Selasa, 30 September 2014

Untaian Ketakutan di Nusantara



Bangsa Indonesia Perlu Revolusi!

“Negara ini sudah terlalu lama diatur oleh orang-orang yang telah menjual bangsa ini ke perusahaan dan pemerintah asing. Orang-orang ini tidak punya moral dan belas kasihan. Jika rakyat mencoba bernegosiasi dengan mereka, maka mereka hanya akan melakukan apa yang mereka telah lakukan selama beberapa dekade ini: menipu dan berbohong, mencoba mengulur waktu. Mereka tidak peduli tentang Indonesia dan rakyat Indonesia! Mereka ingin memberikan mobil Porsche dan diploma untuk anak-anak mereka, serta kondominium mewah di Australia, Amerika Serikat, Singapura dan Hong Kong”

Oleh Rossie Indira & Andre Vltchek

Suatu hal yang tidak biasa dan memberikan harapan sedang terjadi di Indonesia. Setelah musim dingin yang panjang di bidang intelektualitas, kita baru saja melihat tunas hijau keluar menembus salju (kalau metafora ini dapat digunakan di sebuah negara tropis). Sebuah penerbit progresif Indonesia yang baru - Badak Merah (‘Red Rhino’) - meluncurkan judul pertamanya di bidang politik, 'Indonesia: Untaian Ketakutan di Nusantara' yang merupakan terjemahan dari buku karya Andre Vltchek ‘Indonesia: Archipelago of Fear’. Buku ini adalah kritik pedas terhadap negara Indonesia pasca-1965, dimana baik Andre Vltchek maupun Naomi Klein percaya bahwa hal ini adalah sebuah percobaan pihak Barat tentang perilaku manusia, yang kemudian digandakan di banyak negara lain di dunia. Penulis dan penerbit dari Indonesia, Rossie Indira, mewawancarai Vltchek untuk CounterPunch:

RI : Apa pendapat Anda tentang situasi sekarang di Indonesia ? Bagaimana Anda membandingkan situasi sekarang dengan ketika Anda memproduksi dan menyutradarai film dokumenter Anda 'Terlena - Breaking of a Nation'?

AV : Situasi sekarang jauh lebih buruk dari 10 tahun yang lalu. Pada waktu itu kita masih punya harapan. Pemimpin Muslim progresif Abdurrahman Wahid (Gus Dur) masih hidup, begitu pula Pramoedya Ananta Toer. Pak Wahid, mantan Presiden Indonesia, adalah seorang Sosialis di dalam hatinya. Dia digulingkan oleh suatu kudeta yudisial yang dilancarkan oleh para elit dan militer Indonesia, walaupun pada waktu itu banyak orang Indonesia percaya bahwa ia akan kembali berkuasa.

Di masa itu, masih ada beberapa kelompok aktivis yang masih murni dan belum ‘terjual’, yang bekerja keras untuk mewujudkan Indonesia yang baru. Orang-orang itu, setidaknya kebanyakan dari mereka, mempunyai obsesi menemukan cara baru untuk mengubah negeri mereka ini.

Sekarang, pemerintahan dengan kediktatoran atau kita sebut saja ‘rezim Indonesia’, sudah sepenuhnya mengkonsolidasikan kekuatan mereka... Coba Anda lihat, pihak Barat mengatakan kepada bangsa Indonesia, tentu saja secara tidak langsung, bahwa negara ini bisa disebut negara 'demokrasi' kalau memiliki beberapa atau banyak partai politik, dan menyelenggarakan Pemilu dari waktu ke waktu. Tapi semua ini omong kosong belaka. Negara bisa disebut negara demokrasi ketika rakyatnya memberikan suara mereka dan suara mereka tersebut benar-benar dapat mengubah arah kemana bangsa mereka akan dibawa: seperti yang terjadi di Venezuela. 'Kekuatan rakyat' yang nyata... Adanya banyak partai politik dan memasukkan potongan-potongan kertas suara ke dalam kotak tidak memberikan jaminan apapun! Ada banyak partai di Indonesia tetapi semuanya pro-bisnis dan pro-elit, dan semua kandidat partai-partai itu, termasuk Jokowi, adalah mereka yang sudah terlebih dahulu dipilih dan disetujui oleh rezim. Jadi tidak peduli berapa banyak orang yang memberikan suara, tidak akan ada perubahan apapun.

Sebenarnya, memberikan suara di negara-negara seperti Indonesia termasuk tidak patriotik karena hanya memberikan legitimasi saja kepada rezim yang ada, yang hanya melayani kepentingan politik dan ekonomi asing, serta para elit yang sepenuhnya sudah melacurkan diri.

Tidak dapat disangkal bahwa negara Indonesia kini adalah sebuah negara yang sudah hancur. Kehancurannya sudah mencapai tingkat negara-negara Afrika sub - Sahara (Saya bekerja di Afrika, jadi saya dapat dengan mudah membandingkannya). Memang ada pusat-pusat perbelanjaan dan hotel-hotel mewah di beberapa kotanya, tetapi selain itu bisa dikatakan sebuah mimpi yang benar-benar buruk, dengan tidak adanya layanan dasar atau layanan yang sama sekali tidak memadai.

Bahkan Rwanda punya jalan-jalan yang jauh lebih baik dari Indonesia. Bahkan Zimbabwe punya sekolah umum yang jauh lebih baik. Bahkan Kenya punya jaringan telepon selular dan internet yang lebih handal. Bahkan Botswana punya rumah sakit umum yang lebih baik.

Rezim sudah berbohong tentang berbagai hal, termasuk berapa jumlah penduduk negara ini, juga tentang jumlah penduduk miskin (yang kenyataannya sebagian besar dari jumlah penduduknya). Pendidikan hampir tidak ada yang layak. Yang disebut sebagai sistem pendidikan di sini hanya untuk mencuci otak, dan untuk mempertahankan status quo. Dan memang demikian yang terlihat: negara dengan jumlah penduduk lebih dari 300 juta (angka sebenarnya) tidak punya satupun ilmuwan atau pemikir besar, kontras dengan negara seperti Nigeria yang punya banyak ilmuwan dan pemikir besar.

Dan benar-benar tidak ada kelompok oposisi.

Tentu saja negara yang gagal seperti ini sepenuhnya didukung oleh akademisi dan media massa Barat, karena negara seperti ini mau melakukan apapun yang diperintahkan padanya: menjadi negara yang amat besar tapi otaknya sudah dicuci habis, yang sekarang menjarah dan mengekspor kekayaan alamnya, sementara rakyatnya tidak sadar bahwa saat ini rakyat di berbagai bagian dunia lain berjuang untuk benar-benar merdeka dari tirani Barat, dan berjuang untuk sosialisme.

RI: Dalam buku Anda ‘Archipelago of Fear’, yang diterbitkan oleh penerbit Pluto di London, dan yang akan terbit dua minggu lagi dalam Bahasa Indonesia dengan judul ‘Indonesia: Untaian Ketakutan di Nusantara’: mengapa Anda menggambarkan Indonesia sebagai ‘negara kepulauan yang penuh dengan untaian ketakutan’? Banyak orang di sini bertanya tentang hal ini dan tampaknya mereka tidak menyadari atau tidak mau mengakui bahwa kenyataannya seperti yang Anda gambarkan?

AV : Rakyat Indonesia hidup dalam ketakutan yang terus menerus, hidup dalam kengerian. Memang, seringkali mereka tidak menyadari hal ini, karena dalam pikiran mereka, ‘hidup dalam ketakutan’ ini, dianggap ‘biasa’. Perasaan ketakutan ini juga menjelaskan mengapa hampir tidak ada perlawanan/pemberontakan, atau hampir tidak ada yang bersedia untuk memulai pemberontakan terhadap rezim. Rakyatnya lumpuh karena rasa ketakutan yang abstrak, yang sebenarnya berakar pada kebodohan dan rasa tidak aman.

Mereka yang benar-benar dilindungi dan dihormati di sini hanyalah mereka yang merampok dan korup. Yang lain bisa disebut sebagai korban. Korban yang ketakutan, frustrasi dan kurang informasi. Para pekerja takut karena mereka tidak mendapatkan perlindungan: para petani takut, para pembantu rumah tangga juga takut (kemudian mereka melarikan diri mencari pekerjaan bahkan sampai ke Timur Tengah yang tentu saja bukan surga bagi perempuan), dan bahkan karyawan perusahaan juga takut. Anak-anak takut karena orang tua mereka menganggap mereka sebagai hak milik dan sebagian besar memang diperlakukan seperti itu. Kaum perempuan takut karena mereka dipermalukan setiap hari dan diperlakukan seperti obyek seksual semata, seperti budak belian. Selain itu, banyak perempuan di sini menderita karena disunat (bahkan ada yang mengatakan bahwa jumlahnya banyak sekali, bisa mencapai sebagian besar dari perempuan di sini), karena pelecehan seksual, pemerkosaan (bahkan yang dilakukan keluarga sendiri), dan sementara tingkat pelecehan seksual di sini merupakan salah satu yang tertinggi di dunia, sebagian besar kasus yang terjadi tidak dilaporkan, karena adanya ketakutan itu.

Di Indonesia, banyak sekali terjadi perkosaan, bahkan hal ini juga terjadi pada saat terjadinya beberapa genosida di negara ini: yang terjadi di tahun 1965-1966, di Timor Timur dan sekarang di Papua. Perempuan-perempuan yang ada dalam tahanan polisi banyak yang diperkosa.

Banyak perempuan yang karena begitu takutnya pada pandangan masyarakat dan keluarganya, jika mereka hamil di luar nikah, mereka lebih suka meninggalkan anak-anak mereka (meninggalkan mereka di  selokan ) daripada menghadapi kritikan masyarakat. Presentase anak yang ditinggalkan di Indonesia adalah salah satu yang tertinggi di dunia, tapi sekali lagi, sebagian besar hal ini tidak dilaporkan.

Rakyat Indonesia takut diserang, dihina, dirampok atau diperkosa. Sekali lagi, perasaan ini ada karena mereka tidak merasa dilindungi. Polisi dan bahkan sistem hukum di negara ini korup dan/atau hanya melindungi mereka yang kaya saja. Korban tidak yakin ada keadilan bagi mereka. Bagaimana mereka tidak takut di negara yang sistem hukumnya hampir tidak bekerja?

Di negeri ini, orang takut kelihatan ‘berbeda’. Kalau ada orang yang terlihat berbeda dengan mayoritas penduduk, maka akan ada hinaan yang bersifat rasis untuk orang tersebut. Indonesia adalah salah satu negara paling rasis di bumi ini, dan hal ini telah terbukti dengan adanya beberapa genosida yang terjadi disini. Tetapi tetap orang-orang tidak mengerti tentang apa arti rasisme yang sebenarnya. Dan sama sekali tidak ada otokritik.

Rakyat takut jatuh sakit karena sistem kesehatan di Indonesia adalah salah satu sistem yang paling tidak punya belas kasihan di dunia ini, sistem yang benar-benar bergantung pada kekuatan pasar. Perawatan kesehatan di sini benar-benar hanya ‘bisnis’, sama seperti berbagai hal lain yang telah menjadi ‘bisnis’. Semua ini sangat menakutkan dan mengerikan.

Para korban pembantaian 1965 juga merasa ketakutan! Alih-alih menuntut keadilan dan menjebloskan mereka yang bertanggung jawab atas genosida ke dalam penjara, mereka benar-benar ketakutan! Mereka takut karena mereka tidak berdaya. Anda bisa melihatnya dalam film ‘Jagal’ (Act of Killing)! Tapi sementara seluruh dunia ngeri menonton bagaimana para pembunuh massal itu dihormati dan dikagumi, banyak orang Indonesia yang melihat semua itu sebagai hal yang biasa.

Ketakutanlah yang dirasakan ketika seseorang melihat seluruh kepulauan ini - hancur, habis dijarah, dirampok, dan amat tercemar. Sumatera sudah hilang, Kalimantan sudah hilang, Papua ... Jawa ... Bangka ... Bali sudah menjadi pulau bebas bea yang kitschy, penuh sesak dan tercemar.

Mungkin banyak orang tidak mampu mendefinisikan ketakutan mereka. Tapi percaya deh, mereka takut, dan hal ini terlihat dari perilaku mereka. Banyak sekali orang yang  frustrasi dan marah di sini.

Banyak yang mengatakan kalau hidup mereka menyenangkan, tapi kenyataannya sebagian besar hidup sengsara. Banyak yang mengatakan bahwa mereka tidak miskin, bahkan mereka yang sumber air bersihnya dari selokan dan tinggal di gubuk yang terbuat dari karton. Mereka bilang kalau mereka tidak takut, karena kengerian yang mereka alami setiap hari tidak boleh didefinisikan sebagai ketakutan di sini. Jika mereka bilang takut, maka mereka akan diejek oleh keluarga, pejabat pemerintah, dan media massa.

Dan selain ketakutan-ketakutan di atas, masyarakat Indonesia takut kalau mereka ‘berbeda’. Berbeda di negara ini punya konsekuensi yang brutal. Orang yang berbeda dicemoohkan, dikucilkan, diperkosa, disiksa, dan dibunuh. Perbedaan tidak diperbolehkan. Menjadi seorang Komunis dilarang. Menjadi gay dilarang. Menjadi seorang ateis dilarang. Menjadi seorang yang percaya Taoisme dilarang. Menjadi satu dari seribu dilarang.

Hal-hal di atas lah yang menjadikan tempat ini salah satu yang paling tidak kreatif dan paling monolitik di bumi. Banyak orang yang bersembunyi di balik agama mereka, bahkan sudah banyak pula yang sudah benar-benar gila-gilaan. Mereka juga bersembunyi di dalam klan keluarga mereka. Bagi kebanyakan orang, dalam kelompok orang, kurangnya pengetahuan dan ketidakmampuan berpikir bukan dianggap sebagai kebodohan, bahkan bisa dianggap sebagai kekuatan.

Indonesia adalah suatu tempat yang paling menakutkan dan mengerikan di bumi ini.

RI: Kami baru saja melaksanakan pemilu legislatif  pada tanggal 9 April 2014 yang lalu. Yang mengkhawatirkan adalah, seperti yang Anda sebutkan tadi, kita semua ini sudah dicuci otaknya untuk berpikir bahwa karena kami sudah melaksanakan pemilu dengan banyak partai, maka negara ini sudah bisa disebut negara demokrasi. Para wakil rakyat di DPR semua lupa akan janji-janji mereka setelah mereka terpilih atau terpilih kembali, dan jelas sekali terlihat bahwa mereka di sana hanya untuk kepentingan mereka sendiri. Sama juga dengan pemilihan Presiden: setelah terpilih, Presiden akan ‘lupa’ dengan semua tentang janjinya, dan lupa dengan tugasnya untuk melindungi rakyat. Jadi apa sistem terbaik untuk negara seperti Indonesia? Apakah sila keempat Pancasila - Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan - sudah tepat?

AV: Menurut pendapat saya, Indonesia harus terlebih dahulu menganut sistem sosialis, sebelum kita bisa bicara tentang ‘demokrasi’.

Karena pertama-tama, masyarakat Indonesia harus terdidik dan tahu apa yang mereka inginkan dan tahu segala sesuatu tentang negara mereka. Kepentingan rakyat harus didahulukan! Seluruh lapisan masyarakat harus bekerja siang dan malam untuk meningkatkan taraf hidup mayoritas penduduknya. Pada dasarnya, kita perlu melakukan kebalikan dari Indonesia sekarang ini, yaitu: mayoritas penduduk melayani kepentingan bisnis para gangster lokal dan tuan-tuan asingnya.

Tentu saja harus ada dorongan yang kuat untuk mendidik rakyat. Apa yang ada sekarang ini, setelah kudeta militer di tahun1965 disponsori Amerika Serikat dan pertumpahan darah sesudahnya, adalah budaya Indonesia yang telah dihancurkan dan digantikan dengan budaya pop lokal dan terutama budaya pop Amerika. Budaya berpikir sangat tidak dianjurkan. Pendidikan yang layak benar-benar dikhususkan untuk kaum elit saja, dan mereka yang telah berpendidikan menggunakan pengetahuan mereka untuk mengambil lebih banyak dari negara mereka, dan bukan untuk memperbaikinya secara keseluruhan.

Oleh karenanya, masyarakat Indonesia tidak tahu siapa yang mereka pilih dalam pemilihan umum, atau sistem politik apa yang mereka representasikan. Sangat mudah untuk menipu rakyat yang tidak berpendidikan.

Tentang para wakil rakyat: baiklah... tentu saja diperlukan! Tapi para wakil rakyat ini (laki-laki dan perempuan) harus sangat berdedikasi, jujur
​​, dan pemberani. Mereka harus siap untuk hidup atau mati bagi bangsanya: menempatkan kepentingan pribadi, bahkan kepentingan keluarga mereka, jauh di belakang kepentingan negeri ini!

Untuk menghasilkan wakil-wakil rakyat seperti ini memerlukan waktu puluhan tahun, dan mereka hanya dapat tumbuh dalam sistem politik yang berbeda secara fundamental, dan dalam budaya yang sama sekali baru. Yang sekarang memerintah Indonesia secara moral sudah mati, sudah korup. Yang memerintah negara ini sekarang bahkan tidak bisa dikatakan sistem budaya atau politik: mereka adalah penyakit.

Apa yang terjadi sekarang, beberapa dekade setelah tahun 1965, adalah rakyat Indonesia yang tidak tahu adanya sistem lain kecuali sistem mereka sendiri, dan mereka pun tidak tahu apa-apa tentang demokrasi yang sebenarnya.

Jika pihak Amerika Serikat dan negara Barat lainnya tidak memperkosa negara ini pada tahun 1965, maka sistem pemerintahan alaminya pasti mengikuti apa yang diciptakan oleh bapak bangsa Soekarno, yang merupakan seorang nasionalis (dan internasionalis) yang pada waktu itu beraliansi erat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), yang pada waktu itu merupakan partai komunis terbesar ketiga di dunia, setelah RRC dan Uni Soviet. Oleh karena itu, bagian dari - nasionalisme, internasionalisme dan ‘komunisme demokrasi’ - akan menjadi perkembangan yang paling alami dan normal untuk Indonesia, dari segi budaya dan mentalitasnya. Dan hanya teror pihak Barat dan elit Indonesia yang korup, serta kader agama yang terlalu bersemangat (dari semua agama, bukan hanya Islam), membelokkan proses tersebut dengan cara membunuh, memperkosa dan memenjarakan jutaan orang, dengan mengunci negara ini dalam untaian ketakutan yang terus-menerus, dalam kengerian, dan secara moral menyerah.

Semua hal di atas harus dijelaskan kepada rakyat Indonesia: bagaimana negara mereka sebelum kudeta, dan apa sebetulnya yang terjadi dalam kudeta mengerikan tersebut. Kudeta itu tidak 'menyelamatkan Indonesia dari Komunisme'. Kudeta itu hanya mengubah negara yang nasionalis dan progresif kembali menjadi negara jajahan Barat. 'Kolonialisme' dan 'demokrasi' adalah dua istilah yang kontradiktif. Agar bisa 'demokratis', maka suatu negara harus bebas. Saat ini, rakyat Indonesia masih menjadi budak belian dari: pihak Barat dan elit lokal mereka.

Apa yang terjadi sekarang bukanlah ‘the rule of the people’ atau rakyat yang mengatur atau memerintah (demokrasi), melainkan kepala rumah tangga lokal yang serakah dan majikan asing mereka lah yang mengatur atau memerintah.

RI : Anda juga menyebutkan sistem pendidikan. Sistem pendidikan apa yang cocok untuk diterapkan disini? Kami tahu bahwa demokrasi tidak akan tercapai jika rakyat kurang terdidik, dan untuk mendidik mereka, negara perlu menyediakan dana yang besar; tentu harus disediakan berapapun perlunya. Namun menurut Mahkamah Konstitusi, “partisipasi publik yang adil dalam pembiayaan pendidikan” tidak bertentangan dengan konstitusi. MK mengatakan bahwa untuk mencapai kualitas yang diinginkan, setiap warga negara juga harus bertanggung jawab untuk mendidik dirinya sendiri ke tingkat yang ingin dicapainya. Ini berarti bahwa walaupun negara memiliki tanggung jawab yang utama, tetapi warga negara tetap harus mengeluarkan dana juga. Bukankah ini adalah bagian dari neo-liberalisme?

AV: Benar. Tidak akan ada demokrasi di negara yang rakyatnya tidak berpendidikan dan tidak mengerti posisi mereka di masyarakat dan di dunia. Rakyat bisa ‘berkuasa’ hanya jika mereka bisa membuat 'keputusan yang cerdas'. Demokrasi berarti 'rakyat yang berkuasa', tetapi apakah rakyat benar-benar berkuasa jika yang mereka bisa lakukan hanyalah menghitung berapa banyak uang yang mereka peroleh untuk memberikan suara mereka dalam pemilu, atau jika mereka memilih kandidat yang hanya akan mempertahankan status quo? Dan semua kandidat di Indonesia adalah mereka yang sudah dipilih dan disetujui oleh rezim, terutama mereka yang terlihat sedikit ‘berbeda’, seperti misalnya Jokowi.

Tentu saja setiap warga negara harus mencoba untuk mendidik dirinya sendiri, tetapi hanya setelah mereka mendapatkan dasar-dasar pengetahuan penting terlebih dahulu. Pendidikan formal harus selalu gratis; mulai dari TK sampai tingkat Doktoral. Pendidikan gratis di banyak negara Eropa, juga di beberapa negara Amerika Latin (termasuk Kuba, Meksiko dan Argentina). China mulai lagi dengan pendidikan gratis, sama seperti perawatan kesehatan universal. Di negara seperti Chile, sekarang ini rakyat berdemonstrasi di jalanan, berjuang agar rakyat mendapatkan pendidikan gratis, dan kelihatannya mereka berhasil!

Selain itu, budaya harus terus-menerus ada di barisan depan. Seperti halnya di Amerika Latin, budaya harus bisa mendidik rakyat: harus ada ribuan teater besar, bioskop yang memutar film seni, pemerintahnya memerikan jutaan buku gratis, banyak acara baca puisi bagi publik, banyak kuliah umum yang gratis, berbagai toko buku yang buka sampai pagi, pameran yang menggambarkan kebutuhan dan penderitaan masyarakat, serta konser musik yang musiknya melibatkan kondisi rakyat kebanyakan.

Cobalah lihat kota-kota di Indonesia: Jakarta, Surabaya, Medan... apakah ada kota-kota lain di dunia dengan jumlah penduduk sebesar kota-kota ini namun benar-benar kronis tanpa/kurang budaya, dan kurangnya lembaga-lembaga yang seharusnya membuat orang berpikir? Misalnya seperti teater, pusat arsip, perpustakaan besar yang lengkap, ruang konser, bioskop seni, toko buku progresif... Hampir tidak ada apapun di sini...

Bagaimana cara rakyat mendidik diri mereka sendiri di Indonesia? Apakah hal ini mungkin kalau mereka hanya mengkonsumsi segala sesuatu yang bersifat pop, menonton saluran televisi dengan program-program sampah, atau hanya berbaur dengan kaum ‘mayoritas yang buta huruf secara fungsional’ yang menyembunyikan kebodohan mereka di masyarakat yang berpikiran sama?

RI: Anda merekomendasikan bahwa Indonesia seharusnya menganut salah satu bentuk sistem sosialis, apakah Anda punya saran tentang bagaimana caranya bangsa ini bisa menuju ke arah sana? Banyak negara di dunia ini berjuang untuk hal ini, seperti misalnya yang sedang terjadi di sebagian besar negara-negara Amerika Latin, mereka berhasil dan mengubah sistem negara mereka menjadi negara sosialis. Tapi tampaknya sebagian besar orang Indonesia bahkan tidak mengikuti apa yang terjadi disana dan tidak mengerti magnitudanya. Sebagian besar bahkan tampak acuh tak acuh. Bagaimana kita mengajarkan pada rakyat Indonesia bahwa mereka membutuhkan perubahan fundamental atas sistem politik, ekonomi dan budaya untuk dapat keluar dari situasi sekarang ini?

AV: Semua itu hanya dapat dilakukan dengan pendidikan dan dengan keterbukaan. Semua orang yang bisa, harus berpartisipasi dalam 'proyek' ini. Tidak hanya pendidik profesional dan guru (seringkali bahkan mereka ini sudah diindoktrinasi dan dicuci otaknya), tetapi terutama seniman, orang-orang kreatif, dan pemikir. Harus ada lebih banyak inisiatif, terutama dari pers yang independen! Apa yang sudah dilakukan oleh penerbit independen progresif di Indonesia? Tidak ada - mereka tidak pernah berhasil! Memalukan!

Sebuah penerbitan seperti yang Anda pimpin - Badak Merah - harus menjadi andalan kaum oposisi.

Rakyat Indonesia yang marah dengan kondisi negara ini - pengacara, dokter, insinyur, ilmuwan - harus mau menyuarakan pendapatnya; bahkan harus menyuarakannya dengan keras. Dan tentu saja suara para petani dan pekerja tentang kisah-kisah mereka yang mengerikan harus didengar dan dibaca dari halaman-halaman majalah independen dan blog, dari YouTube dan dari film-film independen.

Sudah cukup kalian dicekoki dengan pop! Pop adalah hiburan yang berkualitas rendah dan egosentris yang ditujukan pada massa yang sudah mati otaknya dan diindoktrinasi. Pihak Barat telah menyebarluaskan aliran ini, melalui Kerajaannya, hingga rakyat di negara-negara jajahan barunya berhenti berpikir sama sekali, dan sementara mereka sedang diperkosa, mereka akan membayangkan bahwa mereka sebenarnya sedang bercinta! Ini adalah cara reaksioner, sayap kanan dalam mengekspresikan realitas semu. Dan kalian harus tahu kalau hal-hal itu benar-benar tidak keren, dan amat konservatif.

Masyarakat Indonesia harus belajar dan sadar bahwa berjuang untuk sebuah negara yang lebih baik adalah hal yang amat baik dan memberikan inspirasi. Seperti para lelaki, perempuan, bahkan anak-anak di Amerika Latin yang sudah paham akan hal ini beberapa dekade yang lalu! Khususnya anak muda harus tahu: Pemberontakan itu baik. Revolusi itu baik. Berpikir itu baik. Kemajuan itu baik. Untuk menjadi seorang pejuang yang revolusioner atau pemberontak itu keren - sangat keren. Jauh lebih keren daripada naik Ferrari merah atau kuning yang dibeli dengan uang yang dicuri ayahnya dari orang miskin!

Belajar, bepergian dan membandingkan dunia, menulis puisi yang penuh emosi, membuat karya seni revolusioner, ikut demonstrasi, meminta pertanggungjawaban pada generasi yang lebih tua (termasuk orang tua dan kakek-nenek mereka sendiri) atas kehancuran negara ini, dan akhirnya berjuang untuk tujuan membangun bangsa yang adil, ramah dan indah yang disebut 'Indonesia'. Semua hal di atas jauh lebih baik dan mulia daripada duduk nyaman di Starbucks, menatap kosong pada smartphones yang sama seperti orang idiot, yang pada dasarnya hanya buang-buang waktu saja... dan buang-buang waktu orang lain... dan tidak menghasilkan apapun.

Rakyat harus terlibat. Cukup sudah bersikap nihilisme! Cukup  sudah hidup yang hampa dan mengalah! Berjuang untuk dunia yang lebih baik bukan hanya layak dilakukan, tapi juga menyenangkan; hidup menjadi lebih bermakna dan memuaskan.

RI: Apakah menurut Anda harus ada revolusi di Indonesia agar rakyat bisa memperoleh perawatan medis gratis universal dan pendidikan gratis? Apakah harus melalui revolusi untuk bisa membangun masyarakat yang lebih baik?

AV: Untuk perawatan kesehatan, katanya pemerintah sudah punya semacam rencana, tetapi kelihatannya sih tidak akan berjalan dengan baik, karena sistemyang dianut pemerintah tidak cocok dengan rencana seperti itu. Rencana ini ada bukan karena adanya tekad untuk memberikan perawatan kesehatan gratis dan universal kepada warga Indonesia (setidaknya mirip dengan yang sudah ada di Thailand), tapi hanyalah semacam tambalan saja untuk kondisi sekarang yang amat mengerikan, atau penutup luka yang terbuka saja. Sekali lagi kita harus ingat bahwa kualitas perawatan kesehatan di Indonesia masih setara dengan Kenya atau Tanzania, bukan dengan Malaysia atau Thailand, dan bahwa sistem yang sekarang ini benar-benar korup secara finansial dan moral, dan [tanpa revolusi] tidak akan ada sesuatu yang bersifat 'publik', atau 'gratis'.

Ya, rakyat harus berjuang untuk mendapatkan pendidikan gratis, pelayanan kesehatan universal serta hak-hak dasar lainnya. Tentu saja mereka harus berjuang! Pendidikan yang gratis dan baik adalah hak mereka, tidak peduli apa kata para penasehat 'ahli' dari Amerika Serikat.

Negara ini sudah terlalu lama diatur oleh orang-orang yang telah menjual bangsa ini ke perusahaan dan pemerintah asing. Orang-orang ini tidak punya moral dan belas kasihan. Jika rakyat mencoba bernegosiasi dengan mereka, maka mereka hanya akan melakukan apa yang mereka telah lakukan selama beberapa dekade ini: menipu dan berbohong, mencoba mengulur waktu. Mereka tidak peduli tentang Indonesia dan rakyat Indonesia! Mereka ingin memberikan mobil Porsche dan diploma untuk anak-anak mereka, serta kondominium mewah di Australia, Amerika Serikat, Singapura dan Hong Kong.

Satu-satunya cara adalah untuk menyingkirkan mereka adalah dengan mengusir  mereka dari kekuasaan. Masyarakat Indonesia harus mengambil alih kekuasaan dan mendapatkan kembali kendali atas negara mereka sendiri. Dan hal ini tidak akan pernah diperoleh tanpa perjuangan.

Tapi hal ini mungkin untuk dilakukan, bahkan harus dilakukan! Atas nama mayoritas rakyat Indonesia yang hidup dalam penderitaan yang mengerikan! Atas nama bangsa yang telah kehilangan hampir segalanya. Ayo berjuang atas nama kehidupan ratusan juta pria, wanita dan anak-anak!

Andre Vltchek adalah seorang novelis, pembuat film dan wartawan investigasi. Dia telah meliput perang dan konflik di berbagai negara. Buku tentang diskusinya dengan Noam Chomsky On Western Terrorism baru saja diterbitkan oleh penerbit Pluto di London. Novel politiknya yang kritis Point of No Return  baru-baru ini disunting dan diterbitkan kembali kini kembali. Oceania adalah bukunya tentang imperialisme Barat di Pasifik Selatan. Buku provokatifnya tentang Indonesia pasca-Suharto dan model fundamentalis pasar Indonesia – The Archipelago of Fearditerbitkan oleh Pluto Press. Dia baru saja menyelesaikan film dokumenternya ‘Rwanda Gambit’ tentang sejarah Rwanda dan penjarahan DR Kongo. Setelah tinggal selama bertahun-tahun di Amerika Latin dan Oceania, Vltchek saat ini tinggal dan bekerja di Asia Timur dan Afrika. Dia dapat dihubungi melalui website atau Twitter-nya.

Rossie Indira adalah seorang penulis, arsitek dan penerbit. Dia adalah salah satu pendiri penerbit Badak Merah. Bersama Andre Vltchek, dia menulis ‘Exile –Pramoedya Ananta Toer in conversation with Andre Vltchek and Rossie Indira’. Buku terbarunya 'Surat Bahasa Dari Bude Ocie' adalah tentang perjalanannya ke negara-negara Amerika Latin. Dia adalah Manager Produksi dan Penterjemah untuk 'Terlena - Breaking of a Nation', sebuah film dokumenter berdurasi 90 menit tentang dampak kudeta di tahun 1965 terhadap masyarakat Indonesia. Dia menulis untuk publikasi  di dalam dan di luar Indonesia dan dia menulis dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Dia dapat dihubungi melalui website dan twitter-nya.

Sumber: Edisi Akhir Minggu 09-11 Mei 2014 (Judul asli: ‘Archipelago of Fear: Indonesians Need Revolution!’)

Minggu, 28 September 2014

Misteri Bank Indonesia –atau Mula Penjajahan Finansial atas Indonesia




Pada 1965, Presiden Soekarno, memutuskan keluar dari PBB, IMF dan Bank Dunia. Perusahaan-perusahaan asing dinasionalisasi. Karena keberaniannya itu, tahun 1967 pemerintahan Soekarno diakhiri oleh konspirasi para bankir, penguasa dan politisi internasional, termasuk Amerika Serikat dengan jalan “kudeta oleh Soeharto”

Tidak banyak yang mengetahui sejarah Bank Indonesia –apalagi mengetahui siapa pemilik Bank Indonesia. Bank Indonesia bukan milik Negara Indonesia –apalagi milik Rakyat Indonesia. Sejatinya Bank Indonesia itu milik IMF! Karenanya jangan berharap Negara Indonesia bisa mencetak uang sendiri. Dan jangan harap rakyat negeri ini bisa menikmati hidup layak. Hingga darah menetes habis dari tubuh ke tanah, kesenjangan sosial dan pemiskinan tak akan pernah tuntas dari negeri ini. Satu-satunya solusi adalah keluar dari IMF dan membuat uang sendiri!

Umumnya Bank Sentral adalah perusahaan swasta yang diberi monopoli mencetak uang. Bank Sentral Republik Indonesia, semula adalah Bank Nasional Indonesia 46 atau BNI 46. BNI 46, didirikan oleh Presiden Pertama Republik Indonesia Ir. Soekarno. Namun dipaksa diganti menjadi Nedherland Volkskrediet (NV) De Javasche Bank.

Bank NV De Javasche adalah Bank milik penjajah Belanda. Atas dukungan internasional (Yahudi Internasional) menolak dan membekukan BNI 46. Dan memaksa Negara Indonesia mendirikan Bank Republik Indonesia (BRI), sebagai pengganti NV De Javasche Bank yang memiliki monopoli kebijakan keputusan hutang dan tunduk serta dibawah naungan IMF. Berikut kronologi terbentuknya Bank Negara Indonesia atau BNI:

Saat Indonesia merdeka, Soekarno-Hatta memutuskan untuk mendirikan bank sentral, yaitu Bank Negara 1946. Menerbitkan “Oeang Repoeblik Indonesia” (ORI). ORI terbit dengan satuan 1 sen sampai Rp 100. Nilai setiap 2 rupiah dijamin dengan 1 gram emas. UU no 19/1946. Atas berdirinya BNI, Pemerintah penjajah Belanda, dan bankir internasional lain, menolak keberadaan Negara Republik Indonesia NKRI dan BNI 46 –sekaligus juga menolak ORI. Buntut dari ditolaknya Kemerdekaan RI, agresi militer dilakukan oleh Negara imperialis yaitu Amerika, Inggris, Perancis dan memberikan boncengan Belanda masuk kembali ke Indonesia. Akhirnya Indonesia dipaksa lewat perundingan, Konferensi Meja Bundar 1949, Negara Republik Indonesia akan diakui dengan beberapa syarat.

Pertama, utang pemerintah Hindia Belanda, harus diambilalih oleh RI muda. Nilainya 4 milar dollar AS. Saat proklamasi NKRI tidak memiliki utang sedikit pun. Kedua, dengan dalih agar bisa mengambil alih hutang pemerintah penjajah Belanda, BNI 46 harus dihentikan sebagai bank sentral. Ketiga, mengganti BNI 46 dengan De Javasche Bank (yang dulunya milik bankir-bankir kompeni dari keturunan Yahudi), bank ini kemudian berganti nama menjadi Bank Indonesia (BI).

Dengan BNI 46 diganti NV De Javasche Bank, ORI dihentikan, diganti dengan Uang Bank Indonesia (UBI), sejak 1952. Begitu diakui, tahun 1949, rupiah dipatok sebesar 3.8 per dollar AS. Melorot ke Rp 11.4 per dollar pada 1952, saat ORI diganti menjadi UBI. Saat itulah dimulainya penjajahan jenis baru di negeri ini. Pada 1965, Presiden Soekarno, memutuskan keluar dari PBB, IMF dan Bank Dunia. Perusahaan-perusahaan asing dinasionalisasi. Karena keberaniannya itu, tahun 1967 pemerintahan Soekarno diakhiri oleh konspirasi para bankir, penguasa dan politisi internasional, termasuk Amerika Serikat dengan jalan “kudeta oleh Soeharto”.

Pada tahun 1967 pula dimulai ‘pembangunan’ oleh Orde Baru, dengan modal dari IMF, Bank Dunia, dan konsorsium bank lainnya. BI sebagai ‘dompetnya’. Konsensus ini dilakukan di Negara Swiss, termasuk memberikan tambang emas Freeport di Irian Barat, sekarang Papua pada Amerika. Sejak itu, dari tahun ke tahun, hutang Indonesia membengkak. Pada 2013, mendekati Rp 2000 triliun. 1999, BI dilepas dari Pemerintah RI, dan langsung di bawah kendali IMF. Gubernur BI tidak lagi bagian dari Kabinet RI, tidak akuntable kepada Pemerintah RI –apalagi kepada rakyat RI. Dibiayai bukan dari APBN.

Bank sentral umumnya dimiliki oleh perusahaan-perusahaan swasta. Detik ini orang masih bertanya: mengapa pemerintah tidak mencetak uang sendiri? Bank sentral yang tidak langsung dimiliki swasta, “disembunyikan”, di balik undang-undang, sebagai ‘bagian dari negara’. Tapi independen 100 persen. BI Milik siapa? Jadi misteri. Kalau milik negara, mestinya berupa BUMN, masuk APBN, akuntable terhadap rakyat. Meski tidak mengeluarkan saham, BI, mengeluarkan ‘Sertifikat BI’, yang tentu saja dimiliki bank komersial. Sekitar 50 persen, sertifikat BI sekarang milik asing.

Semantara itu, tugas pokok BI, untuk menjaga nilai rupiah tidak pernah bisa dilakukan. Nilai rupiah sudah hancur lebur, hilang 99 persen nilainya. Janji bahwa nilai Rp 2 rupiah = 1 gram emas yang dicanangkan Presiden Soekarno –diingkari para imperialis, kapitalis internasional dan antek-anteknya. Hari ini 1 gram emas setara dengan Rp 520.000. Rakyat RI mengalami 250 ribu kali pemiskinan. Untuk menutupi kegagalan itu, BI, seperti bankir di manapun, akan melakukan redenominasi. Hari ini redenominasi sudah dimulai. Targetnya, memasuki tahun 2014, akan ada uang baru dengan nilai baru yang lebih memiskinkan rakyat, bangsa dan negeri ini dalam kubangan kemiskinan yang semakin parah. Bagaimana dengan Bank Sentral negara lain?

Marilah kita ambil bank sentral paling berpengaruh saat ini, yaitu Federal Reserve AS, yang menerbitkan dollar AS. Saham terbesar Federal Reserve of America ini dimiliki oleh dua bank besar, yaitu Citibank (15%) dan Chase Manhattan (14%). Sisanya dibagi oleh 25 bank komersial lainnya, antara lain Chemical Bank (8%), Morgan Guaranty Trust (9%) , Manufacturers Hannover (7%), dan sebagainya. Sampai pada tahun 1983 sebanyak 66% dari total saham Federal Reserve AS ini, setara dengan 7.005.700 saham, dikuasai hanya oleh 10 bank komersial, sisanya 44% dibagi oleh 17 bank lainnya.

Bahkan, kalau dilihat dengan lebih sederhana lagi, 53% saham Federal Reserve AS dimilik hanya oleh lima besar yang disebutkan di atas. Bahkan, kalau diperhatikan benar, saham yang menentukan pada Federal Reserve Bank of New York, yang menetapkan tingkat dan skala operasinya secara keseluruhan berada di bawah pengaruh bank-bank yang secara langsung dikontrol oleh ‘London Connection’ –yaitu Bank of England, yang dikuasai oleh keluarga Rothschild.

Sama halnya dengan bank-bank sentral di berbagai negara lain, namanya berbau nasionalis, tapi pemilikannya adalah privat. Bank of England, sudah disebutkan sebelumnya, bukan milik rakyat Inggris tapi para bankir swasta, yang sejak 1825 sangat kuat di bawah pengaruh satu pihak saja, keluarga Rothschild. Pengambil-alihan oleh keluarga ini terjadi setelah mereka mem-bail out utang negara saat terjadi krisis di Inggris. Deutsche Bundesbank bukanlah milik rakyat Jerman tapi dikuasai oleh keluarga Siemens dan Ludwig Bumberger.

Hong Kong and Shanghai Bank bukan milik warga Hong Kong tapi di bawah kontrol Ernest Cassel. Sama halnya dengan National Bank of Marocco dan National Bank of Egypt didirikan dan dikuasai oleh Cassel yang sama, bukan milik kaum Muslim Maroko atau Mesir. Imperial Ottoman Bank bukan milik rakyat Turki melainkan dikendalikan oleh Pereire Bersaudara, Credit Mobilier, dari Perancis. Demikian seterusnya.

Jadi, ‘Bank-bank Nasional’ seperti ini, sebenarnya, adalah sindikat keuangan internasional, modal ‘antar-bangsa’ yang secara riel tidak ada dalam bentuk aset nyata (specie) apa pun, kecuali dalam bentuk angka-angka nominal di atas kertas atau byte yang berkedap-kedip di permukaan layar komputer. Bank-bank ini sebagian besar dimiliki oleh keluarga-keluarga yang sebagian sudah disebutkan di atas.

Utang-utang yang mereka berikan kepada pemerintahan suatu negara tidak pernah diminta oleh rakyat negara tempat mereka beroperasi tapi dibuat oleh pemerintahan demokratis yang mengatas-namakan warga negara. Mereka, para bankir ini, adalah orang-orang yang tak punya loyalitas kebangsaan, dan tidak akuntabel, tetapi mengendalikan kebijakan paling mendasar suatu negara. Dan, setiap kali mereka menciptakan kredit, setiap kali itu pula mereka mencetak uang baru dari byte komputer belaka. Nasehat saya, rakyat sebaiknya bertindak sendiri, jaga harta, amankan daya beli. Tinggalkan uang kertas, gunakan Dinar emas dan Dirham perak. [Diriwayatkan oleh Zaim Saidi]

Jumat, 26 September 2014

Revolusi Iran Tak Cuma Sekedar Revolusi Politik –Tapi Revolusi Mental



Oleh Ahmad Fadhil, M. Hum (Pengajar Filsafat dan Konseling Islam di IAIN Maulana Hasanuddin Banten)

Imam Khomeini terlihat sedang berwudhu. Fisiknya yang sudah lemah membuat ia nampak dapat digoyang-goyang oleh angin. Pengawal pribadinya melihat itu, dan berkata dalam hati, “Bagaimana orang yang lemah seperti ini dapat membuat Amerika ketakutan?” Lalu si pengawal melihat Khomeini menghampiri dan berkata kepadanya, “Apakah engkau ingin membuat takut Amerika?” Si pengawal menjawab, “Ya.” Khomeini berkata, “Kalau begitu, engkau harus memperkuat hubunganmu dengan Allah.”

Bangsa Iran dan para pengagum Khomeini kini sedang memperingati 19 tahun wafatnya beliau. Ia wafat pada tanggal 3 Juni 1989. Revolusi Islam yang dipimpinnya berhasil memantik kekuatan tersembunyi bangsa Iran dan menempatkan mereka di deretan negara maju dan masuk ke pentas perimbangan kekuatan internasional sebagai aktor utama. Tidak disangsikan bahwa dalam rentang waktu 29 tahun umur revolusi ini, sudah banyak kemajuan yang telah diraih oleh bangsa Iran. Penguasaan sain dan teknologi yang dimahkotai dengan masuknya Iran ke deretan negara pemilik teknologi nuklir dan luar angkasa—sebagai contoh—menuntut adanya kekuatan yang besar di level rakyat.

Bagaimana hal ini terjadi? Bagaimana pesan sederhana seperti pentingnya setiap muslim memperkuat hubungannya dengan Allah seperti terungkap dalam fragmen di atas mampu membuat Iran mewujudkan langkah besar secara politik dan ilmiah, sehingga negara-negara imperialis itu sekaligus terkejut dan bingung, membuat kita tertuntut untuk mengetahui siapa dan apa peran Khomeini bagi bangsa Iran?

Sekelumit Biografi

Ayatullah Ruhullah al-Musawi al-Khomeini lahir pada tanggal 24 September 1902 di Khomein, kota di dekat Isfahan, 30-40 km dari Teheran. Beberapa bulan setelah kelahirannya, ayahnya, Ayatullah Mushthafa Khomeini meninggal, sehingga ia diasuh oleh ibu dan bibinya. Pada usia 15 tahun, ia kehilangan ibu dan bibinya dalam satu tahun.

Hingga berusia 18 tahun, ia tinggal dan belajar di Khomein. Pada tahun 1921, ia pergi ke Irak untuk belajar. Tidak lama di sana ia langsung pulang ke Qum. Di Qum, ia belajar bahasa Arab, logika, teologi, matematika, astronomi, filsafat, irfan. Di antara gurunya adalah Ayatullah Shahabadi dan Ayatullah Tabrizi.

Pada usia 27 tahun ia mulai mengajar pada bidang-bidang teosofi, fiqih, dan etika.

Sedari muda, ia sudah melawan gerakan anti agama, korupsi, dan penyimpangan baik sosial maupun teologis. Ia menulis buku Kasyf al-Asrâr dan menulis 27 kejahatan Mohammad Reza Shah.

Pada tahun 1960, ia terjun ke kancah perjuangan praktis dengan menentang UU yang menyatakan bahwa pemilih dan kandidat tidak mesti muslim. Ia mengundang para marja ke rumahnya dan mengajak mereka bersatu menentang UU tersebut. Hasilnya, rakyat turun berdemonstrasi hingga UU itu dibatalkan.

Pada tahun 1963 pemerintah menyerang Madrasah Faidhiyah hingga menewaskan beberapa pelajar. Khomeini berpidato dan menyingkap hubungan rahasia Iran dengan Israel. Tanggal 15 Juni 1963, pukul 03.00, rumah Khomeini dikepung, lalu ia ditangkap dan dibawa ke Teheran. Ketika masyarakat tahu ia ditangkap, mereka turun ke jalan-jalan di Qum dan Teheran. Ribuan dari mereka terbunuh. Karena tekanan rakyat, pemerintah membebaskan Khomeini dan menetapkan tahanan rumah baginya.

Pada tahun 1964, pemerintah mengeluarkan satu UU yang membuat Khomeini sangat marah. Ia mengirim utusan ke daerah-daerah untuk mengabarkan bahwa ia akan berpidato menyikapi UU tersebut. Ia mengecam Amerika, ditangkap lagi, lalu diasingkan ke Ankara, Turki. Ia diasingkan di Turki selama 9 bulan. Reza Shah kaget bahwa rakyat semakin melawan. Pada masa ini, Khomeini menulis Tahrir al-Wasilah, risalah praktis yang ditulis sebagai syarat untuk menjadi marja. Di buku ini, berbeda dengan buku-buku marja lainnya, ia menulis tema jihad dan amar makruf nahi munkar.

Masih pada tahun 1964, Khomeini diasingkan ke Najaf. Dari Najaf, ia tetap menjaga hubungan dengan kader-kader revolusi dan keluarga syuhada.

Pada tahun 1967, terjadi perang antara Israel dengan negara-negara Arab. Khomeini bertemu dengan tokoh-tokoh perjuangan Palestina dan berfatwa, “Menolong Palestina dan Libanon hukumnya wajib.” Inilah pertama kalinya seorang marja mengeluarkan fatwa dalam bidang ini. Pada saat itu, pemerintah Iran sangat dekat dengan Amerika. Amerika mengirim bantuan senjata, pesawat tempur, dan minyak ke Israel lewat Iran.

Pada tanggal 23 Oktober 1977, Mushthafa, anak Imam Khomeini terbunuh. Imam diberi tahu. Ia hanya diam, lalu tangannya memegang tanah, lalu berkata, “Ini adalah rahmat Allah.” Banyak orang yang tidak mengerti mengapa ia berkata seperti itu. Kemudian mereka mengerti bahwa kesyahidan itu adalah salah satu kunci keberhasilan revolusi, sebab selama 13 tahun sebelumnya, pemerintah melarang rakyat Iran membicarakan Khomeini. Dengan kematian ini, rakyat Iran mengadakan berbagai acara keagamaan. Nama Khomeini dibicarakan di berbagai tempat. Pemerintah marah. Rakyat terus berdemo. Tapi, kali ini dengan cara yang berbeda. Bila ada yang mati syahid, upacara besar-besaran diadakan pada hari ke 3, 7, dan 40.

Imam Khomeini terus mengirimkan pesan-pesan berisi dukungan revolusi rakyat. Pemerintah Iran mengganti Perdana Menteri dan para pejabat tinggi untuk menenangkan rakyat. Pemerintah Irak mengusir Imam ke Kuwait. Kuwait melarang Khomeini masuk ke wilayah mereka. Maka, ia pergi ke Paris. Pemerintah Perancis melarangnya melakukan aktivitas politik. Khomeini menjawab, “Ini aneh dan bertentangan dengan UU dan jiwa demokrasi kalian.” Di Paris ia mengadakan berbagai pertemuan dan membahas masa depan gerakan revolusi. Reza Shah membebaskan tahanan politik dan menjanjikan perubahan. Tapi rakyat tidak percaya. Akhirnya Shah pergi ke Amerika dan Khomeini kembali ke Iran. Pada tanggal 12 Februari 1979 Khomeini tiba di Iran setelah 15 tahun hidup dalam pengasingan. Sekitar 4-6 juta orang menyambutnya.

Sekelumit Pemikiran

Menurut Khomeini, politik tidak sekadar mengatur dan memerintah negara dan masyarakat serta memberikan servis dan fasilitas bagi mereka, melainkan juga melatih dan mengembangkan kemampuan jiwa dan sumber daya mereka. Dalam pengertian inilah ia mengusung jargon Imam Ali, السياسة أفضل العمل, “Politik adalah pekerjaan yang paling mulia.” Kemuliaan politik ini bersumber dari subjek utama politik menurut Islam adalah mendidik jiwa masyarakat untuk menjalankan ajaran-ajaran kebaikan. Hak pemerintahan adalah milik Allah. Tapi untuk mengatur manusia, maka diperlukan manusia juga. Jadi, jantung politik adalah melatih jiwa manusia. Di sinilah terlihat signifikansi dan kesucian “politik suci”. Imam Hasan mengatakan, “Politik tidaklah seperti yang mereka gambarkan. Politik adalah sesuatu yang suci. Karena itulah Allah menyebut kita politisi.”

Ketika Khomeini dipenjara, salah seorang agen SAVAK menemuinya dan memintanya untuk meninggalkan arena politik dengan alasan politik penuh dusta, tipu daya, dan korupsi. Tindakan-tindakan jelek seperti ini hanya pantas dilakukan orang yang bukan ulama. Khomeini menjawab bahwa politik dalam pengertian tersebut memang tidak pernah ia intervensi, karena ia tidak mempercayai politik yang demikian. Yang ia percayai dan ajarkan adalah politik yang suci, dan karena itu tidak dapat ia tinggalkan.

Dengan dasar ini, Khomeini mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam mengatur keimanan mereka. Ia mengatakan, “Berpartisipasilah dalam setiap pemilu. Meninggalkan politik adalah salah satu dosa terbesar. Sebab, ketika engkau mengisolasi diri, orang lain akan berkuasa dan mengaturmu. Bagaimana mungkin Islam tidak peduli pada politik, sementara Islam menyuruh shalat jamaah, shalat Jumat, dan haji? Negara-negara super powerlah yang berusaha menjauhkan kita dari politik. Ada dua juta orang berkumpul di Mekkah setiap tahun. Tapi kita menyia-nyiakan kesempatan ini untuk mengenalkan problem muslim satu sama lain, amar makruf nahi munkar ….” Ia mengatakan, “Islam bukan sekadar ritual. Islam tidak jauh dari politik dan usaha membangun pemerintah yang kuat. Islam adalah sebuah rezim. Islam adalah agama yang lengkap yang mengatur seluruh aspek kehidupan.”

Khomeini menyeru umat Islam untuk memiliki kepribadian yang merangkum tujuan-tujuan luhur para nabi. Setiap muslim harus mewakafkan hidupnya untuk tujuan ini, lalu bekerja sekuat tenaga untuk menyukseskan misi meluhurkan kalimat tauhid, menegakkan kedaulatan Tuhan di bumi, membela kaum tertindas, membungkam dan memberangus kaum tiran dalam berbagai manifestasinya, dan memastikan hal ini bertahan setelah kematian dengan membentuk generasi yang melanjutkan misi ini betapa pun lamanya waktu dan besarnya pengorbanan.

Ia berpesan kepada rakyat Iran bahwa berbagai beban, kesulitan, pengorbanan, tebusan, dan keterhimpitan yang mereka tanggung sesuai dengan kadar keagungan tujuan dan nilai serta ketinggian cita-cita mereka. Apa yang diperjuangkan adalah ajaran paling luhur yang pernah ada sejak dunia tercipta hingga akhir masa, yaitu ajaran tauhid yang termanifestasi di dalam ajaran Nabi Muhammad saw. Usaha semua nabi dan wali adalah untuk merealisasikan tujuan ini, karena ajaran ini yang membawa manusia kepada kesempurnaan yang mutlak. Ajaran inilah yang membuat makhluk yang terbuat dari tanah menjadi lebih mulia daripada para malaikat.

Dari wasiat ini jelas bahwa tujuan revolusi adalah mendidik dan membimbing perjalanan manusia dari dunia “debu” ke dunia “malakut” yang luhur; membentuk masyarakat dan mencipta lingkungan yang tidak disembah di dalamnya kecuali Allah, sehingga cahaya ubudiyah, keikhlasan, dan kepercayaan kepada kegaiban menghilangkan kegelapan hawa nafsu dan syahwat duniawi; menerangi pandangan manusia dengan cahaya keindahan kebenaran di alam wujud; mengembalikan kedaulatan tauhid dan aspek-aspek transendennya di dalam berbagai aktivitas manusia dan relasi masyarakat.

Dengan dasar ini, tidak aneh jika revolusi yang dipimpinnya mendapat perhatian besar dari kalangan pemikir, filosof, dan politikus muslim atau bukan, karena ia tidak serupa dengan revolusi mana pun sebelumnya. Sepanjang sejarah, revolusi adalah upaya mengganti rezim politik, membangkitkan kaum tertindas untuk melawan orang-orang kaya, atau membebaskan diri dari penguasa kolonialis-imperialis. Revolusi Islam Iran, selain bertujuan merobohkan rezim politik, sosial, dan imperialis, juga mengandung makna lain, yaitu menumbangkan kebudayaan dan pandangan hidup tertentu dan menggantinya dengan yang lain. Dari budaya materialis hewani ke budaya spiritualis insani.

Pasca Revolusi, yang terjadi di Iran adalah implementasi konsep Wilayat Faqih. Dasar teori ini adalah asumsi bahwa Nabi memiliki tiga tugas. Pertama, mengajarkan agama. Kedua, membangun dan mengatur pemerintahan. Ketiga, memutuskan masalah-masalah antar individu dalam relasi-relasi sosial. Nabi sudah melakukan tiga tugas itu. Khomeini percaya bahwa ide pemisahan agama dengan politik adalah produksi Barat, karena Barat percaya bahwa untuk meraih kemajuan mereka harus meninggalkan agama. Dalam keyakinan Syiah, tugas ini dilanjutkan oleh para imam maksum. Nah, pada masa kegaiban imam maksum, faqih mengemban tugas yang sama dengan mereka, karena hukum Islam harus terus ditegakkan, dan tidak ada satu pun ajaran agama yang boleh dihentikan pelaksanaannya kapan saja.

Khomeini menanamkan kesadaran bahwa rezim para mulla ini pasti menjadi sasaran dendam pihak-pihak yang ingin menanggalkan semua makna kehidupan manusia selain satu makna, yaitu kemajuan, tapi bukan dalam arti kemajuan manusia dan spiritualitasnya, melainkan kemajuan kekayaan kaum elit dan kemajuan kesusahan mayoritas wong cilik; pihak-pihak yang tidak menyisakan kesenangan bagi kaum mayoritas kecuali kenikmatan berbelanja atau kebahagiaan konsumeristik. Ia juga memprediksi bahwa Iran akan menjadi sasaran tembak dan dianggap sebagai pihak yang bertanggung jawab atas segala bentuk perlawanan terhadap dominasi Amerika di dunia.

Untuk mengantisipasi hal tersebut, Khomeini menyerukan kemandirian dalam arti yang seluas-luasnya. Ia mengatakan, “Sayang sekali, banyak orang teralienasi dari jati dirinya sebagai muslim. Kita harus percaya diri. Jangan pernah menyangka negara lain akan memajukan negeri kita. Kita harus bekerja sendiri untuk memajukan negeri kita.” Untuk memiliki kemandirian, Khomeini menjelaskan lima syarat yang harus dipenuhi: 1) Percaya kepada Allah, 2) Percaya kepada diri sendiri, 3) Sanggup menanggung atau memiliki toleransi yang besar terhadap beragam kesulitan, 4) Memiliki harapan, 5) Menunggu. Tentang syarat kelima, yaitu menunggu, bisa diberikan catatan di sini sebagai sesuatu yang sangat penting dalam ajaran Syiah, yakni menunggu kedatangan Imam Mahdi. Bagi Syiah, “menunggu” adalah salah satu jenis ibadah.

Dengan konsep kemandirian ini, setiap individu harus bisa mandiri, yakni memenuhi kebutuhan dirinya sendiri dengan dirinya sendiri. Setiap keluarga harus bisa mandiri. Setiap masyarakat harus mandiri. Setiap kota harus mandiri. Dan bangsa juga harus mandiri. Walhasil bangsa Iran telah berhasil melakukan dua hal, yaitu memanfaatkan keahlian putra bangsa dan menyerap kebaikan asing atau Barat.

Ada sebuah kisah, Imam Ali dicela oleh orang-orang Bashrah karena pakaiannya tidak bagus. Imam Ali menjawab, “Janganlah kalian mencela aku, sebab bajuku ini dibuat oleh istriku sendiri.” Imam Baqir mengatakan, “Tuhan menyuruh salah seorang nabinya, ‘Peringati umatmu untuk tidak memakai baju musuh-Ku, tidak makan makanan musuh-Ku, tidak minum minuman musuh-Ku. Jika tidak, maka mereka adalah musuh-Ku.”

Imam Khomeini, saat memimpin revolusi Iran, tidak mengandalkan apa pun kecuali seruan kembali kepada Islam otentik yang dibawa oleh Muhammad saw. Ketika menegaskan hal ini, dia tidak melakukan sesuatu yang asing dalam agama Islam. Ia hanya ingin agar umat berkomitmen kepada kesadaran dan keterjagaan dalam menerima Islam sebagai akidah, syariat, dan akhlak, serta menghindari semua bentuk sikap serba berlebihan atau serba kekurangan (ifrath dan tafrith) yang sayap-sayapnya menaungi kondisi umat Islam di zaman modern.

Berkaitan dengan sikap seimbang ini, Khomeini berkata, “Melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika dan budaya, meskipun demi terwujudnya tujuan Islami, adalah tidak dapat dibenarkan dan bertentangan dengan  uslub-uslub Islam.” Dengan penegasan ini, ia menempatkan diri di bawah kebijakan politik Imam Ali sekaligus menarik garis pemisah antara metode perjuangannya dengan sikap-sikap pragmatisme politik. Ia berpesan kepada kader-kader revolusi, “Akibat dari sikap ekstrem apa pun pasti tidak baik.”

Di sini Khomeini mengingatkan peran para ulama untuk mengingatkan kaum Muslim setiap kali mereka merasakan bahaya yang mengancam Islam dan al-Quran agar mereka tidak dipersalahkan di hadapan Allah. Ulama bertugas memperkenalkan Islam kepada masyarakat. Untuk itu, mereka harus mempelajari dan meneliti ajaran-ajaran Islam dengan cara-cara terbaik, lalu mentransfernya kepada masyarakat. Sangat ironis jika ada banyak lembaga keislaman, tapi ternyata masyarakat memiliki pengetahuan dan kesadaran yang sangat minim mengenai Islam. Selain itu, mereka harus berjuang bersama masyarakat dalam melawan intervensi pemikiran dan budaya yang bertentangan dengan Islam.

Selain mengingatkan bahaya kesembronoan dan ketidakpedulian dalam menyikapi wacana-wacana krusial Islam, Khomeini mengingatkan bahaya tunduk kepada Islam yang ia sebut “Islam Amerika”. Program kaum imperialis di bawah pimpinan Washington ini telah berhasil mengentaskan fron-fron ekstrem yang gemar mengkafirkan sesama muslim, mencederai citra Islam yang otentik, dan mengosongkannya dari pilar-pilar utamanya. Di sinilah ulama berperan membimbing umat untuk memilah akidah yang shahih, menghancurkan dinding-dinding kebodohan dan khurafat, dan mengantar kepada jernihnya mata air Islam otentik yang dibawa oleh Muhammad saw.

Penutup

Khomeini berhasil memimpin revolusi karena kepribadiannya sama dengan pikiran dan ucapannya. Menguatkan hubungan dengan Allah SWT dan sekaligus memutuskan hubungan dengan musuh-musuh-Nya—simbol terbesarnya adalah kaum imperialis dan Zionis—adalah kunci kekuatan pribadi maupun masyarakat. Di sinilah makna pemilahan term ibadah dan ubudiyah. Mayoritas muslim sudah melaksanakan ibadah. Ini tidak cukup. Dengan ubudiyah, seorang muslim beribadah tidak pada waktu-waktu tertentu saja, melainkan 24 jam sehari. Ibadah laksana memandang lautan, sedangkan ubudiyah laksana berada di dalam lautan.

Wasiat Khomeini ini relevan bagi kita, orang-orang Islam Indonesia yang kerap menjadi korban atas apa yang terjadi di berbagai tempat atas nama Islam, padahal Islam terbebas sama sekali darinya, yang telah membawa petaka bagi kaum muslimin maupun non muslim. Tapi jelas bahwa pesan ini akan hidup di tengah-tengah kita hanya jika para ulama, pemikir dan politisi muslim, serta para penganut Islam peduli, sadar, paham, dan bersatu padu dalam menjalankan peran dan tanggung jawab keagamaan mereka. Dengan demikian kita pun berhasil menjadi juru dakwah yang terhormat dari sebuah agama yang terhormat. Semoga!