Tidak sedikit ayat-ayat
Al-Qur’an yang menegaskan keutamaan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib
karramallahu wajhah dan memperkenalkannya sebagai peribadi Islami yang tinggi
dan mulia setelah Rasulullah saw. Ini menunjukkan bahwa ia mendapat perhatian
yang tinggi di sisi Allah swt. Banyak sekali buku-buku literatur Islam yang
menegaskan bahwa terdapat tiga ratus ayat Al-Qur’an yang turun berkenaan dengan
keutamaan dan ketinggian pribadi Iman Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah.[1]
Ayat-ayat tersebut dapat dikelompokkan dalam beberapa kategori berikut ini.
Kategori pertama adalah ayat yang
turun khusus berkenaan dengan Imam Ali secara pribadi. Kategori kedua adalah ayat yang turun berkenaan
dengan Imam Ali as dan keluarganya. Kategori ketiga adalah ayat yang turun berkenaan dengan Imam Ali dan para
sahabat pilihan Rasulullah saw. Kategori keempat
adalah ayat yang turun berkenaan dengan Imam Ali as dan mengecam orang-orang
yang memusuhinya. Berikut ini adalah sebagian dari ayat-ayat tersebut.
a. Kategori Ayat Pertama –Ayat-ayat yang turun menjelaskan keutamaan,
ketinggian, dan keagungan pribadi Imam Ali as. adalah sebagai berikut:
[1] Allah
swt. berfirman: “Sesungguhnya engkau
hanyalah seorang pemberi peringatan . Dan bagi setiap kaum ada orang yang
memberi petunjuk.” (QS. Ar-Ra‘d [13]:7). Ath-Thabarî meriwayatkan sebuah hadis
dengan sanad dari Ibn Abas. Ibn Abbâs berkata: “Ketika ayat ini turun, nabi
saw. meletakkan tangannya di atas dadanya seraya bersabda, ‘Aku adalah pemberi
peringatan. Dan bagi setiap kaum ada orang yang memberi petunjuk.’ Lalunya
memegang pundak Ali as. sembari bersabda: ‘Engkau adalah pemberi petunjuk itu.
Dengan perantara tanganmu, banyak orang yang akan mendapat petunjuk setelahku
nanti.’”[2]
[2] Allah
swt. berfirman: “.. dan (peringatan itu) diperhatikan oleh telinga yang mendengar.”
(QS. Al-Hâqqah [69]:12). Dalam menafsirkan ayat tersebut, Imam Ali as. berkata:
“Rasulullah saw. berkata kepadaku, ‘Hai Ali, aku memohon kepada Tuhanku agar
menjadikan telingamu yang menerima peringatan.’ Lantaran itu, aku tidak pernah
lupa apa saja yang pernah kudengar dari Rasulullah saw.”[3]
[3] Allah
swt. berfirman: “Orang-orang yang
menginfakkan hartanya pada malam dan siang hari, baik secara sembunyi-sembunyi
maupun terang-terangan, mereka mendapat pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada
rasa takut bagi mereka dan mereka tidak pula bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah [2]:274).
Pada saat itu, Imam Ali as. hanya memiliki empat dirham. Satu dirham ia
infakkan di malam hari, satu dirham ia infakkan di siang hari, satu dirham ia
infakkan secara rahasia, dan satu dirham sisanya ia infakkan secara
terang-terangan. Rasulullah saw. bertanya kepa-danya: “Apakah yang menyebabkan
kamu berbuat demikian?” Ali as. menjawab: “Aku ingin memperoleh apa yang
dijanjikan Allah kepadaku.” Kemudian ayat tersebut turun.[4]
[4] Allah
swt. berfirman: “Sesungguhnya
orang-orang yang beriman dan berbuat kebajikan, mereka itu adalah sebaik-sebaik
makhluk.” (QS. Al-Bayyinah [98]:7). Ibn ‘Asâkir meriwayatkan sebuah hadis
dengan sanad dari Jâbir bin Abdillah. Jâbir bin Abdillah berkata: “Ketika kami
bersama nabi saw., tiba-tiba Ali as. datang. Seketika itu itu Rasulullah saw.
Ber-sabda: ‘Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguh-nya Ali as.
dan Syi‘ah (para pengikut)nya adalah orang-orang yang beruntung pada Hari
Kiamat.’ Kemudian turunlah ayat itu. Sejak saat itu, setiap kali Ali as.
datang, para sahabat Nabi saw. Menga-takan: ‘Telah datang sebaik-baik
makhluk.’”[5]
[5] Allah
swt. berfirman: “... maka bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai
penge-tahuan [Ahl Adz-Dzikr] jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl [16]:43).
Ath-Thabarî meriwayatkan sebuah hadis dengan sanad dari Jâbir Al-Ju‘fî. Jâbir
Al-Ju‘fî berkata: “Ketika ayat ini turun, Ali as. berkata: “Kami adalah Ahl
Adz-Dzikr.”[6]
[6] Allah
swt. berfirman: “Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepada-mu
dari Tuhanmu. Jika hal itu tidak engkau lakukan, maka berarti engkau tidak
menyampaikan risalahmu. Sesungguhnya Allah menjagamu dari kejahatan manusia.”
(QS. Al-Mâ’idah [5]: 67). Ayat ini turun kepada Nabi saw. ketika sampai di
Ghadir Khum dalam perjalanan pulang dari haji Wadâ’. Nabi saw. diperintahkan
oleh Allah untuk mengangkat Ali as. sebagai khalifah sepening-galnya. Beliau
melaksanakan perintah tersebut. Beliau melantik Ali as. sebagai khalifah dan
pemimpin bagi umat sepeninggalnya. Di hadapan khalayak banyak, Nabi saw. mengumandangkan
sabdanya yang masyhur: “Barang siapa yang aku adalah pemimpinnya, maka Ali as.
adalah pemimpinnya. Ya Allah, cintailah orang yang men-cintainya, musuhilah
orang yang memusuhinya, belalah orang yang membelanya, dan hinakanlah orang
yang menghinakannya.” Setelah itu, Umar
bangkit dan berkata kepada Ali as.: “Selamat, hai putra Abu Thalib, engkau
telah menjadi pemimpinku dan pemimpin setiap mukmin dan mukminah.”[7]
[7] Allah
swt. berfirman: “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu dan telah Aku
lengkapi nikmat-Ku atasmu dan Aku pun rela Islam sebagai agamamu.” (QS.
Al-Mâ’idah [5]: 3). Ayat yang mulia ini turun pada tanggal 18 Dzulhijjah
setelah nabi saw. mengangkat Ali as. sebagai khalifah sepeninggalnya.[8]
Setelah ayat tersebut turun, Nabi saw. bersabda: “Allah Maha Besar lantaran
penyempurnaan agama, pelengkapan nikmat, dan keridaan Tuhan dengan risalahku
dan wilâyah Ali bin Abi Thalib as.”[9]
[8] Allah
swt. berfirman: “Sesungguhnya pemimpinmu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan
orang-orang yang beriman yang mendirikan salat dan mengeluarkan zakat ketika
sedang rukuk.” (QS. Al-Mâ’idah [5]: 55). Seorang sahabat nabi terkemuka, Abu
Dzar berkata: “Aku menger-jakan salat Dzuhur bersama Rasulullah saw. Tiba-tiba
datang seorang pengemis ke masjid, dan tak seorang pun yang membe-rikan sedekah
kepadanya. Pengemis tersebut mengangkat kedua tangannya ke langit seraya
berdoa: ‘Ya Allah, saksikanlah bahwa aku meminta di masjid Rasul saw., tetapi
tak seorang pun yang memberikan sesuatu kepadaku.’ Pada saat itu, Ali as.
sedang mengerjakan rukuk. Kemudian ia memberikan isyarat kepadanya dengan
kelingking kanan yang sedang memakai cincin. Pengemis itu datang menghampirinya
dan segera mengambil cincin tersebut di hadapan Nabi saw. Lalunya saw. Berdoa:
‘Ya Allah, sesung-guhnya saudaraku, Mûsâ as. memohon kepadamu sembari berkata:
‘Wahai Tuhanku, lapangkanlah untukku hatiku, mudahkanlah urusanku, dan bukalah
ikatan lisanku agar mereka dapat memahami ucapanku. Dan jadikanlah untukku seorang
wazîr dari keluargaku; yaitu saudaraku, Hârûn. Kokohkanlah aku dengannya dan
sertakanlah dia dalam urusanku.’ (QS. Thaha [20]:25–32). “Ketika itu engkau
turunkan ayat: ‘Kami akan kokohkan kekuatanmu dengan saudaramu dan Kami jadikan
engkau berdua sebagai pemimpin.’ (QS. Al-Qashash [28]:35) Ya Allah, aku ini
adalah Muhammad nabi dan pilihan-Mu. Maka lapangkanlah hatiku, mudahkanlah
urusanku, dan jadikanlah untukku seorang wazîr dari keluargaku, yaitu Ali. Dan
kokohkanlah punggungku dengannya.’”
Abu Dzar melanjutkan:
“Demi Allah, Jibril turun kepadanya sebelumnya sempat menyelesaikan doanya itu.
Jibril berkata, ‘Hai Muhammad, bacalah: ‘Sesungguhnya walimu adalah Allah,
Rasul-Nya dan ....’”[10]
Ayat ini menempatkan wilâyah ‘kepemimpinan’ universal (Al-Wilâyah Al-‘Âmmah)
hanya untuk Allah swt., Rasul-Nya yang mulia, dan Imam Ali as. Ayat ini menggunakan
bentuk jamak dalam rangka mengagungkan kemuliaan Imam Ali as. dan menghormati
kedudukannya. Di samping itu, ayat ini berbentuk kalimat afirmatif dan
menggunakan kata pembatas (hashr) ‘innamâ’ (yang berarti hanya). Dengan
demikian, ayat ini telah mengukuhkan wilâyah tersebut untuk Imam Ali as. Seorang
penyair tersohor, Hassân bin Tsâbit, telah menyusun sebuah bait syair
sehubungan dengan turunnya ayat tersebut. Ia berkata:
Siapakah gerangan yang ketika rukuk menyedekahkan
cincin
[b] Kategori Ayat Kedua
Al-Qur’an Al-Karim dihiasi
dengan banyak ayat yang turun berkenaan dengan Ahlul Bait as. Ayat-ayat ini
secara otomatis juga ditujukan kepada junjungan mereka, Amirul Mukminin Ali as.
Berikut ini sebagian dari ayat-ayat tersebut.
[1] Allah
swt. berfirman: “Katakanlah, ‘Aku tidak meminta kepadamu upah apapun atas
dakwahku itu selain mencintai Al-Qurbâ. Dan barang siapa yang mengerjakan
kebajikan akan Kami tambahkan kepadanya kebaji-kan itu. Sesungguhnya Allah Maha
Penghampun lagi Maha Mensyukuri.’” (QS. Asy-Syûrâ [42]:23). Mayoritas ahli
tafsir dan perawi hadis berpendapat bahwa maksud dari “Al-Qurbâ” yang telah
diwajibkan oleh Allah swt. kepada segenap hamba-Nya untuk mencintai mereka
adalah Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain as., dan maksud dari “iqtirâf
Al-hasanah” (me-ngerjakan kebaikan) dalam ayat ini ialah mencintai dan
menjadikan mereka sebagai pemimpin. Berikut ini beberapa riwayat yang
menegaskan hal ini.
Dalam sebuah riwayat, Ibn
Abas berkata: “Ketika ayat ini turun, para sahabat bertanya: ‘Ya Rasulallah,
siapakah sanak kerabatmu yang kami telah diwajibkan untuk mencintai mereka?’
Rasulullah saw. Menjawab: ‘Mereka adalah Ali, Fathimah, dan kedua putranya.’”[12]
Dalam sebuah hadis, Jâbir bin Abdillah berkata: “Seorang Arab Baduwi pernah
datang menjumpai Nabi saw. seraya berkata: ‘Jelaskan kepadaku tentang Islam.’
Rasulullah saw. Menjawab: ‘Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan
selain Allah Yang Esa yang tidak ada sekutu bagi-Nya dan Muhammad itu adalah
hamba dan rasul-Nya.’ Arab Baduwi itu segera menimpali: ‘Apakah engkau meminta
upah dariku?’ Rasul menjawab: “Tidak, selain mencintai Al-Qurbâ’. Orang Arab
Baduwi itu bertanya lagi: ‘Keluargaku ataukah keluargamu?’ Nabi saw. Menjawab:
‘Tentu keluargaku.’ Kemudian orang Arab Baduwi itu berkata lagi: “Jika begitu,
aku membaiatmu bahwa barang siapa yang tidak mencintaimu dan tidak juga
mencintai keluargamu, maka Allah akan mengutuknya.’ Nabi segera menimpali:
‘Amîn.’”[13]
[2] Allah
swt. berfirman: “Barang siapa yang
menghujatmu tentang hal itu setelah jelas datang kepadanya pengetahuan, maka
katakanlah, ‘Mari kami panggil putra-putra kami dan putra-putra kamu, putri-putri
kami dan putri-putri kamu, dan diri kami dan diri kamu, kemudain kita
ber-mubâhalah agar kita jadikan kutukan Allah atas orang-orang yang dusta.’”
(QS. Ali ‘Imrân [3]:61). Para ahli tafsir dan perawi hadis sepakat bahwa ayat
yang mulia ini turun berkenaan dengan Ahlul Bait Nabi saw. Ayat tersebut
menggunakan kata abnâ’ (anak-anak) yang maksudnya adalah Hasan dan Husain as.;
kedua cucu Nabi yang dirahmati dan kedua imam pemberi hidayah. Dan maksud kata
an-nisâ’ (wanita) yaitu Sayidah Az-Zahrâ’ as., penghulu seluruh wanita dunia
dan akhirat. Adapun pemuka dan junjungan Ahlul Bait, Amirul Mukminin Ali bin
Abi Thalib as., diungkapkan dengan kata anfusanâ (diri-diri kami).[14]
[3] Allah
swt. berfirman: “Bukankah telah datang
atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum menjadi sesuatu
yang dapat disebut ....” (QS. Ad-Dahr [76]). Mayoritas ahli tafsir dan para
perawi hadis berpendapat bahwa surah ini diturunkan untuk Ahlul Bait nabi saw.[15]
[4] Allah
swt. berfirman: “Sesungguhnya Allah
hanyalah bermaksud menghilangkan segala noda dari kalian, hai Ahlul Bait, dan
membersihkan kalian sesuci-sucinya.” (QS. Al-Ahzâb [33]:33). Para ahli tafsir
dan perawi hadis sepakat bahwa ayat yang penuh berkah ini turun berkenaan
dengan lima orang penghuni Kisâ’.[16]
Mereka adalah Rasulullah saw.; junjungan para makhluk, Ali as.; jiwa dan
dirinya, Sayyidah Fathimah; buah hatinya yang suci dan penghulu para wanita di
dunia dan akhirat yang Allah rida dengan keridaannya dan murka dengan
kemurkaannya, dan Hasan dan Husain as.; kedua permata hatinya dan penghulu para
pemuda ahli surga. Tak seorang pun dari keluarga Rasulullah saw. yang lain dan
tidak pula para pemuka sahabatnya yang ikut serta dalam keuta-maan ini. Hal ini
dikuatkan oleh beberapa hadis berikut ini:
Pertama, Ummul Mukminin
Ummu Salamah berkata: “Ayat ini turun di rumahku. Pada saat itu ada Fathimah,
Hasan, Husain, dan Ali as. di rumahku. Kemudian Rasulullah saw. menutupi mereka
dengan Kisâ’ (kain panjang dan lebar), seraya berdoa: “Ya Allah, mereka adalah
Ahlul Baitku. Hilangkanlah dari mereka segala noda dan sucikanlah mereka
sesuci-sucinya.’” Ia mengulang-ulang doa tersebut dan Ummu Salamah mendengar
dan melihatnya. Lantas dia berkata: “Apakah aku masuk bersama Anda, ya
Rasulullah?” Lalu dia mengangkat Kisâ’ tersebut untuk masuk bersama mereka.
Tetapinya menarik Kisâ’ itu sembari bersabda: “Sesungguhnya eng-kau berada
dalam kebaikan.”[17]
Kedua, dalam sebuah
riwayat Ibn Abbâs berkata: “Aku menyak-sikan Rasulullah saw. setiap hari
mendatangi pintu rumah Ali bin Abi Thalib as. setiap kali masuk waktu salat
selama tujuh bulan berturut-turut. Ia mendatangi pintu rumah itu sebanyak lima
kali dalam sehari sembari berkata: ‘Assalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh,
hai Ahlul Bait! Sesungguhnya Allah hanyalah bermaksud menghilangkan segala
kotoran dari kamu, hai Ahlul Bait, dan membersih-kan kamu sesuci-sucinya. Mari
kita melakukan salat, semoga Allah merahmati kalian!”[18]
Ketiga, dalam sebuah
riwayat Abu Barazah berkata: “Aku mengerjakan salat bersama Rasulullah saw.
selama tujuh bulan. Setiap kali keluar dari rumah, ia mendatangi pintu rumah
Fathimah as. seraya bersabda, ‘Salam sejahtera atas kalian. Sesungguhnya Allah
hanyalah bermaksud menghilangkan segala kotoran dari kamu, hai Ahlul Bait, dan
membersihkan kamu sesuci-sucinya.’”[19]
Sesungguhnya tindakan-tindakan Rasulullah saw. ini merupakan sebuah
pemberitahuan kepada umat dan seruan kepada mereka untuk mengikuti Ahlul Bait
as. Lantaran Ahlul Bait as. adalah pembimbing bagi mereka untuk meniti jalan
kemajuan di kehidupan duniawi maupun ukhrawi.
c. Kategori Ayat Ketiga
Terdapat beberapa ayat
yang turun berkenaan dengan Amirul Mukminin Ali as. dan juga berkenaan dengan
para sahabat Nabi pilihan dan ter-kemuka. Berikut ini ayat-ayat tersebut:
[1] Allah
swt. berfirman: “Dan di atas Al-A‘râf
tersebut ada orang-orang yang mengenal masing-masing dari dua golongan itu
dengan tanda-tanda mereka.” (QS. Al-A‘raf [7]:46). Ibn Abbâs berkata: “Al-A‘râf
adalah sebuah tempat yang tinggi dari Shirât. Di atas tempat itu terdapat
Abbâs, Hamzah, Ali bin Abi Thalib as., dan Ja‘far pemilik dua sayap. Mereka
mengenal para pecinta mereka dengan wajah mereka bersinar dan juga mengenal
para musuh mereka dengan wajah mereka yang hitam pekat.”[20]
[2] Allah
swt. berfirman: “Di antara orang-orang
yang beriman itu ada orang-orang yang menepati apa telah yang mereka janjikan
kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada
[pula] yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak mengubah janjinya.”
(QS. Al-Ahzâb [33]:23). Ali as. pernah ditanya tentang ayat ini, sementara ia
sedang berada di atas mimbar. Dia berkata: “Ya Allah, aku mohon ampunanmu. Ayat
ini turun berkenaan denganku, pamanku Hamzah, dan pamanku ‘Ubaidah bin Hârist.
Adapun ‘Ubaidah, ia telah gugur sebagai syahid di medan Badar dan Hamzah juga
telah gugur di medan perang Uhud. Sementara aku masih menunggu orang paling
celaka yang akan mengucurkan darahku dari sini sampai ke sini—sembari ia
menunjuk jenggot dan kepalanya.”[21]
d. Kategori Ayat Keempat
Berikut ini kami paparkan
beberapa ayat yang turun memuji Imam Ali as. dan mengecam para musuhnya yang
senantiasa berusaha untuk meng-hapus segala keutamaannya.
[1] Allah
swt. berfirman: “Apakah kamu menyamakan
pekerjaan memberi minuman kepada orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus
Masjidil Haram dengan (amal) orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari
kemudian serta berjihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah; dan
Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum yang zalim.” (QS. At-Taubah [9]:19).
Ayat ini turun berkenaan dengan Imam Ali as., Abbâs, dan Thalhah bin Syaibah
ketika mereka saling menunjukkan keutamaan masing-masing. Thalhah berkata: “Aku
adalah pengurus Ka‘bah. Kunci dan urusan tabirnya berada di tanganku.” Abbâs
berkata: “Aku adalah pemberi minum orang-orang yang beribadah haji.” Ali as.
berkata: “Aku tidak tahu kalian ini berkata apa? Sungguh aku telah mengerjakan
salat menghadap ke arah Kiblat selama enam bulan sebelum ada seorang pun yang
mengerjakan salat dan akulah orang yang selalu berjihad.” Kemudian turunlah
ayat tersebut.[22]
[2] Allah
swt. berfirman: “Maka apakah orang yang
telah beriman seperti orang yang fasik? Tentu tidaklah sama.” (QS. As-Sajdah
[32]:18). Ayat ini turun memuji Imam Ali as. dan mengecam Walîd bin ‘Uqbah bin
Abi Mu‘îth. Walîd berbangga diri di hadapan Ali as. seraya berkata: “Lisanku
lebih fasih daripada lisanmu, gigiku lebih tajan daripada gigimu, dan aku juga
lebih pandai menulis.” Ali as. berkata: “Diamlah. Sesungguhnya engkau adalah
orang fasik”. Kemudian turunlah ayat tersebut.[23]
Catatan:
[2]Tafsir At-Thabarî, Jil. 13/72; Kanz Al-‘Ummâl, Jil.
6,/157; Tafsir Al-Haqâ’iq, hal. 42; Musad-ak Al-Hâkim, Jil. 3/129.
[3]Kanz Al-‘Ummâl, Jil. 6/108; Asbâb An-Nuzûl, karya
Al-Wâhidî, hal. 329; Tafsir At-Thabarî, Jil. 4/600; Ad-Durr Al-Mantsûr, Jil.
8/267.
[4]Usud Al-Ghâbah, Jil. 4/25; Ash-Shawâ‘iq Al-Muhriqah,
hal. 78; Asbâb An-Nuzûl, karya Al-Wâhidî, hal. 64.
[5]Ad-Durr Al-Mantsûr, Jil. 8/589; Tafsir At-Thabarî,
Jil. 30/17; Ash-Shawâ‘iq Al-Muhriqah, hal. 96.
[11]Ad-Durr Al-Mantsûr, Jil. 3/106; Tafsir Al-Kasysyâf,
Jil. 1/692; Dzakhâ’ir Al-‘Uqbâ, hal. 102; Majma‘Az-Zawâ’id, Jil. 7/17; Kanz
Al-‘Ummâl, Jil. 7/305.
[12]Majma‘ Az-Zawâ’id, Jil. 7/103; Dzakhâ’ir Al-‘Uqbâ,
hal. 25; Nûr Al-Abshâr, hal. 101; Ad-Durr Al-Mantsûr, Jil. 7/348.
[14]Tafsir Ar-Râzî, Jil. 2/699; Tafsir Al-Baidhâwî, hal.
76; Tafsir Al-Kasysyâf, Jil. 1/49; Tafsir Rûh Al-Bayân, Jil. 1/457; Tafsir
Al-Jalâlain, Jil. 1/35; Shahîh Muslim, Jil. 2/47; Shahîh At-Turmuzî, Jil.
2/166; Sunan Al-Baihaqî, Jil. 7/63; Musnad Ahmad bin Hanbal, Jil. 1/185;
Mashâbîh As-Sunnah, karya Al-Baghawî, Jil. 2/201; Siyar A‘lâm An-Nubalâ’, Jil.
3/193.
[15]Tafsir Ar-Râzî, Jil. 10/243; Asbâb An-Nuzûl, karya
Al-Wâhidî, hal. 133, Rûh Al-Bayân, Jil. 6/ 546; Yanâbî’ Al-Mawaddah, Jil. 1/93;
Ar-Riyâdh An-Nâdhirah, Jil. 2/227; Imtâ‘ Al-Asmâ‘, hal. 502.
[16]Tafsir Ar-Râzî, Jil. 6/783; Shahîh Muslim, Jil. 2/331;
Al-Khashâ’ish Al-Kubrâ, Jil. 2/264; Ar-Riyâdh An-Nâdhirah, Jil. 2/188; Tafsir
Ibn Jarîr, Jil. 22/5; Musnad Ahmad bin Hanbal, Jil. 4/ 107; Sunan Al-Baihaqî,
Jil. 2/150; Musykil Al-Atsar, Jil. 1/334; Khashâ’ish An-Nisa’î, hal. 33.
[22]Tafsir Ath-Thabarî, Jil. 10/68; Tafsir Ar-Râzî, Jil.
16/11; Ad-Durrul Mantsur, Jil. 4/146; Asbâb An-Nuzûl, karya Al-Wâhidî, hal.
182.
[23]Tafsir Ath-Thabarî, Jil. 21/68; Asbâb An-Nuzûl, hal.
263; Târîkh Bagdad, Jil. 13/321; Ar-Riyâdh An-Nâdhirah, Jil. 2/206.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar