“Negara ini sudah terlalu lama diatur oleh orang-orang
yang telah menjual bangsa ini ke perusahaan dan pemerintah asing. Orang-orang
ini tidak punya moral dan belas kasihan. Jika rakyat mencoba bernegosiasi
dengan mereka, maka mereka hanya akan melakukan apa yang mereka telah lakukan
selama beberapa dekade ini: menipu dan berbohong, mencoba mengulur waktu.
Mereka tidak peduli tentang Indonesia dan rakyat Indonesia! Mereka ingin
memberikan mobil Porsche dan diploma untuk anak-anak mereka, serta kondominium
mewah di Australia, Amerika Serikat, Singapura dan Hong Kong”
Oleh Rossie Indira & Andre Vltchek
Oleh Rossie Indira & Andre Vltchek
Suatu hal yang tidak biasa
dan memberikan harapan sedang terjadi di Indonesia. Setelah musim dingin yang
panjang di bidang intelektualitas, kita baru saja melihat tunas hijau keluar
menembus salju (kalau metafora ini dapat digunakan di sebuah negara tropis). Sebuah
penerbit progresif Indonesia yang baru - Badak Merah (‘Red Rhino’) - meluncurkan judul
pertamanya di bidang politik, 'Indonesia:
Untaian Ketakutan di Nusantara' yang merupakan terjemahan dari buku karya
Andre Vltchek ‘Indonesia: Archipelago of Fear’.
Buku ini adalah kritik pedas terhadap negara Indonesia pasca-1965, dimana baik
Andre Vltchek maupun Naomi Klein percaya bahwa hal ini adalah sebuah percobaan
pihak Barat tentang perilaku manusia, yang kemudian digandakan di banyak negara
lain di dunia. Penulis dan penerbit dari Indonesia, Rossie Indira, mewawancarai
Vltchek untuk CounterPunch:
RI : Apa
pendapat Anda tentang situasi sekarang di Indonesia ? Bagaimana Anda
membandingkan situasi sekarang dengan ketika Anda memproduksi dan menyutradarai
film dokumenter Anda 'Terlena - Breaking of a
Nation'?
AV : Situasi sekarang jauh lebih buruk dari 10 tahun yang lalu. Pada waktu itu kita masih punya harapan. Pemimpin Muslim progresif Abdurrahman Wahid (Gus Dur) masih hidup, begitu pula Pramoedya Ananta Toer. Pak Wahid, mantan Presiden Indonesia, adalah seorang Sosialis di dalam hatinya. Dia digulingkan oleh suatu kudeta yudisial yang dilancarkan oleh para elit dan militer Indonesia, walaupun pada waktu itu banyak orang Indonesia percaya bahwa ia akan kembali berkuasa.
Di masa itu, masih ada beberapa kelompok aktivis yang masih murni dan belum ‘terjual’, yang bekerja keras untuk mewujudkan Indonesia yang baru. Orang-orang itu, setidaknya kebanyakan dari mereka, mempunyai obsesi menemukan cara baru untuk mengubah negeri mereka ini.
Sekarang, pemerintahan dengan kediktatoran atau kita sebut saja ‘rezim Indonesia’, sudah sepenuhnya mengkonsolidasikan kekuatan mereka... Coba Anda lihat, pihak Barat mengatakan kepada bangsa Indonesia, tentu saja secara tidak langsung, bahwa negara ini bisa disebut negara 'demokrasi' kalau memiliki beberapa atau banyak partai politik, dan menyelenggarakan Pemilu dari waktu ke waktu. Tapi semua ini omong kosong belaka. Negara bisa disebut negara demokrasi ketika rakyatnya memberikan suara mereka dan suara mereka tersebut benar-benar dapat mengubah arah kemana bangsa mereka akan dibawa: seperti yang terjadi di Venezuela. 'Kekuatan rakyat' yang nyata... Adanya banyak partai politik dan memasukkan potongan-potongan kertas suara ke dalam kotak tidak memberikan jaminan apapun! Ada banyak partai di Indonesia tetapi semuanya pro-bisnis dan pro-elit, dan semua kandidat partai-partai itu, termasuk Jokowi, adalah mereka yang sudah terlebih dahulu dipilih dan disetujui oleh rezim. Jadi tidak peduli berapa banyak orang yang memberikan suara, tidak akan ada perubahan apapun.
Sebenarnya, memberikan suara di negara-negara seperti Indonesia termasuk tidak patriotik karena hanya memberikan legitimasi saja kepada rezim yang ada, yang hanya melayani kepentingan politik dan ekonomi asing, serta para elit yang sepenuhnya sudah melacurkan diri.
Tidak dapat disangkal bahwa negara Indonesia kini adalah sebuah negara yang sudah hancur. Kehancurannya sudah mencapai tingkat negara-negara Afrika sub - Sahara (Saya bekerja di Afrika, jadi saya dapat dengan mudah membandingkannya). Memang ada pusat-pusat perbelanjaan dan hotel-hotel mewah di beberapa kotanya, tetapi selain itu bisa dikatakan sebuah mimpi yang benar-benar buruk, dengan tidak adanya layanan dasar atau layanan yang sama sekali tidak memadai.
Bahkan Rwanda punya jalan-jalan yang jauh lebih baik dari Indonesia. Bahkan Zimbabwe punya sekolah umum yang jauh lebih baik. Bahkan Kenya punya jaringan telepon selular dan internet yang lebih handal. Bahkan Botswana punya rumah sakit umum yang lebih baik.
Rezim sudah berbohong tentang berbagai hal, termasuk berapa jumlah penduduk negara ini, juga tentang jumlah penduduk miskin (yang kenyataannya sebagian besar dari jumlah penduduknya). Pendidikan hampir tidak ada yang layak. Yang disebut sebagai sistem pendidikan di sini hanya untuk mencuci otak, dan untuk mempertahankan status quo. Dan memang demikian yang terlihat: negara dengan jumlah penduduk lebih dari 300 juta (angka sebenarnya) tidak punya satupun ilmuwan atau pemikir besar, kontras dengan negara seperti Nigeria yang punya banyak ilmuwan dan pemikir besar.
Dan benar-benar tidak ada kelompok oposisi.
Tentu saja negara yang gagal seperti ini sepenuhnya didukung oleh akademisi dan media massa Barat, karena negara seperti ini mau melakukan apapun yang diperintahkan padanya: menjadi negara yang amat besar tapi otaknya sudah dicuci habis, yang sekarang menjarah dan mengekspor kekayaan alamnya, sementara rakyatnya tidak sadar bahwa saat ini rakyat di berbagai bagian dunia lain berjuang untuk benar-benar merdeka dari tirani Barat, dan berjuang untuk sosialisme.
RI: Dalam buku Anda ‘Archipelago of Fear’, yang diterbitkan oleh penerbit Pluto di London, dan yang akan terbit dua minggu lagi dalam Bahasa Indonesia dengan judul ‘Indonesia: Untaian Ketakutan di Nusantara’: mengapa Anda menggambarkan Indonesia sebagai ‘negara kepulauan yang penuh dengan untaian ketakutan’? Banyak orang di sini bertanya tentang hal ini dan tampaknya mereka tidak menyadari atau tidak mau mengakui bahwa kenyataannya seperti yang Anda gambarkan?
AV : Rakyat Indonesia hidup dalam ketakutan yang terus menerus, hidup dalam kengerian. Memang, seringkali mereka tidak menyadari hal ini, karena dalam pikiran mereka, ‘hidup dalam ketakutan’ ini, dianggap ‘biasa’. Perasaan ketakutan ini juga menjelaskan mengapa hampir tidak ada perlawanan/pemberontakan, atau hampir tidak ada yang bersedia untuk memulai pemberontakan terhadap rezim. Rakyatnya lumpuh karena rasa ketakutan yang abstrak, yang sebenarnya berakar pada kebodohan dan rasa tidak aman.
Mereka yang benar-benar dilindungi dan dihormati di sini hanyalah mereka yang merampok dan korup. Yang lain bisa disebut sebagai korban. Korban yang ketakutan, frustrasi dan kurang informasi. Para pekerja takut karena mereka tidak mendapatkan perlindungan: para petani takut, para pembantu rumah tangga juga takut (kemudian mereka melarikan diri mencari pekerjaan bahkan sampai ke Timur Tengah yang tentu saja bukan surga bagi perempuan), dan bahkan karyawan perusahaan juga takut. Anak-anak takut karena orang tua mereka menganggap mereka sebagai hak milik dan sebagian besar memang diperlakukan seperti itu. Kaum perempuan takut karena mereka dipermalukan setiap hari dan diperlakukan seperti obyek seksual semata, seperti budak belian. Selain itu, banyak perempuan di sini menderita karena disunat (bahkan ada yang mengatakan bahwa jumlahnya banyak sekali, bisa mencapai sebagian besar dari perempuan di sini), karena pelecehan seksual, pemerkosaan (bahkan yang dilakukan keluarga sendiri), dan sementara tingkat pelecehan seksual di sini merupakan salah satu yang tertinggi di dunia, sebagian besar kasus yang terjadi tidak dilaporkan, karena adanya ketakutan itu.
Di Indonesia, banyak sekali terjadi perkosaan, bahkan hal ini juga terjadi pada saat terjadinya beberapa genosida di negara ini: yang terjadi di tahun 1965-1966, di Timor Timur dan sekarang di Papua. Perempuan-perempuan yang ada dalam tahanan polisi banyak yang diperkosa.
Banyak perempuan yang karena begitu takutnya pada pandangan masyarakat dan keluarganya, jika mereka hamil di luar nikah, mereka lebih suka meninggalkan anak-anak mereka (meninggalkan mereka di selokan ) daripada menghadapi kritikan masyarakat. Presentase anak yang ditinggalkan di Indonesia adalah salah satu yang tertinggi di dunia, tapi sekali lagi, sebagian besar hal ini tidak dilaporkan.
Rakyat Indonesia takut diserang, dihina, dirampok atau diperkosa. Sekali lagi, perasaan ini ada karena mereka tidak merasa dilindungi. Polisi dan bahkan sistem hukum di negara ini korup dan/atau hanya melindungi mereka yang kaya saja. Korban tidak yakin ada keadilan bagi mereka. Bagaimana mereka tidak takut di negara yang sistem hukumnya hampir tidak bekerja?
Di negeri ini, orang takut kelihatan ‘berbeda’. Kalau ada orang yang terlihat berbeda dengan mayoritas penduduk, maka akan ada hinaan yang bersifat rasis untuk orang tersebut. Indonesia adalah salah satu negara paling rasis di bumi ini, dan hal ini telah terbukti dengan adanya beberapa genosida yang terjadi disini. Tetapi tetap orang-orang tidak mengerti tentang apa arti rasisme yang sebenarnya. Dan sama sekali tidak ada otokritik.
Rakyat takut jatuh sakit karena sistem kesehatan di Indonesia adalah salah satu sistem yang paling tidak punya belas kasihan di dunia ini, sistem yang benar-benar bergantung pada kekuatan pasar. Perawatan kesehatan di sini benar-benar hanya ‘bisnis’, sama seperti berbagai hal lain yang telah menjadi ‘bisnis’. Semua ini sangat menakutkan dan mengerikan.
Para korban pembantaian 1965 juga merasa ketakutan! Alih-alih menuntut keadilan dan menjebloskan mereka yang bertanggung jawab atas genosida ke dalam penjara, mereka benar-benar ketakutan! Mereka takut karena mereka tidak berdaya. Anda bisa melihatnya dalam film ‘Jagal’ (Act of Killing)! Tapi sementara seluruh dunia ngeri menonton bagaimana para pembunuh massal itu dihormati dan dikagumi, banyak orang Indonesia yang melihat semua itu sebagai hal yang biasa.
Ketakutanlah yang dirasakan ketika seseorang melihat seluruh kepulauan ini - hancur, habis dijarah, dirampok, dan amat tercemar. Sumatera sudah hilang, Kalimantan sudah hilang, Papua ... Jawa ... Bangka ... Bali sudah menjadi pulau bebas bea yang kitschy, penuh sesak dan tercemar.
Mungkin banyak orang tidak mampu mendefinisikan ketakutan mereka. Tapi percaya deh, mereka takut, dan hal ini terlihat dari perilaku mereka. Banyak sekali orang yang frustrasi dan marah di sini.
Banyak yang mengatakan kalau hidup mereka menyenangkan, tapi kenyataannya sebagian besar hidup sengsara. Banyak yang mengatakan bahwa mereka tidak miskin, bahkan mereka yang sumber air bersihnya dari selokan dan tinggal di gubuk yang terbuat dari karton. Mereka bilang kalau mereka tidak takut, karena kengerian yang mereka alami setiap hari tidak boleh didefinisikan sebagai ketakutan di sini. Jika mereka bilang takut, maka mereka akan diejek oleh keluarga, pejabat pemerintah, dan media massa.
Dan selain ketakutan-ketakutan di atas, masyarakat Indonesia takut kalau mereka ‘berbeda’. Berbeda di negara ini punya konsekuensi yang brutal. Orang yang berbeda dicemoohkan, dikucilkan, diperkosa, disiksa, dan dibunuh. Perbedaan tidak diperbolehkan. Menjadi seorang Komunis dilarang. Menjadi gay dilarang. Menjadi seorang ateis dilarang. Menjadi seorang yang percaya Taoisme dilarang. Menjadi satu dari seribu dilarang.
Hal-hal di atas lah yang menjadikan tempat ini salah satu yang paling tidak kreatif dan paling monolitik di bumi. Banyak orang yang bersembunyi di balik agama mereka, bahkan sudah banyak pula yang sudah benar-benar gila-gilaan. Mereka juga bersembunyi di dalam klan keluarga mereka. Bagi kebanyakan orang, dalam kelompok orang, kurangnya pengetahuan dan ketidakmampuan berpikir bukan dianggap sebagai kebodohan, bahkan bisa dianggap sebagai kekuatan.
Indonesia adalah suatu tempat yang paling menakutkan dan mengerikan di bumi ini.
RI: Kami baru saja melaksanakan pemilu legislatif pada tanggal 9 April 2014 yang lalu. Yang mengkhawatirkan adalah, seperti yang Anda sebutkan tadi, kita semua ini sudah dicuci otaknya untuk berpikir bahwa karena kami sudah melaksanakan pemilu dengan banyak partai, maka negara ini sudah bisa disebut negara demokrasi. Para wakil rakyat di DPR semua lupa akan janji-janji mereka setelah mereka terpilih atau terpilih kembali, dan jelas sekali terlihat bahwa mereka di sana hanya untuk kepentingan mereka sendiri. Sama juga dengan pemilihan Presiden: setelah terpilih, Presiden akan ‘lupa’ dengan semua tentang janjinya, dan lupa dengan tugasnya untuk melindungi rakyat. Jadi apa sistem terbaik untuk negara seperti Indonesia? Apakah sila keempat Pancasila - Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan - sudah tepat?
AV: Menurut pendapat saya, Indonesia harus terlebih dahulu menganut sistem sosialis, sebelum kita bisa bicara tentang ‘demokrasi’.
Karena pertama-tama, masyarakat Indonesia harus terdidik dan tahu apa yang mereka inginkan dan tahu segala sesuatu tentang negara mereka. Kepentingan rakyat harus didahulukan! Seluruh lapisan masyarakat harus bekerja siang dan malam untuk meningkatkan taraf hidup mayoritas penduduknya. Pada dasarnya, kita perlu melakukan kebalikan dari Indonesia sekarang ini, yaitu: mayoritas penduduk melayani kepentingan bisnis para gangster lokal dan tuan-tuan asingnya.
Tentu saja harus ada dorongan yang kuat untuk mendidik rakyat. Apa yang ada sekarang ini, setelah kudeta militer di tahun1965 disponsori Amerika Serikat dan pertumpahan darah sesudahnya, adalah budaya Indonesia yang telah dihancurkan dan digantikan dengan budaya pop lokal dan terutama budaya pop Amerika. Budaya berpikir sangat tidak dianjurkan. Pendidikan yang layak benar-benar dikhususkan untuk kaum elit saja, dan mereka yang telah berpendidikan menggunakan pengetahuan mereka untuk mengambil lebih banyak dari negara mereka, dan bukan untuk memperbaikinya secara keseluruhan.
Oleh karenanya, masyarakat Indonesia tidak tahu siapa yang mereka pilih dalam pemilihan umum, atau sistem politik apa yang mereka representasikan. Sangat mudah untuk menipu rakyat yang tidak berpendidikan.
Tentang para wakil rakyat: baiklah... tentu saja diperlukan! Tapi para wakil rakyat ini (laki-laki dan perempuan) harus sangat berdedikasi, jujur, dan pemberani. Mereka harus siap untuk hidup atau mati bagi bangsanya: menempatkan kepentingan pribadi, bahkan kepentingan keluarga mereka, jauh di belakang kepentingan negeri ini!
Untuk menghasilkan wakil-wakil rakyat seperti ini memerlukan waktu puluhan tahun, dan mereka hanya dapat tumbuh dalam sistem politik yang berbeda secara fundamental, dan dalam budaya yang sama sekali baru. Yang sekarang memerintah Indonesia secara moral sudah mati, sudah korup. Yang memerintah negara ini sekarang bahkan tidak bisa dikatakan sistem budaya atau politik: mereka adalah penyakit.
Apa yang terjadi sekarang, beberapa dekade setelah tahun 1965, adalah rakyat Indonesia yang tidak tahu adanya sistem lain kecuali sistem mereka sendiri, dan mereka pun tidak tahu apa-apa tentang demokrasi yang sebenarnya.
Jika pihak Amerika Serikat dan negara Barat lainnya tidak memperkosa negara ini pada tahun 1965, maka sistem pemerintahan alaminya pasti mengikuti apa yang diciptakan oleh bapak bangsa Soekarno, yang merupakan seorang nasionalis (dan internasionalis) yang pada waktu itu beraliansi erat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), yang pada waktu itu merupakan partai komunis terbesar ketiga di dunia, setelah RRC dan Uni Soviet. Oleh karena itu, bagian dari - nasionalisme, internasionalisme dan ‘komunisme demokrasi’ - akan menjadi perkembangan yang paling alami dan normal untuk Indonesia, dari segi budaya dan mentalitasnya. Dan hanya teror pihak Barat dan elit Indonesia yang korup, serta kader agama yang terlalu bersemangat (dari semua agama, bukan hanya Islam), membelokkan proses tersebut dengan cara membunuh, memperkosa dan memenjarakan jutaan orang, dengan mengunci negara ini dalam untaian ketakutan yang terus-menerus, dalam kengerian, dan secara moral menyerah.
Semua hal di atas harus dijelaskan kepada rakyat Indonesia: bagaimana negara mereka sebelum kudeta, dan apa sebetulnya yang terjadi dalam kudeta mengerikan tersebut. Kudeta itu tidak 'menyelamatkan Indonesia dari Komunisme'. Kudeta itu hanya mengubah negara yang nasionalis dan progresif kembali menjadi negara jajahan Barat. 'Kolonialisme' dan 'demokrasi' adalah dua istilah yang kontradiktif. Agar bisa 'demokratis', maka suatu negara harus bebas. Saat ini, rakyat Indonesia masih menjadi budak belian dari: pihak Barat dan elit lokal mereka.
Apa yang terjadi sekarang bukanlah ‘the rule of the people’ atau rakyat yang mengatur atau memerintah (demokrasi), melainkan kepala rumah tangga lokal yang serakah dan majikan asing mereka lah yang mengatur atau memerintah.
RI : Anda juga menyebutkan sistem pendidikan. Sistem pendidikan apa yang cocok untuk diterapkan disini? Kami tahu bahwa demokrasi tidak akan tercapai jika rakyat kurang terdidik, dan untuk mendidik mereka, negara perlu menyediakan dana yang besar; tentu harus disediakan berapapun perlunya. Namun menurut Mahkamah Konstitusi, “partisipasi publik yang adil dalam pembiayaan pendidikan” tidak bertentangan dengan konstitusi. MK mengatakan bahwa untuk mencapai kualitas yang diinginkan, setiap warga negara juga harus bertanggung jawab untuk mendidik dirinya sendiri ke tingkat yang ingin dicapainya. Ini berarti bahwa walaupun negara memiliki tanggung jawab yang utama, tetapi warga negara tetap harus mengeluarkan dana juga. Bukankah ini adalah bagian dari neo-liberalisme?
AV: Benar. Tidak akan ada demokrasi di negara yang rakyatnya tidak berpendidikan dan tidak mengerti posisi mereka di masyarakat dan di dunia. Rakyat bisa ‘berkuasa’ hanya jika mereka bisa membuat 'keputusan yang cerdas'. Demokrasi berarti 'rakyat yang berkuasa', tetapi apakah rakyat benar-benar berkuasa jika yang mereka bisa lakukan hanyalah menghitung berapa banyak uang yang mereka peroleh untuk memberikan suara mereka dalam pemilu, atau jika mereka memilih kandidat yang hanya akan mempertahankan status quo? Dan semua kandidat di Indonesia adalah mereka yang sudah dipilih dan disetujui oleh rezim, terutama mereka yang terlihat sedikit ‘berbeda’, seperti misalnya Jokowi.
Tentu saja setiap warga negara harus mencoba untuk mendidik dirinya sendiri, tetapi hanya setelah mereka mendapatkan dasar-dasar pengetahuan penting terlebih dahulu. Pendidikan formal harus selalu gratis; mulai dari TK sampai tingkat Doktoral. Pendidikan gratis di banyak negara Eropa, juga di beberapa negara Amerika Latin (termasuk Kuba, Meksiko dan Argentina). China mulai lagi dengan pendidikan gratis, sama seperti perawatan kesehatan universal. Di negara seperti Chile, sekarang ini rakyat berdemonstrasi di jalanan, berjuang agar rakyat mendapatkan pendidikan gratis, dan kelihatannya mereka berhasil!
Selain itu, budaya harus terus-menerus ada di barisan depan. Seperti halnya di Amerika Latin, budaya harus bisa mendidik rakyat: harus ada ribuan teater besar, bioskop yang memutar film seni, pemerintahnya memerikan jutaan buku gratis, banyak acara baca puisi bagi publik, banyak kuliah umum yang gratis, berbagai toko buku yang buka sampai pagi, pameran yang menggambarkan kebutuhan dan penderitaan masyarakat, serta konser musik yang musiknya melibatkan kondisi rakyat kebanyakan.
Cobalah lihat kota-kota di Indonesia: Jakarta, Surabaya, Medan... apakah ada kota-kota lain di dunia dengan jumlah penduduk sebesar kota-kota ini namun benar-benar kronis tanpa/kurang budaya, dan kurangnya lembaga-lembaga yang seharusnya membuat orang berpikir? Misalnya seperti teater, pusat arsip, perpustakaan besar yang lengkap, ruang konser, bioskop seni, toko buku progresif... Hampir tidak ada apapun di sini...
Bagaimana cara rakyat mendidik diri mereka sendiri di Indonesia? Apakah hal ini mungkin kalau mereka hanya mengkonsumsi segala sesuatu yang bersifat pop, menonton saluran televisi dengan program-program sampah, atau hanya berbaur dengan kaum ‘mayoritas yang buta huruf secara fungsional’ yang menyembunyikan kebodohan mereka di masyarakat yang berpikiran sama?
RI: Anda merekomendasikan bahwa Indonesia seharusnya menganut salah satu bentuk sistem sosialis, apakah Anda punya saran tentang bagaimana caranya bangsa ini bisa menuju ke arah sana? Banyak negara di dunia ini berjuang untuk hal ini, seperti misalnya yang sedang terjadi di sebagian besar negara-negara Amerika Latin, mereka berhasil dan mengubah sistem negara mereka menjadi negara sosialis. Tapi tampaknya sebagian besar orang Indonesia bahkan tidak mengikuti apa yang terjadi disana dan tidak mengerti magnitudanya. Sebagian besar bahkan tampak acuh tak acuh. Bagaimana kita mengajarkan pada rakyat Indonesia bahwa mereka membutuhkan perubahan fundamental atas sistem politik, ekonomi dan budaya untuk dapat keluar dari situasi sekarang ini?
AV: Semua itu hanya dapat dilakukan dengan pendidikan dan dengan keterbukaan. Semua orang yang bisa, harus berpartisipasi dalam 'proyek' ini. Tidak hanya pendidik profesional dan guru (seringkali bahkan mereka ini sudah diindoktrinasi dan dicuci otaknya), tetapi terutama seniman, orang-orang kreatif, dan pemikir. Harus ada lebih banyak inisiatif, terutama dari pers yang independen! Apa yang sudah dilakukan oleh penerbit independen progresif di Indonesia? Tidak ada - mereka tidak pernah berhasil! Memalukan!
Sebuah penerbitan seperti yang Anda pimpin - Badak Merah - harus menjadi andalan kaum oposisi.
Rakyat Indonesia yang marah dengan kondisi negara ini - pengacara, dokter, insinyur, ilmuwan - harus mau menyuarakan pendapatnya; bahkan harus menyuarakannya dengan keras. Dan tentu saja suara para petani dan pekerja tentang kisah-kisah mereka yang mengerikan harus didengar dan dibaca dari halaman-halaman majalah independen dan blog, dari YouTube dan dari film-film independen.
Sudah cukup kalian dicekoki dengan pop! Pop adalah hiburan yang berkualitas rendah dan egosentris yang ditujukan pada massa yang sudah mati otaknya dan diindoktrinasi. Pihak Barat telah menyebarluaskan aliran ini, melalui Kerajaannya, hingga rakyat di negara-negara jajahan barunya berhenti berpikir sama sekali, dan sementara mereka sedang diperkosa, mereka akan membayangkan bahwa mereka sebenarnya sedang bercinta! Ini adalah cara reaksioner, sayap kanan dalam mengekspresikan realitas semu. Dan kalian harus tahu kalau hal-hal itu benar-benar tidak keren, dan amat konservatif.
Masyarakat Indonesia harus belajar dan sadar bahwa berjuang untuk sebuah negara yang lebih baik adalah hal yang amat baik dan memberikan inspirasi. Seperti para lelaki, perempuan, bahkan anak-anak di Amerika Latin yang sudah paham akan hal ini beberapa dekade yang lalu! Khususnya anak muda harus tahu: Pemberontakan itu baik. Revolusi itu baik. Berpikir itu baik. Kemajuan itu baik. Untuk menjadi seorang pejuang yang revolusioner atau pemberontak itu keren - sangat keren. Jauh lebih keren daripada naik Ferrari merah atau kuning yang dibeli dengan uang yang dicuri ayahnya dari orang miskin!
Belajar, bepergian dan membandingkan dunia, menulis puisi yang penuh emosi, membuat karya seni revolusioner, ikut demonstrasi, meminta pertanggungjawaban pada generasi yang lebih tua (termasuk orang tua dan kakek-nenek mereka sendiri) atas kehancuran negara ini, dan akhirnya berjuang untuk tujuan membangun bangsa yang adil, ramah dan indah yang disebut 'Indonesia'. Semua hal di atas jauh lebih baik dan mulia daripada duduk nyaman di Starbucks, menatap kosong pada smartphones yang sama seperti orang idiot, yang pada dasarnya hanya buang-buang waktu saja... dan buang-buang waktu orang lain... dan tidak menghasilkan apapun.
Rakyat harus terlibat. Cukup sudah bersikap nihilisme! Cukup sudah hidup yang hampa dan mengalah! Berjuang untuk dunia yang lebih baik bukan hanya layak dilakukan, tapi juga menyenangkan; hidup menjadi lebih bermakna dan memuaskan.
RI: Apakah menurut Anda harus ada revolusi di Indonesia agar rakyat bisa memperoleh perawatan medis gratis universal dan pendidikan gratis? Apakah harus melalui revolusi untuk bisa membangun masyarakat yang lebih baik?
AV: Untuk perawatan kesehatan, katanya pemerintah sudah punya semacam rencana, tetapi kelihatannya sih tidak akan berjalan dengan baik, karena sistemyang dianut pemerintah tidak cocok dengan rencana seperti itu. Rencana ini ada bukan karena adanya tekad untuk memberikan perawatan kesehatan gratis dan universal kepada warga Indonesia (setidaknya mirip dengan yang sudah ada di Thailand), tapi hanyalah semacam tambalan saja untuk kondisi sekarang yang amat mengerikan, atau penutup luka yang terbuka saja. Sekali lagi kita harus ingat bahwa kualitas perawatan kesehatan di Indonesia masih setara dengan Kenya atau Tanzania, bukan dengan Malaysia atau Thailand, dan bahwa sistem yang sekarang ini benar-benar korup secara finansial dan moral, dan [tanpa revolusi] tidak akan ada sesuatu yang bersifat 'publik', atau 'gratis'.
Ya, rakyat harus berjuang untuk mendapatkan pendidikan gratis, pelayanan kesehatan universal serta hak-hak dasar lainnya. Tentu saja mereka harus berjuang! Pendidikan yang gratis dan baik adalah hak mereka, tidak peduli apa kata para penasehat 'ahli' dari Amerika Serikat.
Negara ini sudah terlalu lama diatur oleh orang-orang yang telah menjual bangsa ini ke perusahaan dan pemerintah asing. Orang-orang ini tidak punya moral dan belas kasihan. Jika rakyat mencoba bernegosiasi dengan mereka, maka mereka hanya akan melakukan apa yang mereka telah lakukan selama beberapa dekade ini: menipu dan berbohong, mencoba mengulur waktu. Mereka tidak peduli tentang Indonesia dan rakyat Indonesia! Mereka ingin memberikan mobil Porsche dan diploma untuk anak-anak mereka, serta kondominium mewah di Australia, Amerika Serikat, Singapura dan Hong Kong.
Satu-satunya cara adalah untuk menyingkirkan mereka adalah dengan mengusir mereka dari kekuasaan. Masyarakat Indonesia harus mengambil alih kekuasaan dan mendapatkan kembali kendali atas negara mereka sendiri. Dan hal ini tidak akan pernah diperoleh tanpa perjuangan.
Tapi hal ini mungkin untuk dilakukan, bahkan harus dilakukan! Atas nama mayoritas rakyat Indonesia yang hidup dalam penderitaan yang mengerikan! Atas nama bangsa yang telah kehilangan hampir segalanya. Ayo berjuang atas nama kehidupan ratusan juta pria, wanita dan anak-anak!
Andre Vltchek adalah seorang novelis, pembuat film dan wartawan investigasi. Dia telah meliput perang dan konflik di berbagai negara. Buku tentang diskusinya dengan Noam Chomsky On Western Terrorism baru saja diterbitkan oleh penerbit Pluto di London. Novel politiknya yang kritis Point of No Return baru-baru ini disunting dan diterbitkan kembali kini kembali. Oceania adalah bukunya tentang imperialisme Barat di Pasifik Selatan. Buku provokatifnya tentang Indonesia pasca-Suharto dan model fundamentalis pasar “Indonesia – The Archipelago of Fear”diterbitkan oleh Pluto Press. Dia baru saja menyelesaikan film dokumenternya ‘Rwanda Gambit’ tentang sejarah Rwanda dan penjarahan DR Kongo. Setelah tinggal selama bertahun-tahun di Amerika Latin dan Oceania, Vltchek saat ini tinggal dan bekerja di Asia Timur dan Afrika. Dia dapat dihubungi melalui website atau Twitter-nya.
Rossie Indira adalah seorang penulis, arsitek dan penerbit. Dia adalah salah satu pendiri penerbit Badak Merah. Bersama Andre Vltchek, dia menulis ‘Exile –Pramoedya Ananta Toer in conversation with Andre Vltchek and Rossie Indira’. Buku terbarunya 'Surat Bahasa Dari Bude Ocie' adalah tentang perjalanannya ke negara-negara Amerika Latin. Dia adalah Manager Produksi dan Penterjemah untuk 'Terlena - Breaking of a Nation', sebuah film dokumenter berdurasi 90 menit tentang dampak kudeta di tahun 1965 terhadap masyarakat Indonesia. Dia menulis untuk publikasi di dalam dan di luar Indonesia dan dia menulis dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Dia dapat dihubungi melalui website dan twitter-nya.
AV : Situasi sekarang jauh lebih buruk dari 10 tahun yang lalu. Pada waktu itu kita masih punya harapan. Pemimpin Muslim progresif Abdurrahman Wahid (Gus Dur) masih hidup, begitu pula Pramoedya Ananta Toer. Pak Wahid, mantan Presiden Indonesia, adalah seorang Sosialis di dalam hatinya. Dia digulingkan oleh suatu kudeta yudisial yang dilancarkan oleh para elit dan militer Indonesia, walaupun pada waktu itu banyak orang Indonesia percaya bahwa ia akan kembali berkuasa.
Di masa itu, masih ada beberapa kelompok aktivis yang masih murni dan belum ‘terjual’, yang bekerja keras untuk mewujudkan Indonesia yang baru. Orang-orang itu, setidaknya kebanyakan dari mereka, mempunyai obsesi menemukan cara baru untuk mengubah negeri mereka ini.
Sekarang, pemerintahan dengan kediktatoran atau kita sebut saja ‘rezim Indonesia’, sudah sepenuhnya mengkonsolidasikan kekuatan mereka... Coba Anda lihat, pihak Barat mengatakan kepada bangsa Indonesia, tentu saja secara tidak langsung, bahwa negara ini bisa disebut negara 'demokrasi' kalau memiliki beberapa atau banyak partai politik, dan menyelenggarakan Pemilu dari waktu ke waktu. Tapi semua ini omong kosong belaka. Negara bisa disebut negara demokrasi ketika rakyatnya memberikan suara mereka dan suara mereka tersebut benar-benar dapat mengubah arah kemana bangsa mereka akan dibawa: seperti yang terjadi di Venezuela. 'Kekuatan rakyat' yang nyata... Adanya banyak partai politik dan memasukkan potongan-potongan kertas suara ke dalam kotak tidak memberikan jaminan apapun! Ada banyak partai di Indonesia tetapi semuanya pro-bisnis dan pro-elit, dan semua kandidat partai-partai itu, termasuk Jokowi, adalah mereka yang sudah terlebih dahulu dipilih dan disetujui oleh rezim. Jadi tidak peduli berapa banyak orang yang memberikan suara, tidak akan ada perubahan apapun.
Sebenarnya, memberikan suara di negara-negara seperti Indonesia termasuk tidak patriotik karena hanya memberikan legitimasi saja kepada rezim yang ada, yang hanya melayani kepentingan politik dan ekonomi asing, serta para elit yang sepenuhnya sudah melacurkan diri.
Tidak dapat disangkal bahwa negara Indonesia kini adalah sebuah negara yang sudah hancur. Kehancurannya sudah mencapai tingkat negara-negara Afrika sub - Sahara (Saya bekerja di Afrika, jadi saya dapat dengan mudah membandingkannya). Memang ada pusat-pusat perbelanjaan dan hotel-hotel mewah di beberapa kotanya, tetapi selain itu bisa dikatakan sebuah mimpi yang benar-benar buruk, dengan tidak adanya layanan dasar atau layanan yang sama sekali tidak memadai.
Bahkan Rwanda punya jalan-jalan yang jauh lebih baik dari Indonesia. Bahkan Zimbabwe punya sekolah umum yang jauh lebih baik. Bahkan Kenya punya jaringan telepon selular dan internet yang lebih handal. Bahkan Botswana punya rumah sakit umum yang lebih baik.
Rezim sudah berbohong tentang berbagai hal, termasuk berapa jumlah penduduk negara ini, juga tentang jumlah penduduk miskin (yang kenyataannya sebagian besar dari jumlah penduduknya). Pendidikan hampir tidak ada yang layak. Yang disebut sebagai sistem pendidikan di sini hanya untuk mencuci otak, dan untuk mempertahankan status quo. Dan memang demikian yang terlihat: negara dengan jumlah penduduk lebih dari 300 juta (angka sebenarnya) tidak punya satupun ilmuwan atau pemikir besar, kontras dengan negara seperti Nigeria yang punya banyak ilmuwan dan pemikir besar.
Dan benar-benar tidak ada kelompok oposisi.
Tentu saja negara yang gagal seperti ini sepenuhnya didukung oleh akademisi dan media massa Barat, karena negara seperti ini mau melakukan apapun yang diperintahkan padanya: menjadi negara yang amat besar tapi otaknya sudah dicuci habis, yang sekarang menjarah dan mengekspor kekayaan alamnya, sementara rakyatnya tidak sadar bahwa saat ini rakyat di berbagai bagian dunia lain berjuang untuk benar-benar merdeka dari tirani Barat, dan berjuang untuk sosialisme.
RI: Dalam buku Anda ‘Archipelago of Fear’, yang diterbitkan oleh penerbit Pluto di London, dan yang akan terbit dua minggu lagi dalam Bahasa Indonesia dengan judul ‘Indonesia: Untaian Ketakutan di Nusantara’: mengapa Anda menggambarkan Indonesia sebagai ‘negara kepulauan yang penuh dengan untaian ketakutan’? Banyak orang di sini bertanya tentang hal ini dan tampaknya mereka tidak menyadari atau tidak mau mengakui bahwa kenyataannya seperti yang Anda gambarkan?
AV : Rakyat Indonesia hidup dalam ketakutan yang terus menerus, hidup dalam kengerian. Memang, seringkali mereka tidak menyadari hal ini, karena dalam pikiran mereka, ‘hidup dalam ketakutan’ ini, dianggap ‘biasa’. Perasaan ketakutan ini juga menjelaskan mengapa hampir tidak ada perlawanan/pemberontakan, atau hampir tidak ada yang bersedia untuk memulai pemberontakan terhadap rezim. Rakyatnya lumpuh karena rasa ketakutan yang abstrak, yang sebenarnya berakar pada kebodohan dan rasa tidak aman.
Mereka yang benar-benar dilindungi dan dihormati di sini hanyalah mereka yang merampok dan korup. Yang lain bisa disebut sebagai korban. Korban yang ketakutan, frustrasi dan kurang informasi. Para pekerja takut karena mereka tidak mendapatkan perlindungan: para petani takut, para pembantu rumah tangga juga takut (kemudian mereka melarikan diri mencari pekerjaan bahkan sampai ke Timur Tengah yang tentu saja bukan surga bagi perempuan), dan bahkan karyawan perusahaan juga takut. Anak-anak takut karena orang tua mereka menganggap mereka sebagai hak milik dan sebagian besar memang diperlakukan seperti itu. Kaum perempuan takut karena mereka dipermalukan setiap hari dan diperlakukan seperti obyek seksual semata, seperti budak belian. Selain itu, banyak perempuan di sini menderita karena disunat (bahkan ada yang mengatakan bahwa jumlahnya banyak sekali, bisa mencapai sebagian besar dari perempuan di sini), karena pelecehan seksual, pemerkosaan (bahkan yang dilakukan keluarga sendiri), dan sementara tingkat pelecehan seksual di sini merupakan salah satu yang tertinggi di dunia, sebagian besar kasus yang terjadi tidak dilaporkan, karena adanya ketakutan itu.
Di Indonesia, banyak sekali terjadi perkosaan, bahkan hal ini juga terjadi pada saat terjadinya beberapa genosida di negara ini: yang terjadi di tahun 1965-1966, di Timor Timur dan sekarang di Papua. Perempuan-perempuan yang ada dalam tahanan polisi banyak yang diperkosa.
Banyak perempuan yang karena begitu takutnya pada pandangan masyarakat dan keluarganya, jika mereka hamil di luar nikah, mereka lebih suka meninggalkan anak-anak mereka (meninggalkan mereka di selokan ) daripada menghadapi kritikan masyarakat. Presentase anak yang ditinggalkan di Indonesia adalah salah satu yang tertinggi di dunia, tapi sekali lagi, sebagian besar hal ini tidak dilaporkan.
Rakyat Indonesia takut diserang, dihina, dirampok atau diperkosa. Sekali lagi, perasaan ini ada karena mereka tidak merasa dilindungi. Polisi dan bahkan sistem hukum di negara ini korup dan/atau hanya melindungi mereka yang kaya saja. Korban tidak yakin ada keadilan bagi mereka. Bagaimana mereka tidak takut di negara yang sistem hukumnya hampir tidak bekerja?
Di negeri ini, orang takut kelihatan ‘berbeda’. Kalau ada orang yang terlihat berbeda dengan mayoritas penduduk, maka akan ada hinaan yang bersifat rasis untuk orang tersebut. Indonesia adalah salah satu negara paling rasis di bumi ini, dan hal ini telah terbukti dengan adanya beberapa genosida yang terjadi disini. Tetapi tetap orang-orang tidak mengerti tentang apa arti rasisme yang sebenarnya. Dan sama sekali tidak ada otokritik.
Rakyat takut jatuh sakit karena sistem kesehatan di Indonesia adalah salah satu sistem yang paling tidak punya belas kasihan di dunia ini, sistem yang benar-benar bergantung pada kekuatan pasar. Perawatan kesehatan di sini benar-benar hanya ‘bisnis’, sama seperti berbagai hal lain yang telah menjadi ‘bisnis’. Semua ini sangat menakutkan dan mengerikan.
Para korban pembantaian 1965 juga merasa ketakutan! Alih-alih menuntut keadilan dan menjebloskan mereka yang bertanggung jawab atas genosida ke dalam penjara, mereka benar-benar ketakutan! Mereka takut karena mereka tidak berdaya. Anda bisa melihatnya dalam film ‘Jagal’ (Act of Killing)! Tapi sementara seluruh dunia ngeri menonton bagaimana para pembunuh massal itu dihormati dan dikagumi, banyak orang Indonesia yang melihat semua itu sebagai hal yang biasa.
Ketakutanlah yang dirasakan ketika seseorang melihat seluruh kepulauan ini - hancur, habis dijarah, dirampok, dan amat tercemar. Sumatera sudah hilang, Kalimantan sudah hilang, Papua ... Jawa ... Bangka ... Bali sudah menjadi pulau bebas bea yang kitschy, penuh sesak dan tercemar.
Mungkin banyak orang tidak mampu mendefinisikan ketakutan mereka. Tapi percaya deh, mereka takut, dan hal ini terlihat dari perilaku mereka. Banyak sekali orang yang frustrasi dan marah di sini.
Banyak yang mengatakan kalau hidup mereka menyenangkan, tapi kenyataannya sebagian besar hidup sengsara. Banyak yang mengatakan bahwa mereka tidak miskin, bahkan mereka yang sumber air bersihnya dari selokan dan tinggal di gubuk yang terbuat dari karton. Mereka bilang kalau mereka tidak takut, karena kengerian yang mereka alami setiap hari tidak boleh didefinisikan sebagai ketakutan di sini. Jika mereka bilang takut, maka mereka akan diejek oleh keluarga, pejabat pemerintah, dan media massa.
Dan selain ketakutan-ketakutan di atas, masyarakat Indonesia takut kalau mereka ‘berbeda’. Berbeda di negara ini punya konsekuensi yang brutal. Orang yang berbeda dicemoohkan, dikucilkan, diperkosa, disiksa, dan dibunuh. Perbedaan tidak diperbolehkan. Menjadi seorang Komunis dilarang. Menjadi gay dilarang. Menjadi seorang ateis dilarang. Menjadi seorang yang percaya Taoisme dilarang. Menjadi satu dari seribu dilarang.
Hal-hal di atas lah yang menjadikan tempat ini salah satu yang paling tidak kreatif dan paling monolitik di bumi. Banyak orang yang bersembunyi di balik agama mereka, bahkan sudah banyak pula yang sudah benar-benar gila-gilaan. Mereka juga bersembunyi di dalam klan keluarga mereka. Bagi kebanyakan orang, dalam kelompok orang, kurangnya pengetahuan dan ketidakmampuan berpikir bukan dianggap sebagai kebodohan, bahkan bisa dianggap sebagai kekuatan.
Indonesia adalah suatu tempat yang paling menakutkan dan mengerikan di bumi ini.
RI: Kami baru saja melaksanakan pemilu legislatif pada tanggal 9 April 2014 yang lalu. Yang mengkhawatirkan adalah, seperti yang Anda sebutkan tadi, kita semua ini sudah dicuci otaknya untuk berpikir bahwa karena kami sudah melaksanakan pemilu dengan banyak partai, maka negara ini sudah bisa disebut negara demokrasi. Para wakil rakyat di DPR semua lupa akan janji-janji mereka setelah mereka terpilih atau terpilih kembali, dan jelas sekali terlihat bahwa mereka di sana hanya untuk kepentingan mereka sendiri. Sama juga dengan pemilihan Presiden: setelah terpilih, Presiden akan ‘lupa’ dengan semua tentang janjinya, dan lupa dengan tugasnya untuk melindungi rakyat. Jadi apa sistem terbaik untuk negara seperti Indonesia? Apakah sila keempat Pancasila - Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan - sudah tepat?
AV: Menurut pendapat saya, Indonesia harus terlebih dahulu menganut sistem sosialis, sebelum kita bisa bicara tentang ‘demokrasi’.
Karena pertama-tama, masyarakat Indonesia harus terdidik dan tahu apa yang mereka inginkan dan tahu segala sesuatu tentang negara mereka. Kepentingan rakyat harus didahulukan! Seluruh lapisan masyarakat harus bekerja siang dan malam untuk meningkatkan taraf hidup mayoritas penduduknya. Pada dasarnya, kita perlu melakukan kebalikan dari Indonesia sekarang ini, yaitu: mayoritas penduduk melayani kepentingan bisnis para gangster lokal dan tuan-tuan asingnya.
Tentu saja harus ada dorongan yang kuat untuk mendidik rakyat. Apa yang ada sekarang ini, setelah kudeta militer di tahun1965 disponsori Amerika Serikat dan pertumpahan darah sesudahnya, adalah budaya Indonesia yang telah dihancurkan dan digantikan dengan budaya pop lokal dan terutama budaya pop Amerika. Budaya berpikir sangat tidak dianjurkan. Pendidikan yang layak benar-benar dikhususkan untuk kaum elit saja, dan mereka yang telah berpendidikan menggunakan pengetahuan mereka untuk mengambil lebih banyak dari negara mereka, dan bukan untuk memperbaikinya secara keseluruhan.
Oleh karenanya, masyarakat Indonesia tidak tahu siapa yang mereka pilih dalam pemilihan umum, atau sistem politik apa yang mereka representasikan. Sangat mudah untuk menipu rakyat yang tidak berpendidikan.
Tentang para wakil rakyat: baiklah... tentu saja diperlukan! Tapi para wakil rakyat ini (laki-laki dan perempuan) harus sangat berdedikasi, jujur, dan pemberani. Mereka harus siap untuk hidup atau mati bagi bangsanya: menempatkan kepentingan pribadi, bahkan kepentingan keluarga mereka, jauh di belakang kepentingan negeri ini!
Untuk menghasilkan wakil-wakil rakyat seperti ini memerlukan waktu puluhan tahun, dan mereka hanya dapat tumbuh dalam sistem politik yang berbeda secara fundamental, dan dalam budaya yang sama sekali baru. Yang sekarang memerintah Indonesia secara moral sudah mati, sudah korup. Yang memerintah negara ini sekarang bahkan tidak bisa dikatakan sistem budaya atau politik: mereka adalah penyakit.
Apa yang terjadi sekarang, beberapa dekade setelah tahun 1965, adalah rakyat Indonesia yang tidak tahu adanya sistem lain kecuali sistem mereka sendiri, dan mereka pun tidak tahu apa-apa tentang demokrasi yang sebenarnya.
Jika pihak Amerika Serikat dan negara Barat lainnya tidak memperkosa negara ini pada tahun 1965, maka sistem pemerintahan alaminya pasti mengikuti apa yang diciptakan oleh bapak bangsa Soekarno, yang merupakan seorang nasionalis (dan internasionalis) yang pada waktu itu beraliansi erat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), yang pada waktu itu merupakan partai komunis terbesar ketiga di dunia, setelah RRC dan Uni Soviet. Oleh karena itu, bagian dari - nasionalisme, internasionalisme dan ‘komunisme demokrasi’ - akan menjadi perkembangan yang paling alami dan normal untuk Indonesia, dari segi budaya dan mentalitasnya. Dan hanya teror pihak Barat dan elit Indonesia yang korup, serta kader agama yang terlalu bersemangat (dari semua agama, bukan hanya Islam), membelokkan proses tersebut dengan cara membunuh, memperkosa dan memenjarakan jutaan orang, dengan mengunci negara ini dalam untaian ketakutan yang terus-menerus, dalam kengerian, dan secara moral menyerah.
Semua hal di atas harus dijelaskan kepada rakyat Indonesia: bagaimana negara mereka sebelum kudeta, dan apa sebetulnya yang terjadi dalam kudeta mengerikan tersebut. Kudeta itu tidak 'menyelamatkan Indonesia dari Komunisme'. Kudeta itu hanya mengubah negara yang nasionalis dan progresif kembali menjadi negara jajahan Barat. 'Kolonialisme' dan 'demokrasi' adalah dua istilah yang kontradiktif. Agar bisa 'demokratis', maka suatu negara harus bebas. Saat ini, rakyat Indonesia masih menjadi budak belian dari: pihak Barat dan elit lokal mereka.
Apa yang terjadi sekarang bukanlah ‘the rule of the people’ atau rakyat yang mengatur atau memerintah (demokrasi), melainkan kepala rumah tangga lokal yang serakah dan majikan asing mereka lah yang mengatur atau memerintah.
RI : Anda juga menyebutkan sistem pendidikan. Sistem pendidikan apa yang cocok untuk diterapkan disini? Kami tahu bahwa demokrasi tidak akan tercapai jika rakyat kurang terdidik, dan untuk mendidik mereka, negara perlu menyediakan dana yang besar; tentu harus disediakan berapapun perlunya. Namun menurut Mahkamah Konstitusi, “partisipasi publik yang adil dalam pembiayaan pendidikan” tidak bertentangan dengan konstitusi. MK mengatakan bahwa untuk mencapai kualitas yang diinginkan, setiap warga negara juga harus bertanggung jawab untuk mendidik dirinya sendiri ke tingkat yang ingin dicapainya. Ini berarti bahwa walaupun negara memiliki tanggung jawab yang utama, tetapi warga negara tetap harus mengeluarkan dana juga. Bukankah ini adalah bagian dari neo-liberalisme?
AV: Benar. Tidak akan ada demokrasi di negara yang rakyatnya tidak berpendidikan dan tidak mengerti posisi mereka di masyarakat dan di dunia. Rakyat bisa ‘berkuasa’ hanya jika mereka bisa membuat 'keputusan yang cerdas'. Demokrasi berarti 'rakyat yang berkuasa', tetapi apakah rakyat benar-benar berkuasa jika yang mereka bisa lakukan hanyalah menghitung berapa banyak uang yang mereka peroleh untuk memberikan suara mereka dalam pemilu, atau jika mereka memilih kandidat yang hanya akan mempertahankan status quo? Dan semua kandidat di Indonesia adalah mereka yang sudah dipilih dan disetujui oleh rezim, terutama mereka yang terlihat sedikit ‘berbeda’, seperti misalnya Jokowi.
Tentu saja setiap warga negara harus mencoba untuk mendidik dirinya sendiri, tetapi hanya setelah mereka mendapatkan dasar-dasar pengetahuan penting terlebih dahulu. Pendidikan formal harus selalu gratis; mulai dari TK sampai tingkat Doktoral. Pendidikan gratis di banyak negara Eropa, juga di beberapa negara Amerika Latin (termasuk Kuba, Meksiko dan Argentina). China mulai lagi dengan pendidikan gratis, sama seperti perawatan kesehatan universal. Di negara seperti Chile, sekarang ini rakyat berdemonstrasi di jalanan, berjuang agar rakyat mendapatkan pendidikan gratis, dan kelihatannya mereka berhasil!
Selain itu, budaya harus terus-menerus ada di barisan depan. Seperti halnya di Amerika Latin, budaya harus bisa mendidik rakyat: harus ada ribuan teater besar, bioskop yang memutar film seni, pemerintahnya memerikan jutaan buku gratis, banyak acara baca puisi bagi publik, banyak kuliah umum yang gratis, berbagai toko buku yang buka sampai pagi, pameran yang menggambarkan kebutuhan dan penderitaan masyarakat, serta konser musik yang musiknya melibatkan kondisi rakyat kebanyakan.
Cobalah lihat kota-kota di Indonesia: Jakarta, Surabaya, Medan... apakah ada kota-kota lain di dunia dengan jumlah penduduk sebesar kota-kota ini namun benar-benar kronis tanpa/kurang budaya, dan kurangnya lembaga-lembaga yang seharusnya membuat orang berpikir? Misalnya seperti teater, pusat arsip, perpustakaan besar yang lengkap, ruang konser, bioskop seni, toko buku progresif... Hampir tidak ada apapun di sini...
Bagaimana cara rakyat mendidik diri mereka sendiri di Indonesia? Apakah hal ini mungkin kalau mereka hanya mengkonsumsi segala sesuatu yang bersifat pop, menonton saluran televisi dengan program-program sampah, atau hanya berbaur dengan kaum ‘mayoritas yang buta huruf secara fungsional’ yang menyembunyikan kebodohan mereka di masyarakat yang berpikiran sama?
RI: Anda merekomendasikan bahwa Indonesia seharusnya menganut salah satu bentuk sistem sosialis, apakah Anda punya saran tentang bagaimana caranya bangsa ini bisa menuju ke arah sana? Banyak negara di dunia ini berjuang untuk hal ini, seperti misalnya yang sedang terjadi di sebagian besar negara-negara Amerika Latin, mereka berhasil dan mengubah sistem negara mereka menjadi negara sosialis. Tapi tampaknya sebagian besar orang Indonesia bahkan tidak mengikuti apa yang terjadi disana dan tidak mengerti magnitudanya. Sebagian besar bahkan tampak acuh tak acuh. Bagaimana kita mengajarkan pada rakyat Indonesia bahwa mereka membutuhkan perubahan fundamental atas sistem politik, ekonomi dan budaya untuk dapat keluar dari situasi sekarang ini?
AV: Semua itu hanya dapat dilakukan dengan pendidikan dan dengan keterbukaan. Semua orang yang bisa, harus berpartisipasi dalam 'proyek' ini. Tidak hanya pendidik profesional dan guru (seringkali bahkan mereka ini sudah diindoktrinasi dan dicuci otaknya), tetapi terutama seniman, orang-orang kreatif, dan pemikir. Harus ada lebih banyak inisiatif, terutama dari pers yang independen! Apa yang sudah dilakukan oleh penerbit independen progresif di Indonesia? Tidak ada - mereka tidak pernah berhasil! Memalukan!
Sebuah penerbitan seperti yang Anda pimpin - Badak Merah - harus menjadi andalan kaum oposisi.
Rakyat Indonesia yang marah dengan kondisi negara ini - pengacara, dokter, insinyur, ilmuwan - harus mau menyuarakan pendapatnya; bahkan harus menyuarakannya dengan keras. Dan tentu saja suara para petani dan pekerja tentang kisah-kisah mereka yang mengerikan harus didengar dan dibaca dari halaman-halaman majalah independen dan blog, dari YouTube dan dari film-film independen.
Sudah cukup kalian dicekoki dengan pop! Pop adalah hiburan yang berkualitas rendah dan egosentris yang ditujukan pada massa yang sudah mati otaknya dan diindoktrinasi. Pihak Barat telah menyebarluaskan aliran ini, melalui Kerajaannya, hingga rakyat di negara-negara jajahan barunya berhenti berpikir sama sekali, dan sementara mereka sedang diperkosa, mereka akan membayangkan bahwa mereka sebenarnya sedang bercinta! Ini adalah cara reaksioner, sayap kanan dalam mengekspresikan realitas semu. Dan kalian harus tahu kalau hal-hal itu benar-benar tidak keren, dan amat konservatif.
Masyarakat Indonesia harus belajar dan sadar bahwa berjuang untuk sebuah negara yang lebih baik adalah hal yang amat baik dan memberikan inspirasi. Seperti para lelaki, perempuan, bahkan anak-anak di Amerika Latin yang sudah paham akan hal ini beberapa dekade yang lalu! Khususnya anak muda harus tahu: Pemberontakan itu baik. Revolusi itu baik. Berpikir itu baik. Kemajuan itu baik. Untuk menjadi seorang pejuang yang revolusioner atau pemberontak itu keren - sangat keren. Jauh lebih keren daripada naik Ferrari merah atau kuning yang dibeli dengan uang yang dicuri ayahnya dari orang miskin!
Belajar, bepergian dan membandingkan dunia, menulis puisi yang penuh emosi, membuat karya seni revolusioner, ikut demonstrasi, meminta pertanggungjawaban pada generasi yang lebih tua (termasuk orang tua dan kakek-nenek mereka sendiri) atas kehancuran negara ini, dan akhirnya berjuang untuk tujuan membangun bangsa yang adil, ramah dan indah yang disebut 'Indonesia'. Semua hal di atas jauh lebih baik dan mulia daripada duduk nyaman di Starbucks, menatap kosong pada smartphones yang sama seperti orang idiot, yang pada dasarnya hanya buang-buang waktu saja... dan buang-buang waktu orang lain... dan tidak menghasilkan apapun.
Rakyat harus terlibat. Cukup sudah bersikap nihilisme! Cukup sudah hidup yang hampa dan mengalah! Berjuang untuk dunia yang lebih baik bukan hanya layak dilakukan, tapi juga menyenangkan; hidup menjadi lebih bermakna dan memuaskan.
RI: Apakah menurut Anda harus ada revolusi di Indonesia agar rakyat bisa memperoleh perawatan medis gratis universal dan pendidikan gratis? Apakah harus melalui revolusi untuk bisa membangun masyarakat yang lebih baik?
AV: Untuk perawatan kesehatan, katanya pemerintah sudah punya semacam rencana, tetapi kelihatannya sih tidak akan berjalan dengan baik, karena sistemyang dianut pemerintah tidak cocok dengan rencana seperti itu. Rencana ini ada bukan karena adanya tekad untuk memberikan perawatan kesehatan gratis dan universal kepada warga Indonesia (setidaknya mirip dengan yang sudah ada di Thailand), tapi hanyalah semacam tambalan saja untuk kondisi sekarang yang amat mengerikan, atau penutup luka yang terbuka saja. Sekali lagi kita harus ingat bahwa kualitas perawatan kesehatan di Indonesia masih setara dengan Kenya atau Tanzania, bukan dengan Malaysia atau Thailand, dan bahwa sistem yang sekarang ini benar-benar korup secara finansial dan moral, dan [tanpa revolusi] tidak akan ada sesuatu yang bersifat 'publik', atau 'gratis'.
Ya, rakyat harus berjuang untuk mendapatkan pendidikan gratis, pelayanan kesehatan universal serta hak-hak dasar lainnya. Tentu saja mereka harus berjuang! Pendidikan yang gratis dan baik adalah hak mereka, tidak peduli apa kata para penasehat 'ahli' dari Amerika Serikat.
Negara ini sudah terlalu lama diatur oleh orang-orang yang telah menjual bangsa ini ke perusahaan dan pemerintah asing. Orang-orang ini tidak punya moral dan belas kasihan. Jika rakyat mencoba bernegosiasi dengan mereka, maka mereka hanya akan melakukan apa yang mereka telah lakukan selama beberapa dekade ini: menipu dan berbohong, mencoba mengulur waktu. Mereka tidak peduli tentang Indonesia dan rakyat Indonesia! Mereka ingin memberikan mobil Porsche dan diploma untuk anak-anak mereka, serta kondominium mewah di Australia, Amerika Serikat, Singapura dan Hong Kong.
Satu-satunya cara adalah untuk menyingkirkan mereka adalah dengan mengusir mereka dari kekuasaan. Masyarakat Indonesia harus mengambil alih kekuasaan dan mendapatkan kembali kendali atas negara mereka sendiri. Dan hal ini tidak akan pernah diperoleh tanpa perjuangan.
Tapi hal ini mungkin untuk dilakukan, bahkan harus dilakukan! Atas nama mayoritas rakyat Indonesia yang hidup dalam penderitaan yang mengerikan! Atas nama bangsa yang telah kehilangan hampir segalanya. Ayo berjuang atas nama kehidupan ratusan juta pria, wanita dan anak-anak!
Andre Vltchek adalah seorang novelis, pembuat film dan wartawan investigasi. Dia telah meliput perang dan konflik di berbagai negara. Buku tentang diskusinya dengan Noam Chomsky On Western Terrorism baru saja diterbitkan oleh penerbit Pluto di London. Novel politiknya yang kritis Point of No Return baru-baru ini disunting dan diterbitkan kembali kini kembali. Oceania adalah bukunya tentang imperialisme Barat di Pasifik Selatan. Buku provokatifnya tentang Indonesia pasca-Suharto dan model fundamentalis pasar “Indonesia – The Archipelago of Fear”diterbitkan oleh Pluto Press. Dia baru saja menyelesaikan film dokumenternya ‘Rwanda Gambit’ tentang sejarah Rwanda dan penjarahan DR Kongo. Setelah tinggal selama bertahun-tahun di Amerika Latin dan Oceania, Vltchek saat ini tinggal dan bekerja di Asia Timur dan Afrika. Dia dapat dihubungi melalui website atau Twitter-nya.
Rossie Indira adalah seorang penulis, arsitek dan penerbit. Dia adalah salah satu pendiri penerbit Badak Merah. Bersama Andre Vltchek, dia menulis ‘Exile –Pramoedya Ananta Toer in conversation with Andre Vltchek and Rossie Indira’. Buku terbarunya 'Surat Bahasa Dari Bude Ocie' adalah tentang perjalanannya ke negara-negara Amerika Latin. Dia adalah Manager Produksi dan Penterjemah untuk 'Terlena - Breaking of a Nation', sebuah film dokumenter berdurasi 90 menit tentang dampak kudeta di tahun 1965 terhadap masyarakat Indonesia. Dia menulis untuk publikasi di dalam dan di luar Indonesia dan dia menulis dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Dia dapat dihubungi melalui website dan twitter-nya.
Sumber: Edisi
Akhir Minggu 09-11 Mei 2014 (Judul asli: ‘Archipelago of Fear:
Indonesians Need Revolution!’)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar