan membawa
kita sampai ke sana, sebagian lainnya tidak pernah terealisasi sama sekali, dan
sebagian lagi terbuka sebagai kemungkinan-kemungkinan baru. Strategi kebudayaan
kolonial untuk membentuk pamong praja pribumi yang cukup cerdas tetapi jinak,
justru menjadi siasat kaum muda terdidik nasionalis untuk mempersiapkan
Indonesia. Apa yang menarik dalam pelbagai silang pendapat untuk mendefinisikan
kebudayaan Indonesia adalah bahwa bingkai konseptual di atas tidak mengalami
banyak perubahan. Kedua pihak yang berdebat sama-sama memaknai kebudayaan
dengan mengandaikan adanya golongan yang sanggup memilah mana nilai-nilai yang
layak dibudidayakan serta dinamakan kebudayaan Indonesia, dan mana yang tidak.
Kemerdekaan tidak membebaskan kebudayaan dari tegangan antara kebebasan
berkreasi dan kepentingan politik maupun bisnis. Melalui macam-macam
pertarungan akademis dan ideologis, kebudayaan dalam pelbagai wujudnya apakah
itu sistem gagasan, perilaku ataupun benda-bendadipilah tidak lagi berdasarkan
kandungan instrinsiknya yang akan membuat kita dengan jernih dapat mencerna dan
memahami apa itu kebaikan tertinggi, keindahan dan keluhuran. Nilai-nilai itu
dipilah berdasarkan tolok ukur kegunaan. Ketika turun ke dalam kebijakan
kebudayaan, arti kegunaan terus bergeser mengikuti motif politik-ekonomi yang
dominan.
Pada
mulanya kegunaan memang dilekatkan ke cita-cita humanistik menghadirkan
modernisasi, namun pergeseran selanjutnya menafsirkan kegunaan sebagai
mobilisasi massa untuk mendukung politik zaman, dan lalu untuk membentuk subjek
budaya yang patuh menjalankan pembangunan serta menjaga kestabilan politik.
Nilai-nilai budaya diperlakukan lebih sebagai aturan dan bukan sebagai terang
budi dan rasa merasa yang dengan cara kreatif akan mengembangkan cara berpikir
dan bertindak. Kebudayaan menjalankan fungsi pedagogis searah untuk melatih
perilaku warga negara mencapai tujuan politik nasional maupun internasional. Reformasi
membawa cukup banyak perubahan bagi praktek-praktek pekerja budaya, terutama
menyangkut kebebasan berekspresi. Pada saat bersamaan, nalar ekonomi atau nalar
korporasi yang semakin leluasa mencengkeramkan pengaruhnya ke hampir semua
bidang kehidupan, membuat apa yang tampak sebagai demokratisasi kebudayaan
sebetulnya lebih tepat dilihat sebagai kebebasan yang batas-batasnya ditentukan
oleh kepentingan pasar. Tentu saja, tanpa pasar tidak ada kesejahteraan seniman
dan para pekerja budaya. Masalahnya bukan ada atau tidak ada pasar. Sejak
dahulu kala pasar sudah ada. Persoalannya adalah bagaimana nalar ekonomi
mengendalikan, mengatur dan mengarahkan pelbagai bidang seperti pendidikan,
politik, kebudayaan, dll melulu berdasarkan prinsip dan kinerja pasar.
Asal
muasal nalar korporasi adalah kepentingan ekonomi-politik. Tepatnya, nalar
ekonomi (reason of economy) yang digerakkan oleh motif dagang. Dalam bingkai
ini, model individu yang dijajakan adalah Homo oeconomicus (14). Siapakah
mahluk ekonomi itu? Kata Hollis dan Nell, “siapapun dia, kita tahu pasti,
dia adalah sosok yang akan memburu hasratnya, apapun itu, dengan ganas” (15).
Pada mulanya, nalar ekonomi punya maksud mulia. Ia lahir dari rahim monarki
absolut di Eropa Barat yang tumpuannya adalah nalar kenegaraan (reason of
state). Nalar kenegaraan menempatkan negara di atas semua pertimbangan,
termasuk agama dan moralitas. Ada ancaman besar menunggu di sini. Negara dapat
jatuh ke petualangan otoritarianisme. Agar nalar kenegaraan tidak menjadi
sebagai satu-satunya prinsip, pandit-pandit ekonomi-politik menciptakan
mekanisme di dalam nalar kenegaraan itu sendiri. Dari sejarah ekonomi-politik,
kita belajar bagaimana motif dagang pelan-pelan memangsa motif kenegaraan
dengan menyusupkan logika internal ekonomi ke dalam berbagai elemen
konstitusional. Kalau kita kembali ke pengertian kebudayaan dan civis (warga
negara), tanpa perlu tergelincir ke konsep civilization, dapatlah kita menarik
hubungan antara kebudayaan dan konsep tentang masyarakat warga. Bolehlah kita
katakan bahwa salah satu cita-cita kebudayaan adalah merancang pendidikan untuk
menghasilkan warga negara yang mempunyai visi mengenai kebaikan tertinggi bagi
kehidupan bersama. Apakah itu dalam pendidikan, seni, ilmu, politik, hukum,
dsb. Cita-cita inilah yang diam-diam dicuri oleh nalar ekonomi dan dialihkan ke
agenda untuk mendidik konsumen. Konsumen tidak dididik untuk mampu
mengembangkan daya-daya abstrak-imajinatif-kreatif serta berpikir kritis dan
rasional. Konsumen dididik hasrat (naluri, emosi) dan kebiasaan-kebiasaan
kulturalnya agar menghendaki segala hal gemerlap yang ditawarkan pasar. Sebuah
bangsa yang warganya telah kehilangan daya berpikir abstrak-imajinatif dan
kreatif tidak mungkin memiliki imajinasi kolektif tentang negara-bangsa.
Saudara-saudara
yang terhormat. Barangkali sebagian dari kita bertanya-tanya. Perlukah kita
gelisah dengan gejala itu? Ada baiknya kita menyimak informasi mengenai
kegemaran dan kepercayaan diri masyarakat Indonesia untuk berbelanja. Dari
hasil penyigian beberapa bulan pertama tahun 2013 ternyata indeks kepercayaan
konsumen Indonesia paling tinggi (124) di antara 58 negara-negara Asia Pasifik,
Amerika Utara, Amerika Latin, Eropa dan Timur Tengah. Kepercayaan diri orang
Indonesia untuk berbelanja bahkan jauh lebih tinggi daripada masyarakat
negara-negara makmur seperti Switzerland (98) dan Norwegia (98) (16). Konsumen
Indonesia juga mudah terpengaruh iklan. Barangkali kita kurang jeli.
Konsumerisme adalah proses kebudayaan dalam ideologi tata dunia baru yang kita
sebut globalisasi (17). Melalui berbagai label yang menggiurkan ideologi itu
mendesakkan gaya hidup mewah, prestise, status dan prinsip-prinsip kenikmatan
ke dalam benak bawah-sadar konsumen. Mengertilah kita bahwa konsumerisme bukan
hanya soal psikologis atau gejala sosial, melainkan gejala budaya yang sengaja
dirancang untuk memungkinkan mesin industri gaya hidup terus berputar. Seperti
mahluk rakus yang tidak pernah kenyang, konsumerisme melahap lahan hijau untuk
pembangunan sentra-sentra bisnis dan mencampur aduk ruang-ruang kultural dengan
ruang-ruang ekonomi.
Dalam
dunia kontemporer, salah satu sumber kenikmatan terbesar berasal dari teknologi
digital. Inilah teknologi yang melahirkan dunia maya dan kita boleh bangga
karena Indonesia adalah salah satu dari sepuluh negara pengguna terbanyak
internet. Namun penggunaan terbanyak (95%) masih untuk media sosial. Indonesia
juga merupakan negara pengguna aktif facebook nomor empat di dunia. Lebih
menakjubkan lagi, ciapan (twit) terbanyak ternyata berasal dari Jakarta.
Jakarta adalah kota dengan ciap-ciap tertinggi di dunia, 15 twit/detik. Sebuah
budaya baru telah lahir bersama teknologi digital. Itulah budaya selalu
terhubung (always online), budaya komentar (comment culture) (18) dan
kecenderungan untuk selalu berbagi (sharing) (19). Gejala ini membawa kita ke
situasi paradoks. Sementara kita menyadari bahwa masalah-masalah yang mendera
semakin membutuhkan pemikiran yang mendalam, “kita menciptakan budaya
berkomunikasi yang justru mengurangi waktu kita untuk berpikir tanpa tersela …
di bawah godaan untuk segera melontar komentar … kita tidak lagi punya cukup
waktu untuk memikirkan problem-problem yang rumit,” tulis seorang peneliti
media sosial Sherry Turkle (20). Hasrat untuk segera berkomentar atau menyimak komentar
orang lain tentang kita, menjadikan kita mahluk pauseable, bisa dijeda, seperti
tape atau video recorder (21).
Hidup
dalam simpang siur informasi dan kemungkinan merancang diri secara baru tentu
melahirkan kegagapan yang luar biasa. Informasi dengan gampang mengambil wujud
kebenaran, promosi iklan mengambil bentuk komunikasi intim, dan citra
menggantikan realitas. Kalau hermeneutik berisiko menggusur kebenaran ke
permainan kosa kata, teknologi digital merancang isi kebenaran dan menciptakan
dunia makna. Tanpa tersedia cukup waktu untuk menakar informasi, citra hadir
silih ganti, tumpang tindih sebagai potongan-potongan realitas berisi
pernyataan yang terpatah-patah. Dunia maya merupakan sebuah dunia tidak teraba
tetapi menimbulkan efek yang nyata dan dialami sebagai ruang, relasi, pencipta
nilai-nilai baru (22). Analisis di atas mungkin terkesan berlebihan dan terlalu
pesimistik. Namun kalau kita perhatikan hubungan antara laju pertumbuhan
pengguna internet di Indonesia yang bersifat eksponensial dan garis linier
pertumbuhan indeks pembangunan manusia pada kurun waktu yang sama, barangkali
kebanggaan kita akan terasa getir. Indeks pembangunan manusia menunjuk ke
derajat kesehatan, perbaikan pendidikan dan kesejahteraan hidup
wargakebanyakan (23).
Kesenjangan
yang mencolok antara dua pola pertumbuhan itu sekurang-kurangnya menggambarkan
betapa tidak ada korelasi antara kecanggihan menggunakan piranti teknologi dan
jatuh bangun hidup warga kebanyakan. Di satu sisi, setiap jam dua ibu di
Indonesia meninggal karena melahirkan, porsi terbesar tenaga kerja Indonesia
adalah lulusan SD ke bawah (55,1%)penanda bagi tingginya putus sekolah.
Sementara kefasihan membaca sekitar 30% siswa berusia 15 tahun berada di bawah
tingkat paling rendah (24). Artinya, sementara 7 juta penduduk masih buta huruf,
tingkat melek huruf siswa-siswa itu belum sampai ke tahap yang memungkinkan
mereka berpartisipasi efektif dan produktif dalam hidup sehari-hari. Di lain
sisi, ekonomi semakin jauh meninggalkan produksi barang/jasa kebutuhan riil
sehari-hari. Ekonomi lebih berhubungan dengan transaksi produk-produk finansial
yang memungkinkan orang meraih laba besar hanya dengan mengandalkan rumor.
Saya
sama sekali tidak bermaksud menyederhanakan persoalan teknologi digital ini ke
urusan baik atau buruk belaka. Saya juga tidak bermaksud menegasikan
karya-karya kreatif mencengangkan yang lahir dari generasi muda dengan
memanfaatkan teknologi digital dan dunia maya. Seperti banyak gejala di bawah
langit, teknologi mengandung kemenduaan di dalam struktur pengembangannya dan
karena itu melahirkan sikap ambigu terhadap teknologi. Kemenduaan mendasar
teknologi di dalam rancangannya inilah yang memaksa kita mengikuti cara
kerjanya melalui kenikmatan gaya hidup yang dihasilkan. Sebuah paksaan yang membius.
Dalam arti ini pula teknologi kontemporer bukan sekadar menghadirkan benda. Dia
menghadirkan piranti (device). Benda masih mempunyai kaitan dengan konteks
tetapi piranti menyembunyikan bagaimana dan mengapa suatu jenis teknologi
lahir. Konteks dianggap tidak relevan bagi pengguna (25). Kinerja masyarakat
modern konsumtif digerakkan oleh prinsip-prinsip formatif piranti ini. Prinsip
ini mencerabut seluruh bingkai kultural teknologi yang terjalin dalam proses,
produk dan praktek. Satu-satunya hal yang mengemuka adalah fungsi kemudahan
mencapai tujuan dan kenikmatan. Pelan-pelan kita beralih dari masyarakat
teknofobia (takut akan teknologi) ke teknofilia (pecinta teknologi).
Dalam
kebudayaan tradisional, teknologi merupakan upaya manusia untuk mencapai keseimbangan
dengan alam. Ketika keseimbangan tercapai, masyarakat pengguna akan menganggap
teknologi sudah memenuhi fungsinya. Teknologi berikutnya muncul apabila ada
tantangan lingkungan yang tidak dapat lagi ditangani oleh teknologi lama. Corak
ini membedakannya dengan teknologi kontemporer yang memang sengaja dirancang
untuk tidak mencapai keseimbangan. Teknologi baru akan menciptakan dan
memaksakan sasaran yang sebelumnya tidak terbayangkan, semata-mata karena
teknologi dapat melaksanakannya dan karena ada sistem ekonomipolitik yang
menopangnya. Dia seperti mahluk yang gelisah, selalu mau baru (26). Lewat daur
berulang itulah teknologi menjinakkan selera manusia dan terus menerus
meningkatkan hasrat akan piranti yang pada gilirannya menggemukkan pundi- pundi
para pemodal. Refleksi mengenai dampak teknologi terhadap cara kita berpikir
dan bertindak menjadi tragis ketika kita menyadari, betapa lemah kapasitas kita
sebagai bangsa untuk memproduksi piranti teknologis dalam keanekaragaman
bentuknya. Bius teknologi bukan hanya membuat kita rancu membedakan mana yang
kita perlukan dan mana yang kita inginkan, melainkan juga melepaskan
cengkeraman kita ke dunia kongkret.
Untuk
tidak mengulang litani mengenai hal itu, saya memaksudkan uraian di atas
sebagai cermin. Betapa diskusi-diskusi kebudayaan yang cenderung membatasi diri
pada nilai-nilai luhur atau kebudayaan sebatas warisan akan terdengar gagap dan
hampir-hampir lumpuh menghadapi brutalitas fakta sosial, ekonomi dan politik
sebagai realitas objektif sehari-hari kita. Saya melihat ada dua hal yang dapat
diturunkan dari paparan di atas. Pertama, pegangan kepada nilai-nilai memberi
kita alasan yang bagus, kuat dan masuk akal untuk bertindak baik dan mengubah
perilaku yang kita anggap buruk. Keyakinan itu mengandaikan nalar dan
rasionalitas mampu menundukkan hasrat. Namun seorang filsuf dari Inggris, David
Hume, tidak percaya begitu saja. “Nalar adalah, dan semestinya hanya menjadi
budak hasrat” (27). Kesimpulan yang terdengar suram ini tentu bukan anjuran
agar kita memuja irrasionalitas. Hubungan rumit antara tindakan dan nalar serta
emosi inilah yang direfleksikan oleh perempuan filsuf Martha Nussbaum. Orang
termotivasi mengubah tindakannya hanya jika alasan-alasan yang masuk akal juga
menggerakkan emosinya (28). Jika argumen Nussbaum dapat diterima, mengertilah
kita mengapa upaya-upaya rasional untuk memahami budaya material serta petuah
moral untuk mengontrol aneka dampaknya tidak pernah memadai. Semua upaya itu
tidak akan bekerja kecuali kita berhasil mengaitkannya dengan kemampuan
mendidik hasrat (naluri dan emosi)mengarahkan gerak batin yang semula bergolak
tanpa irama ke rasa-merasa yang terkendali. Jika demikian, tentulah seni dan
sastra mempunyai peran yang juga penting dalam proses pendidikan dan bukan
sekadar tempelan demi memenuhi kurikulum.
Kedua,
hidup dalam kebudayaan tentulah berarti bahwa kita berlaku dan bertindak
menurut bingkai pengetahuan dan perangkat nilai dalam kebudayaan itu. Namun,
kecenderungan yang cukup luas untuk menaruh perhatian terlalu berat kepada
kebudayaan sebagai sistem nilai membuat kita cenderung tergesa-gesa mengambil
sikap normatif. Bahaya dari pendekatan ini adalah kita mendepolitisasikan
masalah-masalah sosial-ekonomi dan politik dengan mengajukan solusi moral.
Seolah-olah “kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan peradaban”
(kutipan) dapat selesai apabila kita melekatkan aneka kecakapan yang sedang
kita pelajari ke kesalehan. Seolah-olah kekerasan remaja hanya perkara moral
yang lemah. Korupsi yang ganas di negeri ini adalah salah satu bukti nyata
bahwa tidak selalu ada kaitan langsung antara moralitas dan kesalehan. Lagak
moralis dan saleh tidak akan menjadikan kita bangsa bermoral. Dengan ngeri kita
menyaksikan bagaimana orang menyerang, menindas dan membunuh atas nama
kesalehan yang terkunci dalam bingkai penafsiran sempit. Saya kira kita dapat
sepakat di sini. Gejala kekerasan semacam itu, kendati meminjam identitas yang
dapat dibaca sebagai gerakan kultural, sebetulnya merupakan gerakan politik
untuk mengambil alih ruang-ruang kebudayaan dan bingkai kekuasaan yang akan
menentukan arah masa depan kita. Penafsiran dapat menjadi bagian dari upaya
untuk menyeragamkan identitas lewat kata. Alih-alih menemukan kata bagi makna,
kelompok-kelompok semacam ini memaksakan kata kepada makna dan mendaku
kebenarannya. Barangkali kita perlu mengingat lagi ucapan George Orwell, “Hal
terburuk yang dapat dilakukan oleh kata-kata terjadi ketika kita membiarkan
diri kita takluk kepada kata-kata” (29).
Saudara-saudara
yang Terhormat. Rupanya pengertian kita tentang apa yang bermakna bagi manusia
memang masih sangat miskin. Kita gagap menimbang peristiwa dan kerap keliru
mengambil langkah. Mungkin kita terlalu terbiasa dengan gagasan rasionalitas
yang instrumental karena hanya model itulah yang kita kenal, atau karena itulah
satu-satunya sarana yang kita percayai akan mengarahkan kita mencapai tujuan
secara efisien. Padahal nalar instrumental hanya sebagian kisah saja di dalam
cara kerja dalam keilmuan. Ilmu dan teknologi tidak selalu dapat dipisahkan. Teknologi
memang bekerja berdasarkan nalar itu. Akan tetapi, ilmu punya rasionalitasnya
sendiri. Apa yang digambarkan oleh Nussbaum sedikit banyak berlaku dalam ilmu
dengan cara yang berbeda. Ketika sedang mencoba menjelaskan cara kerja ilmu,
ahli fisika Pierre Duhem terpaksa meminjam ungkapan Blaise Pascal yang
terkenal, esprit de finesse, untuk menggambarkan “pertimbangan yang baik”
dan membedakannya dari upaya sengaja nalar diskursif untuk mendemonstrasikan
teorema (30), “Kita mengetahui kebenaran tidak melulu melalui nalar, tetapi
juga lewat hati, kata Pascal dan pada pengetahuan hati serta naluri itulah
nalar semestinya bertopang serta melandasi semua wacananya”. Duhem mau
memperlihatkan bahwa ilmuwan tidak menjalankan kegiatannya mengikuti
aturan-aturan kaku seolah-olah ada kaidah-kaidah algoritmik yang harus
dipatuhi. Dalam kerja-kerja keilmuan, tidak cukup apabila ilmuwan hanya mampu
membaca gejala lalu menggunakan nalar kalkulatif. Dia bekerja terutama dengan
daya-daya imajinasi. Dia bahkan membayangkan, di manakah dirinya di
tengah-tengah gejala itu. Apa yang dia rasakan ketika membayangkan dirinya di
sana?
Mungkin
dia takjub, seperti Kepler terpesona oleh laju gerak planet-palent yang
mengedari Matahari. Dari rasa kagum itulah dia kemudian menuangkan selisih
kecepatan gerak planet ke dalam tangga nada dan melahirkan “Musik Langit”.
Dari selisih kecepatan tertinggi dan terendah gerak Bumi, Kepler ‘mendengar’
senandung senyap Bumi (mi-fa-mi) yang nyata meski tanpa suara. Dia juga menemukan,
ketika beberapa planet berada serentak di posisi ekstrimnya masing-masing,
hasilnya adalah motet. Saturnus dan Jupiter bersuara bass, Mars tenor, Bumi dan
Venus kontra-alto, Merkurius soprano. Pada waktu-waktu tertentu, keenam-enamnya
dapat terdengar secara serentak, demikian dia menulis dalam Keselarasan Dunia
(1618). Ketika sedang merefleksikan catatan Kepler itulah fisikawan Wolfgang
Pauli menulis (31). Jembatan yang menghubungkan data yang tidak beraturan ke
Ide-ide adalah gambar- gambar yang sudah ada lebih dulu di dalam batin
(gambar-gambar itu) tidak dapat ditaruh ke dalam pikiran atau dihubungkan ke
ide-ide yang terumuskan secara rasional gambar-gambar berisi emosi yang kuat
jangan sekali-kali [kita] mengatakan bahwa nalar hanya merumuskan tesis yang
rasional.
Ilmuwan
juga dapat merasa kecewa seperti Copernicus. Dia tidak puas dengan sistem
Ptolemeus yang dia nilai buruk seperti “monster bertubuh manusia tapi semua
anggota tubuhnya datang dari tubuh yang berbeda-beda dan direkat sembarangan”.
Kekecewaan itu membuat Copernicus melakukan lompatan imajinasi dan membuat
tilikan. Dia bayangkan dia adalah Aeneas, pahlawan Troya yang berkata, “Kita
berlayar meninggalkan pelabuhan, dan daratan serta kota-kota pun menjauh” (32).
Lewat analogi itu Copernicus mengantisipasi model tata planet dengan cara
menghubungkan apa yang teramati ke kemungkinan yang tidak teramati langsung,
tetapi secara intuitif merupakan hal yang dia ketahui betul. Dari intuisi
itulah lahir model tata surya yang sekarang kita kenal, dengan Bumi sebagai
salah satu planet. Ilmuwan juga bisa merasa gemetar seperti
fisikawan-cum-filsuf ilmu Henri Poincar. Ilmu membuat dia mengerti. Kebenaran
ibarat hantu yang berkelibat tapi tak pernah dapat dijerat. Apakah itu berarti
bahwa harapan kita yang paling berharga dan paling bermakna bagi kita membuat
kita seperti orang-orang yang mau menjaring angin? keluh Poincar. Betapapun
meletihkan jerih payah itu dan betapapun ilmu, sangat boleh jadi tidak pernah
untuk bahkan mendekati kebenaran, dia yakin pencarian kebenaran tidak pernah
boleh berhenti. Ilmuwan juga berangan-angan seperti Einstein membayangkan
dirinya mengendarai seberkas cahaya lalu merumuskan teori kenisbian. Atau Kekul
yang merumuskan benzena sesudah bermimpi melihat seekor ular menggigit ekornya
sendiri. Atau fisikawan Murray Gell-Mann, yang menemukan zarah elementer
penyusun materi alam dengan bertopang di atas prinsip keindahan bentuk-bentuk
simetris. Ketika ilmuwan menghadapi kesulitan memilih satu dari dua teori
karena dua-duanya sama-sama didukung oleh data yang sama, tidak sedikit yang
menggunakan intuisi estetik untuk membuat putusan. Seperti inilah
fisikawan-matematikawan Henri Poincar menggambarkannya (33), (1905, 186).
Ilmuwan
tidak mempelajari alam karena kegiatan itu berguna; dia mempelajari alam karena
kegiatan itu menggembirakan hatinya, dan hatinya gembira karena keindahannya.
Seandainya tidak indah, tidaklah alam pantas untuk diketahui, dan seandainya
alam tidak pantas diketahui, hidup menjadi tidak berarti. Tentu saja saya tidak
sedang membicarakan keindahan yang tercerap oleh indera, yaitu keindahan
kualitas dan penampakan; bukannya saya menganggap remeh keindahan tersebut
tetapi keindahan semacam itu tidak ada kaitannya dengan sains yang saya
maksudkan adalah keindahan yang lebih agung yang muncul dari penangkapan nalar
murni akan keselarasan tatanan antar bagian-bagiannya Inilah yang memberi
kerangka bagi keindahan yang mempesona indera keindahan intelektual mencukupi
dirinya sendiri, dan demi keindahan inilah, mungkin lebih daripada demi kebajikan
masa depan umat manusia, para ilmuwan mengabdikan diri bagi kerja yang panjang
dan melelahkan. Pada akhirnya, kesesuaian dengan dunia empiris menjadi batu
ujian bagi ilmu karena bagaimanapun, di jantung ilmu bekerja the most ruthless
skeptical scrutiny of all ideas, old and new, kata Carl Sagan.
Kita
mungkin masih ingat bagaimana Max Weber menjelaskan dampak nalar instrumental
bagi masyarakat modern. Nalar itu menyingkirkan yang magis, yang menimbulkan
pesona dari dunia. Dunia menjadi kering dan sekadar sumber daya yang siap
diolah menjadi hal-hal yang berguna bagi manusia. Hilangnya pesona itu kiranya
tergambarkan lewat komentar Edwin Burtt (34). Dunia yang dianggap orang sebagai
tempat dia hidup dunia yang kaya akan warna dan suara, harum dengan wewangian,
penuh gelak tawa, cinta dan keindahan dijejalkan ke pojok sempit otak
mahluk-mahluk organik yang tercerai berai. Dunia yang sungguh-sungguh dianggap
penting adalah dunia yang kaku, dingin, tidak berwarna, senyap, dan mati; sebuah
dunia bilangan, sebuah dunia gerak yang terukur secara matematis dalam
keteraturan mekanis. Manusia memandang dunia kualitas cuma efek kecil dari
sebuah mesin yang tak terkirakan besarnya itu. Sebetulnya, pesona itu tidak
pernah sungguh-sungguh hilang. Pesona itu hilang dari cara pandang para
teknokrat dan birokrat sehingga mereka mengira hanya seni yang mampu menyingkap
keindahan semesta. Namun sayangnya, dari para teknokrat itulah lahir pelbagai
kebijakan yang menata sistem pendidikan. Merataplah C.P. Snow.
Model
pendidikan yang dipandu oleh logika utilitarianism in extremis, yang sibuk
mengejar ranking nilai, tentu tidak mampu mengungkap kekayaan dimensi kognitif
kebudayaan yang antara lain mengemuka melalui ilmu pengetahuan. Sulit
membayangkan bagaimana pemahaman instrumental tentang ilmu sanggup menghasilkan
pengalaman eksistensial yang dapat menjadi kekuatan transformatif untuk
mengubah cara pandang kita terhadap realitas. Ilmu memang bukan satu-satunya
sumber pengetahuan. Akan tetapi kita perlu mengembangkan ilmu kalau kita mau
berusaha berhenti melulu menjadi bangsa konsumen. Distorsi yang terjadi ketika
ilmu-ilmu murni diperlakukan secara instrumental adalah penerapan kebijakan
yang pukul rata. Ilmu-ilmu murni dikenai tolok ukur keberhasilan yang sama
dengan ilmu-ilmu terapan yaitu adanya hasil-hasil yang dapat segera
dimanfaatkan untuk kebutuhan industri. Padahal logika ilmu-ilmu murni bertopang
di atas harapan ideal untuk mencari kebenaran (35), dan tidak penting kapan
kebenaran itu tercapai. Juga seandainya ilmu sampai pada kebenaran, ilmuwan
tidak dapat mengetahuinya secara pasti. Dia bisa tahu kapan ilmu salah, tetapi
tidak dapat memastikan kapan ilmu itu benar. Konsepsi bahwa ilmu sedemikian
pasti dan tidak terbantahkan sudah usang namun rupanya masih membayang- bayangi
ilmu ketika masuk ke medan kehidupan sehari-hari.
Tentu
kita mengerti bahwa landasan politis bagi suatu kebijakan publik sejatinya
adalah manfaat terbanyak bagi sebanyak mungkin orang (utilitarianisme) dalam
waktu sesingkat-singkatnya. Setiap pemerintah, idealnya, akan menyusun
kebijakan penelitian dan strategi pendanaannya berdasarkan azas tersebut.
Masalah muncul ketika ancangan yang sama diterapkan ke perguruan tinggi. Di
sinilah kita sebetulnya melihat kemiripan antara kerja seorang seniman dengan
ilmuwan. Mereka sama-sama dipandu oleh kesetiaan kepada proses dan proses tidak
dapat dipenggal di tengah jalan. Tidak sedikit peneliti dari bidang- bidang
yang kering dan seniman terpaksa bergabung dengan bidang-bidang yang lebih mendatangkan
keuntungan ekonomi. Risikonya, bidang-bidang yang “kering” mengalami
pengerdilan. Corak kebudayaan yang berkembang di negeri ini tampaknya belum
memungkinkan bidang-bidang kontemplatif mendapat ruang untuk berkembang. “Elemen
pembangkit ilmu pengetahuan di negara kita nyaris hang”, tulis Bambang
Hidayat, anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Astronomiwan dan mahaguru
bagi banyak mahasiswa di Indonesia (36).
Bahwa
ilmu juga berjalin dengan industri, militer, dan politik adalah fakta yang tidak
dapat dibantah. Tetapi argumen sosiologi pengetahuan kerap tidak cukup kuat
untuk menunjukkan bahwa unsur konstitutif ilmu pun melulu hasil konstruksi
sosial. Artinya, sebagai salah satu penopang kebudayaan modern, ilmu memang
seringkali tidak memiliki otonomi karena pilihan-pilihan penelitiannya sangat
bergantung ke kepentingan penyandang dana. Orang yang paling tidak bebas dalam
hal ini, kata Einstein, adalah ilmuwan. Tapi dalam mendiskusikan ilmu-ilmu
murni dan seni serta karya- karya budaya yang sejenis, kita perlu jeli
membedakan antara otonomi dari integritas. Jacob Clay mendukung misi
pemberadaban kolonial. Apakah “kebenaran” hasil eksperimennya berupa
pancaran sinar kosmis di atmosfer kota Bandung akan berbeda seandainya dia
pindah haluan ideologis? Agak sulit saya membayangkan hal itu. Namun,
demikianlah integritas dan otonomi menjadi permasalahan yang sangat serius dan
debat panjang bukan hanya di dalam ilmu namun di dalam kerja-kerja budaya
umumnya dan bahkan hidup kita sendiri. Saudara-saudara
yang Terhormat. Bagaimanakah paparan simpang siur di atas akan membawa kita
kembali ke dunia sehari-hari? Perkenankan saya mengajak Anda melintasi kawasan
padat lalu lintas di depan Istana Negara. Kalau Anda berada di sana setiap Hari
Kamis sore, Anda akan menyaksikan rombongan orang berbaju hitam berdiri satu
jam tanpa bicara, dan membiarkan potret dalam gendongan mereka menyampaikan
pesan. Pada potret-potret itu terlihat wajah anak atau suami mereka yang hilang
diculik atau dibunuh dalam berbagai peristiwa kekerasan politik di negeri ini.
Di atas darah kematian merekalah tokoh-tokoh politik dan para mahasiswa
menemukan pintu masuk bagi Reformasi. Reformasi dapat kita pandang sebagai
upaya menggambar ulang peta kebudayaan untuk menjelmakan apa yang baik bagi
hidup bersama. Pada mulanya, kita masih menebar banyak omongan mengenai
masyarakat warga karena kita percaya bahwa sebuah negara yang baik bukan hanya
dibangun oleh badan-badan publik dan pasar, tetapi juga masyarakat warga.
Anggota masyarakat warga bukan hanya kerumunan orang yang sibuk memburu
kepentingannya sendiri-sendiri, tetapi tatanan warga yang sadar akan arti hidup
bernegara. Kalau sejak beberapa tahun terakhir ini omongan itu tidak lagi
ramai, mungkin karena sejak awal kita keliru menafsirkan arti masyarakat
wargasebuah konsep yang licin.
Di
Indonesia, perjuangan menegakkan HAM merupakan salah satu gerakan yang
melahirkan organisasi masyarakat warga. Maka bukan gejala yang berlebih-lebihan
apabila kita sempat terperangkap dalam oposisi masyarakat warga dan militer
kala mendiskusikan civil society. Padahal jika kembali ke akar katanya,
antitesis dari civility bukanlah militer melainkan kekerasan, ketidakberadaban.
Penafsiran yang melawankan civil society dengan militer berangkat dari ingatan
sosio-kultural kita yang mencatat tradisi militerisme yang meninggalkan catatan
panjang pelanggaran hak-hak asasi manusia yang belum membuahkan keadilan sampai
hari ini. Konsep masyarakat warga juga sempat menerima pemaknaan yang cukup
sempit sebagai oposisi pemerintah dengan, tampaknya, belajar dari Revolusi
Eropa Timur (1989) (37). Gagasan lain adalah masyarakat warga sebagai pengawas
serta pengimbang kekuasaan negara, pasar serta kekuatan primordial agama.
Negara-negara donor juga memasukkan konsep tentang masyarakat warga ke dalam
agenda tata kelola pemerintahan (good governance) yang merupakan garis haluan
bagi anggota-anggotanya. Tujuannya adalah agar negara-negara anggota
menghormati prinsip-prinsip ekonomi pasar dan demokrasi sebagai syarat hubungan
internasional.
Untuk
menghindari perdebatan panjang mengenai konsep-konsep di atas, saya akan
kembali saja ke evolusi awal pengertian civil society dan cultura animi. Dalam
penafsiran ini masyarakat warga terdiri dari rupa-rupa elemen mandiri dalam
masyarakat yang mengarahkan kegiatan-kegiatannya untuk menjelmakan kebaikan
tertinggi bagi hidup bersama. Tentu ini terdengar sangat abstrak. Karena ini
mungkin menjadi lebih kongret apabila kita melihat kebudayaan sebagai
pergumulan sehari-hari menyangkut bagaimana kita hidup di dalam kebudayaan,
mengenali jalan-jalan yang buntu atau dinding-dinding yang berjamur. Namun ini
berarti kita bersiap menggarap keseharian yang rutin dan membosankan. Kita
membangun kritik terhadap kebiasaan-kebiasaan publik melalui siasat- siasat
sederhana (38). Mengapa? Karena kita tidak sedang berbicara tentang kebudayaan
sebagaimana dipahami para pembuat kebijakan, yakni sebagai produk dan sebagai
warisan. Menyangkut kebudayaan kita berbicara tentang tugas tanpa akhir
menyangkut jejaring makna dan tindakan serta karut marut perwujudannya. Dengan
menaruh kebudayaan ke realitas objektif sehari- hari kita jumpai realitas
estetik, religius, spiritual, intelektual, ekonomi, sosial dan politik bertemu
secara serentak dan berproses bersama-sama. Refleksi yang menekankan
titik-berat pada salah satu unsur lagi-lagi akan menciutkan makna kebudayaan. Dengan
pertimbangan itu, saya membayangkan beberapa kemungkinan sebagai siasat.
Pertama,
ruang-ruang publik kita sudah terlalu gaduh dengan komentar siapa saja yang
bisa menjadi pakar bidang apa saja untuk segala persoalan yang sedang kita
hadapi. Tidak ada yang salah dengan keinginan menjadi selebriti asal tidak
membuat masyarakat kehilangan pegangan, kalau bukan malah berbalik menganggap
sepele persoalan serius yang sedang menjadi perbincangan. Tugas kebudayaan para
budayawan dan intelektual adalah menghidupkan kembali, pada aras praktek,
perbedaan yang ketat antara komentar-komentar acak dan pemikiran yang mengakar
di perenungan yang mendalam. Kedua, dalam dunia pemikiran. Kebudayaan adalah
siasat untuk mentransformasikan konsep ekonomi dari urusan pasar ke mata
pencaharian warga biasa dan bukan jual beli uang itu sendiri. Seiring dengan
ini, transfer teknologi perlu sungguh-sungguh mendapat perhatian sampai ke
tahap inovasi untuk memproduksi barang-barang kebutuhan sehari-hari dan
infrastruktur pendukungnya. Para insinyur perlu serius memikirkan krisis
insinyur yang sekarang sedang kita alami. Para ahli pangan dan perguruan tinggi
perlu membangun siasat untuk menarik kembali minat anak-anak muda memasuki
jurusan Pertanian dan Perikanan yang kian sepi peminat. Tentu dengan catatan,
sesudah lulus mereka tetap bekerja di bidangnya dan bukan masuk ke sektor
finansial. Ketiga, kesan bahwa ilmu pengetahuan mau menindas jenis-jenis
pengetahuan yang lain masih cukup kuat di masyarakat. Kendati tidak sampai
dianggap sebagai musuh masyarakat, ilmu belum berhasil mengambil hati
masyarakat. Siasat kebudayaan adalah mentransformasikan sikap yang terkesan
ilmulah satu-satu model pengetahuan yang sahih ke pengakuan , “Saya mungkin
salah dan Anda mungkin benar, dan melalui sebuah upaya kita mungkin akan
semakin mendekati kebenaran.” (39).
Keempat,
terkait dengan tanggung jawab. Kebudayaan adalah siasat mentransformasikan
politik untuk menciptakan kepemimpinan sebagai etos tanggung jawab dan bukan
kekuasaan. Tanggung jawab adalah jalan sepi sang pemimpin. Dia bahkan tidak
dapat membuang tanggung jawab ke kekuatan-kekuatan adidunia dan membawa-bawa
Tuhan untuk menjelaskan bencana akibat kelalaian manusia. Inilah juga saat para
ilmuwan dan para guru filsafat memikirkan siasat dalam fungsi pengabdian
masyarakat untuk melatih kebiasaan publik agar setia kepada proses dan kejadian
agar dapat jernih menyoroti peristiwa-peristiwa yang memang merupakan tanggung
jawab manusia untuk mengelolanya. Ilmu punya batasnya dalam berhadapan dengan
misteri hidup. Tapi sikap mudah bersembunyi dalam pernyataan saleh dan
terdengar suci bisa menjadi tanda malas berpikir. Bukankah bencana akibat salah
kelola lingkungan lalu sering cepat-cepat dianggap sebagai akibat Tuhan yang
sedang murka? Kelima, dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan adalah siasat
untuk menjadikan kebiasaan berbelanja bukan karena kita mau tapi karena perlu;
menonton pagelaran seni, film, acara-acara televisi sebagai bagian dari
mendidik selera dan mendidik hasrat. Kita tidak dapat mengubah penyediaan
(supply) karena pertimbangan para pebisnis adalah apa yang paling laku. Maka
jalan yang perlu kita ambil adalah: bagaimana mengubah permintaan (demand).
Kebiasaan mendidik hasrat pada gilirannya akan membantu kita memahami perbedaan
antara tugas warga negara dan statusnya sebagai konsumen. Konsumen memilih
untuk meningkatkan kenyamanan pribadi, warga negara memilih untuk menyumbang
pada kepentingan bersama. Politik bukan perkara suka atau tidak suka. Kita
memilih karena komitmen dan tanggung jawab kepada kehidupan publik. Keenam,
inilah saatnya kita memikirkan langkah-langkah kongkret pada tingkat seluas
bangsa untuk membangun kebiasaan baru sehingga kebiasaan mencontek,
plagiarisme, mencuri uang negara beralih menjadi kebiasaan hidup dengan
integritas dan berkata benar. Melatih kebiasaan bicara benar kepada teman,
kepada saudara, anak, orang tua, dalam hukum politik, dan sebagainya.
Ketujuh,
kepada para profesional dalam bidang apapun juga. Inilah saat kita
mengembalikan makna “profesi” ke makna asalinya, professio (Latin), yang
secara harafiah berarti “janji publik”. Profesional adalah seseorang
yang memiliki otoritas tidak saja karena dia memiliki keahlian, tetapi karena
dia mengucapkan janji publik (sejarahnya kembali ke sumpah Hippokrates c. abad
ke-4 SM). Dia mendapatkan otoritasnya karena kepakaran-cum- komitmen moral
kepada publik. Seseorang disebut profesional bukan terutama dia pakar di
bidangnya, melainkan karena dengan kepakarannya dia menjalankan tugas dan pada
saat bersamaan dia menjadikan keahliannya sebagai sumbangan bagi kepentingan
masyarakat. Kedelapan, inilah juga saat kita melatih anak-anak kita untuk tidak
hanya melakukan apa yang mereka suka. Kalau mereka hanya suka menonton TV kita
latih mereka membaca. Tawaran ini bukan sok intelektualis, melainkan latihan
untuk membiasakan diri setia kepada komitmen. Ciri kematangan seseorang adalah
ketika dia sanggup melaksanakan suatu pekerjaan bukan karena dia suka,
melainkan karena dia berkomitmen. Inilah juga saat kita dalam skala terprogram
mensistemasisasikan dan mengkodifikasi sumber-sumber pengetahuan daerah serta
melakukan kajian untuk melihat kemungkinan mengembangkannya menjadi pengetahuan
sistematik, misalnya obat-obatan, resolusi konflik, teknologi, ketahanan
pangan, dsb. Hal ini sudah cukup banyak dilakukan tetapi belum terprogram
secara sistematik. Kondisi lingkungan yang menyedihkan merupakan ancaman
terbesar bagi sumber-sumber budaya yang tersebar luas di Indonesia.
Mengapa
tawaran saya adalah siasat dan bukan peta besar atau strategi? Dengan rendah
hati saya berpendapat bahwa dalam kondisi seperti sekarang kita perlu
menetapkan prioritas. Seandainya pun kita sanggup menggambar peta besar,
perjalanan kita akan tersendat-sendat sebelum kita berhasil mentransformasikan
kebiasaan-kebiasaan publik kita. Apabila hal-hal ini terlihat terlalu biasa
mungkin karena selama ini pemahaman kita tentang kebudayaan terlalu esoterik
dan besar sehingga kita berpandangan bahwa kebudayaan hanya urusan para empu.
Dengan mengambil model kebudayaan sebagai siasat sehari-hari untuk menerobos
gang-gang buntu, saya sebetulnya mengambil model banyak pekerja budaya di
Indonesia yang sudah selalu melihat kebudayaan sebagai tugas yang dia pilih dan
komitmen untuk menjalankannya. Kini juga lahir komunitas-komunitas anak muda
yang menjalankan kegiatan pelestarian dan pengembangan karya-karya budaya tanpa
banyak ribut dan tidak menuntut panggung. Mereka, di antaranya, menyusun
arsip-arsip pustaka nusantara dengan cara mencengangkan sehingga teks-teks kuno
yang semula terlihat kusam bertumpuk di gudang terpampang menjadi kisah hidup
sejarah Indonesia. Menariknya, ada kelompok yang melakukan kegiatan itu untuk
melampiaskan kejengkelan terhadap situasi kultural dan ketidakpedulian
pemerintah terhadap banyak karya-karya budaya (40). Sungguh bentuk kemarahan
yang kreatif. Tidak ada gaduh politik kendati apa yang mereka kerjakan
sesungguhnya sangat politismerawat sejarah agar tidak tergulung ke dalam
pelupaan. Tampaknya sekaranglah saatnya kita merumuskan ulang makna semangat
pejuang.
Dalam
kebudayaan kita ibarat terayun dari satu kemungkinan ke kemungkinan lainnya:
antara kebutuhan untuk refleksi mendalam dan tuntutan kepraktisan, antara
sarana dan tujuan, antara wacana yang membangun kepercayaan dan janji yang tak
pernah terpenuhi, antara yang universal dan partikular, antara yang sudah
meletak ada dan orisinalitas, antara prinsip meniru bergerombol seperti kawanan
hewan dan otentisitas, antara keinginan untuk hidup dan faktisitas kematian.
Kebudayaan adalah tegangan kreatif antara ketakbermaknaan kita di tengah-tengah
kemahaluasan kosmik dan pertanyaan-pertanyaan bermakna yang justru kita temukan
dalam lingkup kecil hidup sehari-hari, antara sub specie aeternitatis dan sub
specie humanitatis. Kita tidak memilih salah satu. Di dalam kebudayaan diri
mengalami tegangan tanpa henti antara kekakuan tradisi dan kelenturan diri untuk
menemukan jalan-jalan baru. Sementara kita mencoba bertahan hidup di
tengah-tengah karut marut dunia, kebudayaan menjadi jalan untuk memilah dan
memilih realitas sampai kita menemukan siasat bagi dunia yang selalu terolah
baru. Pada akhirnya, transformasi kebudayaan dalam skala luas berlangsung
secara diam-diam tanpa tepuk sorak panggung, tanpa perayaan.
PUPU
TAGUA (41)
Pupu
tagua .. tagua laman pupu
Babio..babio
tanah tarah
Encuke
encuke riapm bunga
Riapm
bunga tagua tanyung ransa
Pupu
tagua tagua lama tuha
Pupu
tagua tagua lama tuha
Tanah
tumuh tumuh mula manyadi
Karosi
‘karosi’ mula ada
Sunge
sunge baikatn
Munti’
ba robukng munti barobukng
Batakng
ba kulat
Pupu
tagua tagua lama tuha
Pupu
tagua tagua lama tuha
Nate
bapadi lontatn ba pulut
Sunge
ba nanga toluk bagana
Hutatn
ba puaka
PUPU
TAGUA
Kampung
pupu tagua
Nama
tanah di daerah tersebut
Sungai
encuke dan riam bunga
Riam
bunga tagua di tanjung ransa
Kampung
tertua yaitu pupu tagua
Kampung
tertua yaitu pupu tagua
Tanah
itu tumbuh dan menjadi awal
Ada
tanda kehidupan
Sungai
ada ikannya
Bambu
ada rebungya
Batang
kayu ada jamurnya
pupu
tagua kampung tua
pupu
tagua kampung tua
di
tanah yang mendaki ada padinya,
tanah
yang datar ada padi pulut
sungai
ada telaganya teluk ada penunggunya
hutan
kekuatan magisnya
Catatan Akhir
1.
Ada beberapa variasi mengenai kisah asal usul Suku Dayak. Lihat misalnya Tjilik
Riwut, Maneser Panatau Tatu Hiang : Menyelami Kekayaan Leluhur, penyunting Nila
Riwut (Yogyakarta: Pusaka Lima, 2003).
2.
Saya mengucapkan terima kasih kepada Dr. Marco Mahin yang menjelaskan makna
Tikar Pohon Kehidupan dan proses pembuatannya.
3.
Richard Rorty, “A Pragmatist View of Rationality and Cultural Difference,”
Philosophy East and West , Vol. 42, No. 4, Mt. Abu Regional East-West
Philosophers’Conference, “Culture and Rationality” (Oct., 1992), p. 588
[pp. 581-596].
4.
Lihat “Jerit sepanjang Mahakam” dalam Z. A. Anis, Syaharuddin, A. Aziz
dalam K. Supelli, B. Ahnan, R. P Widjomo, K. R. Indirasari (penyun.), Warisan
Teknologi Masyarakat Kalimantan Timur Dayak (Samarinda: KPA, 2012).
5.
Forest Peoples Programme, “Permohonan untuk Mempertimbangkan Lebih Lanjut
mengenai Situasi
Masyarakat
Adat Merauke, Provinsi Papua, Indonesia, dalam Prosedur Aksi Mendesak dan
Peringatan Dini dari Komisi Pemberantasan Diskriminasi Rasial,” 25 Juli 2013,
butir 15.
6.
C. P. Snow, “The Two Cultures,” The Rede Lecture 1959, diterbitkan
kembali dalam versi perbaikan, C.P. Snow, Leonardo , Vol. 23, No. 2/3, New
Foundations: Classroom Lessons in Art/Science/Technology for the 1990s. (1990),
p. 169-173. Sebelumnya, tahun 1956 Snow sudah menulis artikel dengan judul yang
sama.
7.
Ungkapan yang terakhir ini saya pinjam dari Terry Eaggleton, The Idea of
Culture (Oxford: Blackwell, 2000), p. 3-4.
8.
Kata “culture” awalnya dipakai dalam konteks bercocok tanam, agricultura
[Latin: agri (ager ) cultura (colere )]. Agricultura berarti mengolah lahan
agar cocok bagi hunian manusia. Dalam colere terkandung sikap menumbuhkan,
merawat dan membudidayakan. Lihat Cicero, Tusculan Disputations , diterjemahkan
oleh Andrew Peabody (Boston: Little, Brown, and Co, 1886), p. 96.
9.
Lihat B. Herry-Priyono, B. Sketsa Evolusi Istilah Civil Society (14 Februari
2008; belum dipublikasi). Bdk. Helmut K. Anheier, Stefan Toepler, Regina List
(eds.), International Encyclopedia of Civil Society (New York: Springer, 2010).
23
10.
Di Inggris, sebutan peradaban bagi kebudayaan tinggi di kota-kota berasal dari
Scot James Boswell [Robert J.C. Young, Colonial Desire: Hybridity in Theory,
Culture and Race (London: Routledge, 1995), p. 30].
11.
Dikutip dalam Raymond Williams, Keywords, A Vocabulary of Culture and Society
(Oxford: Oxford
University
Press, 1983), p. 58.
12.
John Stuart Mill, “On Liberty” dalam Mortimer J. Adler (ed.) Great Book
of the Western World (Chicago: Encyclopaedia Britannica, Inc., 1996 [1869]),
pp. 271-272)]
13.
Hal ini sudah pernah saya bahas dalam kesempatan lain sehingga tidak saya bahas
lagi di sini (lihat Karlina Supelli, “Memburu Nalar di bawah Bayang-bayang
Hasrat,” diterbitkan dalam Prosiding Seminar Menimbang Peradaban Bangsa ,
Jubileum 50 Tahun Duta Wacana (Yogyakarta, 6-7 Agustus 2012). Lihat juga Peter
Boomgaard, “The Making and Unmaking of Tropical Science: Dutch Research on
Indonesia, 1600-2000“, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde (BKI)
Vol. 162, No. 2/3 (2006), pp. 191-217.
14.
Tentang nalar ekonomi dan kenegaraan bdk. Maria Bonnafocus-Boucher, “From
Government to
Governance,” Ethical
Perspective: Journal of The European Ethics Network , Vol. 12, No. 4 (2005),
pp. 521-534.
15.
Martin Hollis & Edward Nell, Rational Economic Man (1975), dikutip dalam B.
Herry-Priyono, “Berburu Manusia Ekonomi,” Majalah Basis No. 01-02, Tahun
ke-57 (Januari-Februari, 2008), p. 4.
16.
The Nielsen Company, Consumer Confidence: Concerns and Spending Intentions
around the World , Quarter 2, 2013, 2nd edition.
17.
Hubungan antara identitas, status dan kenikmatan diuraikan dengan rinci oleh
Alan Tomlinson dalam Consumption, Indentity and Style: Marketing, Meanings and
Packaging of Pleasure (London: Routledge, 1990).
18.
Sherry Turkle melakukan penelitian yang mendalam mengenai kebiasaan-kebiasaan
baru yang mempengaruhi cara kita membentuk makna akibat perkembangan teknologi
Digital (Lihat Sherry Turkle, Alone Together: Why We Expect More from
Technology and Less from Each Other , New York: Basic Books, 2011).
19.
Geert Lovink, Networks without a Cause: A Critique of Social Media , Cambridge:
Polity Press, 2011, p. 50-62.
20.
Sherry Turkle, Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from
Each Other (New York: Basic Books, 2011), p.166.
21.
Sherry Turkle, Alone Together , p 161.
22.
Rob Shields, The Virtual (Routledge: London, 2003), p. 3.
23.
Lihat Yanuar Nugroho, “Media, Budaya dan Upaya merawat Cita-cita Hidup
Bersama,” disampaikan pada resepsi 18 tahun Aliansi Jurnalis Independen
(Jakarta: 2012).
24.
Lihat Australian Council for Educational Research, PISA 2009 Plus Results:
Performance of 15-year-olds in reading, mathematics and science for 10
additional participants (Camberwell: ACER, 2011); Bdk. OECD (2010), PISA 2009
at a Glance , OECD Publishing.
25.
Paradigma teknologi sebagai piranti dapat dilihat dalam Albert Borgmann,
Technology and the Character of Contemporary Life (University of Chicago Press,
1984), pp. 42-43.
26.
Lihat Hans Jonas, “Towards a Philosophy of Technology,” dalam Robert
Scharff & Val Dusek (eds.),
Philosophy
of Technology: The Technological Condition (Oxford: Blackwell Publishing,
2003), Ch. 18.
27.
David Hume, A Treatise on Human Nature (England: Hammondsworth,1987/1739), p.
297.
28.
Martha Nussbaum, “Comment on Charles Taylor’s `Explanation and Practical
Reason’“, in The Quality of Life , eds. Martha Nussbaum and Amartya Sen, p.
237 (Oxford: Clarendon Pers, 1993, pp. 232-241).
29.
George Orwell, “Politics and the English Language,” A Collection of
Essays (New York: Hartcourt Brace, 1953), pp. 169-170.
30.
Pierre Duhem, German Science (La Salle: Open Court, 1991 [1915]), p. 8..
31.
Dikutip dalam Chandrasekhar, “The Perception of Beauty and the Pursuit of
Science“, Applied Optics , Vol. 29, Issue No.16 (1990). 24
32.
N. Copernicus. De revolutionibus orbium coelestium . Terj Charles Glenn Wallis
dalam M. Adler, ed. Great Books of The Western World. Encyclopaedia Britannica
Vol. 15, 1996 [1543], p. 520.
33.
Poincar, H., “The Value of Science” terj. George Bruce Halsted dalam The
Value of Science: Essential Writings of Henri Poincar (New York: The Modern
Library, 2001 [1905]), p. 186.
34.
Burtt, The Metaphysical Foundation of Modern Science (New York: Dover
Publications, Inc., 2003 [1954]), pp. 238-239.
35.
Pengertian kebenaran di sini dimaksudkan sebagai “kebenaran keilmuan”
(scientific truth ). Problem epistemologis menyangkut kebenaran keilmuan tidak
saya bahas karena sudah pernah saya bahas dalam kesempatan lain (lihat Karlina
Supelli, “Ciri Antropologis Pengetahuan” dan Apa yang masih tertinggal
dalam Ihsan Ali-Fauzi dan Zainal Abidin Baqir (penyunt.), Dari Kosmologi ke
Dialog: “Mengenal Batas Pengetahuan, Menentang Fanatisme ” (Jakarta:
Mizan, 2011).
36.
Bambang Hidayat, “Membangunkan Ilmu Indonesia,” Kompas (29 Juni 2012),
p. 7.
37.
Sejarah kemunculan kembali konsep masyarakat warga dalam teori-teori politik
Eropa abad ke-17 dan ke-18 cukup panjang. Lihat Jean L. Cohen, Andrew Arato,
Civil Society and Political Theory (Cambridge, Mass.: The MITPress, 1997).
38.
Bagian ini merupakan modifikasi dari naskah yang saya tulis dan bacakan dalam
Kuliah Kenangan Sutan Takdir Alisjahbana 4 Oktober 2013.
39.
Karl Popper, The Open Society and its Enemies Vol. 2 (London: Routledge, 1992),
p. 249.
40.
Diskusi dengan Badan Pengurus DKJ, Oktober 2013.
41.
Dalam bahasa Dayak Krio, salah satu subetnis Dayak di Kabupaten Ketapang
Provinsi Kalimantan Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar