Minggu, 10 Juli 2016

Kaum Intelektual dan Demokrasi Pasar


Bagi yang konsen pada studi analisis wacana, kajian politik global, dan soal-soal yang berkaitan dengan kapitalisme serta kondisi mutakhir masyarakat dunia kita belakangan ini, tentu mengenal pula nama Noam Chomsky. Tulisan ini mencoba untuk menguraikan kembali analisanya Noam Chomsky tentang demokrasi-kapitalis, utamanya terkait dengan negara Noam Chomsky sendiri, Amerika Serikat, yang belakangan ini acapkali disorot karena politik invasif-nya di sejumlah negara, utamanya di Timur Tengah, seperti di Irak dan Suriah belakangan ini.

Di sini, yang hendak diangkat dan didadarkan adalah bagaimana kaum korporat (para oligarkh dan pengusaha-pengusaha multinasional) yang bekerjasama dengan kekuasaan ‘membentuk pikiran publik’ atau menggiring opini dan pikiran masyarakat dalam memandang dunia dan realitas kita saat ini, yang salah-satu contohnya adalah dengan menggunakan kelas menengah kaum intelektual (yang menikmati bayaran dan kenyamanan dari kapitalisme dan pasar yang dikendalikan kelas/korporasi berkuasa).

Dalam pandangan dan analisisnya Noam Chomsky, proses pembentukan pikiran publik melalui propaganda dan doktrin untuk mengukuhkan kekuasaan kelas berkuasa di Amerika Serikat telah lazim digunakan, bahkan dapat dikatakan sejak Amerika Serikat itu sendiri didirikan oleh para pendatang yang membantai puluhan juta (ada yang menyebut seratus juta) orang-orang Indian yang merupakan penduduk asli benua Amerika kala itu. Tanpa ditopang oleh penguasaan atas pikiran publik, demikian diterangkan Noam Chomsky, maka doktrin-doktrin kelas berkuasa takkan bisa bertahan lama.

Dalam hal ini, apa yang diperlukan oleh setiap kekuasaan adalah “mendikte setiap pikiran publik persis seperti halnya sebuah pasukan mendikte tubuh-tubuh dari tentara-tentaranya” melalui lembaga-lembaga dan atau institusi-institusi, semisal lewat institusi pendidikan, selain melalui media-media massa.

Dengan mengutip pengalaman Edward Bernays saat bekerja untuk Komite untuk Informasi Publik, Noam Chomsky menunjukkan bahwa sejak Perang Dunia Pertama, Amerika Serikat telah terbiasa dengan upaya-upaya “menundukkan pikiran publik”, “merekayasa konsensus”, “menggiring aspirasi massa”, dan juga “memanipulasi massa atau publik (masyarakat dan warga negara) secara terencana dan cerdas, semisal membentuk dan menggiring kebiasaan-kebiasaan dan opini-opini massa secara terorganisir demi tujuan-tujuan strategis dan politis Amerika, dan tentu juga demi menciptakan kepatuhan warga negara”.

Upaya-upaya tersebut tentu saja ditopang bukan hanya melalui propaganda-propaganda media-media massa belaka yang dimiliki para korporat yang bekerjasama dengan pemerintah dan para politisi Amerika Serikat, melainkan oleh kaum intelektual, seperti yang dilakukan James Madison, agar gagasan dan doktrin tentang kekuasaan kaum kapitalis itu bisa memperoleh legitimasi dan bahkan landasan konstitusional di dalam negeri Amerika Serikat, sehingga kepatuhan warga Amerika Serikat pun dimungkinkan, dan menimalisir potensi kritis dari warga negara Amerika.

James Madison yang merupakan intelektual politik dan presiden keempat Amerika Serikat itu, demikian sebagaimana dicontohkan Noam Chomsky, memainkan peranan yang sangat penting bagi peletakan batu fondasi (alas atau dasar) bagi struktur politik yang kapitalis dan imperialis, dapat berlaku dan berjalan di Amerika Serikat. Jadi, dalam hal ini, dapat dikatakan, sedari awal sebenarnya struktur dan pemerintahan di Amerika Serikat dirancang demi ‘mengamankan’ kepentingan kaum oligarkh dan para korporat yang bekerjasama dengan pemerintah dan para politisi di Amerika Serikat.

Lebit lanjut, Noam Chomsky menerangkan bahwa sebagai salah seorang perancang konstitusi Amerika Serikat, James Madison menolak pengalaman Inggris dimana demokrasi memungkinkan masyarakat kelas bawah untuk merebut kembali tanah dari para tuan tanahnya, dan hal itu dirasa sangat mengkhawatirkan bagi para bangsawan dan korporat yang ada di Amerika Serikat.

Begitulah, karena kekhawatiran itu, James Madison pun berupaya sekuat pikiran dan tenaganya untuk meletakkan dasar politik Amerika Serikat dengan mendukung suatu model sistem politik yang “melindungi minoritas orang kaya (para korporat dan kaum oligarkh) menghadapi kaum mayoritas” dan “mencanangkan suatu sistem dan mekanisme di mana kekuasaan politik harus berada di tangan orang-orang kaya di negeri itu, harus dalam kendali dan berada di tangan para oligarkh dan korporat”, sementara “lapis masyarakat yang lain harus dimarjinalisasikan dan dipecah-belah, agar tercipta partisipasi publik yang terbatas di wilayah arena politik”.

Dan tak diragukan lagi, hasil dari doktrin Masonian itu pun adalah diteguhkannya kekuasaan otoritarian yang menjadi dasar dari demokrasi pasar (demokrasi yang dikendalikan kaum elit kecil kapitalis yang pernah dikritik Bung Karno itu), yaitu sejenis demokrasi yang dikangkangi oleh kaum oligarkh dan korporasi bisnis dan digunakan untuk memuluskan dan ‘memapankan’ kekuasaan mereka, sebagaimana terjadi saat ini di mana mereka membiayai sejumlah perang dan politik invasi Amerika ke sejumlah negara, utamanya di Timur Tengah, semisal di Yaman, Suriah dan Irak.

Selanjutnya, setelah konstitusi Masonian yang menopang kekuasaan kaum kapitalis tersebut ditegakkan dan dimapankan sistem dan mekanismenya, beberapa doktrin yang memiliki preferensi terhadap ‘pasar bebas’ (liberalisme yang akan menguntungkan mereka) pun diterapkan. Kaum intelektual di negeri itu pun mengamini tuntutan kaum industrialis Amerika Serikat yang menyerukan adanya “malapetaka yang mengancam kaum industrialis” dalam bentuk “kekuasaan politik massa rakyat yang baru terbangun.”

Bersama-sama dengan kaum intelektual itulah, “kaum industrialis (para oligarkh dan korporat) itu harus menjalankan serta memenangkan perang yang tiada akhir demi memperebutkan pikiran-pikiran manusia” dan “mengindoktrinasi para warga negara dengan cerita kapitalis” yang mereka buat, yang bahkan mereka massifkan dalam kurikulum pendidikan dan “didoktrinkan’ di sekolah-sekolah dan perguruan-perguruan tinggi. Beberapa dari suara-suara kaum industrialis dan intelektual itu utamanya ditujukan untuk mewaspadai bangkitnya kekuatan sosialisme di Amerika Latin, dan dalam hal inilah Amerika Serikat juga berusaha membendung pengaruh-pengaruh pikiran sosialis yang datang dari Soviet (Rusia).

Kemudian, untuk menghambat proses tersebut, kaum intelektual, kalangan pebisnis (para oligarkh dan kaum elite korporat) dan negara imperial Amerika Serikat pun berupaya untuk menanamkan doktrin Washington Konsensus (neo-liberalisme) dan demokrasi pasar, baik melalui serangkaian perjanjian struktural maupun melalui perang imperialis. Terhadap upaya ini, para editor jurnal ilmiah yang bergaris liberal, contohnya, mendukung dengan gigih dengan menyebut bahwa proses yang sedang terjadi pada dasarnya “kebangkitan kembali demokrasi di Amerika Latin”.

Tak pelak lagi, dukungan ‘membuta’ (tanpa kritik dan perlawanan) kaum intelektual itu, sebagaimana dipaparkan Noam Chomksy, melalaikan fakta bahwa: “demokrasi yang dimaksud adalah sejauh ia meniru model Amerika Serikat yang memberi keleluasaan pada kaum kaya, juga mengabaikan bahwa demokrasi seperti itu seringkali dibangun di atas perang dan teror terhadap kaum miskin, serta yang juga cukup miris: melupakan fakta bahwa demokrasi pasar berdiri di atas penderitaan kaum buruh, petani, dan kaum miskin lainnya yang semakin dihisap dan dieksploitasi.