Tampilkan postingan dengan label Perspektif. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Perspektif. Tampilkan semua postingan

Minggu, 10 Juli 2016

Kaum Intelektual dan Demokrasi Pasar


Bagi yang konsen pada studi analisis wacana, kajian politik global, dan soal-soal yang berkaitan dengan kapitalisme serta kondisi mutakhir masyarakat dunia kita belakangan ini, tentu mengenal pula nama Noam Chomsky. Tulisan ini mencoba untuk menguraikan kembali analisanya Noam Chomsky tentang demokrasi-kapitalis, utamanya terkait dengan negara Noam Chomsky sendiri, Amerika Serikat, yang belakangan ini acapkali disorot karena politik invasif-nya di sejumlah negara, utamanya di Timur Tengah, seperti di Irak dan Suriah belakangan ini.

Di sini, yang hendak diangkat dan didadarkan adalah bagaimana kaum korporat (para oligarkh dan pengusaha-pengusaha multinasional) yang bekerjasama dengan kekuasaan ‘membentuk pikiran publik’ atau menggiring opini dan pikiran masyarakat dalam memandang dunia dan realitas kita saat ini, yang salah-satu contohnya adalah dengan menggunakan kelas menengah kaum intelektual (yang menikmati bayaran dan kenyamanan dari kapitalisme dan pasar yang dikendalikan kelas/korporasi berkuasa).

Dalam pandangan dan analisisnya Noam Chomsky, proses pembentukan pikiran publik melalui propaganda dan doktrin untuk mengukuhkan kekuasaan kelas berkuasa di Amerika Serikat telah lazim digunakan, bahkan dapat dikatakan sejak Amerika Serikat itu sendiri didirikan oleh para pendatang yang membantai puluhan juta (ada yang menyebut seratus juta) orang-orang Indian yang merupakan penduduk asli benua Amerika kala itu. Tanpa ditopang oleh penguasaan atas pikiran publik, demikian diterangkan Noam Chomsky, maka doktrin-doktrin kelas berkuasa takkan bisa bertahan lama.

Dalam hal ini, apa yang diperlukan oleh setiap kekuasaan adalah “mendikte setiap pikiran publik persis seperti halnya sebuah pasukan mendikte tubuh-tubuh dari tentara-tentaranya” melalui lembaga-lembaga dan atau institusi-institusi, semisal lewat institusi pendidikan, selain melalui media-media massa.

Dengan mengutip pengalaman Edward Bernays saat bekerja untuk Komite untuk Informasi Publik, Noam Chomsky menunjukkan bahwa sejak Perang Dunia Pertama, Amerika Serikat telah terbiasa dengan upaya-upaya “menundukkan pikiran publik”, “merekayasa konsensus”, “menggiring aspirasi massa”, dan juga “memanipulasi massa atau publik (masyarakat dan warga negara) secara terencana dan cerdas, semisal membentuk dan menggiring kebiasaan-kebiasaan dan opini-opini massa secara terorganisir demi tujuan-tujuan strategis dan politis Amerika, dan tentu juga demi menciptakan kepatuhan warga negara”.

Upaya-upaya tersebut tentu saja ditopang bukan hanya melalui propaganda-propaganda media-media massa belaka yang dimiliki para korporat yang bekerjasama dengan pemerintah dan para politisi Amerika Serikat, melainkan oleh kaum intelektual, seperti yang dilakukan James Madison, agar gagasan dan doktrin tentang kekuasaan kaum kapitalis itu bisa memperoleh legitimasi dan bahkan landasan konstitusional di dalam negeri Amerika Serikat, sehingga kepatuhan warga Amerika Serikat pun dimungkinkan, dan menimalisir potensi kritis dari warga negara Amerika.

James Madison yang merupakan intelektual politik dan presiden keempat Amerika Serikat itu, demikian sebagaimana dicontohkan Noam Chomsky, memainkan peranan yang sangat penting bagi peletakan batu fondasi (alas atau dasar) bagi struktur politik yang kapitalis dan imperialis, dapat berlaku dan berjalan di Amerika Serikat. Jadi, dalam hal ini, dapat dikatakan, sedari awal sebenarnya struktur dan pemerintahan di Amerika Serikat dirancang demi ‘mengamankan’ kepentingan kaum oligarkh dan para korporat yang bekerjasama dengan pemerintah dan para politisi di Amerika Serikat.

Lebit lanjut, Noam Chomsky menerangkan bahwa sebagai salah seorang perancang konstitusi Amerika Serikat, James Madison menolak pengalaman Inggris dimana demokrasi memungkinkan masyarakat kelas bawah untuk merebut kembali tanah dari para tuan tanahnya, dan hal itu dirasa sangat mengkhawatirkan bagi para bangsawan dan korporat yang ada di Amerika Serikat.

Begitulah, karena kekhawatiran itu, James Madison pun berupaya sekuat pikiran dan tenaganya untuk meletakkan dasar politik Amerika Serikat dengan mendukung suatu model sistem politik yang “melindungi minoritas orang kaya (para korporat dan kaum oligarkh) menghadapi kaum mayoritas” dan “mencanangkan suatu sistem dan mekanisme di mana kekuasaan politik harus berada di tangan orang-orang kaya di negeri itu, harus dalam kendali dan berada di tangan para oligarkh dan korporat”, sementara “lapis masyarakat yang lain harus dimarjinalisasikan dan dipecah-belah, agar tercipta partisipasi publik yang terbatas di wilayah arena politik”.

Dan tak diragukan lagi, hasil dari doktrin Masonian itu pun adalah diteguhkannya kekuasaan otoritarian yang menjadi dasar dari demokrasi pasar (demokrasi yang dikendalikan kaum elit kecil kapitalis yang pernah dikritik Bung Karno itu), yaitu sejenis demokrasi yang dikangkangi oleh kaum oligarkh dan korporasi bisnis dan digunakan untuk memuluskan dan ‘memapankan’ kekuasaan mereka, sebagaimana terjadi saat ini di mana mereka membiayai sejumlah perang dan politik invasi Amerika ke sejumlah negara, utamanya di Timur Tengah, semisal di Yaman, Suriah dan Irak.

Selanjutnya, setelah konstitusi Masonian yang menopang kekuasaan kaum kapitalis tersebut ditegakkan dan dimapankan sistem dan mekanismenya, beberapa doktrin yang memiliki preferensi terhadap ‘pasar bebas’ (liberalisme yang akan menguntungkan mereka) pun diterapkan. Kaum intelektual di negeri itu pun mengamini tuntutan kaum industrialis Amerika Serikat yang menyerukan adanya “malapetaka yang mengancam kaum industrialis” dalam bentuk “kekuasaan politik massa rakyat yang baru terbangun.”

Bersama-sama dengan kaum intelektual itulah, “kaum industrialis (para oligarkh dan korporat) itu harus menjalankan serta memenangkan perang yang tiada akhir demi memperebutkan pikiran-pikiran manusia” dan “mengindoktrinasi para warga negara dengan cerita kapitalis” yang mereka buat, yang bahkan mereka massifkan dalam kurikulum pendidikan dan “didoktrinkan’ di sekolah-sekolah dan perguruan-perguruan tinggi. Beberapa dari suara-suara kaum industrialis dan intelektual itu utamanya ditujukan untuk mewaspadai bangkitnya kekuatan sosialisme di Amerika Latin, dan dalam hal inilah Amerika Serikat juga berusaha membendung pengaruh-pengaruh pikiran sosialis yang datang dari Soviet (Rusia).

Kemudian, untuk menghambat proses tersebut, kaum intelektual, kalangan pebisnis (para oligarkh dan kaum elite korporat) dan negara imperial Amerika Serikat pun berupaya untuk menanamkan doktrin Washington Konsensus (neo-liberalisme) dan demokrasi pasar, baik melalui serangkaian perjanjian struktural maupun melalui perang imperialis. Terhadap upaya ini, para editor jurnal ilmiah yang bergaris liberal, contohnya, mendukung dengan gigih dengan menyebut bahwa proses yang sedang terjadi pada dasarnya “kebangkitan kembali demokrasi di Amerika Latin”.

Tak pelak lagi, dukungan ‘membuta’ (tanpa kritik dan perlawanan) kaum intelektual itu, sebagaimana dipaparkan Noam Chomksy, melalaikan fakta bahwa: “demokrasi yang dimaksud adalah sejauh ia meniru model Amerika Serikat yang memberi keleluasaan pada kaum kaya, juga mengabaikan bahwa demokrasi seperti itu seringkali dibangun di atas perang dan teror terhadap kaum miskin, serta yang juga cukup miris: melupakan fakta bahwa demokrasi pasar berdiri di atas penderitaan kaum buruh, petani, dan kaum miskin lainnya yang semakin dihisap dan dieksploitasi. 


Minggu, 05 Juni 2016

Iran yang Difitnah, Iran yang Tercerahkan


2 Agustus 2013 Pukul 14:53 oleh Ismail Amin*

“Upaya Islam untuk menegakkan keadilan sosial merupakan upaya yang paling serius. Bahkan hingga munculnya Marxisme, upaya itu masih merupakan yang paling serius.” -W.C Smith dalam bukunya Islam in Modern History-

Izinkan saya memulai catatan sederhana ini, dengan sedikit bercerita tentang Iran. Meski saya tahu konsekwensinya. Menceritakan apapun tentang Iran, cenderung dicurigai membawa misi tertentu. Namun saya merasa terpanggil untuk menceritakannya, terutama karena banyaknya hal yang bisa menjadi pelajaran bagi bangsa kita yang sedang euforia untuk menegakkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari.

Sebelum semangat itu kandas dan tertimbun oleh sampah-sampah materialisme dan limbah metropolis, izinkan saya. 

Iran, sebuah negeri fenomenal yang mendapat simpatik, pujian, pembelaan dan hujatan sekaligus. Negeri yang lewat CNN, Amerika menyebutnya sebagai bangsa yang keras kepala, yang oleh sebagian kaum muslimin menjadikan Iran sebagai kebanggaan baru, kiblat alternatif pergerakan dan perlawanan terhadap hegemoni Amerika, namun sebagiannya lagi tetap juga memasang wajah permusuhan dan kecurigaan. Iran dengan mazhab Syiah mayoritas rakyatnya, tetap dinilai sebagai musuh dan diluar Islam. Apapun yang berasal darinya dicurigai sebagai kedok semata untuk memberangus dan menghancurkan Islam dari dalam. Apapun yang berasal darinya, fiqh, hadits, tradisi, teologi, filsafat bahkan penemuan-penemuan mutakhirnya diisolasikan dan dipinggirkan dari dunia Islam.

Syiah sering mendapat  tuduhan dan fitnah sebagai agama tersendiri dan bukan bagian dari Islam. Namun, bagai pepatah, anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu, Iran dengan masyarakatnya yang mayoritas Syiah menjawab segala tuduhan-tuduhan dan berbagai tudingan miring dengan kerja-kerja positif yang nyata. Iran menjadi negara terdepan dan yang paling aktif memberikan pembelaan atas penindasan yang masih juga dirasakan rakyat Palestina.

Tidak sekedar melalui diplomasi politik, Pemerintah Iran  juga memberikan bantuan secara nyata dengan mengucurkan 250 juta dolar tunai buat rakyat Palestina. Iran menjadikan Palestina tidak ubahnya salah satu provinsi yang menjadi bagian negaranya, dengan menanggung gaji pegawai di tiga departemen, yaitu departemen urusan sosial, departemen tenaga kerja dan departemen kebudayaan. Menanggung hidup 1.000 pengangguran senilai 100 dolar setiap bulannya. Membiayai total pembangunan gedung kebudayaan, perpustakaan serta renovasi 1.000 rumah yang hancur dengan total biaya 20 juta dolar. Belum lagi bantuan lainnya yang diberikan tanpa persyaratan apapun.

Dalam kunjungannya ke Iran pada tahun 1998, tokoh pendiri HAMAS Syaikh Ahmad Yassin menyatakan, Iran adalah negara pertama yang secara resmi menyatakan dukungan terhadap HAMAS dan perjuangannya dalam upaya pembebasan Palestina. Ismail Haniyah tokoh HAMAS juga pernah menyatakan secara terbuka ucapan terimakasihnya kepada Iran atas peran politiknya dan bantuannya dalam meraih kemenangan Gaza bertahan dari gempuran militer Israel.

Dengan keberhasilan meluncurkan roket pembawa satelit "Safir Omid" dan sebuah maket satelit percobaan di orbit bumi, Iran menjadi negara regional pertama yang mandiri tanpa bantuan asing, baik dalam membuat satelit maupun dalam meluncurkan dan mengontrolnya. Semakin diserang dengan propaganda negatif dari berbagai arah, ulama-ulama, ilmuwan-ilmuwan, olahragawan, sampai seniman mereka seakan berlomba-lomba untuk menunjukkan prestasi dan menampakkan kecemerlangan Islam.

Lihat saja apa yang dilakukan ilmuwan mereka, hampir dalam hitungan hari, ada yang mematenkan penemuan-penemuan baru mereka. Perkembangan sains di Iran dapat dilihat dari perkembangan publikasi ilmiah yang mereka hasilkan. Dalam penelitian 'string theory', kimia dan matematika, Iran merupakan nomor 15 di dunia, bersaing ketat dengan Amerika Serikat dan negara-negara Eropa.

Fenomena perkembangan sains di Iran yang sangat mencengangkan dan menakjubkan negara-negara Eropa, secara menarik diulas  Prof. Farhad Khosrokhavar, profesor sosiologi di E'cole des Hauts E'tudes en Sciences Sociales (EHESS) di Paris  dalam artikelnya yang dimuat dalam Critique: Critical Middle Eastern Studies, (Summer 2004), 13 (2), 209-224. Begitu juga dalam artikel D. A. King yang dipublikasikan di Nature, edisi 15 Juli 2004 yang berjudul 'The scientific impact of nations' yang analisisnya menyatakan bahwa Iran merupakan satu-satunya negara Islam yang termasuk ke dalam negara memiliki 'The scientific impact of nations' tertinggi di dunia.

Daftar 100 orang jenius dunia yang masih hidup yang dikeluarkan oleh firma konsultan global Creators Synectics,  Ali Javan pakar teknik (penemu gas laser) dan Pardis Sabeti ahli biologi anthropologi yang keduanya berkebangsaan Iran termasuk diantaranya.

Para ilmuwan Iran tidak hanya sibuk mengurusi nuklir, rudal balistik, pesawat tempur tanpa awak dan persenjataan perang canggih lainnya. Namun juga mampu membuat kendaraan produksi sendiri, diantara yang populer, merk Paikan dan Saipa. Dan diantara produk modern ilmuwan Iran yang mencengangkan dunia adalah Surena-2, robot mirip manusia yang bisa berjalan dan melakukan tugas-tugas khusus. Robot setinggi 145 sentimeter itu memiliki berat 45 kilogram. Namanya diambil dari nama seorang kesatria Persia kuno, robot ini bisa berjalan dengan gerakan tangan dan kaki yang sangat mirip dengan manusia. Robot ini sengaja dikembangkan untuk membantu manusia mengerjakan tugas-tugas yang sulit.  

Kaum perempuan Iran tidak ketinggalan dari  saintis yang umumnya laki-laki. Dalam Festival Internasional Para Penemu Perempuan yang  pertama kali digelar di Korea Selatan tahun 2008, Republik Islam Iran ikut bersaing dalam ajang kompetisi tersebut dan berhasil menggondol 12 medali emas, lima perak dan enam perunggu.  Maryam Islami dari Iran menyandang gelar sebagai penemu perempuan terbaik tahun 2008. Beberapa saat sebelumnya beliau juga mendapat penghargaan penemu perempuan terbaik dari Organisasi Kekayaan Intelektual Dunia (WIPO) dalam Festival Penemuan dan Teknologi di Jenewa, tahun 2008, padahal saat itu Maryam Islami masih mahasiswa tingkat lima fakultas kedokteran.

Lebih dari itu, kita juga mengenal Shirin Ebadi, muslimah pertama peraih Nobel, juga berasal dari Iran.

Pada bidang seni kaligrafi, kaligrafer Iran Roin Abar Khanzadeh berhasil membuat Al-Qur'an terkecil yang memecahkan rekor dunia. Al-Qur'an terkecil ini dibuat 94 kali lebih kecil dari Al-Qur'an terkecil sebelumnya. Yang menarik Al-Qur’an terkecil ini ditulis dengan mata telanjang oleh penulisnya dan bila dijejer hanya menempati ukuran kertas A3. Al-Qur’an yang berukuran 5 X 7 cm ini dibungkus dengan kulit yang dilapisi oleh emas 24 karat dan di bagian akhir ditulis doa Khataman Al-Qur’an dan beberapa doa lain dengan pinggiran dari perak.

Untuk membumikan Al-Qur’an dan membuat seluruh lapisan masyarakatnya mencintai Al-  Qur’an sehingga tidak ada lagi diantara mereka yang tidak becus membaca kitab sucinya sendiri, pemerintah Iran merasa tidak perlu mengaturnya secara formal dalam bentuk undang-undang atau peraturan tertulis. Yang dilakukan pemerintah Iran adalah, membangun lembaga-lembaga kegiatan berbasis Al-Qur’an di seantero kota Iran yang saat ini sudah ada 600 pusat lembaga kegiatan yang sedang aktif dan tiga tahun kedepan ditargetkan ada seribu perpustakan dan Bank CD Qur’ani di pusat-pusat kegiatan Al-Qur'an di Iran.

Diantara agenda nasional dalam menyemarakkan Ramadhan adalah penyelenggaraan Pameran Al-Qur'an Internasional dan melakukan tilawatil Qur’an satu juz perhari di masjid-masjid besar yang dihadiri sampai ribuan masyarakat Iran. Dengan tingkat apresiasi yang tinggi terhadap Al-Qur'an wajar jika Iran menghasilkan banyak Mufassir terkemuka dalam dunia Islam, diantaranya Allamah Mohammad Husain Thabatabai, penulis tafsir Al-Mizan.

Dalam dunia perbukuan dan penerbitan, dibanding negara-negara Islam lainnya, Republik Islam Iran bisa ditetapkan sebagai yang terdepan. Pameran Buku Internasional Teheran merupakan program pemerintah Iran setiap tahunnya yang mendapat posisi istimewa dalam kalender para penerbit internasional. Berdasarkan data yang dirilis, Pameran Buku Internasional Teheran adalah pameran buku terbesar dunia Islam dan menjadi fenomena budaya terbesar negara-negara di Timur Tengah.

Seluruh buku yang diterbitkan di Iran dari tahun 2008 sampai 2009 lalu berjumlah 55.171 judul dengan jumlah total cetakan sebanyak 218 juta eksemplar, jauh melebihi jumlah penduduk Iran yang hanya berkisar 75 juta jiwa. Hasil-hasil karya dan apresiasi mereka menunjukkan minat mereka yang demikian tinggi terhadap ilmu pengetahuan, wajar jika kemudian Iran termasuk dalam deretan negara-negara maju. Inilah yang membuat AS gentar dan khawatir, lewat propaganda-propaganda negatif, melalui tekanan dan embargo ekonomi, mereka berusaha menghambat pertumbuhan dan kemajuan Iran.

Di bidang olahraga, prestasi Iran juga sangat mengagumkan dan mengharumkan nama dunia Islam. Iran menjadi negara muslim paling berprestasi di bidang olahraga, dengan menjadi terdepan meraih medali emas di Olimpiade dan Asian Games dibanding negara mayoritas berpenduduk muslim lainnya. Untuk Piala Dunia tahun 2014, Iran menjadi negara muslim pertama yang memastikan dirinya lolos pada putaran final di Brasil nanti.

Islam dalam tafsiran masyarakat muslim Iran, bukan semata-mata kepercayaan akan ritual dan sekumpulan norma etik melainkan juga spirit bagi proses perubahan sosial. Bagi mereka, dasar kepercayaan Islam adalah sebagai kekuatan perlawanan dan pembebas. Sebuah kekuatan yang akan menjadi pisau yang tajam bagi proses pembelahan persoalan-persoalan sosial dan akan memprakarsai sebuah perjalanan baru sejarah sosial Islam. Islam tidak semata-mata memuat deretan do’a dan ibadah melainkan perlawanan yang bergelora. Mungkin dengan semangat itulah, Islam akan kembali meraih kejayaannya, sebagaimana diturunkan pertama kali, menjadi pembebas bagi mereka yang berada dalam ketertindasan.

Islam, sebagaimana terlihat dari perkembangannya dewasa ini, memiliki potensi besar dalam menumbuhkan kembali kepercayaan diri masyarakat muslim untuk berperang melawan eksploitasi oleh kekuatan imperialis asing dan untuk melawan ketidakadilan, korupsi dan kesewenang-wenangan yang dilakukan penguasa setempat. Gejolak massa di Iran lebih banyak diarahkan untuk memerangi imperialisme Amerika dan ketidakadilan, korupsi dan sikap-sikap permisif dalam negeri.

Perlu dipahami bahwa Islam mewakili aspirasi masyarakat, idealisme moral, dan instrumen untuk memperbaiki kekeliruan. Agama ini harus dibersihkan dari unsur-unsur ortodoks zaman pertengahan dan ajaran-ajarannya perlu ditafsirkan kembali agar selaras dengan nilai-nilai hakikinya. Ini sangat penting, bagi  mereka yang benar-benar ingin menjadikan Islam sebagai sarana untuk mencapai idealisme kesetaraan dan keadilan, bukan hanya untuk kekuasaan.

Ashgar Ali Engineer memberi pesan sebagaimana yang ditulis dalam bukunya Islamic State, “Ajaran-ajaran Islam harus dilihat dalam konteks sosial yang lebih mendalam dan ditafsirkan sebaik mungkin untuk menjamin tegaknya keadilan ekonomi. Wahyu Ilahi sangat menjunjung tinggi kebenaran, dan kebenaran itu sendiri mengandung aspek temporal dan transendental, dan aspek temporalnya memiliki kesesuaian dengan fakta.” 

Demikianlah, yang bisa saya tulis. Satu hal yang tidak bisa disangkal, bahwa Islam memiliki potensi besar dan sumber inspirasi yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Bukan sekedar aspirasi yang selalu dituntut untuk diakui secara formal. Yang dibutuhkan adalah komitmen kuat untuk membentuk masyarakat yang adil dan egaliter, dan interpretasi ajaran Islam yang kondusif untuk membangun masyarakat sejahtera dan mandiri.

Dengan ini saya mengajukan contoh, Republik Islam Iran telah berhasil membuktikannya, tidak dengan cara ribet mengatur kehidupan pribadi warga namun memilih lebih berkonsentrasi pada masalah yang lebih besar dan universal. Mengapa kita tidak?

Begitu. 

*Warga Indonesia yang sementara menetap di Iran

Senin, 07 Desember 2015

Karbala & Imam Husain dalam Sastra Persia & India


oleh Annemarie Schimmel (Islamolog & pengkaji sufisme dari Jerman)

Saya masih ingat kesan mendalam yang saya rasakan ketika membaca puisi pertama bahasa Parsi yang saya baca dalam kaitan dengan kejadian-kejadian tragis di Karbala. Puisi tersebut adalah elegi karangan Qa’ani, yang diawali dengan kata-kata berikut:

“Hujan apa? Darah
Siapa? Mata
Bagaimana? Siang-malam
Mengapa? Karena duka
Duka karena siapa?
Duka karena raja Karbala”.

Puisi ini, dengan gaya tanya-jawabnya yang indah, mengungkapkan banyak hal dalam kejadian-kejadian dramatis Karbala dan perasaan-perasaan yang dialami oleh seorang Muslim yang saleh manakala dia memikirkan kesyahidan cucu tercinta Muhammad (Husain) di tangan tentara Bani Umayyah.

Tema penderitaan dan kesyahidan menempati peran sentral dalam sejarah agama sejak zaman yang paling dini. Sudah sejak dalam mitos-mitos kuno di Timur Dekat, kita telah mendengar tentang seorang pahlawan yang terbunuh, yang kematiannya menjamin lahirnya kembali kehidupan. Nama-nama Attis dan Osiris dalam tradisi Babilonia dan Mesir masing-masing merupakan contoh terbaik tentang tilikan tajam bangsa-bangsa kuno, bahwa tanpa kematian tidak akan ada kelanjutan kehidupan, dan bahwa darah yang tertumpah demi tujuan yang suci adalah lebih berharga daripada apapun yang lain. Pengorbanan adalah sarana untuk mencapai tahap-tahap kehidupan yang lebih tinggi dan lebih luhur. Memberikan dengan ikhlas sebagian dari harta kekayaan yang kita miliki, atau mengorbankan anggota-anggota keluarga, akan meningkatkan derajat keagamaan seseorang. Kisah Injil dan Al-Qur’an tentang Ibrahim yang demikian percaya kepada Tuhan sehingga, tanpa menanyakan apapun, bersedia mengorbankan anak lelaki satu-satunya, menunjuk kepada pentingnya pengorbanan seperti itu. Iqbal pastilah benar ketika dia menggabungkan, dalam sebuah puisi yang terkenal –Bal-I-Jibril-(1936)- pengorbanan Ismail dan kesyahidan Husain, yang keduanya merupakan awal dan akhir kisah tentang Ka’bah.

Dengan memperhitungkan pentingnya pengorbanan dan penderitaan bagi perkembangan manusia, tidaklah mengherankan jika sejarah Islam telah memberikan tempat yang sentral kepada kematian cucu Nabi tercinta, Husain, di medan perang, dan seringkali menggabungkan kejadian itu dengan kematian saudara laki-lakinya, Hasan, yang diakibatkan oleh racun. Dalam kesusastraan populer kita sering menemukan Hasan dan Husain ditampilkan sebagai berperan serta dalam pertempuran Karbala, yang secara historis adalah keliru, namun secara psikologis benar.

Di sini bukanlah tempatnya untuk mendiskusikan perkembangan keseluruhan genre puisi martsiyah dan ta’ziyah di dunia Persia dan Indo-Persia, atau dalam tradisi Turki populer. Tapi adalah menarik untuk melihat sekilas beberapa bait puisi dalam tradisi Islam Timur yang umumnya mengungkapkan kepedulian para penyair Sunni terhadap nasib Husain, dan mengenakan, pada saat yang sama, kecenderungan kaum Sufi untuk memandangnya sebagai model penderitaan yang begitu sentral dalam pertumbuhan jiwa.

Nama Husain muncul beberapa kali dalam karya penyair sufi besar pertama Iran, Sana’i (wafat tahun 1131). Di sini, nama Husain dapat ditemukan di sana-sini dalam kaitan dengan keberanian dan kerelaan berkorban, dan Sana’i melihat dalam dirinya suatu prototipe sang syahid (martir), yang jauh lebih tinggi dan lebih penting daripada semua syahid (martir) yang pernah dan masih ada di dunia:

“Agamamu adalah Husain-mu,
kerakusan dan nafsu keinginanmu
adalah babi-babi dan angjing-anjingmu
Engkau bunuh agamamu,
dan kau pelihara babi-babi dan anjing-anjingmu”.

(Divan, halaman 655).

Ini berarti bahwa manusia telah terjerumus ke dalam jurang kemerosotan yang sedemikian dalam sehingga dia hanya memikirkan tujuan-tujuan dan keinginan-keinginannya sendiri saja, dan melakukan segala sesuatu untuk memanjakan aspek-aspek kehidupan materialnya, sementara agamanya, yakni aspek spiritual kehidupannya, ditelantarkan tanpa makanan, menjadi layu, persis seperti halnya Husain dan para syuhada (para martir) Karbala terbunuh setelah tak seorang pun mau memberi air minum kepada mereka di padang pasir. Gagasan yang kuat ini menggema dalam bait-bait yang lain, baik dalam Divan maupun Hadiqah Al-Haqiqah. Tetapi kita harus berhati-hati dalam menilai pujian-pujian yang panjang kepada Husain dan penggambaran tentang Karbala sebagaimana yang ditemukan dalam Hadiqah, karena tampaknya kedua unsur ini tidak terdapat dalam manuskrip-manuskrip tertua dari karya tersebut, dan mungkin telah disisipkan pada masa yang terkemudian. Akan tetapi, hal ini tidaklah menjadi kepedulian kita di sini. Sebab nama sang pahlawan, yakni Husain, ditemukan dalam salah satu puisi sentral Sana’i dalam Divan, di mana sang penyair dalam citraan-citraan yang agung menggambarkan perkembangan manusia dan masa-masa panjang penderitaan yang dituntut bagi perkembangan segala sesuatu yang ingin meraih kesempurnaan, Di sinilah Sana’i melihat dalam “jalan agama” syahid-syahid (para martir) yang dahulu mati dan kini hidup, yaitu syahid-syahid (para martir) yang terbunuh oleh pedang seperti halnya Husain, dan mereka yang mati oleh racun seperti halnya Hasan (Divan, 485).

Kecenderungan untuk melihat Husain sebagai model kesyahidan dan keberanian tentu saja terus berlanjut dalam puisi yang dikarang sesudah Sana’i oleh sufi-sufi Persia dan Turki, yang paling menarik diantaranya adalah satu baris dalam Divan-nya `Attar (376 Hijriah) dimana dia menyeru sang pemula yang baru menempuh jalan agar terus melangkah menuju tujuan. Katanya:

“Jadilah seorang Husain, atau seorang Manshur”.

Yang dimaksud Manshur di sini adalah Husain bin Manshur Al-Hallaj, pemimpin para syuhada (para martir) sufi Islam, yang dibunuh dengan kejam di Baghdad pada tahun 922 Masehi. Seperti nama julukannya, Husain bin Ali, dia menjadi model bagi para sufi. Dia adalah pecinta yang menderita, dan dalam sejumlah yang cukup banyak dari puisi-puisi sufi, namanya muncul berdampingan dengan nama Husain. Keduanya tenggelam dalam cinta kepada Tuhan. Keduanya mengorbankan diri di Jalan Cinta Ilahi. Karena itu keduanya merupakan pecinta-pecinta Tuhan yang ideal, yang harus diteladani oleh setiap Muslim yang saleh. Ghalib dengan piawainya mengisyaratkan kepada kombinasi ini dalam Tawhid Qasidah-nya:

“Tuhan telah menempatkan para pecinta ekstatik seperti Husain dan Manshur di kalung-kalung tali dan tiang gantungan, dan Dia menempatkan para pejuang di Jalan Allah seperti Husain dan Ali di pinggiran-pinggiran mata pedang dan ujung-ujung tombak. Dengan menjadi syuhada (martir), mereka mendapatkan kehidupan dan kebahagiaan yang abadi dan menjadi saksi-saksi atas kekuasaan Tuhan yang misterius”.

Tradisi ini khususnya terasa kuat dalam dunia Turki, dimana nama Husain maupun nama Manshur sering muncul dalam nyanyian-nyanyian sufi.

Tradisi Turki, terutama pada tarekat Bektasiyyah yang belakangan, sangat berhutang budi kepada Islam Syi’ah. Tapi tampaknya sudah sejak dalam beberapa nyanyian sufi populer yang paling awal di Turki, yakni yang dikarang oleh Yunus Emre pada akhir abad ke-13 atau awal abad ke-14, cucu-cucu Nabi (Hasan dan Husain) memainkan peran khusus. Dalam sebuah nyanyian indah karangan Yunus, mereka digambarkan sebagai “air mancurnya para syuhada”, “air mata para wali” serta “anak-anak domba Bunda Fatimah.” Kedua cucu Nabi itu, sebagai “raja delapan surga,” dipandang sebagai penolong-penolong yang berdiri di pinggir telaga Al-Kawtsar dan membagi-bagikan air kepada orang-orang yang kehausan, suatu kebalikan dari Husain yang menderita kehausan di padang pasir Karbala yang kering-kerontang” (Yunus Emre Divani, halaman 569).

Dongeng terkenal yang menurutnya Nabi SAAW melihat Jibril membawa dua helai pakaian, yang satu berwarna merah dan yang lain berwarna hijau, untuk kedua orang cucunya, dan beliau diberitahu bahwa warna kedua pakaian itu menunjuk kepada dua cara kematian mereka, yaitu masing-masing oleh pedang (Husain) dan racun (Hasan), disebutkan dalam nyanyian-nyanyian Turki masa awal, sebagaimana dongeng itu juga menjadi bagian pokok dari manaqibah Sindhi populer yang hingga kini masih dinyanyikan di lembah Indus. Hal yang sama-sama terdapat dalam kedua tradisi tersebut adalah cerita-cerita tentang bagaimana kedua anak itu menaiki punggung kakek mereka, Nabi SAAW, dan bagaimana beliau membelai-belai mereka. Jadi, dalam nyanyian-nyanyian awal Turki, Hasan dan Husain muncul dalam berbagai citraan yang umumnya terkenal. Namun untuk menekankan peran khusus mereka, Yunus Emre menyebut keduanya “kedua cuping `Arasy Tuhan” (Divan, halaman 569).

Citraan tersebut bahkan menjadi lebih berwarna-warni dalam abad-abad selanjutnya ketika watak Syi’ah dari tarekat Bektasyiyah semakin meningkat dan dirasakan dalam ungkapan ritual maupun puitis. Husain bin Ali adalah “rahasia Tuhan,” “cahaya mata Al-Musthafa” (demikian dikatakan oleh Seher Abdal, abad ke-16), dan penyair sezamannya, Hayreti, dalam sebuah martsiyah yang indah, menyebutnya “qurban perayaan jihad akbar.” Bukanlah lehernya, yang dulu sering diciumi Nabi, telah dipenggal oleh pedang?

“Hari ini penghuni langit dan bumi
meneteskan air mata. Dan mereka menjadi kacau-balau
seperti rambutmu, wahai Husain”.

“Fajar mengucurkan darahnya karena berduka bagi Husain, dan bunga-bunga tulip merah menampakkan warna darah dan memperlihatkan tanda-tanda kesedihan hati mereka....” (Ergun, Bektasi sairleri, halaman 95).

Tradisi Turki dan tradisi dalam bahasa-bahasa regional di anak benua India adalah sangat mirip. Marilah kita menengok perkembangan martsiyah, bukan dalam bahasa-bahasa sastra yang utama, melainkan di bagian-bagian yang lebih terpencil dari anak benua tersebut. Sebab perkembangan martsiyah bahasa Urdu sejak permulaannya pada akhir abad ke-16 hingga mencapai titik puncaknya pada karya-karya Sauda dan khususnya karya-karya Anis dan Dabir adalah terkenal. Di provinsi Sind, yang memiliki persentase penduduk Syi’ah yang cukup besar, martsiyah berbahasa Parsi dikarang orang, sejauh yang kita ketahui, sejak sekitar tahun 1700. Seorang bernama `Allamah (1682-1782) dan Muhammad Mu’in Tharo adalah diantara pengarang-pengarang martsiyah yang disebutkan namanya oleh para sejarawan. Tetapi khususnya adalah Muhammad Muhsin, yang tinggal di Thatta, ibu kota provinsi Sind hilir yang megah, yang namanya dikaitkan dengan martsiyah berbahasa Parsi di Sind. Selama masa hidupnya yang singkat (1709-1750) dia mengarang sejumlah besar tarji’band, khususnya salam, di mana citraan yang kuat dan indah bisa ditemukan:

“Perahu keluarga Al-Musthafa telah tenggelam
di lautan darah; Awan kekafiran yang hitam
telah menutupi matahari; Pelita Nabi telah tertiup mati
oleh angin yang dibawa orang-orang Kufah”.

Tetapi, jauh lebih menarik daripada tradisi Persia adalah perkembangan martsiyah dalam bahasa Sindhi dan Siraiki. Karena Christopher Shackle telah menulis sebuah artikel yang panjang dan sangat informatif tentang martsiyah yang dikarang dalam bahasa Multan, maka di sini saya hanya akan berbicara tentang beberapa aspek dari martsiyah Sindhi. Seperti dalam banyak lapangan lain puisi Sindhi, Syah Abdul Lathif dari Bhit (1689-1752) adalah penyair pertama yang mengungkapkan gagasan-gagasan yang kemudian diambil oleh penyair-penyair lain. Dia mempersembahkan syair Sur Kedaro dalam karyanya yang berbahasa Hindi Risab kepada kesyahidan (kemartiran) sang cucu Nabi Muhammad (yaitu Husain), dan memandang kejadian Karbala sebagai telah terkandung dalam keseluruhan tradisi mistik Islam. Sebagaimana kebiasaannya, dia mengawali puisinya dalam media resmi dan membawa pendengarnya kepada saat ketika tak ada berita yang datang dari para pahlawan yang berangkat ke Kufah:

“Rembulan bulan Muharram telah muncul,
dan muncul pula kecemasan tentang para pangeran.
Apa yang telah terjadi?
Bulan Muharram telah datang lagi,
tapi para Imam belum datang.
Wahai para pangeran dari Madinah,
semoga Tuhan mengumpulkan kita”.

Penyair kemudian merenungkan alasan kebisuan mereka, dan menyadari bahwa suatu tragedi telah terjadi:

“Para Mir telah keluar dari kota Madinah,
dan mereka belum kembali”.

Tetapi kemudian dia menyadari bahwa pada dasarnya tidak ada alasan untuk bersedih atau berkabung, sebab:

“Derita kesyahidan, dengarlah, adalah hari kegembiraan.
Yazid tidak mendapatkan sebutir atom pun dari cinta ini.
Kematian adalah hujan bagi anak-anak Ali”.

Sebab, hujan oleh Syah Abdul Lathif khususnya, dan kaum penyair Timur umumnya, dipandang sebagai tanda rahmat Tuhan, dan di negeri yang begitu bergantung pada hujan, citraan ini memperoleh maknanya yang penuh.

“Derita kesyahidan adalah musin hujan
yang penuh kegembiraan.
Yazid tidak memperoleh jejak-bekas cinta ini.
 Keputusan untuk mati terbunuh telah ada
bersama Imam sejak semula”.

Ini berarti sudah sejak lama zaman azali, Hasan dan Husain telah memutuskan untuk mengorbankan hidup mereka demi meraih cita-cita mereka. Ketika menjawab pertanyaan Tuhan: Bukankah Aku ini Tuhanmu? (Al-Qur’an Surah Al-A’raf, 7:171), mereka menjawab “Ya” (Balaa) dan memikulkan ke atas pundak mereka sendiri penderitaan (bala) yang nantinya akan menimpa mereka. Niat mereka untuk menjadi modal bagi mereka yang ingin mendapatkan kehidupan abadi melalui penderitaan dan pengorbanan, seperti diingatkan oleh Syah Abdul Lathif kepada para pendengarnya, dinyatakan pada hari Perjanjian Azali tersebut. Kemudian, dalam bab selanjutnya, penyair Sindhi kita memasuki rincian-rincian kongkrit yang lebih banyak lagi:

“Manusia-manusia sempurna, para syahid
yang bagaikan singa, telah datang ke Karbala;
Setelah menebaskan pedang-pedang Mesir mereka,
mereka menciptakan tumpukan mayat;
Para pahlawan menjadi bingung
melihat Mir Husain menyerang”.

Tetapi dengan segera dia berpaling kepada makna abadi pertempuran Karbala dan melanjutkan puisinya dalam semangat sufi yang baik:

“Derita kesyahidan adalah kecentilan (naz).
Orang yang mabuk pasti memahami rahasia Karbala”.

Dengan menjadikan kekasihnya menderita, sang Kekasih tampak menunjukkan kecentilannya, mencobai dan memeriksa iman dan cinta mereka, dan dengan demikian bahwa pernyataan-pernyataan yang paling kejam tantang pertempuran Karbala di mana "para pahlawan muda” –sebagaimana Syah Abdul Lathif menyebut mereka – dijaring, adalah tanda-tanda cinta Ilahi:

“Bumi berguncang, gempa; langit gempar
Ini bukanlah perang; ini adalah manifestasi cinta”.

Si penyair tahu bahwa penderitaan adalah hadiah khusus Tuhan bagi sahabat-sahabat-Nya. Manusia-manusia yang paling menderita adalah para nabi, disusul para wali, kemudian orang-orang lain pada derajat mereka masing-masing. Maka diapun lalu melanjutkan syairnya:

“Sang sahabat membunuh para kekasih,
para pecinta dibantai, Bagi sahabat-sahabat terpilih,
Dia menyediakan kesulitan-kesulitan.
Tuhan, yang Abadi; Dia melakukan apa
yang diinginkan-Nya, tanpa Dia butuh kepadanya”.

Syah Abdul Lathif menyedikan dua bab untuk berbicara tentang pertempuran Karbala, dan tentang bagaimana Al-Hurr bergabung dengan para pejuang “bagaikan seekor anai-anai bergabung ke api lilin.” Yakni siap mengorbankan dirinya dalam pertempuran. Tapi menjelang akhir puisi, aspek mistiknya sekali lagi menjadi menonjol; mereka yang “berperang di jalan Tuhan” mencapai surga, dan para bidadari mengikatkan ikat-ikat pinggang dari untaian mawar pada mereka, sebagaimana layaknya para mempelai pria. Bahkan lebih dari itu:

“Surga adalah tempat mereka;
dengan berbondong-bondong mereka pergi
ke surga, Mereka telah lenyap dalam Tuhan,
dengan-Nya mereka telah menjadi Dia.....”

Para pahlawan itu, yang tidak pernah memikirkan nasib diri mereka sendiri, tapi hanya memikirkan cinta kepada Tuhan, yang membuat mereka menghadapi semua kesulitan, akhirnya mencapai tujuan mereka, yaitu fana fi Allah, yaitu lenyap dalam Tuhan dan tinggal terus di dalam-Nya. Syah Abdul Lathif telah mengubah kehidupan para Imam, khususnya kehidupan Imam Husain, menjadi model bagi semua sufi yang berjuang, entah dalam jihad kecil (jihad-i asghar) ataupun jihad besar (jihad-i akbar), untuk mencapai kelenyapan final dalam Tuhan, suatu persatuan yang begitu sering diungkapkan oleh para Sufi dalam citraan cinta dan kebersatuan cinta. Dan secara pasti bukanlah kebetulan jika penyair Sindhi kita telah menerapkan nada Husaini, yang pada mulanya dimaksudkan untuk puisi-puisi ratapan bagi Husain, pada cerita tentang pahlawan wanita kesayangannya, Sassui, yang melenyapkan dirinya dalam pencariannya yang terus-menerus dan berani terhadap kekasihnya, dan akhirnya dia berubah menjadi kekasihnya itu.

Penafsiran Syah Abdul Lathif atas nasib Imam Husain sebagai model cinta yang menderita, dan dengan demikian sebagai model jalan mistik, merupakan sekeping kesusastraan yang sangat mengesankan. Ia belum pernah ada yang melebihi, meskipun sesudahnya sejumlah penyair dari kalangan kaum Syi’ah telah mengarang elegi-elegi tentang Karbala. Yang paling masyhur diantara mereka adalah Tsabit Ali Syah (1740-1810), yang spesialisasinya adalah genre suwari, yaitu puisi yang dialamatkan kepada sang pengendara kuda, Husain, yang dulu pernah menaiki punggung Nabi dan kemudian menunggangi kudanya dengan gagah berani di medan pertempuran. Genre ini, dan juga bentuk-bentuk lain yang lebih umum, tetap lestari dalam bahasa Sindhi sepanjang abad ke-18 dan 19, dan bahkan hingga masa kita sekarang ini (Sachal Sarmest, Bedil Rohriwaro, Mir Hasan, Syah Naser, Mirza Baddhal Beg, untuk menyebut sedikit nama saja, yang sebagian adalah sufi-sufi Sunni). Tema suwari diperinci dengan mudahnya oleh Sangi, yang adalah Abdul Husain, si pangeran dari Talpur, yang kepadanya balada Sindhi berutang budi berupa beberapa nyanyian yang sangat indah dan menyentuh hati yang dikarang untuk menghormati sang pangeran para syuhada (para martir), dan yang sangat menekankan segi-segi mistik dari peristiwa Karbala. Di sini Husain ditempatkan dalam hubungan dengan Nabi.

“Sang pangeran telah melakukan mikraj-nya di tanah Karbala,
Kuda Syah telah mencapai pangkat Buraq”.

Maut telah membawa Imam Husain, yang saat itu mengendarai kudanya yang bernama Dzuljanah, menuju hadirat Ilahi sebagaimana halnya Buraq yang bersayap telah membawa Nabi ke hadirat Tuhan dalam perjalanan malam dan kenaikannya ke langit.

Sangi juga tahu, sebagaimana banyak pengarang Syi’ah sebelum dia, bahwa menangis demi Imam Husain akan mendatangkan imbalan (pahala) berupa tertawa di Akhirat, dan bahwa perenungan sejati atas rahasia pengorbanan dalam cinta bisa membawa sang pencinta ke hadirat Ilahi, di mana pada akhirnya, seperti dikatakannya,

“Dualitas menjadi jauh, dan diapun mencapai kesatuan”.

Tema Husain sebagai model mistik bagi semua orang yang ingin menempuh jalan cinta sangat menonjol dalam puisi lembah Indus dan dalam puisi populer kaum India Muslim, yang pemikirannya diresapi oleh ajaran kaum Sufi, dan yang baginya, seperti halnya bagi para Sufi Turki dan bagi Fariduddin Attar (serta sejumlah besar sufi lainnya), penderitaan Imam Husain dan Husain bin Manshur Al-Hallaj merupakan paradigma kehidupan mistik. Namun ada juga cara lain untuk memahami peran Husain dalam sejarah masyarakat-masyarakat Islam. Lebih penting lagi, cara tersebut ditunjukkan oleh Muhammad Iqbal, yang tak pelak lagi adalah seorang filsuf dan penyair Sunni. Pada awal tulisan ini telah disebutkan bahwa dialah yang memandang sejarah Ka’bah sebagai didefinisikan oleh dua pengorbanan, yaitu pengorbanan Islam pada awalnya, dan pengorbanan Husain bin Ali pada akhirnya (Bal i Jibril, halaman 92). Tetapi hampir dua dasawarsa sebelumnya Iqbal menulis baris-baris puisinya, dia telah mempersembahkan sebuah bab yang panjang kepada Husain dalam Rumuz-i bekhudi (halaman 126 dan seterusnya). Di sini, Husain dipuji, lagi-lagi dalam kosa-kata mistik, sebagai imam-nya para pecinta, anak laki-laki sang perawan, bunga kebebasan di taman Nabi. Sementara ayahnya, Hazrat Ali, dalam penafsiran mistik, adalah huruf ba’ dalam bismillah, maka sang anak (Husain) menjadi teridentifikasi dengan “sembelihan besar (kurban agung),” suatu campuran yang indah dari penafsiran mistik dan penafsiran Qur’ani. Tetapi, seperti halnya para pendahulunya, Iqbal juga hendak berisyarat kepada kenyataan bahwa Husain, sang pangeran dari umat terbaik, dulu biasa menggunakan punggung Nabi sebagai kendaraannya. Dan paling indah adalah gambaran cinta cemburu yang menjadi.

Bagi Iqbal, kedudukan Husain di komunitas Muslim adalah sama sentralnya dengan kedudukan surah Al-Ikhlas dalam Al-Qur’an.

Selanjutnya, Iqbal kembali kepada topik kesayangannya, yaitu pertentangan yang terus-menerus antara kekuatan positif dengan kekuatan negatif, antara nabi dan wali di satu pihak dengan para penindas dan kaum kafir di pihak lain. Husain dan Yazid berdiri pada jalur yang sama seperti Musa (Husain) dan Fir’aun (Yazid bin Muawwiyah). Selanjutnya, Iqbal menunjukkan bagaimana khilafah dipisahkan dari tuntunan-tuntunan Al-Qur'an dan berubah menjadi kerajaan yang bercorak duniawi dengan munculnya daulat Bani Umayyah, dan di sinilah Husain muncul bagaikan awan tebal pembawa hujan, lagi-lagi citraan hujan yang membawa rahmat yang selalu bertentangan secara mengesankan dengan kondisi kering-kerontang dan suasana penuh kehausan dalam adegan aktual Karbala. Darah Husain-lah yang turun sebagai hujan di padang pasir Karbala dan meninggalkan bunga-bunga tulip merak di sana.

Kaitan antara bunga-bunga tulip dalam pakaian mereka yang berwarna merah dengan pakaian syuhada (martir) yang berlumuran darah telah menjadi citraan favorit puisi Persia sejak paling tidak abad ke-15, dan manakala orang berpikir tentang posisi sentral yang ditempati bunga tulip dalam pemikiran dan puisi Iqbal sebagai bunga manifestasi api Ilahi, sebagai lambang semak yang Terbakar di Gunung Sinai, dan sebagai bunga yang melambangkan pertumbuhan khudi (diri) manusia yang mandiri dalam situasi dan kondisi yang paling sulit, manakala kita mempertimbangkan semua aspek bunga tulip ini, maka kita akan mengerti mengapa si penyair menjadikan Imam Husain “menanam bunga-bunga tulip di padang pasir Karbala.” Barangkali kemiripan antara bunyi la ilah dengan bunyi kata lala (bunga tulip), serta kenyataan bahwa kata ‘la’ memiliki nilai numerik yang sama dengan kata Allah, yaitu 66, mungkin telah meningkatkan penggunaan Iqbal atas citraan tersebut dalam kaitan dengan Imam Husain, yang darahnya “menciptakan padang rumput,” dan yang membangun bangunan “La ilaaha illa Allah.”

Tetapi sementara penyair-penyair mistik yang terdahulu biasa menekankan pesona Husain sebagai model bagi sang mistikus yang, melalui pengorbanan diri, akhirnya mencapai kesatuan dengan Tuhan, maka Iqbal –secara bisa dipahami—menekankan pokok persoalan lain: “Mengangkat pedang adalah pekerjaan mereka yang berperang demi kejayaan agama, dan melestarikan tata-tertib yang telah diciptakan Tuhan. Darah Husain, seperti adanya dia, telah menuliskan tafsir mengenai kata-kata ini, dan dengan demikian membangunkan suatu umat yang sedang tidur.”

Lagi-lagi, kesejajaran dengan Husain bin Manshur Al-Hallaj tampak nyata (setidaknya pada Husain bin Manshur dalam cara di mana Iqbal menafsirkan dia: dia juga mengklaim, dalam Falak-i musytari dalam Javidnama, bahwa dia telah datang untuk menghidupkan kembali manusia-manusia yang mati ruhaninya, dan karenanya dia harus menderita). Tetapi, ketika Husain bin Ali menghunus pedang, pedangnya Tuhan, dia menumpahkan darah manusia-manusia yang sibuk dengan, atau tertarik pada, hal-hal selain Allah. Secara grafis, kata ‘la’ pada awal kalimah syahadat menyerupai bentuk sebilah pedang (lebih tepatnya, pedang bermata dua, seperti Dzulfiqar), dan pedang ini memberantas segala sesuatu yang disembah selain Allah. ‘La’ adalah pernyataan profetik “Tidak” terhadap apapun yang mungkin dipandang oleh manusia, selain Allah. Dengan menggunakan pedang “Tidak” dan dengan kesyahidannya, Husain menuliskan kata-kata “kecuali Allah” (illa Allah) di atas pasir, dan dengan demikian menuliskan judul rancangan cerita yang dengannya kaum Muslimin mendapatkan keselamatan. 

Dari Husain-lah, kata Iqbal, kita mengetahui rahasia-rahasia Al-Qur’an, dan meskipun kejayaan Syams dan Baghdad serta keindahan Granada mungkin bisa dilupakan orang, namun tali-tali senar alat-alat musik kaum Muslim masih akan tetap menyuarakan nada-nada Husain, dan imam akan tetap segar berkat seruan adzannya.

Jadi, Husain mengumpulkan dalam dirinya semua cita yang mesti dimiliki oleh seorang Muslim sejati, seperti yang digambarkan Iqbal: “keberanian dan kejantanan, dan lebih dari segalanya, pengabdian kepada pengakuan akan keesaan Tuhan yang mutlak; tidak dalam pengertian menjadi satu dengan-Nya dalam fana sebagaimana yang dinyanyikan oleh para penyair sufi, melainkan sebagai pembawa kabar gembira, yang dengan kesyahidannya tidak saja merupakan seorang pahlawan syahid, tapi pada saat yang sama juga seorang saksi akan keesaan Tuhan, dan dengan demikian menjadi model bagi semua generasi keum Muslim”.

Seperti yang dikatakan Iqbal, memang benar bahwa tali-tali gitar kaum Muslim masih menyuarakan nama Husain, dan kita bisa menutup uraian ini dengan bait yang terakhir dari bab yang dipersembahkan kepadanya dalam Rumuz-i Bekhudi:

“Duhai batu safir, duhai utusan dari mereka yang jauh,
Bawalah air mata kami ke debunya yang suci”.

Sumber: Jurnal Al-Serat Volume XII Tahun 1986.