Selasa, 23 September 2014

Al Qur'an dan Imam Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah



Tidak sedikit ayat-ayat Al-Qur’an yang menegaskan keutamaan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah dan memperkenalkannya sebagai peribadi Islami yang tinggi dan mulia setelah Rasulullah saw. Ini menunjukkan bahwa ia mendapat perhatian yang tinggi di sisi Allah swt. Banyak sekali buku-buku literatur Islam yang menegaskan bahwa terdapat tiga ratus ayat Al-Qur’an yang turun berkenaan dengan keutamaan dan ketinggian pribadi Iman Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah.[1] Ayat-ayat tersebut dapat dikelompokkan dalam beberapa kategori berikut ini. Kategori pertama adalah ayat yang turun khusus berkenaan dengan Imam Ali secara pribadi. Kategori kedua adalah ayat yang turun berkenaan dengan Imam Ali as dan keluarganya. Kategori ketiga adalah ayat yang turun berkenaan dengan Imam Ali dan para sahabat pilihan Rasulullah saw. Kategori keempat adalah ayat yang turun berkenaan dengan Imam Ali as dan mengecam orang-orang yang memusuhinya. Berikut ini adalah sebagian dari ayat-ayat tersebut.

a. Kategori Ayat Pertama –Ayat-ayat yang turun menjelaskan keutamaan, ketinggian, dan keagungan pribadi Imam Ali as. adalah sebagai berikut:

[1] Allah swt. berfirman:  “Sesungguhnya engkau hanyalah seorang pemberi peringatan . Dan bagi setiap kaum ada orang yang memberi petunjuk.” (QS. Ar-Ra‘d [13]:7). Ath-Thabarî meriwayatkan sebuah hadis dengan sanad dari Ibn Abas. Ibn Abbâs berkata: “Ketika ayat ini turun, nabi saw. meletakkan tangannya di atas dadanya seraya bersabda, ‘Aku adalah pemberi peringatan. Dan bagi setiap kaum ada orang yang memberi petunjuk.’ Lalunya memegang pundak Ali as. sembari bersabda: ‘Engkau adalah pemberi petunjuk itu. Dengan perantara tanganmu, banyak orang yang akan mendapat petunjuk setelahku nanti.’”[2]

[2] Allah swt. berfirman: “.. dan (peringatan itu) diperhatikan oleh telinga yang mendengar.” (QS. Al-Hâqqah [69]:12). Dalam menafsirkan ayat tersebut, Imam Ali as. berkata: “Rasulullah saw. berkata kepadaku, ‘Hai Ali, aku memohon kepada Tuhanku agar menjadikan telingamu yang menerima peringatan.’ Lantaran itu, aku tidak pernah lupa apa saja yang pernah kudengar dari Rasulullah saw.”[3]

[3] Allah swt. berfirman:  “Orang-orang yang menginfakkan hartanya pada malam dan siang hari, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, mereka mendapat pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada rasa takut bagi mereka dan mereka tidak pula bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah [2]:274). Pada saat itu, Imam Ali as. hanya memiliki empat dirham. Satu dirham ia infakkan di malam hari, satu dirham ia infakkan di siang hari, satu dirham ia infakkan secara rahasia, dan satu dirham sisanya ia infakkan secara terang-terangan. Rasulullah saw. bertanya kepa-danya: “Apakah yang menyebabkan kamu berbuat demikian?” Ali as. menjawab: “Aku ingin memperoleh apa yang dijanjikan Allah kepadaku.” Kemudian ayat tersebut turun.[4]

[4] Allah swt. berfirman:  “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berbuat kebajikan, mereka itu adalah sebaik-sebaik makhluk.” (QS. Al-Bayyinah [98]:7). Ibn ‘Asâkir meriwayatkan sebuah hadis dengan sanad dari Jâbir bin Abdillah. Jâbir bin Abdillah berkata: “Ketika kami bersama nabi saw., tiba-tiba Ali as. datang. Seketika itu itu Rasulullah saw. Ber-sabda: ‘Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguh-nya Ali as. dan Syi‘ah (para pengikut)nya adalah orang-orang yang beruntung pada Hari Kiamat.’ Kemudian turunlah ayat itu. Sejak saat itu, setiap kali Ali as. datang, para sahabat Nabi saw. Menga-takan: ‘Telah datang sebaik-baik makhluk.’”[5]

[5] Allah swt. berfirman: “... maka bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai penge-tahuan [Ahl Adz-Dzikr] jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl [16]:43). Ath-Thabarî meriwayatkan sebuah hadis dengan sanad dari Jâbir Al-Ju‘fî. Jâbir Al-Ju‘fî berkata: “Ketika ayat ini turun, Ali as. berkata: “Kami adalah Ahl Adz-Dzikr.”[6]

[6] Allah swt. berfirman: “Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepada-mu dari Tuhanmu. Jika hal itu tidak engkau lakukan, maka berarti engkau tidak menyampaikan risalahmu. Sesungguhnya Allah menjagamu dari kejahatan manusia.” (QS. Al-Mâ’idah [5]: 67). Ayat ini turun kepada Nabi saw. ketika sampai di Ghadir Khum dalam perjalanan pulang dari haji Wadâ’. Nabi saw. diperintahkan oleh Allah untuk mengangkat Ali as. sebagai khalifah sepening-galnya. Beliau melaksanakan perintah tersebut. Beliau melantik Ali as. sebagai khalifah dan pemimpin bagi umat sepeninggalnya. Di hadapan khalayak banyak, Nabi saw. mengumandangkan sabdanya yang masyhur: “Barang siapa yang aku adalah pemimpinnya, maka Ali as. adalah pemimpinnya. Ya Allah, cintailah orang yang men-cintainya, musuhilah orang yang memusuhinya, belalah orang yang membelanya, dan hinakanlah orang yang menghinakannya.”  Setelah itu, Umar bangkit dan berkata kepada Ali as.: “Selamat, hai putra Abu Thalib, engkau telah menjadi pemimpinku dan pemimpin setiap mukmin dan mukminah.”[7]

[7] Allah swt. berfirman: “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu dan telah Aku lengkapi nikmat-Ku atasmu dan Aku pun rela Islam sebagai agamamu.” (QS. Al-Mâ’idah [5]: 3). Ayat yang mulia ini turun pada tanggal 18 Dzulhijjah setelah nabi saw. mengangkat Ali as. sebagai khalifah sepeninggalnya.[8] Setelah ayat tersebut turun, Nabi saw. bersabda: “Allah Maha Besar lantaran penyempurnaan agama, pelengkapan nikmat, dan keridaan Tuhan dengan risalahku dan wilâyah Ali bin Abi Thalib as.”[9]

[8] Allah swt. berfirman: “Sesungguhnya pemimpinmu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman yang mendirikan salat dan mengeluarkan zakat ketika sedang rukuk.” (QS. Al-Mâ’idah [5]: 55). Seorang sahabat nabi terkemuka, Abu Dzar berkata: “Aku menger-jakan salat Dzuhur bersama Rasulullah saw. Tiba-tiba datang seorang pengemis ke masjid, dan tak seorang pun yang membe-rikan sedekah kepadanya. Pengemis tersebut mengangkat kedua tangannya ke langit seraya berdoa: ‘Ya Allah, saksikanlah bahwa aku meminta di masjid Rasul saw., tetapi tak seorang pun yang memberikan sesuatu kepadaku.’ Pada saat itu, Ali as. sedang mengerjakan rukuk. Kemudian ia memberikan isyarat kepadanya dengan kelingking kanan yang sedang memakai cincin. Pengemis itu datang menghampirinya dan segera mengambil cincin tersebut di hadapan Nabi saw. Lalunya saw. Berdoa: ‘Ya Allah, sesung-guhnya saudaraku, Mûsâ as. memohon kepadamu sembari berkata: ‘Wahai Tuhanku, lapangkanlah untukku hatiku, mudahkanlah urusanku, dan bukalah ikatan lisanku agar mereka dapat memahami ucapanku. Dan jadikanlah untukku seorang wazîr dari keluargaku; yaitu saudaraku, Hârûn. Kokohkanlah aku dengannya dan sertakanlah dia dalam urusanku.’ (QS. Thaha [20]:25–32). “Ketika itu engkau turunkan ayat: ‘Kami akan kokohkan kekuatanmu dengan saudaramu dan Kami jadikan engkau berdua sebagai pemimpin.’ (QS. Al-Qashash [28]:35) Ya Allah, aku ini adalah Muhammad nabi dan pilihan-Mu. Maka lapangkanlah hatiku, mudahkanlah urusanku, dan jadikanlah untukku seorang wazîr dari keluargaku, yaitu Ali. Dan kokohkanlah punggungku dengannya.’”

Abu Dzar melanjutkan: “Demi Allah, Jibril turun kepadanya sebelumnya sempat menyelesaikan doanya itu. Jibril berkata, ‘Hai Muhammad, bacalah: ‘Sesungguhnya walimu adalah Allah, Rasul-Nya dan ....’”[10] Ayat ini menempatkan wilâyah ‘kepemimpinan’ universal (Al-Wilâyah Al-‘Âmmah) hanya untuk Allah swt., Rasul-Nya yang mulia, dan Imam Ali as. Ayat ini menggunakan bentuk jamak dalam rangka mengagungkan kemuliaan Imam Ali as. dan menghormati kedudukannya. Di samping itu, ayat ini berbentuk kalimat afirmatif dan menggunakan kata pembatas (hashr) ‘innamâ’ (yang berarti hanya). Dengan demikian, ayat ini telah mengukuhkan wilâyah tersebut untuk Imam Ali as. Seorang penyair tersohor, Hassân bin Tsâbit, telah menyusun sebuah bait syair sehubungan dengan turunnya ayat tersebut. Ia berkata:

Siapakah gerangan yang ketika rukuk menyedekahkan cincin
Sementara ia merahasiakannya untuk dirinya sendiri.[11]

[b] Kategori Ayat Kedua

Al-Qur’an Al-Karim dihiasi dengan banyak ayat yang turun berkenaan dengan Ahlul Bait as. Ayat-ayat ini secara otomatis juga ditujukan kepada junjungan mereka, Amirul Mukminin Ali as. Berikut ini sebagian dari ayat-ayat tersebut.

[1] Allah swt. berfirman: “Katakanlah, ‘Aku tidak meminta kepadamu upah apapun atas dakwahku itu selain mencintai Al-Qurbâ. Dan barang siapa yang mengerjakan kebajikan akan Kami tambahkan kepadanya kebaji-kan itu. Sesungguhnya Allah Maha Penghampun lagi Maha Mensyukuri.’” (QS. Asy-Syûrâ [42]:23). Mayoritas ahli tafsir dan perawi hadis berpendapat bahwa maksud dari “Al-Qurbâ” yang telah diwajibkan oleh Allah swt. kepada segenap hamba-Nya untuk mencintai mereka adalah Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain as., dan maksud dari “iqtirâf Al-hasanah” (me-ngerjakan kebaikan) dalam ayat ini ialah mencintai dan menjadikan mereka sebagai pemimpin. Berikut ini beberapa riwayat yang menegaskan hal ini.

Dalam sebuah riwayat, Ibn Abas berkata: “Ketika ayat ini turun, para sahabat bertanya: ‘Ya Rasulallah, siapakah sanak kerabatmu yang kami telah diwajibkan untuk mencintai mereka?’ Rasulullah saw. Menjawab: ‘Mereka adalah Ali, Fathimah, dan kedua putranya.’”[12] Dalam sebuah hadis, Jâbir bin Abdillah berkata: “Seorang Arab Baduwi pernah datang menjumpai Nabi saw. seraya berkata: ‘Jelaskan kepadaku tentang Islam.’ Rasulullah saw. Menjawab: ‘Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah Yang Esa yang tidak ada sekutu bagi-Nya dan Muhammad itu adalah hamba dan rasul-Nya.’ Arab Baduwi itu segera menimpali: ‘Apakah engkau meminta upah dariku?’ Rasul menjawab: “Tidak, selain mencintai Al-Qurbâ’. Orang Arab Baduwi itu bertanya lagi: ‘Keluargaku ataukah keluargamu?’ Nabi saw. Menjawab: ‘Tentu keluargaku.’ Kemudian orang Arab Baduwi itu berkata lagi: “Jika begitu, aku membaiatmu bahwa barang siapa yang tidak mencintaimu dan tidak juga mencintai keluargamu, maka Allah akan mengutuknya.’ Nabi segera menimpali: ‘Amîn.’”[13]

[2] Allah swt. berfirman:  “Barang siapa yang menghujatmu tentang hal itu setelah jelas datang kepadanya pengetahuan, maka katakanlah, ‘Mari kami panggil putra-putra kami dan putra-putra kamu, putri-putri kami dan putri-putri kamu, dan diri kami dan diri kamu, kemudain kita ber-mubâhalah agar kita jadikan kutukan Allah atas orang-orang yang dusta.’” (QS. Ali ‘Imrân [3]:61). Para ahli tafsir dan perawi hadis sepakat bahwa ayat yang mulia ini turun berkenaan dengan Ahlul Bait Nabi saw. Ayat tersebut menggunakan kata abnâ’ (anak-anak) yang maksudnya adalah Hasan dan Husain as.; kedua cucu Nabi yang dirahmati dan kedua imam pemberi hidayah. Dan maksud kata an-nisâ’ (wanita) yaitu Sayidah Az-Zahrâ’ as., penghulu seluruh wanita dunia dan akhirat. Adapun pemuka dan junjungan Ahlul Bait, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as., diungkapkan dengan kata anfusanâ (diri-diri kami).[14]

[3] Allah swt. berfirman:  “Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum menjadi sesuatu yang dapat disebut ....” (QS. Ad-Dahr [76]). Mayoritas ahli tafsir dan para perawi hadis berpendapat bahwa surah ini diturunkan untuk Ahlul Bait nabi saw.[15]

[4] Allah swt. berfirman:  “Sesungguhnya Allah hanyalah bermaksud menghilangkan segala noda dari kalian, hai Ahlul Bait, dan membersihkan kalian sesuci-sucinya.” (QS. Al-Ahzâb [33]:33). Para ahli tafsir dan perawi hadis sepakat bahwa ayat yang penuh berkah ini turun berkenaan dengan lima orang penghuni Kisâ’.[16] Mereka adalah Rasulullah saw.; junjungan para makhluk, Ali as.; jiwa dan dirinya, Sayyidah Fathimah; buah hatinya yang suci dan penghulu para wanita di dunia dan akhirat yang Allah rida dengan keridaannya dan murka dengan kemurkaannya, dan Hasan dan Husain as.; kedua permata hatinya dan penghulu para pemuda ahli surga. Tak seorang pun dari keluarga Rasulullah saw. yang lain dan tidak pula para pemuka sahabatnya yang ikut serta dalam keuta-maan ini. Hal ini dikuatkan oleh beberapa hadis berikut ini:

Pertama, Ummul Mukminin Ummu Salamah berkata: “Ayat ini turun di rumahku. Pada saat itu ada Fathimah, Hasan, Husain, dan Ali as. di rumahku. Kemudian Rasulullah saw. menutupi mereka dengan Kisâ’ (kain panjang dan lebar), seraya berdoa: “Ya Allah, mereka adalah Ahlul Baitku. Hilangkanlah dari mereka segala noda dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya.’” Ia mengulang-ulang doa tersebut dan Ummu Salamah mendengar dan melihatnya. Lantas dia berkata: “Apakah aku masuk bersama Anda, ya Rasulullah?” Lalu dia mengangkat Kisâ’ tersebut untuk masuk bersama mereka. Tetapinya menarik Kisâ’ itu sembari bersabda: “Sesungguhnya eng-kau berada dalam kebaikan.”[17]

Kedua, dalam sebuah riwayat Ibn Abbâs berkata: “Aku menyak-sikan Rasulullah saw. setiap hari mendatangi pintu rumah Ali bin Abi Thalib as. setiap kali masuk waktu salat selama tujuh bulan berturut-turut. Ia mendatangi pintu rumah itu sebanyak lima kali dalam sehari sembari berkata: ‘Assalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh, hai Ahlul Bait! Sesungguhnya Allah hanyalah bermaksud menghilangkan segala kotoran dari kamu, hai Ahlul Bait, dan membersih-kan kamu sesuci-sucinya. Mari kita melakukan salat, semoga Allah merahmati kalian!”[18]

Ketiga, dalam sebuah riwayat Abu Barazah berkata: “Aku mengerjakan salat bersama Rasulullah saw. selama tujuh bulan. Setiap kali keluar dari rumah, ia mendatangi pintu rumah Fathimah as. seraya bersabda, ‘Salam sejahtera atas kalian. Sesungguhnya Allah hanyalah bermaksud menghilangkan segala kotoran dari kamu, hai Ahlul Bait, dan membersihkan kamu sesuci-sucinya.’”[19] Sesungguhnya tindakan-tindakan Rasulullah saw. ini merupakan sebuah pemberitahuan kepada umat dan seruan kepada mereka untuk mengikuti Ahlul Bait as. Lantaran Ahlul Bait as. adalah pembimbing bagi mereka untuk meniti jalan kemajuan di kehidupan duniawi maupun ukhrawi.

c. Kategori Ayat Ketiga

Terdapat beberapa ayat yang turun berkenaan dengan Amirul Mukminin Ali as. dan juga berkenaan dengan para sahabat Nabi pilihan dan ter-kemuka. Berikut ini ayat-ayat tersebut:

[1] Allah swt. berfirman:  “Dan di atas Al-A‘râf tersebut ada orang-orang yang mengenal masing-masing dari dua golongan itu dengan tanda-tanda mereka.” (QS. Al-A‘raf [7]:46). Ibn Abbâs berkata: “Al-A‘râf adalah sebuah tempat yang tinggi dari Shirât. Di atas tempat itu terdapat Abbâs, Hamzah, Ali bin Abi Thalib as., dan Ja‘far pemilik dua sayap. Mereka mengenal para pecinta mereka dengan wajah mereka bersinar dan juga mengenal para musuh mereka dengan wajah mereka yang hitam pekat.”[20]

[2] Allah swt. berfirman:  “Di antara orang-orang yang beriman itu ada orang-orang yang menepati apa telah yang mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada [pula] yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak mengubah janjinya.” (QS. Al-Ahzâb [33]:23). Ali as. pernah ditanya tentang ayat ini, sementara ia sedang berada di atas mimbar. Dia berkata: “Ya Allah, aku mohon ampunanmu. Ayat ini turun berkenaan denganku, pamanku Hamzah, dan pamanku ‘Ubaidah bin Hârist. Adapun ‘Ubaidah, ia telah gugur sebagai syahid di medan Badar dan Hamzah juga telah gugur di medan perang Uhud. Sementara aku masih menunggu orang paling celaka yang akan mengucurkan darahku dari sini sampai ke sini—sembari ia menunjuk jenggot dan kepalanya.”[21]

d. Kategori Ayat Keempat

Berikut ini kami paparkan beberapa ayat yang turun memuji Imam Ali as. dan mengecam para musuhnya yang senantiasa berusaha untuk meng-hapus segala keutamaannya.

[1] Allah swt. berfirman:  “Apakah kamu menyamakan pekerjaan memberi minuman kepada orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidil Haram dengan (amal) orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum yang zalim.” (QS. At-Taubah [9]:19). Ayat ini turun berkenaan dengan Imam Ali as., Abbâs, dan Thalhah bin Syaibah ketika mereka saling menunjukkan keutamaan masing-masing. Thalhah berkata: “Aku adalah pengurus Ka‘bah. Kunci dan urusan tabirnya berada di tanganku.” Abbâs berkata: “Aku adalah pemberi minum orang-orang yang beribadah haji.” Ali as. berkata: “Aku tidak tahu kalian ini berkata apa? Sungguh aku telah mengerjakan salat menghadap ke arah Kiblat selama enam bulan sebelum ada seorang pun yang mengerjakan salat dan akulah orang yang selalu berjihad.” Kemudian turunlah ayat tersebut.[22]

[2] Allah swt. berfirman:  “Maka apakah orang yang telah beriman seperti orang yang fasik? Tentu tidaklah sama.” (QS. As-Sajdah [32]:18). Ayat ini turun memuji Imam Ali as. dan mengecam Walîd bin ‘Uqbah bin Abi Mu‘îth. Walîd berbangga diri di hadapan Ali as. seraya berkata: “Lisanku lebih fasih daripada lisanmu, gigiku lebih tajan daripada gigimu, dan aku juga lebih pandai menulis.” Ali as. berkata: “Diamlah. Sesungguhnya engkau adalah orang fasik”. Kemudian turunlah ayat tersebut.[23]

Catatan:

[1]Târîkh Bagdad, Jil. 6/221; Ash-Shawâ‘iq Al-Muhriqah, hal. 76; Nûr Al-Abshâr, hal. 76.
[2]Tafsir At-Thabarî, Jil. 13/72; Kanz Al-‘Ummâl, Jil. 6,/157; Tafsir Al-Haqâ’iq, hal. 42; Musad-ak Al-Hâkim, Jil. 3/129.
[3]Kanz Al-‘Ummâl, Jil. 6/108; Asbâb An-Nuzûl, karya Al-Wâhidî, hal. 329; Tafsir At-Thabarî, Jil. 4/600; Ad-Durr Al-Mantsûr, Jil. 8/267.
[4]Usud Al-Ghâbah, Jil. 4/25; Ash-Shawâ‘iq Al-Muhriqah, hal. 78; Asbâb An-Nuzûl, karya Al-Wâhidî, hal. 64.
[5]Ad-Durr Al-Mantsûr, Jil. 8/589; Tafsir At-Thabarî, Jil. 30/17; Ash-Shawâ‘iq Al-Muhriqah, hal. 96.
[6]Tafsir At-Thabarî, Jil. 8/145.
[7]Asbâb An-Nuzûl, hal. 150.
[8]Târîkh Baghdad, Jil. 8/19; Ad-Durr Al-Mantsûr, Jil. 6/19.
[9]Dalâ’il Ash-Shidq, Jil. 2/152.
[10]Tafsir Ar-Râzî, Jil. 12/26; Nûr Al-Abshâr, hal. 170; Tafsir Ath-Thabarî, Jil. 6/186.
[11]Ad-Durr Al-Mantsûr, Jil. 3/106; Tafsir Al-Kasysyâf, Jil. 1/692; Dzakhâ’ir Al-‘Uqbâ, hal. 102; Majma‘Az-Zawâ’id, Jil. 7/17; Kanz Al-‘Ummâl, Jil. 7/305.
[12]Majma‘ Az-Zawâ’id, Jil. 7/103; Dzakhâ’ir Al-‘Uqbâ, hal. 25; Nûr Al-Abshâr, hal. 101; Ad-Durr Al-Mantsûr, Jil. 7/348.
[13]Hilyah Al-Awliyâ’, Jil. 3/102.
[14]Tafsir Ar-Râzî, Jil. 2/699; Tafsir Al-Baidhâwî, hal. 76; Tafsir Al-Kasysyâf, Jil. 1/49; Tafsir Rûh Al-Bayân, Jil. 1/457; Tafsir Al-Jalâlain, Jil. 1/35; Shahîh Muslim, Jil. 2/47; Shahîh At-Turmuzî, Jil. 2/166; Sunan Al-Baihaqî, Jil. 7/63; Musnad Ahmad bin Hanbal, Jil. 1/185; Mashâbîh As-Sunnah, karya Al-Baghawî, Jil. 2/201; Siyar A‘lâm An-Nubalâ’, Jil. 3/193.
[15]Tafsir Ar-Râzî, Jil. 10/243; Asbâb An-Nuzûl, karya Al-Wâhidî, hal. 133, Rûh Al-Bayân, Jil. 6/ 546; Yanâbî’ Al-Mawaddah, Jil. 1/93; Ar-Riyâdh An-Nâdhirah, Jil. 2/227; Imtâ‘ Al-Asmâ‘, hal. 502.
[16]Tafsir Ar-Râzî, Jil. 6/783; Shahîh Muslim, Jil. 2/331; Al-Khashâ’ish Al-Kubrâ, Jil. 2/264; Ar-Riyâdh An-Nâdhirah, Jil. 2/188; Tafsir Ibn Jarîr, Jil. 22/5; Musnad Ahmad bin Hanbal, Jil. 4/ 107; Sunan Al-Baihaqî, Jil. 2/150; Musykil Al-Atsar, Jil. 1/334; Khashâ’ish An-Nisa’î, hal. 33.
[17]Mustadrak Al-Hâkim, Jil. 2/416; Usud Al-Ghâbah, Jil. 5/521.
[18]Ad-Durr Al-Mantsâr, Jil. 5/199.
[19]Dzakhâ’ir Al-‘Uqbâ, hal. 24.
[20]Ash-Shawâ‘iq Al-Muhriqah, hal. 101.
[21]Ash-Shawâ‘iq Al-Muhriqah, hal. 80; Nûr Al-Abshar, hal. 80.
[22]Tafsir Ath-Thabarî, Jil. 10/68; Tafsir Ar-Râzî, Jil. 16/11; Ad-Durrul Mantsur, Jil. 4/146; Asbâb An-Nuzûl, karya Al-Wâhidî, hal. 182.
[23]Tafsir Ath-Thabarî, Jil. 21/68; Asbâb An-Nuzûl, hal. 263; Târîkh Bagdad, Jil. 13/321; Ar-Riyâdh An-Nâdhirah, Jil. 2/206.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar