Rabu, 15 Oktober 2014

Mulla Sadra dan Pertanyaan Tentang Realitas –Bagian Kedua



Oleh Armahedi Mahzar

Apakah “ADA” Itu Sebenarnya? 

Bagi banyak orang pengertian “ADA” adalah sesuatu konsep yang paling abstrak yang tak perlu didefinisikan atau dijelaskan dengan konsep-konsep lain. Justru konsep-konsep lain yang memerlukan konsep “ada” untuk jika ingin dijelaskan melaui definisi. Karena itu setiap definisi ada akan merupakan definisi melingkar yang menggunakan kata itu sendiri. Misalya ada orang yang mendefinisikan ADA sebagai “sesuatu yang dimiliki oleh semua benda yang ada”. Oleh karena itu ada dua ekstrim yang menanggapi kebuntuan logika ini. Satu cara menganggap bahwa ADA tidak bisa didefinisikan atau ditangkap pikiran akan tetapi hanya bisa langsung ditangkap oleh intuisi intelektual. Hal ini barangkali dapat masuk akal orang kebanyakan, tetapi pakah ADA-nya Tuhan juga demikian? Tentu ada orang berpendapat “ADA”nya sesuatu yang mutlak tak sama dengan “ada”nya sesuatu yang relatif. Akan tetapi tidaklah demikian halnya dengan Mulla Sadra yang berpendapat ADA itu tunggal dan untuk semua benda, baik yang konkret maupun yang abstrak. Walaupun begitu “ADA”-Nya Tuhan adalah ADA murni, sedangkan “ada” nya yang lain bercampur dengan esensi. Dengan posisi seperti ini, dia pun menyelesaikan banyak persoalan. Yang pertama adalah persoalan pembuktian adanya Tuhan. Karena Tuhan adalah ADA murni, maka mengatakan “Tuhan itu tidak ada” adalah suatu kemustahilan. Soalnya jika Tuhan tidak ada, itu berarti bahwa “ADA itu tidak ada”. Bukankah itu suatu kemustahilan. Oleh karena itu Tuhan itu tidak bisa tidak harus ada alias “wajibul wujud”. Karena “Ada itu tidak ada” adalah suatu yang kontradiksi, maka pernyataan kebalikannyalah yang benar.

Bagi sebagian orang pembuktian ontologis seperti ini mungkin merupakan suatu yang menggelikan, karena hal ini sama saja upaya untuk membuktikan bahwa “ADA itu ada” yaitu sesuatu yang tak perlu dibuktikan. Dan ini bersumber pada kebiasaan kebahasaan khas para filosof, yaitu menganggap kata sifat sebagai kata benda. “ADA” yang merupakan subyek itu adalah kata benda dan “ada” yang merupakan adalah kata sifat. Bahkan Immanuel Kant memberi tahu kita bahwa “ada” itu pun bukan kata sifat, tetapi kata keadaan yang menerangkan kata sifat. Namun buat pengikut Mulla Sadra, pembuktian ini merupakan argumentasi terunggul karena tak memerlukan yang lain selain Diri-Nya sendiri. Pembuktian-pembuktian eksistensi Tuhan yang lain memulai argumennya dari sesuatu yang bukan Tuhan yaitu alam. Keunggulan lain dari identifikasi Tuhan sebagai ADA murni adalah terselesaikannya persoalan Dzat dan Sifat yang menghantui para ahli ilmu kalam.

Pada awalnya, ketika ulama Mu’tazilah, yang merupakan pelopor ilmu kalam, membuktikan keesaan Tuhan dan keadilan-Nya dengan menggunakan logika Yunani, sebenarnya mereka menjalankan suatu tuntutan da’wah untuk melawan da’wah pendeta Nashrani yang menggunakannya terlebih dahulu. Salah satu konsep yang diperlukan untuk itu adalah wujud alias ADA dan menjadikannya sebagai sifat Tuhan yang paling pokok. Kata Wujud itu sendiri sebenarnya tak ada dalam Quran. Walaupun begitu, kata ini nyatanya diterapkan oleh para ulama ilmu kalam pada Allah swt sebagai salah satu Sifat-Nya, bahkan sebagai Sifat pertama. Tak mengherankan jika konsep wujud ini dalam kaitannya dengan Tuhan menimbulkan sejumlah kontoversi di dunia pemikiran Islam. Di dunia keilmuan Kalam, diperdebatkan apakah sifat mempunyai wujud atau tidak. Di kalangan tasawuf, diperdebatkan mengenai wahdatul wujud ataupun wahdatul syuhud. Di kalangan filsafat diperdebatkan prioritas wujud dan mahiyah. Persoalan dasarnya adalah kenyataan bahwa al Qur’an dalam merujuk Tuhan, menggunakan berbagai nama yang berbeda yang bersesuaian dengan Sifat-sifat-Nya. Pertanyaan yang kemudian timbul adalah apakah sifat itu ada secara independen, ataukah hanya berada di dalam pikiran manusia? Kalau sifat itu menyangkut benda-benda konkret yang bisa dilihat dan dipegang, maka sifat-sifat itu ada yang independen artinya lepas dari benda itu, ada pula yang tak dapat dilepaskan dari benda tersebut. Sifat-sifat pertama disebut sifat-sifat aksidental, sedangkan sifat-sifat jenis kedua disebut sebagai sifat esensial (hakiki) atau esensi alias hakekat.

Manakah yang Dahulu: Eksistensi atau Esensi?

Dari pengalaman sehari-hari, kita memang tak bisa menyangsikan realitas luar dan realitas dalam pikiran kita. Kedua-duanya ada, kedua-duanya dapat dijadikan subyek alias pokok kalimat berupa kata benda. Semua yang ada dapat dijadikan pokok kalimat. Inilah yang disebut oleh Aristoteles sebagi substansi. Bagi Aristoteles, substansi atau dzat itulah yang mempunyai eksistensi. Yang lainnya, yaitu kata kerja, kata sifat dan lain sebagainya merupakan keterangan alias aksiden yang ditambahkan atau esensi yang melekat pada substansi. Pengetahuan kita tentang substansi itu termasuk aksiden. Tetapi pengetahuan kita tentang diri kita termasuk esensi, begitu juga pengetahuan Tuhan tentang diriNya. Begitu pula Sifat–sifat Tuhan lainnya. Lalu manakah lebih fundamental antara keduanya?

Jawaban Mu’tazilah

Bagi kaum Mu’tazilah sebagian dari sifat-sifat Tuhan bersifat esensial, termasuk wujud, esa, ‘ilm dan lain sebagainya. Sekarang timbul pertanyaan, apakah sifat-sifat itu abadi atau tidak. Jawab yang umum, tentulah: ya, sifat-sifat itu abadi. Nah, kalau sifat-sifat itu abadi, apakah sifat-sifat itu ada atau tidak. Tentu saja jawabnya: sifat-sifat itu ada. Jika tidak ada, bagaimana pula sifat-sifat itu akan disebut dalam firman-firman-Nya. Disinilah kaum Mu’tazilah berkeberatan. Kalau sifat-sifat itu ada dan abadi, maka dengan sendirinya Tuhan mempunyai sekutu alias syir’k. Tentu saja ini bertentangan dengan sifat Tuhan yang paling pokok yaitu keesaan-Nya. Untuk menyelesaikan persoalan pelik ini, mereka mengatakan sifat-sifat itu tidak ada, yang ada hanyalah nama-nama yang diberikan oleh Tuhan untuk menjelaskan pada manusia. Metode penelitian kaum Mu’tazilah adalah penggunaan Manthiq (Logika) untuk menafsirkan ayat-ayat al Qur’an yang suci. Dari penalaran seperti itu mereka hanya mengenal dua realitas, yang Mutlak dan yang nisbi, dengan jurang tak terseberangi antara keduanya, kecuali dengan iman yang rasional.

Jawaban Hikmatul Masya’iyyah (Peripatetik)

Kaum filosof Masya’iyyah, seperti Ibn Sina, punya pendapat lain, walaupun sama-sama menganggap tinggi logika Yunani. Tuhan itu ada dan Sifat-Sifat-Nya juga ada. Hanya saja keberadaan Dzat Tuhan berbeda dengan keberadaan Sifat-Sifat Tuhan. Dzat atau substansi, Keberadaan atau eksistensi Tuhan bersifat primer, sedangkan yang keberadaan Sifat-Sifat Tuhan, termasuk esensi-Nya bersifat sekunder. Tak terbayangkan yang kedua tanpa yang pertama. Sebaliknya tidak demikian. Jadi, Eksistensi Ilahi mendahului Esensi-Nya. Dalam bahasa ilmu Kalam, Dzat mendahului Sifat. Dzat dan Sifat, sama-sama merupakan realitas yang nyata. Begitulah pandangan mazhab Peripatetisme Islam atau Hikmatul Masya’iyyah yang ditegakkan para pendirinya dengan menggunakan nalar rasional terhadap konsep-konsep intelektual. Berbeda dengan ontologi Kalam yang hanya memahami dua realitas, Yang Mutlak dan yang Nisbi, para filosof mengakui adanya perjenjangan diskrit antara keduanya seperti kaum Neo-Platonis.

Jawaban Hikmatul Wahdatiyah

Akan tetapi para ahli sufi aliran wujudiyah, misalnya Ibn Arabi, yang berlawanan dengan pandangan para filosof. Katanya, wujud itu hanya satu, yaitu Tuhan. Benda-benda lain tak punya wujud apa lagi sifat-sifatnya. Sedangkan Sifat-Sifat Tuhan yang mereka sebut a’yan tsabitah (realitas-realitas tetap) itu adalah bentuk-bentuk dalam pengetahuan-Nya.  Sebenarnya, a’yan tsabitah itu juga dikenal oleh para pemikir lainnya di kalangan muslim dan non-muslim. Kaum mutakalimun menyebutnya ma’lumat (yang diketahui) dan kaum falasifah menyebutnya sebagai mahiyyat (quidditas, ke-apa-an atau esensi). Aristoteles menyebutnya morphe (bentuk-bentuk) dan gurunya, Plato, menyebutnya eidos (ide-ide). Bagi Ibn Arabi, apa yang kita hadapi sebagai benda-benda fisik itu tak lain dari bayangan realitas-realitas tetap itu. Inilah pandangan irfan Wahdatul Wujud alias kesatuan Realitas. Dalam pandangan ini Wujud atau eksistensi mendahului mahiyyat atau esensi. Para arifin ini mencurigai penggunakan rasio atau aql, sebagai gantinya mereka menggunakan intuisi atau pengalaman batin mengenai realitas sebagai sumber utama pengetahuannya. Di samping dari pengalaman mistik mereka, mereka meyimpulkan adanya jenjang realitas dan kesadaran yang bersifat diskrit.

Jawaban Hikamatul Isyraqiyah

Seorang sufi lainnya dari Persia, Syihabuddin Suhrawardi yang juga seorang kritikus tajam filsafat Ibn Sina, berusaha mengekspresikan pengalaman kesatuan mistiknya dalam pandangan yang sama sekali lain. Katanya, wujud, alias eksistensi, hanya ada dalam pikiran manusia. Yang benar-benar ada hanyalah esensi-esensi itu yang tak lain dari pada bentuk-bentuk cahaya dari Maha Cahaya yang tak lain dari pada Tuhan. Cahaya itu Satu dan benda-benda yang banyak lagi berbeda-beda itu hanyalah gradasi intensitasnya atau kebenderangannya. Dalam pandangan metafisika cahaya Persia ini, wujud bersifat sekunder, dan sifat-sifat atau esensi bersifat primer. Dalam bahasa filosofis, ini berarti esensi lebih fundamental atau mendahului, secara logis, eksistensi. Inilah pandangan filsafat iluminasionisme alias Hikmatul Isyraqi. Suhrawardi, pendiri mazhab Isyraqiyah, mengambil kesimpulannya melalui suatu penelitian filosofis yang menggabungkan metode intuitif mistikus dengan metode rasional filosofis sebagai pelengkapnya.

Jawaban Sintesa: Hikmatul Muta’aliyah

Pandangan Suhrawardi itu menjadi dominan di kalangan filsuf Persia di masa kejayaan Daulah Shafawiyah di Iran yang kemudian dikenal sebagai mazhab Isfahan. Begitulah Mula Sadra diajarkan oleh gurunya: Mir Damad. Akan tetapi dia juga sangat mengagumi pandangan Ibn Arabi yang menakjubkan itu. Oleh karena itu dia membalik ajaran Isyraqiyah dengan mengambil pandangan Ibnu Arabi tentang prioritas eksistensi atau wujud terhadap esensi atau mahiyah, namun dia menolak pandangan Ibn Arabi tentang ketunggalan wujud. Bagi Mulla Sadra benda-benda sekitar kita di alam bukanlah tanpa eksistensi atau ilusi, namun juga ada seperti adanya Tuhan. Sedangkan sifat-sifat atau esensi yang tidak mempunyai eksistensi sama sekali. Esensi adalah kebalikan dari eksistensi. Jika Tuhan adalah Ada dan benda-benda juga ada, maka tak dapat secara logika dihindarkanlah kesimpulan bahwa segala benda-benda adalah Tuhan atau pantheisme seperti yang dituduhkan secara salah oleh para ulama terhadap pandangan wihdatul wujud. Solusi Mulla Sadra dalam hal ini adalah gagasan Tasykikul Wujud atau gradasi wujud yang mengatakan bahwa Eksistensi alias wujud mempunyai gradasi yang kontinu seperti halnya cahaya yang diidentifikasi sebagai Esensi oleh Suhrawardi.

Jadi, menurut Mulla Shadra, dari Ada Mutlak hingga Tiada terdapat gradasi “ada-ada nisbi” yang tak terhingga banyaknya. Dengan perkataan lain, realitas alam semesta merentang dari kutub Tiada ke kutub ADA mutlak. Inilah pandangan kesatuan realitas versi Mulla Shadra yang disebutnya sebagai Hikmatul Muta’aliyyah. Pandangan ini merupakan sintesa besar yang meliputi pandangan teologis kalam, pandangan filosofis hikmat dan pandangan mistis irfan.
Secara tabular kita dapat melukiskan pokok-pokok pikiran tradisional Islam sebagai berikut: Kalam, Mu’tazilah Hikmat, Masya’iyah Hikmat, Isyraqiyah Irfan, Wujudiyah Hikmat, Muta’aliyah, Eksistensi (wujud) riil riil mental riil riil, Esensi (Mahiyyah) riil riil riil mental mental, Hubungan, Eksistensi, Esensi eksistensi, mendahului, esensi eksistensi, mendahului esensi esensi, mendahului, eksistensi eksistensi, mendahului, esensi eksistensi, mendahului esensi, Struktur, Realitas Polaritas, mutlak/nisbi jenjang, eksistensi gradasi, esensi jenjang, esensi gradasi, eksistensi, Metode, keilmuan Rasio, Wahyu Rasio, Intuisi, Wahyu Intuisi, Wahyu Rasio, Intuisi, Wahyu. (Bersambung….)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar