Rabu, 10 September 2014

Mafia Berkeley Sebagai Antek-Asing yang Merampok Indonesia



Demokrasi macam mana yang hendak kalian paksakan dengan pasukan marinir dan bom-bom? Betapa ahlinya ia si Setan (–maksudnya George Walker Bush) ia berdusta dan bicara demokrasi dengan sewenang sambil menjatuhkan bom-bom dengan presisi milimetrik di Beirut? (Hugo Chavez)

“Kita harus menentang hak-hak istimewa para elit yang telah menghancurkan sebagian besar dunia”, demikian Hugo Chavez bersuara lantang menentang unilateralisme para elite dunia. Bahkan –dalam pidatonya di majlis umum PBB pada 20 September 2006, Chavez dengan keras mengecam demokrasi yang telah dibajak para elite Amerika dan para kolaboratornya demi kepentingan invasi dan minyak dengan menghalalkan perang dan konflik sektarian: Demokrasi macam mana yang hendak kalian paksakan dengan pasukan marinir dan bom-bom? Betapa ahlinya ia si Setan (–maksudnya George Walker Bush) ia berdusta dan bicara demokrasi dengan sewenang sambil menjatuhkan bom-bom dengan presisi milimetrik di Beirut?

Dalam buku yang ditulis John Pilger dan yang juga ada film dokumenternya, dengan judul The New Rulers of the World, antara lain dikatakan: “Dalam dunia ini, yang tidak dilihat oleh bagian terbesar dari kami yang hidup di belahan utara dunia, cara perampokan yang canggih telah memaksa lebih dari sembilan puluh negara masuk ke dalam program penyesuaian struktural sejak tahun delapan puluhan, yang membuat kesenjangan antara kaya dan miskin semakin menjadi lebar”.

Ini terkenal dengan istilah Nation Building dan Good Governance oleh “empat serangkai” yang mendominasi World Trade Organization –alias WTO (Amerika Serikat, Eropa, Kanada, dan Jepang), dan triumvirat Washington (Bank Dunia, IMF, dan Departemen Keuangan AS). Mereka mengendalikan setiap aspek detail dari kebijakan pemerintah di negara-negara berkembang. Kekuasaan mereka diperoleh dari utang yang belum terbayar, yang memaksa negara-negara termiskin membayar USD 100 juta per hari kepada para kreditor Barat. Akibatnya adalah sebuah dunia yang elitenya –dengan jumlah lebih sedikit dari satu miliar orang- menguasai 80 persen kekayaan seluruh umat manusia.”

Apa yang diungkapkan John Pilger –seorang wartawan Australia yang bermukim di London itu, tidak boleh kita anggap sebagai angin lalu dan fiksi. Lebih lanjut, John Pilger menyatakan: “Their power derives largely from an unrepayable debt that forces the poorest countries…” dan seterusnya. Dan dalam hal Indonesia, keuangan negara sesungguhnya sudah bangkrut pada 1967. Paling tidak, demikianlah yang digambarkan oleh para teknokrat ekonom Orde Baru yang dipercaya oleh Presiden Soeharto untuk memegang tampuk pimpinan dalam bidang perekonomian. Maka, dalam buku John Pilger tersebut, antara lain, juga dikemukakan sebagai berikut:

“Dalam bulan November 1967, menyusul tertangkapnya ’hadiah terbesar’, hasil tangkapannya dibagi. The Time-Life Corporation mensponsori konferensi istimewa di Jenewa yang dalam waktu tiga hari merancang pengambil-alihan Indonesia. Para pesertanya meliputi para kapitalis yang paling berkuasa di dunia, orang-orang seperti David Rockefeller. Semua raksasa korporasi Barat diwakili: perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel. Di seberang meja adalah orang-orangnya Soeharto yang oleh Rockefeller disebut “ekonoom-ekonoom Indonesia yang top”. (Halaman 37)

“Di Jenewa, Tim Indonesia terkenal dengan sebutan ’The Berkeley Mafia’, karena beberapa di antaranya pernah menikmati beasiswa dari pemerintah Amerika Serikat untuk belajar di Universitas California di Berkeley. Mereka datang sebagai peminta-minta yang menyuarakan hal-hal yang diinginkan oleh para majikan yang hadir. Menyodorkan butir-butir yang dijual dari negara dan bangsanya, mereka menawarkan –yang pioneernya adalah Sumitro Djojohadikusumo: … buruh murah yang melimpah… cadangan besar dari sumber daya alam … pasar yang besar.” Di halaman 39 buku John Pilger itu ditulis: “Pada hari kedua, ekonomi Indonesia telah dibagi, sektor demi sektor. ’Ini dilakukan dengan cara yang spektakuler’ kata Jeffry Winters, guru besar pada Northwestern University, Chicago, yang dengan mahasiwanya yang sedang bekerja untuk gelar doktornya, Brad Sampson, telah mempelajari dokumen-dokumen konferensi.

Mereka membaginya ke dalam lima seksi: pertambangan di satu kamar, jasa-jasa di kamar lain, industri ringan di kamar lain, perbankan dan keuangan di kamar lain lagi; yang dilakukan oleh Chase Manhattan –yang duduk dengan sebuah delegasi yang mendiktekan kebijakan-kebijakan yang dapat diterima oleh mereka dan para investor lainnya. Kita saksikan para pemimpin korporasi besar ini berkeliling dari satu meja ke meja yang lain, mengatakan: ini yang kami inginkan –ini, ini, dan ini, dan mereka pada dasarnya merancang infrastruktur hukum untuk berinvestasi di Indonesia. Kita tidak pernah mendengar situasi seperti itu sebelumnya, di mana modal global duduk dengan para wakil dari negara yang diasumsikan sebagai negara berdaulat dan merancang persyaratan buat masuknya investasi mereka ke dalam negaranya sendiri.

Freeport mendapatkan bukit (mountain) dengan tembaga di Papua Barat –di mana Henry Kissinger duduk dalam board. Sebuah konsorsium Eropa mendapat nikel Papua Barat. Sang raksasa Alcoa mendapat bagian terbesar dari bauksit Indonesia. Sekelompok perusahaan-perusahaan Amerika, Jepang, dan Prancis mendapat hutan-hutan tropis di Sumatera, Papua Barat, dan Kalimantan. Sebuah undang-undang tentang penanaman modal asing yang dengan buru-buru disodorkan kepada Soeharto, hingga membuat perampokan ini bebas pajak untuk lima tahun lamanya. Nyata dan secara rahasia, kendali ekonomi Indonesia pergi ke Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI), yang anggota-anggota intinya adalah Amerika Serikat, Kanada, Eropa, Australia dan, yang terpenting, Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia.” Sekali lagi, semuanya itu tadi kalimat-kalimatnya John Pilger.

Kalau kita percaya John Pilger, Brad Sampson, dan Jeffry Winters, sejak 1967 Indonesia sudah mulai dihabisi (plundered) dengan tuntunan oleh para elite bangsa Indonesia sendiri yang ketika itu berkuasa. Sejak itu, Indonesia dikepung oleh kekuatan Barat yang terorganisasi dengan sangat rapi. Instrumen utamanya adalah pemberian utang terus-menerus sehingga utang luar negeri semakin lama semakin besar. Dengan sendirinya, beban pembayaran cicilan utang pokok dan bunganya semakin lama semakin berat. Kita menjadi semakin tergantung pada utang luar negeri. Ketergantungan inilah yang dijadikan leverage atau kekuatan untuk mendikte semua kebijakan pemerintah Indonesia. Tidak saja dalam bentuk ekonomi dan keuangan, tetapi jauh lebih luas dari itu. Utang luar negeri kepada Indonesia diberikan secara sistematis, berkesinambungan, dan terorganisasi secara sangat rapi dengan sikap yang keras –serta persyaratan-persyaratan yang berat. Sebagai negara pemberi utang, mereka tidak sendiri-sendiri, tetapi menyatukan diri dalam organisasi yang disebut CGI.

Negara-negara yang sama sebagai pemberi penundaan pembayaran cicilan utang pokok dan bunganya yang jatuh tempo menyatukan diri dalam organisasi yang bernama Paris Club. Pemerintah Indonesia ditekan oleh semua kreditor yang memberikan pinjaman kepada swasta Indonesia –supaya pemerintah menekan para kreditor swasta itu membayar tepat waktu dalam satu klub lagi yang bernama London Club. Secara kolektif, tanpa dapat dikenali negara per negara, utang diberikan oleh lembaga multilateral yang bernama Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia. Pengatur dan pemimpin kesemuanya itu adalah IMF. Jadi, kesemuanya itu tidak ada bedanya dengan kartel internasional yang sudah berhasil membuat Indonesia sebagai pengutang yang terseok-seok.

Sejak itu, utang diberikan terus sampai hari ini. Dalam krisis di tahun 1997, Indonesia sebagai anggota IMF menggunakan haknya untuk memperoleh bantuan. Ternyata, ada aturan ketat untuk bantuan itu –dan bantuan uang tidak ada, hanya dapat dipakai dengan persyaratan yang dibuat demikian rupa, sehingga praktis tidak akan pernah terpakai. Dengan dipegangnya pinjaman dari IMF sebagai show case, IMF mendikte kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia, yang dengan segala senang hati dipenuhi oleh para menteri ekonomi Indonesia, karena mereka orang-orang pilihan yang dijadikan kroni dan kompradornya.

Maka, dalam ikatan EFF itulah, pemerintah dipaksa menerbitan surat utang dalam jumlah 430 triliun rupiah untuk mem-bail out para pemilik bank yang menggelapkan uang masyarakat yang dipercayakan pada bank-bank mereka. Mereka tidak dihukum –sebaliknya justru dibuatkan perjanjian perdata bernama MSAA yang harus dapat meniadakan pelanggaran pidana menurut undang-undang perbankan. Dalam perjanjian perdata itu, asalkan penggelap uang rakyat yang diganti oleh pemerintah itu dapat mengembalikan dalam bentuk aset yang nilainya sekitar 15 persen, dianggap masalahnya sudah selesai, diberikan release and discharge.

Lima tahun lamanya, yaitu untuk tahun 1999 sampai dengan tahun 2003, pembayaran utang luar negeri yang sudah jatuh tempo ditunda. Namun, mulai tahun 2004, utang yang jatuh tempo beserta bunganya harus dibayar sepenuhnya. Pertimbangannya tidak karena keuangan negara sudah lebih kuat, tetapi karena sudah tidak lagi menjalankan program IMF dalam bentuk yang paling keras dan ketat, yaitu EFF atau LoI. Setelah keuangan negara dibuat bangkrut, Indonesia diberi pinjaman yang tidak boleh dipakai sebelum cadangan devisanya sendiri habis total. Pinjaman diberikan setiap pemerintah menyelesaikan program yang didiktekan oleh IMF dalam bentuk LoI demi LoI. Kalau setiap pelaksanaan LoI dinilai baik, pinjaman sebesar rata-rata USD 400 juta diberikan. Pinjaman ini menumpuk sampai jumlah USD 9 miliar, tiga kali lipat melampaui kuota Indonesia sebesar USD 3 miliar. Karena saldo pinjaman dari IMF melampaui kuota, Indonesia dikenai program pemandoran yang dinamakan Post Program Monitoring.

Mengapa Indonesia tidak mengembalikan saja yang USD 6 miliar supaya saldo menjadi USD 3 miliar sesuai kuota agar terlepas dari post program monitoring. Cadangan devisa kita ketika itu sudah mencapai USD 25 miliar, sedangkan selama Orde Baru hanya sekitar USD 14 miliar. Yang USD 9 miliar itu harus dicicil sesuai jadwal yang ditentukan oleh IMF. Skemanya diatur sedemikian rupa sehingga pada akhir 2007 saldonya tinggal USD 3 miliar. Ketika itulah, baru program pemandoran dilepas. Alasannya kalau yang USD 9 miliar dibayarkan sekarang, cadangan devisa kita akan merosot dari USD 34 miliar menjadi USD 25 miliar.

Mari sekarang kita bayangkan, seandainya cadangan devisa kita habis pada akhir 2007. Ketika itu, utang dari IMF tinggal USD 3 miliar sesuai kuota. Barulah ketika itu utang dari IMF boleh dipakai. Olehnya secara implisit dianggap bahwa ini lebih kredibel, yaitu mengumumkan bahwa cadangan devisa tinggal USD 3 miliar yang berasal dari utang IMF. Kalau seluruh utang yang USD 9 miliar dibayar kembali karena sudah mempunyai cadangan devisa sendiri sebesar USD 25 miliar dikatakan bahwa Indonesia tidak akan kredibel karena cadangan devisa merosot dari USD 34 miliar menjadi USD 25 miliar.

Jelas sekali sangat tidak logisnya kita dipaksa untuk memegang utang dari IMF dengan pengenaan bunga yang tinggi, sekitar 4 persen setahun, tanpa boleh dipakai. Jelas sekali bahwa Indonesia dipaksa berutang yang jumlahnya melampaui kuota yang sama sekali tidak kita butuhkan. Tujuannya hanya supaya Indonesia dikenai pemandoran yang bernama post program monitoring. Jelas ini hanya mungkin dengan dukungan dan kerja sama dari kroni-kroninya Kartel IMF. Maka jelaslah, perang modern yang menggunakan seluruh sektor ekonomi sebagai senjata, terutama sektor moneternya –membutuhkan kroni atau komprador bangsa Indonesia sendiri yang mutlak mengabdi pada kepentingan agresor.

Kalau kita percaya pada Brad Sampson, Jeffrey Winters, dan John Pilger, dan kita perhatikan serta ikuti terus sikap satu kelompok tertentu, kiranya jelas bahwa kelompok pakar ekonomi yang dijuluki “The Berkeley Mafia” adalah kelompok kroni dalam bidang ekonomi dan keuangan. Lahirnya kelompok tersebut telah dikemukakan dalam studi Brad Sampson yang tadi telah dikutip.

Siapakah Mafia Berkeley?

Mafia Berkeley adalah Organisasi Tanpa Bentuk (OTB). Mereka mempunyai atau menciptakan keturunan-keturunan. Para pendirinya memang sudah sepuh, yaitu Prof Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Emil Salim, Soebroto, Moh. Sadli, J.B. Soemarlin, Adrianus Mooy, dan masih sangat banyak lagi. Yang sekarang dominan adalah Sri Mulyani, Moh. Ikhsan, Chatib Basri, dan masih banyak lagi. Mereka tersebar pada seluruh departemen dan menduduki jabatan eselon I dan II, sampai kepala biro.

Ciri kelompok itu ialah masuk ke dalam kabinet tanpa peduli siapa presidennya. Mereka mendesakkan diri dengan bantuan kekuatan agresor. Kalau kita ingat, sejak akhir era Orde Lama, Emil Salim sudah anggota penting dari KOTOE dan Widjojo Nitisastro sudah sekretaris Perdana Menteri Djuanda. Widjojo akhirnya menjabat sebagai ketua Bappenas dan bermarkas di sana. Setelah itu, presiden berganti beberapa kali. Yang “kecolongan” tidak masuk ke dalam kabinet adalah ketika Gus Dur menjadi presiden. Namun, begitu mereka mengetahui, mereka tidak terima. Mereka mendesak supaya Gus Dur membentuk Dewan Ekonomi Nasional. Seperti kita ketahui, ketuanya adalah Emil Salim dan sekretarisnya Sri Mulyani.

Mereka berhasil mempengaruhi atau “memaksa” Gus Dur bahwa mereka diperbolehkan hadir dalam setiap rapat koordinasi bidang ekuin. Tidak puas lagi, mereka berhasil membentuk Tim Asistensi pada Menko Ekuin yang terdiri atas dua orang saja, yaitu Widjojo Nitisastro dan Sri Mulyani. Dipaksakan bahwa mereka harus ikut mendampingi Menko Ekuin dan menteri keuangan dalam perundingan Paris Club pada 12 April 2000, walaupun mereka sama sekali di luar struktur dan sama sekali tidak dibutuhkan. Mereka membentuk opini publik bahwa ekonomi akan porak-poranda di bawah kendali tim ekonomi yang ada. Padahal, kinerja tim ekonomi di tahun 2000 tidak jelek kalau kita pelajari statistiknya sekarang.

Yang mengejutkan adalah Presiden Megawati yang mengangkat Boediono sebagai menteri keuangan dan Dorodjatun sebagai Menko Perekonomian. Aliran pikir dan sikap Laksamana Sukardi sangat jelas sama dengan Berkeley Mafia, walaupun dia bukan anggotanya. Ada penjelasan tersendiri tentang hal ini. Presiden SBY sudah mengetahui semuanya. Toh tidak dapat menolak dimasukkannya ke dalam kabinet tokoh-tokoh Berkeley Mafia seperti Sri Mulyani, Jusuf Anwar, dan Mari Pangestu, seperti yang telah disinaylir oleh beberapa media massa.

Sumber: John Pilger, Kwik Kian Gie, dan Majalah Syi’ar Edisi Maulud 1428 H, hal. 93-98 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar