Pada 1965, Presiden Soekarno, memutuskan keluar dari
PBB, IMF dan Bank Dunia. Perusahaan-perusahaan asing dinasionalisasi. Karena
keberaniannya itu, tahun 1967 pemerintahan Soekarno diakhiri oleh konspirasi
para bankir, penguasa dan politisi internasional, termasuk Amerika Serikat
dengan jalan “kudeta oleh Soeharto”
Tidak banyak yang mengetahui
sejarah Bank Indonesia –apalagi mengetahui siapa pemilik Bank Indonesia. Bank
Indonesia bukan milik Negara Indonesia –apalagi
milik Rakyat Indonesia. Sejatinya Bank Indonesia itu milik IMF! Karenanya
jangan berharap Negara Indonesia bisa mencetak uang sendiri. Dan jangan harap
rakyat negeri ini bisa menikmati hidup layak. Hingga darah menetes habis dari
tubuh ke tanah, kesenjangan sosial dan pemiskinan tak akan pernah tuntas dari
negeri ini. Satu-satunya solusi adalah keluar dari IMF dan membuat uang
sendiri!
Umumnya Bank Sentral adalah
perusahaan swasta yang diberi monopoli mencetak uang. Bank Sentral Republik
Indonesia, semula adalah Bank Nasional Indonesia 46 atau BNI 46. BNI 46,
didirikan oleh Presiden Pertama Republik Indonesia Ir. Soekarno. Namun dipaksa
diganti menjadi Nedherland Volkskrediet (NV) De Javasche Bank.
Bank NV De Javasche adalah
Bank milik penjajah Belanda. Atas dukungan internasional (Yahudi Internasional)
menolak dan membekukan BNI 46. Dan memaksa Negara Indonesia mendirikan Bank
Republik Indonesia (BRI), sebagai pengganti NV De Javasche Bank yang memiliki
monopoli kebijakan keputusan hutang dan tunduk serta dibawah naungan IMF. Berikut
kronologi terbentuknya Bank Negara Indonesia atau BNI:
Saat Indonesia merdeka,
Soekarno-Hatta memutuskan untuk mendirikan bank sentral, yaitu Bank Negara
1946. Menerbitkan “Oeang Repoeblik Indonesia” (ORI). ORI terbit dengan satuan 1
sen sampai Rp 100. Nilai setiap 2 rupiah dijamin dengan 1 gram emas. UU no
19/1946. Atas berdirinya BNI, Pemerintah penjajah Belanda, dan bankir
internasional lain, menolak keberadaan Negara Republik Indonesia NKRI dan BNI
46 –sekaligus juga menolak ORI. Buntut dari ditolaknya Kemerdekaan RI, agresi
militer dilakukan oleh Negara imperialis yaitu Amerika, Inggris, Perancis dan
memberikan boncengan Belanda masuk kembali ke Indonesia. Akhirnya Indonesia
dipaksa lewat perundingan, Konferensi Meja Bundar 1949, Negara Republik
Indonesia akan diakui dengan beberapa syarat.
Pertama,
utang pemerintah Hindia Belanda, harus diambilalih oleh RI muda. Nilainya 4
milar dollar AS. Saat proklamasi NKRI tidak memiliki utang sedikit pun. Kedua, dengan dalih agar bisa mengambil
alih hutang pemerintah penjajah Belanda, BNI 46 harus dihentikan sebagai bank
sentral. Ketiga, mengganti BNI 46
dengan De Javasche Bank (yang dulunya milik bankir-bankir kompeni dari
keturunan Yahudi), bank ini kemudian berganti nama menjadi Bank Indonesia (BI).
Dengan BNI 46 diganti NV
De Javasche Bank, ORI dihentikan, diganti dengan Uang Bank Indonesia (UBI),
sejak 1952. Begitu diakui, tahun 1949, rupiah dipatok sebesar 3.8 per dollar
AS. Melorot ke Rp 11.4 per dollar pada 1952, saat ORI diganti menjadi UBI. Saat
itulah dimulainya penjajahan jenis baru di negeri ini. Pada 1965, Presiden Soekarno, memutuskan keluar dari PBB, IMF dan Bank
Dunia. Perusahaan-perusahaan asing dinasionalisasi. Karena keberaniannya itu,
tahun 1967 pemerintahan Soekarno diakhiri oleh konspirasi para bankir, penguasa
dan politisi internasional, termasuk Amerika Serikat dengan jalan “kudeta oleh
Soeharto”.
Pada tahun 1967 pula
dimulai ‘pembangunan’ oleh Orde Baru, dengan modal dari IMF, Bank Dunia, dan
konsorsium bank lainnya. BI sebagai ‘dompetnya’. Konsensus ini dilakukan di
Negara Swiss, termasuk memberikan tambang emas Freeport di Irian Barat,
sekarang Papua pada Amerika. Sejak itu, dari tahun ke tahun, hutang Indonesia
membengkak. Pada 2013, mendekati Rp 2000 triliun. 1999, BI dilepas dari
Pemerintah RI, dan langsung di bawah kendali IMF. Gubernur BI tidak lagi bagian
dari Kabinet RI, tidak akuntable kepada Pemerintah RI –apalagi kepada rakyat
RI. Dibiayai bukan dari APBN.
Bank sentral umumnya
dimiliki oleh perusahaan-perusahaan swasta. Detik ini orang masih bertanya:
mengapa pemerintah tidak mencetak uang sendiri? Bank sentral yang tidak
langsung dimiliki swasta, “disembunyikan”, di balik undang-undang, sebagai
‘bagian dari negara’. Tapi independen 100 persen. BI Milik siapa? Jadi misteri.
Kalau milik negara, mestinya berupa BUMN, masuk APBN, akuntable terhadap
rakyat. Meski tidak mengeluarkan saham, BI, mengeluarkan ‘Sertifikat BI’, yang
tentu saja dimiliki bank komersial. Sekitar 50 persen, sertifikat BI sekarang
milik asing.
Semantara itu, tugas pokok
BI, untuk menjaga nilai rupiah tidak pernah bisa dilakukan. Nilai rupiah sudah
hancur lebur, hilang 99 persen nilainya. Janji bahwa nilai Rp 2 rupiah = 1 gram
emas yang dicanangkan Presiden Soekarno –diingkari para imperialis, kapitalis
internasional dan antek-anteknya. Hari ini 1 gram emas setara dengan Rp 520.000.
Rakyat RI mengalami 250 ribu kali pemiskinan. Untuk menutupi kegagalan itu, BI,
seperti bankir di manapun, akan melakukan redenominasi. Hari ini redenominasi
sudah dimulai. Targetnya, memasuki tahun 2014, akan ada uang baru dengan nilai
baru yang lebih memiskinkan rakyat, bangsa dan negeri ini dalam kubangan
kemiskinan yang semakin parah. Bagaimana dengan Bank Sentral negara lain?
Marilah kita ambil bank
sentral paling berpengaruh saat ini, yaitu Federal Reserve AS, yang menerbitkan
dollar AS. Saham terbesar Federal Reserve of America ini dimiliki oleh dua bank
besar, yaitu Citibank (15%) dan Chase Manhattan (14%). Sisanya dibagi oleh 25
bank komersial lainnya, antara lain Chemical Bank (8%), Morgan Guaranty Trust
(9%) , Manufacturers Hannover (7%), dan sebagainya. Sampai pada tahun 1983
sebanyak 66% dari total saham Federal Reserve AS ini, setara dengan 7.005.700
saham, dikuasai hanya oleh 10 bank komersial, sisanya 44% dibagi oleh 17 bank
lainnya.
Bahkan, kalau dilihat
dengan lebih sederhana lagi, 53% saham Federal Reserve AS dimilik hanya oleh
lima besar yang disebutkan di atas. Bahkan, kalau diperhatikan benar, saham
yang menentukan pada Federal Reserve Bank of New York, yang menetapkan tingkat
dan skala operasinya secara keseluruhan berada di bawah pengaruh bank-bank yang
secara langsung dikontrol oleh ‘London Connection’ –yaitu Bank of England, yang
dikuasai oleh keluarga Rothschild.
Sama halnya dengan
bank-bank sentral di berbagai negara lain, namanya berbau nasionalis, tapi
pemilikannya adalah privat. Bank of England, sudah disebutkan sebelumnya, bukan
milik rakyat Inggris tapi para bankir swasta, yang sejak 1825 sangat kuat di
bawah pengaruh satu pihak saja, keluarga Rothschild. Pengambil-alihan oleh
keluarga ini terjadi setelah mereka mem-bail out utang negara saat terjadi
krisis di Inggris. Deutsche Bundesbank bukanlah milik rakyat Jerman tapi
dikuasai oleh keluarga Siemens dan Ludwig Bumberger.
Hong Kong and Shanghai
Bank bukan milik warga Hong Kong tapi di bawah kontrol Ernest Cassel. Sama
halnya dengan National Bank of Marocco dan National Bank of Egypt didirikan dan
dikuasai oleh Cassel yang sama, bukan milik kaum Muslim Maroko atau Mesir.
Imperial Ottoman Bank bukan milik rakyat Turki melainkan dikendalikan oleh
Pereire Bersaudara, Credit Mobilier, dari Perancis. Demikian seterusnya.
Jadi, ‘Bank-bank Nasional’
seperti ini, sebenarnya, adalah sindikat keuangan internasional, modal
‘antar-bangsa’ yang secara riel tidak ada dalam bentuk aset nyata (specie) apa
pun, kecuali dalam bentuk angka-angka nominal di atas kertas atau byte yang
berkedap-kedip di permukaan layar komputer. Bank-bank ini sebagian besar
dimiliki oleh keluarga-keluarga yang sebagian sudah disebutkan di atas.
Utang-utang yang mereka
berikan kepada pemerintahan suatu negara tidak pernah diminta oleh rakyat
negara tempat mereka beroperasi tapi dibuat oleh pemerintahan demokratis yang
mengatas-namakan warga negara. Mereka, para bankir ini, adalah orang-orang yang
tak punya loyalitas kebangsaan, dan tidak akuntabel, tetapi mengendalikan
kebijakan paling mendasar suatu negara. Dan, setiap kali mereka menciptakan
kredit, setiap kali itu pula mereka mencetak uang baru dari byte komputer
belaka. Nasehat saya, rakyat sebaiknya bertindak sendiri, jaga harta, amankan
daya beli. Tinggalkan uang kertas, gunakan Dinar emas dan Dirham perak. [Diriwayatkan
oleh Zaim Saidi]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar