Oleh Dr. Ali Syari’ati (Filsuf dan Sosiolog)
Saya hendak membahas
mengenai berbagai cara untuk mengetahui dan memahami Islam. Perkataan “berbagai
cara” mengandung konsep ilmiah yang seksama lagi penting, dan menunjuk kepada
metodologi pemahaman Islam. Masalah metodologi adalah sangat penting dalam sejarah,
terutama dalam sejarah ilmu. Metode kognitif yang tepat untuk mengemukakan
kebenaran adalah lebih penting dari filsafat dan ilmu ataupun dari pada
memiliki sekadar bakat.
Kita mengetahui bahwa dalam zaman media, selama seribu tahun Eropa berada dalam stagnasi dan apatis yang paling seram. Segera setelah berakhirnya periode ini, stagnasi dan apatis itu berganti dengan kebangkitan yang revolusioner dan beraneka segi di bidang-bidang ilmu, seni, sastra, serta semua yang mempunyai kaitan manusia dan sosial. Revolusi dan ledakan energi yang mendidik dalam pemikiran manusia ini telah melahirkan peradaban dan kebudayaan dunia kini. Sekarang kita harus menanyakan kepada diri kita sendiri: Kenapa Eropa mengalami stagnasi selama seribu tahun, dan apakah yang menyebabkan perubahan arah yang tiba-tiba, sehingga dalam jangka tiga abad, Eropa telah menemukan kebenaran yang setama seribu tahun penuh tidak pernah terkilas padanya? Pertanyaan ini, teramat penting mungkin merupakan pertanyaan terbesar dan terpenting yang harus dijawab oleh ilmu.
Kita mengetahui bahwa dalam zaman media, selama seribu tahun Eropa berada dalam stagnasi dan apatis yang paling seram. Segera setelah berakhirnya periode ini, stagnasi dan apatis itu berganti dengan kebangkitan yang revolusioner dan beraneka segi di bidang-bidang ilmu, seni, sastra, serta semua yang mempunyai kaitan manusia dan sosial. Revolusi dan ledakan energi yang mendidik dalam pemikiran manusia ini telah melahirkan peradaban dan kebudayaan dunia kini. Sekarang kita harus menanyakan kepada diri kita sendiri: Kenapa Eropa mengalami stagnasi selama seribu tahun, dan apakah yang menyebabkan perubahan arah yang tiba-tiba, sehingga dalam jangka tiga abad, Eropa telah menemukan kebenaran yang setama seribu tahun penuh tidak pernah terkilas padanya? Pertanyaan ini, teramat penting mungkin merupakan pertanyaan terbesar dan terpenting yang harus dijawab oleh ilmu.
Tidak diragukan lagi,
banyak faktor yang telah menyebabkan stagnasi Eropa di Zaman Madya, dan
berbagai sebab telah membangkitkan Eropa dari tidurnya, menggerakkanya maju meluncur
di semua bidang. Harus kita kemukakan di sini bahwa faktor dasar dalam stagnasi
pemikiran; peradaban dan kebudayaan yang terjadi selama seribu tahun di Eropa
Zaman Madya itu ialah metode penalaran anatogis Aristoteles. Bila cara melihat masalah dan obyek berubah,
maka ilmu, masyarakat dan dunia turut berubah, dan akibatnya hidup manusia juga
berubah. Yang kita bahas di sini iatah kebudayaan, pemikiran dan gerakan ilmiah.
Itulah sebabnya kita menganggap perubahan metodologi sebagai faktor dasar dalam
Renaissance. Bersamaan dengan itu, dan sudut pandangan sosiologis memang benar
bahwa faktor utama dalam perubahan ini ialah transformasi sistem feodal menjadi
sistem borjuis, sedangkan transformasi itu sendiri disebabkan oleh runtuhnya
tembok yang memisahkan Timur Islam dari Barat Nasrani, keruntuhan yang hidupkibatkan
oleh Perang Salib.
Karena itu metode
sangatlah penting dalam penentuan kemajuan atau kemerosotan. Yang menimbulkan
stagnasi dan apatis ataupun gerak dan kemajuan ialah metode penyelidikan, bukan
sekadar ada atau tidak adanya genius. Dalam abad-abad keempat dan kelima
sebelum Masehi, misalnya, terdapat banyak genius besar yang jauh lebih hebat
daripada para genius abad-abad keempat belas, kelima belas dan keenam belas.
Tidak perlu diragukan bahwa sebagai genius Aristoteles adalah lebih besar
daripada Francis Bacon, sedang Plato adalah genius yang lebih besar daripada
Roger Bacon. Tetapi apakah yang telah memungkinkan kedua orang Bacon itu
menjadi faktor dalam kemajuan ilmu, meskipun kadar kegeniusan mereka lebih
rendah daripada orang seperti Plato, sementara para genius yang lebih besar itu
ternyata telah mengakibatkan stagnasi seribu tahun di Eropa Zaman Madya? Dengan
perkataan lain, kenapa seorang genius mengakibatkan stagnasi di dunia,
sedangkan seorang awam bisa membawa kemajuan ilmiah dan kebangunan rakyat?
Karena yang orang awam itu telah menemukan metode penalaran yang tepat. Dengan
metode penalaran yang tepat, bahkan seorang intelek yang bermutu sedangan saja
bisa menemukan kebenaran, sedangkan sang genius besar, bila hidup tidak
mengetahui metode yang tepat untuk melihat sesuatu dan memikirkan masalah,
tidak akan dapat memanfaatkan geniusnya.
Itulah sebabnya dalam
sejarah peradaban Yunani kita lihat puluhan genius yang berkumpul di suatu
tempat yang sama pada abad-abad keempat dan ketima. Sejarah umat manusia masih
tetap berada di bawah pengaruh mereka hingga dewasa ini. Tetapi di seluruh
Athena tidak ada yang bisa menemukan roda. Padahal di Eropa modern, seorang
ahli teknik yang bahkan tidak paham akan karya-karya Aristoteles dan
murid-muridnya, telah membuat ratusan penemuan ilmiah.
Contoh terbaik mengenai
ini ialah Thomas Alfa Edison. Kadar persepsi umumnya lebih rendah daripada
murid-murid kelas tiga Aristoteles. Tetapi justru sumbangannya bagi penemuan
alam dan kelahiran industri ternyata lebih besar daripada semua genius yang
telah terlatih dalam ajaran Aristoteles selama 2.400 tahun yang lalu. Edison
telah melakukan lebih dari seribu penemuan ilmiah, besar dan kecil. Berpikir
tepat adalah seperti berjalan. Seorang yang lumpuh sebelah kakinya sehingga
tidak bisa berjalan cepat, jika memilih jalan yang benar, akan lebih cepat
sampai ke tujuannya daripada juara lari yang menempuh jalan penuh batu dan
berputar-putar. Betapa cepatnya sang juara berlari, namun ia akan lebih
belakangan sampai di tempat tujuannya, itupun jika ia berhasil sampai ke sana.
Berbeda halnya dengan si lumpuh tadi, karena ia telah memilih jalan yang benar
tentulah ia akan mencapai tujuan dan cita-citanya.
Memilih metode yang tepat
adalah yang pertama-tama harus dipertimbangkan dalam semua cabang pengetahuan
yang beraneka, ragam sastra, sosial, seni dan psikologis. Karena itu tugas
pertama seorang peneliti ialah memilih metode yang sebaik-baiknya untuk
penelitian dan penyelidikannya. Kita harus menarik manfaat sebesar-besarnya
dari serba pengalaman sejarah, dan sebagai penganut suatu agama besar kita
harus merasa wajib untuk mempelajari dan memahami Islam secara tepat dan
metodik.
Sekarang bukanlah zamannya
untuk memulai sesuatu yang tidak kita ketahui. Terutama golongan terpelajar
mempunyai tanggung jawab yang lebih berat untuk mendapatkan pengetahuan tentang
apa yang mereka anggap suci. Ini bukan semata-mata kewajiban Islamiyah, tetapi
juga merupakan kewajiban ilmiah dan manusiawi. Watak seseorang bisa diukur
menurut kadar pengetahuannya tentang apa yang dipercayainya, karena percaya
begitu saja bukanlah hal yang baik. Tidak ada gunanya mempercayai sesuatu yang
tidak sepenuhnya kita ketahui. Adalah termasuk kebaikan bila kita benar-benar
mengetahui apa yang kita percayai. Maka karena kita percaya akan Islam, kita
harus berusaha memperoleh pengetahuan yang tepat tentangnya dan memilih metode
yang tepat pula untuk itu.
Sekarang timbul
pertanyaan, apakah itu metode yang tepat? Untuk mempelajari dan memahami Islam
kita tidak boleh meniru dan mempergunakan metode-metode Eropa yakni
metoda-metoda naturalistik, psikologis ataupun sosiologis. Kita harus inovatif
dalam memilih metode. Tentu saja kita harus mempelajari metode-metode ilmiah
Eropa, tetapi kita tidak perlu mesti mengikutinya. Sekarang ini, metode-metode ilmiah
telah mengalami perubahan dalam semua cabang pengetahuan, dan telah ditemukan
pendekatan-pendekatan baru. Begitu pula dalam penyelidikan tentang agama, kita
harus menempuh jalan-jalan baru dan memilih metode baru.
Jelas kita tidak bisa
memilih satu metode tunggal untuk mempelajari Islam. Karena Islam bukanlah
agama unidimensional. Islam bukanlah agama yang semata-mata berdasarkan intuisi
mistik manusia serta terbatas pada hubungan antara manusia dan Allah. Ini baru
salah satu dimensi saja dari Islam. Untuk mempelajari dimensi ini kita harus
mempergunakan metode filosofis, karena hubungan manusia dengan Tuhan dibahas
dalam filsafat, dalam artian pemikiran metafisis yang umum dan bebas. Dimensi
lain agama ini ialah berkenaan dengan masalah hidup manusia di muka bumi. Untuk
mempelajari dimensi ini kita harus mempergunakan metode-metode yang terdapat
dalam ilmu-ilmu manusia dewasa ini. Kemudian, Islam pun merupakan agama yang
telah menciptakan masyarakat dan peradaban. Untuk mempelajari ini harus kita
pergunakan metode-metode sejarah dan sosiologi.
Jika kita meninjau Islam
dari satu sudut pandangan saja, maka yang akan terlihat hanya satu dimensi saja
dan gejalanya yang bersegi banyak. Mungkin kita berhasil melihatnya secara
tepat, namun itu tidak cukup bila kita ingin memahaminya secara keseluruhan.
Buktinya ialah al-Quran sendiri. Kitab itu memiliki banyak dimensi, sebagiannya
telah dipelajari oleh sarjana-sarjana besar sepanjang sejarah. Satu dimensi
umpamanya, mengandung aspek-aspek linguistik dan sastra al-Quran. Para sarjana
sastra telah mempelajarinya secara terperinci. Dimensi lain terdiri atas
tema-tema filosofis dan keimanan al-Quran yang menjadi bahan pemikiran bagi
para filosof serta para teolog hari ini. Dimensi al-Quran lainnya lagi, yang
belum begitu dikenal ketimbang yang lain, ialah dimensi manusiawinya, yang
mengandung persoalan historis, sosiologis dan psikologis. Dimensi ini belum
banyak dikenal, karena sosiologi, psikologi dan ilmu-ilmu manusia memang jauh
lebih muda daripada ilmu-ilmu alam. Apalagi ilmu sejarah, yang merupakan ilmu
termuda di dunia. Yang kita maksudkan dengan ilmu sejarah di sini tidaklah
identik dengan data historis ataupun buku-buku sejarah yang tergolong dalam
buku-buku tertua yang pernah ada.
Ayat-ayat historis
mengenai nasib bangsa-bangsa, hubungan antara mereka satu dengan lain, serta
sebab-sebab kemunduran dan kejatuhan mereka berkali-kali kita jumpai dalam
al-Quran. Ayat-ayat tersebut harus dipelajari oleh para sejarahwan dengan
menggunakan pendekatan historis dan ilmiah. Sedang para sarjana sosiologi harus
mempelajarinya menurut metode sosiologis. Soal-soal yang bersifat kosmologis
dan berkaitan dengan ilmu-ilmu alam serta gejala-gejala alam harus dipelajari
dan dipahami menurut metodologi ilmu-ilmu alam. Karena bidang studi dan
spesialisasi saya ialah sejarah dan sosiologi maka saya bermaksud menggunakan
kesempatan ini untuk mengemukakan semacam rencana atau pola. Saya akan
mengemukakan dua metode, yang kedua-duanya berkaitan khusus dengan sosiologi,
sejarah dan ilmu-ilmu manusiawi. Sekadar untuk memperjelas maka saya akan
membandingkan agama dengan seorang manusia.
Hanya ada dua cara untuk
mengenal seorang tokoh besar, dan keduanya harus ditempuh serentak. Cara
pertama ialah dengan menyelidiki karya-karya intelektual, ilmiah serta
tulisan-tulisannya, teori-teorinya, ceramah-ceramahnya maupun buku-bukunya.
Untuk mengenalnya kita perlu mengenal ide-ide dan apa yang diyakininya. Tetapi
ini pun belum cukup untuk memahami tokoh yang bersangkutan, karena banyak hal
dalam kehidupannya yang tidak sampai tercermin pada karya-karya,
tulisan-tulisan maupun pernyataan-pernyataannya, atau mungkin juga tercermin di
sana, namun sukar untuk ditangkap. Maka cara kedua, yang melengkapi cara
pertama, serta memungkinkan kita untuk memahami tokoh itu secara purna, ialah
dengan mempelajari biografinya serta mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
seperti: Di mana ia lahir? Bagaimana keluarganya? Apa bangsa dan negerinya?
Bagaimana masa kanak-kanaknya? Bagaimana pendidikannya? Dalam lingkungan apa ia
dibesarkan? Di mana ia belajar? Siapa guru-gurunya? Peristiwa-peristiwa apakah
yang pernah dialaminya dalam hidupnya? Apa saja kegagalan dan keberhasilannya?
Demikianlah ada dua metode
untuk mengenal seorang dan kedua-duanya harus dilakukan, pertama menyelidiki
pikiran-pikiran dan keyakinannya dan kedua, mempelajari biografinya dari awal
sampai akhir. Agama adalah seperti manusia. Ide-ide agama kita temukan sarinya
dalam bukunya, “al-kitab”-nya, yang merupakan dasar ajaran yang didakwahkannya
kepada manusia. Sedangkan biografi suatu agama ialah sejarahnya. Demikianlah
ada dua metode dasar untuk mempelajari Islam secara tepat, persis dan sesuai
dengan metodologi dewasa ini. Pertama, dengan mempelajari
al-Quran, sebagai himpunan ide serta produk ilmiah dan sastra dari “seseorang”
yang dikenal dengan nama “Islam”. Kedua, dengan mempelalari sejarah
Islam, yaitu seluruh perkembangan yang pernah (dialami Islam sejak awal risalah
Rasul hingga hari ini).
Kedua metode ini kiranya
telah cukup jelas, tetapi sayangnya, studi tentang al-Quran maupun sejarah
Islam dalam kalangan kita waktu ini masih sangat lemah. Namun, untunglah,
kebangkitan masyarakat Muslim di abad kita ini rupanya telah meningkatkan minat
kaum Muslimin untuk mempelajari ajaran-ajaran al-Quran dan menganalisa sejarah Islam.
Dalam bukunya Malam Imperialisme, Ferhat Abbas mengatakan, bahwa kebangkitan
sosial di negeri-negeri Afrika Utara: Maroko, Aljazair dan Tunisia bermula
dengan datangnya Muhammad ‘Abduh ke Afrika utara mengajarkan tafsir al-Quran
yang dalam pendidikan agama di sana tidak bisa diajarkan. Jelas bahwa penulis
buku itu, ia sendiri tidak berorientasi religius, beranggapan bahwa awal
kebangkitan dan perkembangan religius di negeri-negeri Afrika Utara terjadi
ketika kaum Muslimin di sana beserta para ulama mereka mengenyampingkan
pelajaran tentang pelbagai ilmu agama dan kembali mencurahkan perhatian mereka
kepada al-Quran dan mempelajari isinya.
Mengetahui dan memahami
al-Quran sebagai sumber ide Islam, begitupun mengetahui dan memahami sejarah
Islam berupa catatan berbagai peristiwa yang telah terjadi di berbagai masa.
Itulah dua metode dasar untuk mengenal Islam secara tepat dan ilmiah. Masih ada
lagi suatu metode lain untuk mengetahui dan memahami Islam, ialah metode
tipologi. Metode ini, yang dianggap efektif oleh banyak sosiolog ialah dengan
mengklasifikasikan topik-topik dan tema-tema menurut tipe masing-masing dan
kemudian lalu memperbandingkannya atas dasar itu. Berdasarkan pendekatan ini,
yang di Eropa digunakan dalam penelitian tentang masalah-masalah yang berkenaan
dengan humaniora, saya telah menggariskan suatu metode yang bisa diterapkan
pada setiap agama. Untuk ini kita mengindentifikasikan lima aspek atau
karakteristik yang menonjol dari setiap agama, lalu kita bandingkan dengan
aspek atau karakteristik yang bersamaan pada agama-agama lain:
[1] Tuhan
pada masing-masing agama; yaitu sesuatu yang disembah oleh para penganut agama
yang bersangkutan. [2] Nabi
masing-masing agama; ialah orang yang menyatakan risalah agama. [3] Kitab masing-masing agama; yakni
dasar hukum yang dinyatakan oleh agama yang bersangkutan. Manusia diajak untuk
mengimani dan menaatinya.
[4] Keadaan
sekitar awal kehadiran nabi masing-masing agama serta kepada siapa risalahnya
dialamatkan. Karena masing-masing nabi menyampaikan risalahnya dengan cara yang
berbeda. Ada yang menyampaikan risalahnya untuk manusia umumnya (an-nâs), ada
yang untuk para ningrat dan ada pula yang risalahnya teruntuk kaum terpelajar,
para filosof dan golongan elite. Demikianlah ada nabi yang berusaha mendekati
para penguasa, dan ada pula yang menempatkan dirinya sebagai lawan para
penguasa.
[5]
Manusia-manusia pilihan yang dihasilkan oleh masing-masing agama, tokoh-tokoh
representatif didikan agama yang bersangkutan dan kemudian ditampilkan kepada
masyarakat dan sejarah. Sebagaimana halnya bahwa metode terbaik untuk menilai
suatu pabrik ialah dengan meneliti barang-barang yang diproduksinya, dan untuk
menilai kesuburan sebidang tanah ialah dengan memeriksa hasil panennya, begitu
pulalah agama bisa dianggap sebagai pabrik yang memproduksi manusia, dan mereka
yang mendapat bimbingannya adalah merupakan hasil produksinya.
Menurut metode ini, untuk lebih mengenal dan memahami Islam pertama-tama harus mengenal Allah. Ada berbagai cara untuk mengenal Allah, misalnya dengan memperhatikan dan merenungkan kejadian alam, dengan metode filsafat, iluminasi dan ma’rifat. Tetapi metode yang hendak saya kemukakan ialah metode tipologi. Kita pelajari tipe, konsep, ciri-ciri dan sifat-sifat Tuhan menurut Islam. Umpamanya, kita tanyakan apakah Dia pemberang atau penuh kasih-sayang. Apakah Dia Mahatinggi di atas segala-galanya? Apakah Dia bercampur dengan manusia? Apakah aspek kasih-Nya mengungguli aspek murka-Nya, ataukah sebaliknya? Ringkasnya, Tuhan “tipe” apakah Dia?
Untuk bisa mengenal sifat-sifat Allah secara tepat, maka kita harus mempelajari al-Quran dan kata-kata Rasul maupun para sahabatnya yang pilihan. Sifat-sifat Allah telah dikemukakan secara jelas dalam al-Quran, sedangkan Rasul dan para sahabat seringkali menyinggungnya dalam ucapan-ucapan mereka. Kemudian kita bandingkan Allah dengan figur Tuhan yang dilukiskan agama-agama lain, Ahura-mazda, Yehovah, Zeus, Baal, dan seterusnya. Tahap kedua untuk mengenal dan memahami Islam ialah dengan mengenal dan mempelajari kitabnya, al-Quran. Kita pun harus mengerti buku macam apa al-Quran itu, masalah apa saja yang dibahasnya, dan bidang-bidang apa saja yang ditekankannya. Apakah al-Quran lebih banyak membicarakan kehidupan dunia ini ataukah akhirat nanti? Apakah ia lebih banyak membahas tentang masalah-masalah moralitas perseorangan, ataukah masalah-masalah sosial? Apakah ia lebih memperhatikan hal-hal yang material ataukah yang abstrak? Apakah ia lebih menaruh perhatian pada alam daripada manusia? Ringkasnya, hal-hal apa sajakah yang dibahasnya dan dengan cara bagaimana?
Menurut metode ini, untuk lebih mengenal dan memahami Islam pertama-tama harus mengenal Allah. Ada berbagai cara untuk mengenal Allah, misalnya dengan memperhatikan dan merenungkan kejadian alam, dengan metode filsafat, iluminasi dan ma’rifat. Tetapi metode yang hendak saya kemukakan ialah metode tipologi. Kita pelajari tipe, konsep, ciri-ciri dan sifat-sifat Tuhan menurut Islam. Umpamanya, kita tanyakan apakah Dia pemberang atau penuh kasih-sayang. Apakah Dia Mahatinggi di atas segala-galanya? Apakah Dia bercampur dengan manusia? Apakah aspek kasih-Nya mengungguli aspek murka-Nya, ataukah sebaliknya? Ringkasnya, Tuhan “tipe” apakah Dia?
Untuk bisa mengenal sifat-sifat Allah secara tepat, maka kita harus mempelajari al-Quran dan kata-kata Rasul maupun para sahabatnya yang pilihan. Sifat-sifat Allah telah dikemukakan secara jelas dalam al-Quran, sedangkan Rasul dan para sahabat seringkali menyinggungnya dalam ucapan-ucapan mereka. Kemudian kita bandingkan Allah dengan figur Tuhan yang dilukiskan agama-agama lain, Ahura-mazda, Yehovah, Zeus, Baal, dan seterusnya. Tahap kedua untuk mengenal dan memahami Islam ialah dengan mengenal dan mempelajari kitabnya, al-Quran. Kita pun harus mengerti buku macam apa al-Quran itu, masalah apa saja yang dibahasnya, dan bidang-bidang apa saja yang ditekankannya. Apakah al-Quran lebih banyak membicarakan kehidupan dunia ini ataukah akhirat nanti? Apakah ia lebih banyak membahas tentang masalah-masalah moralitas perseorangan, ataukah masalah-masalah sosial? Apakah ia lebih memperhatikan hal-hal yang material ataukah yang abstrak? Apakah ia lebih menaruh perhatian pada alam daripada manusia? Ringkasnya, hal-hal apa sajakah yang dibahasnya dan dengan cara bagaimana?
Mengenai bukti adanya
Tuhan, misalnya, apakah Islam menganjurkan manusia untuk menyucikan jiwanya
agar dapat mengenal Allah? Atau apakah ia menyuruh kita untuk mengenal Allah
dengan mempelajari ciptaan-Nya, yang berupa dunia lahiriah dan dunia batiniah?
Ataukah kita harus menempuh kedua-duanya?
Setelah menjawab
pertanyaan-pertanyaan ini maka selanjutnya kita bandingkan al-Quran dengan
tulisan-tulisan religius lain, seperti Injil, Taurat, Veda, Avesta, dan
seterusnya. Tahap ketiga untuk memahami Islam ialah dengan mempelajari
kepribadian Muhammad bin ‘Abdullah. Mengenal dan memahami Rasul Islam penting
sekali bagi sejarawan, karena tidak pernah dalam sejarah ada seorang yang
berperan seperti beliau. Peranan Rasul dalam peristiwa-peristiwa yang dihayati
beliau sungguh sangat besar dan positif. Yang kita maksudkan dengan kepribadian
Rasul ialah sifat-sifat manusiawi beliau maupun hubungan beliau dengan Allah,
serta kekuatan batin khusus yang diperoleh beliau dari hubungan tersebut.
Dengan perkataan lain, kita pelajari baik aspek manusiawi maupun kerasulan
beliau.
Mengenai dimensi manusiawi
Rasul, misalnya, kita harus mempelajari cara beliau berbicara, bekerja,
berpikir, tersenyum, duduk dan tidur. Kita harus mempelajari bagaimana beliau
berhubungan dengan orang-orang asing, dengan lawan, dengan teman dan keluarga.
Kita harus meneliti kegagalan dan kejayaan beliau maupun cara beliau menghadapi
permasalahan permasalahan sosial yang besar. Demikianlah, salah satu cara untuk
mempelajari hakikat, semangat serta kenyataan Islam yang asli ialah dengan
mempelajari Rasul Islam dan membandingkan beliau dengan para nabi dan para
pendiri agama-agama, seperti Musa, ‘Isa , Zarathustra dan Buddha.
Tahap keempat ialah mempelajari
keadaan sekitar awal kehadiran Rasul Islam. Apakah beliau, misalnya, tampil
tanpa persiapan? Adakah orang yang mengharap-harap kedatangan beliau? Apakah
beliau telah lebih dahulu mengetahui risalah beliau? Tahukah beliau apa yang
menjadi risalah beliau? Atau apakah risalah itu tiba-tiba saja mendadak turun
pada jiwa beliau, suatu arus pikiran ajaib mulai mengalir dalam diri beliau,
merubah sama-sekali gaya bicara serta pribadi beliau, sehingga pada mulanya
terasa berat bagi beliau? Bagaimanakah beliau menghadapi manusia ketika beliau
pertama kali menyampaikan risalah beliau? Kelas manakah yang mendapat perhatian
terutama beliau, dan kelas manakah yang ditentang beliau? Semua ini membantu
kita untuk lebih mengenal Rasul Islam dan memahami keadaan yang dihayati beliau
ketika beliau baru menerima risalah.
Jika kita bandingkan
keadaan yang dihayati Rasul Islam ketika beliau mulai tampil dengan yang
dialami nabi-nabi benar lain atau palsu, seperti ‘Isa , Ibrahim, Musa,
Zarathustra, Kong Fu-Tse, Buddha, dan lain-lain, maka kita akan sampai pada
kesimpulan yang menarik sebagai berikut: semua nabi, terkecuali yang keturunan
Ibrahim, langsung mendekat kepada penguasa sekular yang ada dan mencoba
bergabung dengannya, dengan harapan bahwa berkat restu sang penguasa mereka
akan lebih berhasil menyiarkan agama mereka. Sebaliknya, semua nabi keturunan
Ibrahim, sejak Ibrahim hingga kepada Rasul Islam, menyatakan risalah mereka
dalam bentuk perlawanan terhadap kekuasaan sekular ketika itu.
Sejak awal risalahnya,
Ibrahim mulai menghancurkan berhala-berhala dengan kampaknya. Dihantamkannya
kampaknya pada berhala utama kaumnya untuk menyatakan oposisinya terhadap
segenap berhala dalam zamannya. Tanda pertama risalah Musa ialah waktu hidup
masuk ke dalam istana Fir’aun atas nama monoteisme. Begitu pula Isa berjuang
menghadapi kekuasaan pendeta Yahudi yang bersekutu dengan imperialisme Romawi.
Sedang Rasul Islam, sejak semula berjuang melawan aristrokrasi, terhadap para
pemilik budak serta para pedagang Quraisy dan para tuan kebun di Tha’if.
Perbandingan antara kedua kelompok nabi itu, yang keturunan Ibrahim dan yang
bukan keturunan Ibrahim, akan membantu kita untuk memahami hakikat, semangat
maupun orientasi berbagai agama yang sedang dipersoalkan.
Tahap kelima untuk mengenal dan
memahami Islam ialah dengan mempelajari contoh-contoh hasil terbaik yang telah
disalurkan oleh pabrik yang memproduksi manusia itu untuk kemanusiaan,
masyarakat dan sejarah. Dengan mempelajari contoh yang menonjol dari
masing-masing agama, misalnya, Harun untuk agama Musa, Santo Paulus untuk agama
‘Isa , dan ‘Ali, Husain atau Abu Dzarr untuk agama Islam, kiranya kita akan
lebih mudah memahami agama-agama tersebut. Dari sudut pandangan Islam,
pemahaman yang benar dan jelas tentang tokoh-tokoh tersebut adalah bagaikan
mengenal sebuah pabrik lewat barang-barang yang diproduksinya, karena agama
memang merupakan pabrik yang berfungsi untuk memproduksi manusia.
Marilah sekarang kita bicarakan tokoh Husain, sebagai contoh dari seorang yang dididik dan dibesarkan dalam agama Islam, supaya kita bisa mengetahui bagaimana macamnya orang yang beriman kepada Allah, al-Quran dan Rasul. Riwayat hidup Husain sudah cukup dikenal, juga prinsip-prinsip yang diperjuangkannya. Begitu pun kepekaannya akan masalah-masalah sosial dan nasib rakyat, bakti dan pengorbanannya. Sudah sangat terkenal kesiapannya untuk mengorbankan semua kepentingan duniawinya, demi kebenaran dan keyakinannya. Ringkasnya Husain adalah contoh paling tepat untuk maksud penelitian kita.
Marilah sekarang kita bicarakan tokoh Husain, sebagai contoh dari seorang yang dididik dan dibesarkan dalam agama Islam, supaya kita bisa mengetahui bagaimana macamnya orang yang beriman kepada Allah, al-Quran dan Rasul. Riwayat hidup Husain sudah cukup dikenal, juga prinsip-prinsip yang diperjuangkannya. Begitu pun kepekaannya akan masalah-masalah sosial dan nasib rakyat, bakti dan pengorbanannya. Sudah sangat terkenal kesiapannya untuk mengorbankan semua kepentingan duniawinya, demi kebenaran dan keyakinannya. Ringkasnya Husain adalah contoh paling tepat untuk maksud penelitian kita.
Untuk lebih mengenal dan
memahami kehidupan pendapat-pendapat serta karakteristik Husain, kita
bandingkan pula hidup dengan dua orang muslim lain, Abu ‘Ali Sina serta Husain
bin Mansur al-Hallaj, Abu ‘Ali Sina dididik dan dibesarkan dalam filsafat
sedang Husain bin Mansur al-Hallaj dalam Sufi Persia. Dengan membandingkan
ketiga tokoh ini kita akan lebih memahami perbedaan maupun persamaan yang
terdapat, dalam aliran filsafat, Sufi dan Islam.
Ibn Sina ialah seorang filosof besar, sarjana dan gnotis, kebanggaan sejarah ilmu dan filsafat dalam peradaban Islam. Tetapi, dari segi sosial, tokoh besar yang begitu menonjol sebagai filosof dan sarjana, ternyata telah merasa puas dengan mengabdikan dirinya kepada penguasa. Tidak pernah dia tunjukkan perhatiannya akan nasib manusia maupun rakyatnya. Dia tidak melihat kaitan antara nasibnya degan nasib orang lain. Yang diperhatikannya hanyalah serba ilmiah. Di luar itu dia tidak mengambil peduli; dia bisa menerima siapa saja yang menyediakan uang dan posisi baginya.
Ibn Sina ialah seorang filosof besar, sarjana dan gnotis, kebanggaan sejarah ilmu dan filsafat dalam peradaban Islam. Tetapi, dari segi sosial, tokoh besar yang begitu menonjol sebagai filosof dan sarjana, ternyata telah merasa puas dengan mengabdikan dirinya kepada penguasa. Tidak pernah dia tunjukkan perhatiannya akan nasib manusia maupun rakyatnya. Dia tidak melihat kaitan antara nasibnya degan nasib orang lain. Yang diperhatikannya hanyalah serba ilmiah. Di luar itu dia tidak mengambil peduli; dia bisa menerima siapa saja yang menyediakan uang dan posisi baginya.
Sedangkan al-Hallaj ialah
api yang berkobar. Seorang yang sedang terbakar tidak mempunyai tanggungjawab,
fungsinya hanyalah membakar dan berteriak. Kenapa al-Hallaj terbakar? Karena
cintanya yang teramat sangat kepada Allah. Sambil kedua tangannya memegang
kepalanya hidup berlari sepanjang jalan raya di Baghdad dan berteriak:
“Belahlah kepala ini, karena ia telah melawanku! Tolonglah aku dari api yang
membakar batinku! Aku tidak ada, Aku adalah Allah!” Yang dimaksudnya adalah
“Aku tidak ada lagi! Yang ada hanyalah Allah!”
Hallaj senantiasa terbakar
oleh kerinduannya mendambakan Allah. Itulah sumber puncak nikmat sejati
baginya. Tetapi coba bayangkan; bagaimana jadinya jika masyarakat Iran yang
terdiri atas dua puluh lima juta jiwa itu semuanya menjadi Hallaj. Iran akan
menjadi sebuah rumah gila yang besar, dengan setiap orang berlarian di
jalan-jalan dan berteriak, “Ayo bunuhlah aku! Aku tak tahan lagi! Aku tak punya
apa-apa! Tak ada apa-apa dibalik pakaianku, hanya Allah!” Cinta yang bernyala
dan rindu-luluh demikian adalah semacam kegilaan batin atau mistik, dan
andaikata semua anggota masyarakat jadi seperti al-Hallaj atau seperti Ibn Sina
binasalah jadinya.
Tetapi sekarang
bayangkanlah suatu masyarakat yang hanya terdiri atas seorang Husain bin ‘Ali,
bersama beberapa orang Abu Dzarr. Maka masyarakat itu benar-benar hidup,
belajar, kuat dan mantap; masyarakat itu akan mampu mengalahkan lawan-lawannya
dan akan mampu mencintai Allah.
Sumber: Ali
Syari’ati, Paradigma Kaum Tertindas (Sebuah Kajian Sosiologi Islam), Penerjemah
Saifullah Mahyudin dan Husen Hashem, Penerbit Al-Huda, Muharram 1422/April
2001.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar