Demokrasi macam mana yang
hendak kalian paksakan dengan pasukan marinir dan bom-bom? Betapa ahlinya ia si
Setan (–maksudnya George Walker Bush) ia berdusta dan bicara demokrasi dengan
sewenang sambil menjatuhkan bom-bom dengan presisi milimetrik di Beirut? (Hugo Chavez)
“Kita harus menentang
hak-hak istimewa para elit yang telah menghancurkan sebagian besar dunia”,
demikian Hugo Chavez bersuara lantang menentang unilateralisme para elite
dunia. Bahkan –dalam pidatonya di majlis umum PBB pada 20 September 2006,
Chavez dengan keras mengecam demokrasi yang telah dibajak para elite Amerika
dan para kolaboratornya demi kepentingan invasi dan minyak dengan menghalalkan
perang dan konflik sektarian: Demokrasi macam mana yang hendak kalian paksakan
dengan pasukan marinir dan bom-bom? Betapa ahlinya ia si Setan (–maksudnya George
Walker Bush) ia berdusta dan bicara demokrasi dengan sewenang sambil
menjatuhkan bom-bom dengan presisi milimetrik di Beirut?
Dalam buku yang ditulis John Pilger dan yang juga
ada film dokumenternya, dengan judul The New Rulers of the World, antara lain
dikatakan: “Dalam dunia ini, yang tidak dilihat oleh bagian terbesar dari kami
yang hidup di belahan utara dunia, cara perampokan yang canggih telah memaksa
lebih dari sembilan puluh negara masuk ke dalam program penyesuaian struktural
sejak tahun delapan puluhan, yang membuat kesenjangan antara kaya dan miskin
semakin menjadi lebar”.
Ini terkenal dengan
istilah Nation Building dan Good Governance oleh “empat serangkai” yang
mendominasi World Trade Organization –alias WTO (Amerika Serikat, Eropa, Kanada, dan
Jepang), dan triumvirat Washington (Bank Dunia, IMF, dan Departemen Keuangan AS). Mereka mengendalikan setiap aspek detail dari
kebijakan pemerintah di negara-negara berkembang. Kekuasaan mereka diperoleh
dari utang yang belum terbayar, yang memaksa negara-negara termiskin membayar
USD 100 juta per hari kepada para kreditor Barat. Akibatnya adalah sebuah dunia
yang elitenya –dengan jumlah lebih sedikit dari satu miliar orang- menguasai 80
persen kekayaan seluruh umat manusia.”
Apa yang diungkapkan John
Pilger –seorang wartawan Australia yang bermukim di London itu, tidak boleh
kita anggap sebagai angin lalu dan fiksi. Lebih lanjut, John Pilger menyatakan:
“Their power derives largely from an unrepayable debt that forces the poorest
countries…” dan seterusnya. Dan dalam hal Indonesia, keuangan negara sesungguhnya
sudah bangkrut pada 1967. Paling tidak, demikianlah yang digambarkan oleh para
teknokrat ekonom Orde Baru yang dipercaya oleh Presiden Soeharto
untuk memegang tampuk pimpinan dalam bidang perekonomian. Maka, dalam buku John
Pilger tersebut, antara lain, juga dikemukakan sebagai berikut:
“Dalam bulan November
1967, menyusul tertangkapnya ’hadiah terbesar’, hasil tangkapannya dibagi. The
Time-Life Corporation mensponsori konferensi istimewa di Jenewa yang dalam
waktu tiga hari merancang pengambil-alihan Indonesia. Para pesertanya meliputi
para kapitalis yang paling berkuasa di dunia, orang-orang seperti David
Rockefeller. Semua raksasa korporasi Barat diwakili: perusahaan-perusahaan
minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British
Leyland, British
American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The
International Paper Corporation, US Steel. Di seberang meja adalah
orang-orangnya Soeharto yang oleh Rockefeller disebut “ekonoom-ekonoom
Indonesia yang top”. (Halaman 37)
“Di Jenewa, Tim Indonesia
terkenal dengan sebutan ’The Berkeley
Mafia’, karena beberapa di antaranya pernah menikmati beasiswa dari
pemerintah Amerika Serikat untuk belajar di Universitas California di Berkeley.
Mereka datang sebagai peminta-minta yang
menyuarakan hal-hal yang diinginkan oleh para majikan yang hadir.
Menyodorkan butir-butir yang dijual dari negara dan bangsanya, mereka
menawarkan –yang pioneernya adalah Sumitro Djojohadikusumo: … buruh murah yang
melimpah… cadangan besar dari sumber daya alam … pasar yang besar.” Di halaman
39 buku John Pilger itu ditulis: “Pada hari kedua, ekonomi Indonesia telah
dibagi, sektor demi sektor. ’Ini dilakukan dengan cara yang spektakuler’ kata
Jeffry Winters, guru besar pada Northwestern University, Chicago, yang dengan
mahasiwanya yang sedang bekerja untuk gelar doktornya, Brad Sampson, telah
mempelajari dokumen-dokumen konferensi.
Mereka membaginya ke dalam
lima seksi: pertambangan di satu kamar, jasa-jasa di kamar lain, industri
ringan di kamar lain, perbankan dan keuangan di kamar lain lagi; yang dilakukan
oleh Chase Manhattan –yang duduk dengan sebuah delegasi yang mendiktekan
kebijakan-kebijakan yang dapat diterima oleh mereka dan para investor lainnya.
Kita saksikan para pemimpin korporasi besar ini berkeliling dari satu meja ke
meja yang lain, mengatakan: ini yang kami inginkan –ini, ini, dan ini, dan
mereka pada dasarnya merancang infrastruktur hukum untuk berinvestasi di
Indonesia. Kita tidak pernah mendengar situasi seperti itu sebelumnya, di mana
modal global duduk dengan para wakil dari negara yang diasumsikan sebagai
negara berdaulat dan merancang persyaratan buat masuknya investasi mereka ke
dalam negaranya sendiri.
Freeport mendapatkan bukit
(mountain) dengan tembaga di Papua Barat –di mana Henry Kissinger duduk
dalam board. Sebuah konsorsium Eropa mendapat nikel Papua Barat. Sang raksasa
Alcoa mendapat bagian terbesar dari bauksit Indonesia. Sekelompok
perusahaan-perusahaan Amerika, Jepang, dan Prancis mendapat hutan-hutan tropis
di Sumatera, Papua Barat, dan Kalimantan. Sebuah undang-undang tentang
penanaman modal asing yang dengan buru-buru disodorkan kepada Soeharto, hingga
membuat perampokan ini bebas pajak untuk lima tahun lamanya. Nyata dan secara
rahasia, kendali ekonomi Indonesia pergi ke Inter Governmental Group on
Indonesia (IGGI), yang anggota-anggota intinya adalah Amerika Serikat, Kanada,
Eropa, Australia dan, yang terpenting, Dana Moneter Internasional dan Bank
Dunia.” Sekali lagi, semuanya itu tadi kalimat-kalimatnya John Pilger.
Kalau kita percaya John
Pilger, Brad Sampson, dan Jeffry Winters, sejak 1967 Indonesia sudah mulai
dihabisi (plundered) dengan tuntunan oleh para elite bangsa Indonesia sendiri
yang ketika itu berkuasa. Sejak itu, Indonesia dikepung oleh kekuatan Barat
yang terorganisasi dengan sangat rapi. Instrumen utamanya adalah pemberian
utang terus-menerus sehingga utang luar negeri semakin lama semakin besar.
Dengan sendirinya, beban pembayaran cicilan utang pokok dan bunganya semakin
lama semakin berat. Kita menjadi semakin tergantung pada utang luar negeri.
Ketergantungan inilah yang dijadikan leverage atau kekuatan untuk mendikte
semua kebijakan pemerintah Indonesia. Tidak saja dalam bentuk ekonomi dan
keuangan, tetapi jauh lebih luas dari itu. Utang luar negeri kepada Indonesia diberikan
secara sistematis, berkesinambungan, dan terorganisasi secara sangat rapi
dengan sikap yang keras –serta persyaratan-persyaratan yang berat. Sebagai
negara pemberi utang, mereka tidak sendiri-sendiri, tetapi menyatukan diri
dalam organisasi yang disebut CGI.
Negara-negara yang sama
sebagai pemberi penundaan pembayaran cicilan utang pokok dan bunganya yang
jatuh tempo menyatukan diri dalam organisasi yang bernama Paris Club.
Pemerintah Indonesia ditekan oleh semua kreditor yang memberikan pinjaman kepada
swasta Indonesia –supaya pemerintah menekan para kreditor swasta itu membayar
tepat waktu dalam satu klub lagi yang bernama London Club. Secara kolektif,
tanpa dapat dikenali negara per negara, utang diberikan oleh lembaga
multilateral yang bernama Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia. Pengatur dan
pemimpin kesemuanya itu adalah IMF. Jadi, kesemuanya itu tidak ada bedanya
dengan kartel internasional yang sudah berhasil membuat Indonesia sebagai
pengutang yang terseok-seok.
Sejak itu, utang diberikan
terus sampai hari ini. Dalam krisis di tahun 1997, Indonesia sebagai anggota
IMF menggunakan haknya untuk memperoleh bantuan. Ternyata, ada aturan ketat
untuk bantuan itu –dan bantuan uang tidak ada, hanya dapat dipakai dengan
persyaratan yang dibuat demikian rupa, sehingga praktis tidak akan pernah
terpakai. Dengan dipegangnya pinjaman dari IMF sebagai show case, IMF mendikte
kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia, yang dengan segala senang hati
dipenuhi oleh para menteri ekonomi Indonesia, karena mereka orang-orang pilihan
yang dijadikan kroni dan kompradornya.
Maka, dalam ikatan EFF
itulah, pemerintah dipaksa menerbitan surat utang dalam jumlah 430 triliun rupiah
untuk mem-bail out para pemilik bank yang menggelapkan uang masyarakat yang
dipercayakan pada bank-bank mereka. Mereka tidak dihukum –sebaliknya justru
dibuatkan perjanjian perdata bernama MSAA yang harus dapat meniadakan
pelanggaran pidana menurut undang-undang perbankan. Dalam perjanjian perdata
itu, asalkan penggelap uang rakyat yang diganti oleh pemerintah itu dapat
mengembalikan dalam bentuk aset yang nilainya sekitar 15 persen, dianggap
masalahnya sudah selesai, diberikan release and discharge.
Lima tahun lamanya, yaitu
untuk tahun 1999 sampai dengan tahun 2003, pembayaran utang luar negeri yang sudah
jatuh tempo ditunda. Namun, mulai tahun 2004, utang yang jatuh tempo beserta
bunganya harus dibayar sepenuhnya. Pertimbangannya tidak karena keuangan negara
sudah lebih kuat, tetapi karena sudah tidak lagi menjalankan program IMF dalam
bentuk yang paling keras dan ketat, yaitu EFF atau LoI. Setelah keuangan negara
dibuat bangkrut, Indonesia diberi pinjaman yang tidak boleh dipakai sebelum
cadangan devisanya sendiri habis total. Pinjaman diberikan setiap pemerintah
menyelesaikan program yang didiktekan oleh IMF dalam bentuk LoI demi LoI. Kalau
setiap pelaksanaan LoI dinilai baik, pinjaman sebesar rata-rata USD 400 juta
diberikan. Pinjaman ini menumpuk sampai jumlah USD 9 miliar, tiga kali lipat
melampaui kuota Indonesia sebesar USD 3 miliar. Karena saldo pinjaman dari IMF
melampaui kuota, Indonesia dikenai program pemandoran yang dinamakan Post
Program Monitoring.
Mengapa Indonesia tidak
mengembalikan saja yang USD 6 miliar supaya saldo menjadi USD 3 miliar sesuai
kuota agar terlepas dari post program monitoring. Cadangan devisa kita ketika
itu sudah mencapai USD 25 miliar, sedangkan selama Orde Baru hanya sekitar USD
14 miliar. Yang USD 9 miliar itu harus dicicil sesuai jadwal yang ditentukan
oleh IMF. Skemanya diatur sedemikian rupa sehingga pada akhir 2007 saldonya
tinggal USD 3 miliar. Ketika itulah, baru program pemandoran dilepas. Alasannya
kalau yang USD 9 miliar dibayarkan sekarang, cadangan devisa kita akan merosot
dari USD 34 miliar menjadi USD 25 miliar.
Mari sekarang kita
bayangkan, seandainya cadangan devisa kita habis pada akhir 2007. Ketika itu,
utang dari IMF tinggal USD 3 miliar sesuai kuota. Barulah ketika itu utang dari
IMF boleh dipakai. Olehnya secara implisit dianggap bahwa ini lebih kredibel,
yaitu mengumumkan bahwa cadangan devisa tinggal USD 3 miliar yang berasal dari
utang IMF. Kalau seluruh utang yang USD 9 miliar dibayar kembali karena sudah
mempunyai cadangan devisa sendiri sebesar USD 25 miliar dikatakan bahwa
Indonesia tidak akan kredibel karena cadangan devisa merosot dari USD 34 miliar
menjadi USD 25 miliar.
Jelas sekali sangat tidak
logisnya kita dipaksa untuk memegang utang dari IMF dengan pengenaan bunga yang
tinggi, sekitar 4 persen setahun, tanpa boleh dipakai. Jelas sekali bahwa
Indonesia dipaksa berutang yang jumlahnya melampaui kuota yang sama sekali
tidak kita butuhkan. Tujuannya hanya supaya Indonesia dikenai pemandoran yang
bernama post program monitoring. Jelas ini hanya mungkin dengan dukungan dan
kerja sama dari kroni-kroninya Kartel IMF. Maka jelaslah, perang modern yang
menggunakan seluruh sektor ekonomi sebagai senjata, terutama sektor moneternya –membutuhkan
kroni atau komprador bangsa Indonesia sendiri yang mutlak mengabdi pada
kepentingan agresor.
Kalau kita percaya pada
Brad Sampson, Jeffrey Winters, dan John Pilger, dan kita perhatikan serta ikuti
terus sikap satu kelompok tertentu, kiranya jelas bahwa kelompok pakar ekonomi
yang dijuluki “The Berkeley Mafia” adalah kelompok kroni dalam bidang ekonomi
dan keuangan. Lahirnya kelompok tersebut telah dikemukakan dalam studi Brad
Sampson yang tadi telah dikutip.
Siapakah Mafia Berkeley?
Mafia Berkeley adalah
Organisasi Tanpa Bentuk (OTB). Mereka mempunyai atau menciptakan
keturunan-keturunan. Para pendirinya memang sudah sepuh, yaitu Prof Widjojo
Nitisastro, Ali Wardhana, Emil Salim, Soebroto, Moh. Sadli, J.B. Soemarlin,
Adrianus Mooy, dan masih sangat banyak lagi. Yang sekarang dominan adalah Sri Mulyani, Moh. Ikhsan, Chatib Basri,
dan masih banyak lagi. Mereka tersebar pada seluruh departemen dan menduduki
jabatan eselon I dan II, sampai kepala biro.
Ciri kelompok itu ialah masuk ke dalam kabinet tanpa
peduli siapa presidennya. Mereka
mendesakkan diri dengan bantuan kekuatan agresor. Kalau kita ingat, sejak akhir
era Orde Lama, Emil Salim sudah anggota penting dari KOTOE dan Widjojo
Nitisastro sudah sekretaris Perdana Menteri Djuanda. Widjojo akhirnya menjabat
sebagai ketua Bappenas dan bermarkas di sana. Setelah itu, presiden berganti
beberapa kali. Yang “kecolongan” tidak masuk ke dalam kabinet adalah ketika Gus
Dur menjadi presiden. Namun, begitu mereka mengetahui, mereka tidak terima.
Mereka mendesak supaya Gus Dur membentuk Dewan Ekonomi Nasional. Seperti kita
ketahui, ketuanya adalah Emil Salim dan sekretarisnya Sri Mulyani.
Mereka berhasil
mempengaruhi atau “memaksa” Gus Dur bahwa mereka diperbolehkan hadir dalam
setiap rapat koordinasi bidang ekuin. Tidak puas lagi, mereka berhasil
membentuk Tim Asistensi pada Menko Ekuin yang terdiri atas dua orang saja,
yaitu Widjojo Nitisastro dan Sri Mulyani. Dipaksakan bahwa mereka harus ikut
mendampingi Menko Ekuin dan menteri keuangan dalam perundingan Paris Club pada
12 April 2000, walaupun mereka sama sekali di luar struktur dan sama sekali
tidak dibutuhkan. Mereka membentuk opini publik bahwa ekonomi akan
porak-poranda di bawah kendali tim ekonomi yang ada. Padahal, kinerja tim
ekonomi di tahun 2000 tidak jelek kalau kita pelajari statistiknya sekarang.
Yang mengejutkan adalah
Presiden Megawati yang mengangkat Boediono
sebagai menteri keuangan dan Dorodjatun sebagai Menko Perekonomian. Aliran
pikir dan sikap Laksamana Sukardi
sangat jelas sama dengan Berkeley Mafia, walaupun dia bukan anggotanya. Ada
penjelasan tersendiri tentang hal ini. Presiden SBY sudah mengetahui semuanya.
Toh tidak dapat menolak dimasukkannya ke dalam kabinet tokoh-tokoh Berkeley
Mafia seperti Sri Mulyani, Jusuf Anwar, dan Mari Pangestu, seperti yang telah
disinaylir oleh beberapa media massa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar