Oleh Armahedi Mahzar
Apakah “ADA” Itu Sebenarnya?
Bagi banyak orang
pengertian “ADA” adalah sesuatu konsep yang paling abstrak yang tak perlu
didefinisikan atau dijelaskan dengan konsep-konsep lain. Justru konsep-konsep lain
yang memerlukan konsep “ada” untuk jika ingin dijelaskan melaui definisi.
Karena itu setiap definisi ada akan merupakan definisi melingkar yang
menggunakan kata itu sendiri. Misalya ada orang yang mendefinisikan ADA sebagai
“sesuatu yang dimiliki oleh semua benda yang ada”. Oleh karena itu ada dua
ekstrim yang menanggapi kebuntuan logika ini. Satu cara menganggap bahwa ADA
tidak bisa didefinisikan atau ditangkap pikiran akan tetapi hanya bisa langsung
ditangkap oleh intuisi intelektual. Hal ini barangkali dapat masuk akal orang
kebanyakan, tetapi pakah ADA-nya Tuhan juga demikian? Tentu ada orang
berpendapat “ADA”nya sesuatu yang mutlak tak sama dengan “ada”nya sesuatu yang
relatif. Akan tetapi tidaklah demikian halnya dengan Mulla Sadra yang berpendapat
ADA itu tunggal dan untuk semua benda, baik yang konkret maupun yang abstrak.
Walaupun begitu “ADA”-Nya Tuhan adalah ADA murni, sedangkan “ada” nya yang lain
bercampur dengan esensi. Dengan posisi seperti ini, dia pun menyelesaikan
banyak persoalan. Yang pertama adalah persoalan pembuktian adanya Tuhan. Karena
Tuhan adalah ADA murni, maka mengatakan “Tuhan itu tidak ada” adalah suatu
kemustahilan. Soalnya jika Tuhan tidak ada, itu berarti bahwa “ADA itu tidak
ada”. Bukankah itu suatu kemustahilan. Oleh karena itu Tuhan itu tidak bisa
tidak harus ada alias “wajibul wujud”. Karena “Ada itu tidak ada” adalah suatu
yang kontradiksi, maka pernyataan kebalikannyalah yang benar.
Bagi sebagian orang
pembuktian ontologis seperti ini mungkin merupakan suatu yang menggelikan,
karena hal ini sama saja upaya untuk membuktikan bahwa “ADA itu ada” yaitu
sesuatu yang tak perlu dibuktikan. Dan ini bersumber pada kebiasaan kebahasaan
khas para filosof, yaitu menganggap kata sifat sebagai kata benda. “ADA” yang merupakan
subyek itu adalah kata benda dan “ada” yang merupakan adalah kata sifat. Bahkan
Immanuel Kant memberi tahu kita bahwa “ada” itu pun bukan kata sifat, tetapi
kata keadaan yang menerangkan kata sifat. Namun buat pengikut Mulla Sadra,
pembuktian ini merupakan argumentasi terunggul karena tak memerlukan yang lain
selain Diri-Nya sendiri. Pembuktian-pembuktian eksistensi Tuhan yang lain
memulai argumennya dari sesuatu yang bukan Tuhan yaitu alam. Keunggulan lain
dari identifikasi Tuhan sebagai ADA murni adalah terselesaikannya persoalan
Dzat dan Sifat yang menghantui para ahli ilmu kalam.
Pada awalnya, ketika ulama
Mu’tazilah, yang merupakan pelopor ilmu kalam, membuktikan keesaan Tuhan dan
keadilan-Nya dengan menggunakan logika Yunani, sebenarnya mereka menjalankan
suatu tuntutan da’wah untuk melawan da’wah pendeta Nashrani yang menggunakannya
terlebih dahulu. Salah satu konsep yang diperlukan untuk itu adalah wujud alias
ADA dan menjadikannya sebagai sifat Tuhan yang paling pokok. Kata Wujud
itu sendiri sebenarnya tak ada dalam Quran. Walaupun begitu, kata ini nyatanya
diterapkan oleh para ulama ilmu kalam pada Allah swt sebagai salah satu Sifat-Nya,
bahkan sebagai Sifat pertama. Tak mengherankan jika konsep wujud ini dalam
kaitannya dengan Tuhan menimbulkan sejumlah kontoversi di dunia pemikiran
Islam. Di dunia keilmuan Kalam, diperdebatkan apakah sifat mempunyai wujud atau
tidak. Di kalangan tasawuf, diperdebatkan mengenai wahdatul wujud ataupun wahdatul
syuhud. Di kalangan filsafat diperdebatkan prioritas wujud dan mahiyah. Persoalan
dasarnya adalah kenyataan bahwa al Qur’an dalam merujuk Tuhan, menggunakan
berbagai nama yang berbeda yang bersesuaian dengan Sifat-sifat-Nya. Pertanyaan
yang kemudian timbul adalah apakah sifat itu ada secara independen, ataukah
hanya berada di dalam pikiran manusia? Kalau sifat itu menyangkut benda-benda
konkret yang bisa dilihat dan dipegang, maka sifat-sifat itu ada yang
independen artinya lepas dari benda itu, ada pula yang tak dapat dilepaskan
dari benda tersebut. Sifat-sifat pertama disebut sifat-sifat aksidental,
sedangkan sifat-sifat jenis kedua disebut sebagai sifat esensial (hakiki) atau
esensi alias hakekat.
Manakah yang Dahulu: Eksistensi atau Esensi?
Dari pengalaman
sehari-hari, kita memang tak bisa menyangsikan realitas luar dan realitas dalam
pikiran kita. Kedua-duanya ada, kedua-duanya dapat dijadikan subyek alias pokok
kalimat berupa kata benda. Semua yang ada dapat dijadikan pokok kalimat. Inilah
yang disebut oleh Aristoteles sebagi substansi. Bagi Aristoteles, substansi atau
dzat itulah yang mempunyai eksistensi. Yang lainnya, yaitu kata kerja, kata
sifat dan lain sebagainya merupakan keterangan alias aksiden yang ditambahkan
atau esensi yang melekat pada substansi. Pengetahuan kita tentang substansi itu
termasuk aksiden. Tetapi pengetahuan kita tentang diri kita termasuk esensi,
begitu juga pengetahuan Tuhan tentang diriNya. Begitu pula Sifat–sifat Tuhan
lainnya. Lalu manakah lebih fundamental antara keduanya?
Jawaban Mu’tazilah
Bagi kaum Mu’tazilah
sebagian dari sifat-sifat Tuhan bersifat esensial, termasuk wujud, esa, ‘ilm
dan lain sebagainya. Sekarang timbul pertanyaan, apakah sifat-sifat itu abadi
atau tidak. Jawab yang umum, tentulah: ya, sifat-sifat itu abadi. Nah, kalau
sifat-sifat itu abadi, apakah sifat-sifat itu ada atau tidak. Tentu saja
jawabnya: sifat-sifat itu ada. Jika tidak ada, bagaimana pula sifat-sifat itu
akan disebut dalam firman-firman-Nya. Disinilah kaum Mu’tazilah
berkeberatan. Kalau sifat-sifat itu ada dan abadi, maka dengan sendirinya Tuhan
mempunyai sekutu alias syir’k. Tentu saja ini bertentangan dengan sifat Tuhan
yang paling pokok yaitu keesaan-Nya. Untuk menyelesaikan persoalan pelik ini,
mereka mengatakan sifat-sifat itu tidak ada, yang ada hanyalah nama-nama yang
diberikan oleh Tuhan untuk menjelaskan pada manusia. Metode penelitian kaum
Mu’tazilah adalah penggunaan Manthiq (Logika) untuk menafsirkan ayat-ayat al Qur’an
yang suci. Dari penalaran seperti itu mereka hanya mengenal dua realitas, yang
Mutlak dan yang nisbi, dengan jurang tak terseberangi antara keduanya, kecuali
dengan iman yang rasional.
Jawaban Hikmatul Masya’iyyah (Peripatetik)
Kaum filosof Masya’iyyah,
seperti Ibn Sina, punya pendapat lain, walaupun sama-sama menganggap tinggi
logika Yunani. Tuhan itu ada dan Sifat-Sifat-Nya juga ada. Hanya saja keberadaan
Dzat Tuhan berbeda dengan keberadaan Sifat-Sifat Tuhan. Dzat atau substansi,
Keberadaan atau eksistensi Tuhan bersifat primer, sedangkan yang keberadaan
Sifat-Sifat Tuhan, termasuk esensi-Nya bersifat sekunder. Tak terbayangkan yang
kedua tanpa yang pertama. Sebaliknya tidak demikian. Jadi, Eksistensi Ilahi
mendahului Esensi-Nya. Dalam bahasa ilmu Kalam, Dzat mendahului Sifat. Dzat dan
Sifat, sama-sama merupakan realitas yang nyata. Begitulah pandangan mazhab
Peripatetisme Islam atau Hikmatul Masya’iyyah yang ditegakkan para pendirinya
dengan menggunakan nalar rasional terhadap konsep-konsep intelektual. Berbeda
dengan ontologi Kalam yang hanya memahami dua realitas, Yang Mutlak dan yang
Nisbi, para filosof mengakui adanya perjenjangan diskrit antara keduanya
seperti kaum Neo-Platonis.
Jawaban Hikmatul Wahdatiyah
Akan tetapi para ahli sufi
aliran wujudiyah, misalnya Ibn Arabi, yang berlawanan dengan pandangan para
filosof. Katanya, wujud itu hanya satu, yaitu Tuhan. Benda-benda lain tak punya
wujud apa lagi sifat-sifatnya. Sedangkan Sifat-Sifat Tuhan yang mereka sebut
a’yan tsabitah (realitas-realitas tetap) itu adalah bentuk-bentuk dalam
pengetahuan-Nya. Sebenarnya, a’yan tsabitah itu juga dikenal oleh para
pemikir lainnya di kalangan muslim dan non-muslim. Kaum mutakalimun menyebutnya
ma’lumat (yang diketahui) dan kaum falasifah menyebutnya sebagai mahiyyat
(quidditas, ke-apa-an atau esensi). Aristoteles menyebutnya morphe
(bentuk-bentuk) dan gurunya, Plato, menyebutnya eidos (ide-ide). Bagi Ibn
Arabi, apa yang kita hadapi sebagai benda-benda fisik itu tak lain dari
bayangan realitas-realitas tetap itu. Inilah pandangan irfan Wahdatul Wujud
alias kesatuan Realitas. Dalam pandangan ini Wujud atau eksistensi mendahului
mahiyyat atau esensi. Para arifin ini mencurigai penggunakan rasio atau aql,
sebagai gantinya mereka menggunakan intuisi atau pengalaman batin mengenai
realitas sebagai sumber utama pengetahuannya. Di samping dari pengalaman mistik
mereka, mereka meyimpulkan adanya jenjang realitas dan kesadaran yang bersifat
diskrit.
Jawaban Hikamatul Isyraqiyah
Seorang sufi lainnya dari
Persia, Syihabuddin Suhrawardi yang juga seorang kritikus tajam filsafat Ibn
Sina, berusaha mengekspresikan pengalaman kesatuan mistiknya dalam pandangan
yang sama sekali lain. Katanya, wujud, alias eksistensi, hanya ada dalam
pikiran manusia. Yang benar-benar ada hanyalah esensi-esensi itu yang tak lain
dari pada bentuk-bentuk cahaya dari Maha Cahaya yang tak lain dari pada Tuhan.
Cahaya itu Satu dan benda-benda yang banyak lagi berbeda-beda itu hanyalah
gradasi intensitasnya atau kebenderangannya. Dalam pandangan metafisika cahaya
Persia ini, wujud bersifat sekunder, dan sifat-sifat atau esensi bersifat
primer. Dalam bahasa filosofis, ini berarti esensi lebih fundamental atau
mendahului, secara logis, eksistensi. Inilah pandangan filsafat iluminasionisme
alias Hikmatul Isyraqi. Suhrawardi, pendiri mazhab Isyraqiyah, mengambil
kesimpulannya melalui suatu penelitian filosofis yang menggabungkan metode
intuitif mistikus dengan metode rasional filosofis sebagai pelengkapnya.
Jawaban Sintesa: Hikmatul Muta’aliyah
Pandangan Suhrawardi itu
menjadi dominan di kalangan filsuf Persia di masa kejayaan Daulah Shafawiyah di
Iran yang kemudian dikenal sebagai mazhab Isfahan. Begitulah Mula Sadra
diajarkan oleh gurunya: Mir Damad. Akan tetapi dia juga sangat mengagumi
pandangan Ibn Arabi yang menakjubkan itu. Oleh karena itu dia membalik ajaran
Isyraqiyah dengan mengambil pandangan Ibnu Arabi tentang prioritas eksistensi
atau wujud terhadap esensi atau mahiyah, namun dia menolak pandangan Ibn Arabi
tentang ketunggalan wujud. Bagi Mulla Sadra benda-benda sekitar kita di alam
bukanlah tanpa eksistensi atau ilusi, namun juga ada seperti adanya Tuhan.
Sedangkan sifat-sifat atau esensi yang tidak mempunyai eksistensi sama sekali.
Esensi adalah kebalikan dari eksistensi. Jika Tuhan adalah Ada dan benda-benda
juga ada, maka tak dapat secara logika dihindarkanlah kesimpulan bahwa segala
benda-benda adalah Tuhan atau pantheisme seperti yang dituduhkan secara salah
oleh para ulama terhadap pandangan wihdatul wujud. Solusi Mulla Sadra dalam hal
ini adalah gagasan Tasykikul Wujud atau gradasi wujud yang mengatakan bahwa
Eksistensi alias wujud mempunyai gradasi yang kontinu seperti halnya cahaya
yang diidentifikasi sebagai Esensi oleh Suhrawardi.
Jadi, menurut Mulla
Shadra, dari Ada Mutlak hingga Tiada terdapat gradasi “ada-ada nisbi” yang tak
terhingga banyaknya. Dengan perkataan lain, realitas alam semesta merentang
dari kutub Tiada ke kutub ADA mutlak. Inilah pandangan kesatuan realitas versi
Mulla Shadra yang disebutnya sebagai Hikmatul Muta’aliyyah. Pandangan ini
merupakan sintesa besar yang meliputi pandangan teologis kalam, pandangan
filosofis hikmat dan pandangan mistis irfan.
Secara tabular kita dapat
melukiskan pokok-pokok pikiran tradisional Islam sebagai berikut: Kalam,
Mu’tazilah Hikmat, Masya’iyah Hikmat, Isyraqiyah Irfan, Wujudiyah Hikmat,
Muta’aliyah, Eksistensi (wujud) riil riil mental riil riil, Esensi (Mahiyyah)
riil riil riil mental mental, Hubungan, Eksistensi, Esensi eksistensi,
mendahului, esensi eksistensi, mendahului esensi esensi, mendahului, eksistensi
eksistensi, mendahului, esensi eksistensi, mendahului esensi, Struktur, Realitas
Polaritas, mutlak/nisbi jenjang, eksistensi gradasi, esensi jenjang, esensi
gradasi, eksistensi, Metode, keilmuan Rasio, Wahyu Rasio, Intuisi, Wahyu
Intuisi, Wahyu Rasio, Intuisi, Wahyu. (Bersambung….)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar