Kamis, 02 April 2015

Pentingnya Metode yang Tepat Untuk Memahami Islam




Oleh Dr. Ali Syari’ati (Filsuf dan Sosiolog)

Saya hendak membahas mengenai berbagai cara untuk mengetahui dan memahami Islam. Perkataan “berbagai cara” mengandung konsep ilmiah yang seksama lagi penting, dan menunjuk kepada metodologi pemahaman Islam. Masalah metodologi adalah sangat penting dalam sejarah, terutama dalam sejarah ilmu. Metode kognitif yang tepat untuk mengemukakan kebenaran adalah lebih penting dari filsafat dan ilmu ataupun dari pada memiliki sekadar bakat.

Kita mengetahui bahwa dalam zaman media, selama seribu tahun Eropa berada dalam stagnasi dan apatis yang paling seram. Segera setelah berakhirnya periode ini, stagnasi dan apatis itu berganti dengan kebangkitan yang revolusioner dan beraneka segi di bidang-bidang ilmu, seni, sastra, serta semua yang mempunyai kaitan manusia dan sosial. Revolusi dan ledakan energi yang mendidik dalam pemikiran manusia ini telah melahirkan peradaban dan kebudayaan dunia kini. Sekarang kita harus menanyakan kepada diri kita sendiri: Kenapa Eropa mengalami stagnasi selama seribu tahun, dan apakah yang menyebabkan perubahan arah yang tiba-tiba, sehingga dalam jangka tiga abad, Eropa telah menemukan kebenaran yang setama seribu tahun penuh tidak pernah terkilas padanya? Pertanyaan ini, teramat penting mungkin merupakan pertanyaan terbesar dan terpenting yang harus dijawab oleh ilmu.

Tidak diragukan lagi, banyak faktor yang telah menyebabkan stagnasi Eropa di Zaman Madya, dan berbagai sebab telah membangkitkan Eropa dari tidurnya, menggerakkanya maju meluncur di semua bidang. Harus kita kemukakan di sini bahwa faktor dasar dalam stagnasi pemikiran; peradaban dan kebudayaan yang terjadi selama seribu tahun di Eropa Zaman Madya itu ialah metode penalaran anatogis Aristoteles. Bila cara melihat masalah dan obyek berubah, maka ilmu, masyarakat dan dunia turut berubah, dan akibatnya hidup manusia juga berubah. Yang kita bahas di sini iatah kebudayaan, pemikiran dan gerakan ilmiah. Itulah sebabnya kita menganggap perubahan metodologi sebagai faktor dasar dalam Renaissance. Bersamaan dengan itu, dan sudut pandangan sosiologis memang benar bahwa faktor utama dalam perubahan ini ialah transformasi sistem feodal menjadi sistem borjuis, sedangkan transformasi itu sendiri disebabkan oleh runtuhnya tembok yang memisahkan Timur Islam dari Barat Nasrani, keruntuhan yang hidupkibatkan oleh Perang Salib.

Karena itu metode sangatlah penting dalam penentuan kemajuan atau kemerosotan. Yang menimbulkan stagnasi dan apatis ataupun gerak dan kemajuan ialah metode penyelidikan, bukan sekadar ada atau tidak adanya genius. Dalam abad-abad keempat dan kelima sebelum Masehi, misalnya, terdapat banyak genius besar yang jauh lebih hebat daripada para genius abad-abad keempat belas, kelima belas dan keenam belas. Tidak perlu diragukan bahwa sebagai genius Aristoteles adalah lebih besar daripada Francis Bacon, sedang Plato adalah genius yang lebih besar daripada Roger Bacon. Tetapi apakah yang telah memungkinkan kedua orang Bacon itu menjadi faktor dalam kemajuan ilmu, meskipun kadar kegeniusan mereka lebih rendah daripada orang seperti Plato, sementara para genius yang lebih besar itu ternyata telah mengakibatkan stagnasi seribu tahun di Eropa Zaman Madya? Dengan perkataan lain, kenapa seorang genius mengakibatkan stagnasi di dunia, sedangkan seorang awam bisa membawa kemajuan ilmiah dan kebangunan rakyat? Karena yang orang awam itu telah menemukan metode penalaran yang tepat. Dengan metode penalaran yang tepat, bahkan seorang intelek yang bermutu sedangan saja bisa menemukan kebenaran, sedangkan sang genius besar, bila hidup tidak mengetahui metode yang tepat untuk melihat sesuatu dan memikirkan masalah, tidak akan dapat memanfaatkan geniusnya.

Itulah sebabnya dalam sejarah peradaban Yunani kita lihat puluhan genius yang berkumpul di suatu tempat yang sama pada abad-abad keempat dan ketima. Sejarah umat manusia masih tetap berada di bawah pengaruh mereka hingga dewasa ini. Tetapi di seluruh Athena tidak ada yang bisa menemukan roda. Padahal di Eropa modern, seorang ahli teknik yang bahkan tidak paham akan karya-karya Aristoteles dan murid-muridnya, telah membuat ratusan penemuan ilmiah.

Contoh terbaik mengenai ini ialah Thomas Alfa Edison. Kadar persepsi umumnya lebih rendah daripada murid-murid kelas tiga Aristoteles. Tetapi justru sumbangannya bagi penemuan alam dan kelahiran industri ternyata lebih besar daripada semua genius yang telah terlatih dalam ajaran Aristoteles selama 2.400 tahun yang lalu. Edison telah melakukan lebih dari seribu penemuan ilmiah, besar dan kecil. Berpikir tepat adalah seperti berjalan. Seorang yang lumpuh sebelah kakinya sehingga tidak bisa berjalan cepat, jika memilih jalan yang benar, akan lebih cepat sampai ke tujuannya daripada juara lari yang menempuh jalan penuh batu dan berputar-putar. Betapa cepatnya sang juara berlari, namun ia akan lebih belakangan sampai di tempat tujuannya, itupun jika ia berhasil sampai ke sana. Berbeda halnya dengan si lumpuh tadi, karena ia telah memilih jalan yang benar tentulah ia akan mencapai tujuan dan cita-citanya.

Memilih metode yang tepat adalah yang pertama-tama harus dipertimbangkan dalam semua cabang pengetahuan yang beraneka, ragam sastra, sosial, seni dan psikologis. Karena itu tugas pertama seorang peneliti ialah memilih metode yang sebaik-baiknya untuk penelitian dan penyelidikannya. Kita harus menarik manfaat sebesar-besarnya dari serba pengalaman sejarah, dan sebagai penganut suatu agama besar kita harus merasa wajib untuk mempelajari dan memahami Islam secara tepat dan metodik.

Sekarang bukanlah zamannya untuk memulai sesuatu yang tidak kita ketahui. Terutama golongan terpelajar mempunyai tanggung jawab yang lebih berat untuk mendapatkan pengetahuan tentang apa yang mereka anggap suci. Ini bukan semata-mata kewajiban Islamiyah, tetapi juga merupakan kewajiban ilmiah dan manusiawi. Watak seseorang bisa diukur menurut kadar pengetahuannya tentang apa yang dipercayainya, karena percaya begitu saja bukanlah hal yang baik. Tidak ada gunanya mempercayai sesuatu yang tidak sepenuhnya kita ketahui. Adalah termasuk kebaikan bila kita benar-benar mengetahui apa yang kita percayai. Maka karena kita percaya akan Islam, kita harus berusaha memperoleh pengetahuan yang tepat tentangnya dan memilih metode yang tepat pula untuk itu.

Sekarang timbul pertanyaan, apakah itu metode yang tepat? Untuk mempelajari dan memahami Islam kita tidak boleh meniru dan mempergunakan metode-metode Eropa yakni metoda-metoda naturalistik, psikologis ataupun sosiologis. Kita harus inovatif dalam memilih metode. Tentu saja kita harus mempelajari metode-metode ilmiah Eropa, tetapi kita tidak perlu mesti mengikutinya. Sekarang ini, metode-metode ilmiah telah mengalami perubahan dalam semua cabang pengetahuan, dan telah ditemukan pendekatan-pendekatan baru. Begitu pula dalam penyelidikan tentang agama, kita harus menempuh jalan-jalan baru dan memilih metode baru.

Jelas kita tidak bisa memilih satu metode tunggal untuk mempelajari Islam. Karena Islam bukanlah agama unidimensional. Islam bukanlah agama yang semata-mata berdasarkan intuisi mistik manusia serta terbatas pada hubungan antara manusia dan Allah. Ini baru salah satu dimensi saja dari Islam. Untuk mempelajari dimensi ini kita harus mempergunakan metode filosofis, karena hubungan manusia dengan Tuhan dibahas dalam filsafat, dalam artian pemikiran metafisis yang umum dan bebas. Dimensi lain agama ini ialah berkenaan dengan masalah hidup manusia di muka bumi. Untuk mempelajari dimensi ini kita harus mempergunakan metode-metode yang terdapat dalam ilmu-ilmu manusia dewasa ini. Kemudian, Islam pun merupakan agama yang telah menciptakan masyarakat dan peradaban. Untuk mempelajari ini harus kita pergunakan metode-metode sejarah dan sosiologi.

Jika kita meninjau Islam dari satu sudut pandangan saja, maka yang akan terlihat hanya satu dimensi saja dan gejalanya yang bersegi banyak. Mungkin kita berhasil melihatnya secara tepat, namun itu tidak cukup bila kita ingin memahaminya secara keseluruhan. Buktinya ialah al-Quran sendiri. Kitab itu memiliki banyak dimensi, sebagiannya telah dipelajari oleh sarjana-sarjana besar sepanjang sejarah. Satu dimensi umpamanya, mengandung aspek-aspek linguistik dan sastra al-Quran. Para sarjana sastra telah mempelajarinya secara terperinci. Dimensi lain terdiri atas tema-tema filosofis dan keimanan al-Quran yang menjadi bahan pemikiran bagi para filosof serta para teolog hari ini. Dimensi al-Quran lainnya lagi, yang belum begitu dikenal ketimbang yang lain, ialah dimensi manusiawinya, yang mengandung persoalan historis, sosiologis dan psikologis. Dimensi ini belum banyak dikenal, karena sosiologi, psikologi dan ilmu-ilmu manusia memang jauh lebih muda daripada ilmu-ilmu alam. Apalagi ilmu sejarah, yang merupakan ilmu termuda di dunia. Yang kita maksudkan dengan ilmu sejarah di sini tidaklah identik dengan data historis ataupun buku-buku sejarah yang tergolong dalam buku-buku tertua yang pernah ada.

Ayat-ayat historis mengenai nasib bangsa-bangsa, hubungan antara mereka satu dengan lain, serta sebab-sebab kemunduran dan kejatuhan mereka berkali-kali kita jumpai dalam al-Quran. Ayat-ayat tersebut harus dipelajari oleh para sejarahwan dengan menggunakan pendekatan historis dan ilmiah. Sedang para sarjana sosiologi harus mempelajarinya menurut metode sosiologis. Soal-soal yang bersifat kosmologis dan berkaitan dengan ilmu-ilmu alam serta gejala-gejala alam harus dipelajari dan dipahami menurut metodologi ilmu-ilmu alam. Karena bidang studi dan spesialisasi saya ialah sejarah dan sosiologi maka saya bermaksud menggunakan kesempatan ini untuk mengemukakan semacam rencana atau pola. Saya akan mengemukakan dua metode, yang kedua-duanya berkaitan khusus dengan sosiologi, sejarah dan ilmu-ilmu manusiawi. Sekadar untuk memperjelas maka saya akan membandingkan agama dengan seorang manusia.

Hanya ada dua cara untuk mengenal seorang tokoh besar, dan keduanya harus ditempuh serentak. Cara pertama ialah dengan menyelidiki karya-karya intelektual, ilmiah serta tulisan-tulisannya, teori-teorinya, ceramah-ceramahnya maupun buku-bukunya. Untuk mengenalnya kita perlu mengenal ide-ide dan apa yang diyakininya. Tetapi ini pun belum cukup untuk memahami tokoh yang bersangkutan, karena banyak hal dalam kehidupannya yang tidak sampai tercermin pada karya-karya, tulisan-tulisan maupun pernyataan-pernyataannya, atau mungkin juga tercermin di sana, namun sukar untuk ditangkap. Maka cara kedua, yang melengkapi cara pertama, serta memungkinkan kita untuk memahami tokoh itu secara purna, ialah dengan mempelajari biografinya serta mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti: Di mana ia lahir? Bagaimana keluarganya? Apa bangsa dan negerinya? Bagaimana masa kanak-kanaknya? Bagaimana pendidikannya? Dalam lingkungan apa ia dibesarkan? Di mana ia belajar? Siapa guru-gurunya? Peristiwa-peristiwa apakah yang pernah dialaminya dalam hidupnya? Apa saja kegagalan dan keberhasilannya?

Demikianlah ada dua metode untuk mengenal seorang dan kedua-duanya harus dilakukan, pertama menyelidiki pikiran-pikiran dan keyakinannya dan kedua, mempelajari biografinya dari awal sampai akhir. Agama adalah seperti manusia. Ide-ide agama kita temukan sarinya dalam bukunya, “al-kitab”-nya, yang merupakan dasar ajaran yang didakwahkannya kepada manusia. Sedangkan biografi suatu agama ialah sejarahnya. Demikianlah ada dua metode dasar untuk mempelajari Islam secara tepat, persis dan sesuai dengan metodologi dewasa ini. Pertama, dengan mempelajari al-Quran, sebagai himpunan ide serta produk ilmiah dan sastra dari “seseorang” yang dikenal dengan nama “Islam”. Kedua, dengan mempelalari sejarah Islam, yaitu seluruh perkembangan yang pernah (dialami Islam sejak awal risalah Rasul hingga hari ini).

Kedua metode ini kiranya telah cukup jelas, tetapi sayangnya, studi tentang al-Quran maupun sejarah Islam dalam kalangan kita waktu ini masih sangat lemah. Namun, untunglah, kebangkitan masyarakat Muslim di abad kita ini rupanya telah meningkatkan minat kaum Muslimin untuk mempelajari ajaran-ajaran al-Quran dan menganalisa sejarah Islam. Dalam bukunya Malam Imperialisme, Ferhat Abbas mengatakan, bahwa kebangkitan sosial di negeri-negeri Afrika Utara: Maroko, Aljazair dan Tunisia bermula dengan datangnya Muhammad ‘Abduh ke Afrika utara mengajarkan tafsir al-Quran yang dalam pendidikan agama di sana tidak bisa diajarkan. Jelas bahwa penulis buku itu, ia sendiri tidak berorientasi religius, beranggapan bahwa awal kebangkitan dan perkembangan religius di negeri-negeri Afrika Utara terjadi ketika kaum Muslimin di sana beserta para ulama mereka mengenyampingkan pelajaran tentang pelbagai ilmu agama dan kembali mencurahkan perhatian mereka kepada al-Quran dan mempelajari isinya.

Mengetahui dan memahami al-Quran sebagai sumber ide Islam, begitupun mengetahui dan memahami sejarah Islam berupa catatan berbagai peristiwa yang telah terjadi di berbagai masa. Itulah dua metode dasar untuk mengenal Islam secara tepat dan ilmiah. Masih ada lagi suatu metode lain untuk mengetahui dan memahami Islam, ialah metode tipologi. Metode ini, yang dianggap efektif oleh banyak sosiolog ialah dengan mengklasifikasikan topik-topik dan tema-tema menurut tipe masing-masing dan kemudian lalu memperbandingkannya atas dasar itu. Berdasarkan pendekatan ini, yang di Eropa digunakan dalam penelitian tentang masalah-masalah yang berkenaan dengan humaniora, saya telah menggariskan suatu metode yang bisa diterapkan pada setiap agama. Untuk ini kita mengindentifikasikan lima aspek atau karakteristik yang menonjol dari setiap agama, lalu kita bandingkan dengan aspek atau karakteristik yang bersamaan pada agama-agama lain:

[1] Tuhan pada masing-masing agama; yaitu sesuatu yang disembah oleh para penganut agama yang bersangkutan. [2] Nabi masing-masing agama; ialah orang yang menyatakan risalah agama. [3] Kitab masing-masing agama; yakni dasar hukum yang dinyatakan oleh agama yang bersangkutan. Manusia diajak untuk mengimani dan menaatinya.

[4] Keadaan sekitar awal kehadiran nabi masing-masing agama serta kepada siapa risalahnya dialamatkan. Karena masing-masing nabi menyampaikan risalahnya dengan cara yang berbeda. Ada yang menyampaikan risalahnya untuk manusia umumnya (an-nâs), ada yang untuk para ningrat dan ada pula yang risalahnya teruntuk kaum terpelajar, para filosof dan golongan elite. Demikianlah ada nabi yang berusaha mendekati para penguasa, dan ada pula yang menempatkan dirinya sebagai lawan para penguasa.

[5] Manusia-manusia pilihan yang dihasilkan oleh masing-masing agama, tokoh-tokoh representatif didikan agama yang bersangkutan dan kemudian ditampilkan kepada masyarakat dan sejarah. Sebagaimana halnya bahwa metode terbaik untuk menilai suatu pabrik ialah dengan meneliti barang-barang yang diproduksinya, dan untuk menilai kesuburan sebidang tanah ialah dengan memeriksa hasil panennya, begitu pulalah agama bisa dianggap sebagai pabrik yang memproduksi manusia, dan mereka yang mendapat bimbingannya adalah merupakan hasil produksinya.

Menurut metode ini, untuk lebih mengenal dan memahami Islam pertama-tama harus mengenal Allah. Ada berbagai cara untuk mengenal Allah, misalnya dengan memperhatikan dan merenungkan kejadian alam, dengan metode filsafat, iluminasi dan ma’rifat. Tetapi metode yang hendak saya kemukakan ialah metode tipologi. Kita pelajari tipe, konsep, ciri-ciri dan sifat-sifat Tuhan menurut Islam. Umpamanya, kita tanyakan apakah Dia pemberang atau penuh kasih-sayang. Apakah Dia Mahatinggi di atas segala-galanya? Apakah Dia bercampur dengan manusia? Apakah aspek kasih-Nya mengungguli aspek murka-Nya, ataukah sebaliknya? Ringkasnya, Tuhan “tipe” apakah Dia?

Untuk bisa mengenal sifat-sifat Allah secara tepat, maka kita harus mempelajari al-Quran dan kata-kata Rasul maupun para sahabatnya yang pilihan. Sifat-sifat Allah telah dikemukakan secara jelas dalam al-Quran, sedangkan Rasul dan para sahabat seringkali menyinggungnya dalam ucapan-ucapan mereka. Kemudian kita bandingkan Allah dengan figur Tuhan yang dilukiskan agama-agama lain, Ahura-mazda, Yehovah, Zeus, Baal, dan seterusnya. Tahap kedua untuk mengenal dan memahami Islam ialah dengan mengenal dan mempelajari kitabnya, al-Quran. Kita pun harus mengerti buku macam apa al-Quran itu, masalah apa saja yang dibahasnya, dan bidang-bidang apa saja yang ditekankannya. Apakah al-Quran lebih banyak membicarakan kehidupan dunia ini ataukah akhirat nanti? Apakah ia lebih banyak membahas tentang masalah-masalah moralitas perseorangan, ataukah masalah-masalah sosial? Apakah ia lebih memperhatikan hal-hal yang material ataukah yang abstrak? Apakah ia lebih menaruh perhatian pada alam daripada manusia? Ringkasnya, hal-hal apa sajakah yang dibahasnya dan dengan cara bagaimana?

Mengenai bukti adanya Tuhan, misalnya, apakah Islam menganjurkan manusia untuk menyucikan jiwanya agar dapat mengenal Allah? Atau apakah ia menyuruh kita untuk mengenal Allah dengan mempelajari ciptaan-Nya, yang berupa dunia lahiriah dan dunia batiniah? Ataukah kita harus menempuh kedua-duanya?

Setelah menjawab pertanyaan-pertanyaan ini maka selanjutnya kita bandingkan al-Quran dengan tulisan-tulisan religius lain, seperti Injil, Taurat, Veda, Avesta, dan seterusnya. Tahap ketiga untuk memahami Islam ialah dengan mempelajari kepribadian Muhammad bin ‘Abdullah. Mengenal dan memahami Rasul Islam penting sekali bagi sejarawan, karena tidak pernah dalam sejarah ada seorang yang berperan seperti beliau. Peranan Rasul dalam peristiwa-peristiwa yang dihayati beliau sungguh sangat besar dan positif. Yang kita maksudkan dengan kepribadian Rasul ialah sifat-sifat manusiawi beliau maupun hubungan beliau dengan Allah, serta kekuatan batin khusus yang diperoleh beliau dari hubungan tersebut. Dengan perkataan lain, kita pelajari baik aspek manusiawi maupun kerasulan beliau.

Mengenai dimensi manusiawi Rasul, misalnya, kita harus mempelajari cara beliau berbicara, bekerja, berpikir, tersenyum, duduk dan tidur. Kita harus mempelajari bagaimana beliau berhubungan dengan orang-orang asing, dengan lawan, dengan teman dan keluarga. Kita harus meneliti kegagalan dan kejayaan beliau maupun cara beliau menghadapi permasalahan permasalahan sosial yang besar. Demikianlah, salah satu cara untuk mempelajari hakikat, semangat serta kenyataan Islam yang asli ialah dengan mempelajari Rasul Islam dan membandingkan beliau dengan para nabi dan para pendiri agama-agama, seperti Musa, ‘Isa , Zarathustra dan Buddha.

Tahap keempat ialah mempelajari keadaan sekitar awal kehadiran Rasul Islam. Apakah beliau, misalnya, tampil tanpa persiapan? Adakah orang yang mengharap-harap kedatangan beliau? Apakah beliau telah lebih dahulu mengetahui risalah beliau? Tahukah beliau apa yang menjadi risalah beliau? Atau apakah risalah itu tiba-tiba saja mendadak turun pada jiwa beliau, suatu arus pikiran ajaib mulai mengalir dalam diri beliau, merubah sama-sekali gaya bicara serta pribadi beliau, sehingga pada mulanya terasa berat bagi beliau? Bagaimanakah beliau menghadapi manusia ketika beliau pertama kali menyampaikan risalah beliau? Kelas manakah yang mendapat perhatian terutama beliau, dan kelas manakah yang ditentang beliau? Semua ini membantu kita untuk lebih mengenal Rasul Islam dan memahami keadaan yang dihayati beliau ketika beliau baru menerima risalah.

Jika kita bandingkan keadaan yang dihayati Rasul Islam ketika beliau mulai tampil dengan yang dialami nabi-nabi benar lain atau palsu, seperti ‘Isa , Ibrahim, Musa, Zarathustra, Kong Fu-Tse, Buddha, dan lain-lain, maka kita akan sampai pada kesimpulan yang menarik sebagai berikut: semua nabi, terkecuali yang keturunan Ibrahim, langsung mendekat kepada penguasa sekular yang ada dan mencoba bergabung dengannya, dengan harapan bahwa berkat restu sang penguasa mereka akan lebih berhasil menyiarkan agama mereka. Sebaliknya, semua nabi keturunan Ibrahim, sejak Ibrahim hingga kepada Rasul Islam, menyatakan risalah mereka dalam bentuk perlawanan terhadap kekuasaan sekular ketika itu.

Sejak awal risalahnya, Ibrahim mulai menghancurkan berhala-berhala dengan kampaknya. Dihantamkannya kampaknya pada berhala utama kaumnya untuk menyatakan oposisinya terhadap segenap berhala dalam zamannya. Tanda pertama risalah Musa ialah waktu hidup masuk ke dalam istana Fir’aun atas nama monoteisme. Begitu pula Isa berjuang menghadapi kekuasaan pendeta Yahudi yang bersekutu dengan imperialisme Romawi. Sedang Rasul Islam, sejak semula berjuang melawan aristrokrasi, terhadap para pemilik budak serta para pedagang Quraisy dan para tuan kebun di Tha’if. Perbandingan antara kedua kelompok nabi itu, yang keturunan Ibrahim dan yang bukan keturunan Ibrahim, akan membantu kita untuk memahami hakikat, semangat maupun orientasi berbagai agama yang sedang dipersoalkan.

Tahap kelima untuk mengenal dan memahami Islam ialah dengan mempelajari contoh-contoh hasil terbaik yang telah disalurkan oleh pabrik yang memproduksi manusia itu untuk kemanusiaan, masyarakat dan sejarah. Dengan mempelajari contoh yang menonjol dari masing-masing agama, misalnya, Harun untuk agama Musa, Santo Paulus untuk agama ‘Isa , dan ‘Ali, Husain atau Abu Dzarr untuk agama Islam, kiranya kita akan lebih mudah memahami agama-agama tersebut. Dari sudut pandangan Islam, pemahaman yang benar dan jelas tentang tokoh-tokoh tersebut adalah bagaikan mengenal sebuah pabrik lewat barang-barang yang diproduksinya, karena agama memang merupakan pabrik yang berfungsi untuk memproduksi manusia.

Marilah sekarang kita bicarakan tokoh Husain, sebagai contoh dari seorang yang dididik dan dibesarkan dalam agama Islam, supaya kita bisa mengetahui bagaimana macamnya orang yang beriman kepada Allah, al-Quran dan Rasul. Riwayat hidup Husain sudah cukup dikenal, juga prinsip-prinsip yang diperjuangkannya. Begitu pun kepekaannya akan masalah-masalah sosial dan nasib rakyat, bakti dan pengorbanannya. Sudah sangat terkenal kesiapannya untuk mengorbankan semua kepentingan duniawinya, demi kebenaran dan keyakinannya. Ringkasnya Husain adalah contoh paling tepat untuk maksud penelitian kita.

Untuk lebih mengenal dan memahami kehidupan pendapat-pendapat serta karakteristik Husain, kita bandingkan pula hidup dengan dua orang muslim lain, Abu ‘Ali Sina serta Husain bin Mansur al-Hallaj, Abu ‘Ali Sina dididik dan dibesarkan dalam filsafat sedang Husain bin Mansur al-Hallaj dalam Sufi Persia. Dengan membandingkan ketiga tokoh ini kita akan lebih memahami perbedaan maupun persamaan yang terdapat, dalam aliran filsafat, Sufi dan Islam.

Ibn Sina ialah seorang filosof besar, sarjana dan gnotis, kebanggaan sejarah ilmu dan filsafat dalam peradaban Islam. Tetapi, dari segi sosial, tokoh besar yang begitu menonjol sebagai filosof dan sarjana, ternyata telah merasa puas dengan mengabdikan dirinya kepada penguasa. Tidak pernah dia tunjukkan perhatiannya akan nasib manusia maupun rakyatnya. Dia tidak melihat kaitan antara nasibnya degan nasib orang lain. Yang diperhatikannya hanyalah serba ilmiah. Di luar itu dia tidak mengambil peduli; dia bisa menerima siapa saja yang menyediakan uang dan posisi baginya.

Sedangkan al-Hallaj ialah api yang berkobar. Seorang yang sedang terbakar tidak mempunyai tanggungjawab, fungsinya hanyalah membakar dan berteriak. Kenapa al-Hallaj terbakar? Karena cintanya yang teramat sangat kepada Allah. Sambil kedua tangannya memegang kepalanya hidup berlari sepanjang jalan raya di Baghdad dan berteriak: “Belahlah kepala ini, karena ia telah melawanku! Tolonglah aku dari api yang membakar batinku! Aku tidak ada, Aku adalah Allah!” Yang dimaksudnya adalah “Aku tidak ada lagi! Yang ada hanyalah Allah!”

Hallaj senantiasa terbakar oleh kerinduannya mendambakan Allah. Itulah sumber puncak nikmat sejati baginya. Tetapi coba bayangkan; bagaimana jadinya jika masyarakat Iran yang terdiri atas dua puluh lima juta jiwa itu semuanya menjadi Hallaj. Iran akan menjadi sebuah rumah gila yang besar, dengan setiap orang berlarian di jalan-jalan dan berteriak, “Ayo bunuhlah aku! Aku tak tahan lagi! Aku tak punya apa-apa! Tak ada apa-apa dibalik pakaianku, hanya Allah!” Cinta yang bernyala dan rindu-luluh demikian adalah semacam kegilaan batin atau mistik, dan andaikata semua anggota masyarakat jadi seperti al-Hallaj atau seperti Ibn Sina binasalah jadinya.

Tetapi sekarang bayangkanlah suatu masyarakat yang hanya terdiri atas seorang Husain bin ‘Ali, bersama beberapa orang Abu Dzarr. Maka masyarakat itu benar-benar hidup, belajar, kuat dan mantap; masyarakat itu akan mampu mengalahkan lawan-lawannya dan akan mampu mencintai Allah.

Sumber: Ali Syari’ati, Paradigma Kaum Tertindas (Sebuah Kajian Sosiologi Islam), Penerjemah Saifullah Mahyudin dan Husen Hashem, Penerbit Al-Huda, Muharram 1422/April 2001.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar