Senin, 27 Juni 2016

Khomeini Perubah Sejarah


“Di manakah gerakan kebangsaan? Wahai bangsa Iran, Iran terancam petaka. Negeri Darius dijarah bangsa Nicholas” (Ayatullah Khomeini)

Khomeini adalah nama yang tak asing bagi jutaan Muslim di seluruh dunia. Pemimpin bersahaja ini telah ‎mengubah alur sejarah, bukan hanya Iran, negerinya, tetapi juga seluruh dunia.‎ lahir pada tanggal 20 Jumada Thaniyah tahun 1321 Hijriyah, kelahirannya bertepatan dengan hari lahir Sayyidah Fatimah Az-Zahra, putri Nabi Muhammad SAW. ‎Imam Khomeini yang terlahir dengan nama Ruhullah Mostafavi (Musavi) berasal dari ‎keluarga yang dikenal dengan ketinggian ilmu, taqwa dan perjuangan melawan kezaliman. ‎Ayahnya, Ayatullah Sayid Mostafa Musavi gugur syahid di tangan berandalan lokal karena ‎pembelaannya terhadap orang-orang yang tertindas. Ketika itu, Imam Khomeini masih berusia lima ‎bulan. ‎

Sepeninggal ayahnya, Imam Khomeini hidup di bawah bimbingan ibunya (Banu Hajar) yang ‎penyayang, bibinya (Sahebeh Khanoum) yang dikenal bertaqwa dan pemberani, serta ‎pengasuhnya yang saleh (Nane Khavar). Sejak kanak-kanak sudah mempelajari ‎kemahiran berkuda dan menembak.‎

Masa kanak-kanak dan remaja dilewati olehnya ketika Iran sedang mengalami ‎gejolak besar politik dan sosial. Sejak masa itu ia telah mengenal dari dekat kesulitan ‎yang dialami oleh masyarakat umum. Keterlibatan keluarganya dalam membela hak-hak ‎kaum tertindas membuatnya kelak tumbuh menjadi pejuang hakiki. Ketika masih kanak-kanak ‎ia sering melukiskan perasaannya yang memprihatinkan tentang kondisi masyarakat sekitar dalam ‎corat-coret buku gambarnya. Di masa remaja, perasaan itu semakin dalam ia rasakan. Dalam ‎salah satu bukunya yang ia tulis di masa remaja, yang kala itu masih berusia antara ‎‎9 dan 10 tahun, ia menulis: ‎ Di manakah kecemburuan Islam?‎ Di manakah gerakan kebangsaan?

Kepada bangsa Iran, ia menulis: Wahai bangsa Iran, Iran terancam petaka. Negeri Darius dijarah bangsa Nicholas[1‎].

Tulisan itu bisa disebut sebagai statemen politik pertama yang dibuat oleh ‎remaja yang kelak akan memimpin bangsa Iran, sekaligus menunjukkan perhatiannya yang ‎besar kepada nasib negeri dan bangsanya. ‎Sejak kecil ia memang tertarik kepada tokoh-tokoh pejuang. Ketika Mirza Kucik Khan Jangali ‎bangkit berjuang dengan mengangkat senjata, ia ikut membantu menyampaikan ‎pidato dan membaca syair tentang Mirza Jangali. Ia juga terlibat mengumpulkan dana untuk ‎membantu gerakan Mirza. Sampai akhirnya ia memutuskan untuk bergabung dengan ‎kelompok Jangali dan bertemu Mirza[2].‎

Sebagai remaja, ia memiliki kecerdasan yang luar biasa. Ia berhasil ‎menguasai berbagai cabang ilmu. Selain ilmu fiqih, ushul dan filsafat, ia juga menguasai irfan. ‎Kedalaman ilmunya diakui oleh para gurunya sendiri. Ia belajar dari sejumlah ‎guru di kota Khomein, Arak dan Qom. Hanya dalam waktu enam tahun ia berhasil ‎mempelajari banyak cabang ilmu sebelum akhirnya mengukuhkan diri sebagai salah seorang ‎ulama dan pengajar di pusat ilmu Islam di kota Qom[3‎]

Ketika masih menjadi pelajar agama di kota Arak, Sayid Ruhullah Mosavi yang kala itu ‎berusia 19 tahun untuk pertama kalinya mendapat kesempatan secara resmi berpidato di ‎depan umum. Pidato itu dalam acara memperingati tokoh penting Revolusi Konstitusi ‎Mojtahed Thabatabai. Pidato yang lebih mirip dengan statemen politik itu disampaikan oleh ‎seorang pelajar agama yang masih muda untuk mengenang jasa tokoh perjuangan Revolusi ‎Konstitusi[4].‎

Imam Khomeini mengenai hari itu menceritakannya sendiri: ”…Aku diminta untuk menyampaikan khotbah di atas mimbar. Tawaran itu aku terima dengan ‎baik. Malam itu aku tak banyak tidur, bukan karena takut berbicara di depan umum tetapi ‎karena meyakini bahwa aku bakal berdiri di mimbar milik Rasulullah SAW. Karena itu aku ‎memohon kepada Allah untuk memberikan pertolongan-Nya kepadaku, agar di antara semua ‎yang kuucapkan sejak awal hingga akhir, jangan ada kata-kata yang tidak kuyakini. ‎Permohonan ini adalah ikrar antara aku dan Allah. Khotbahku yang pertama kali berlangsung ‎panjang, tapi tidak ada orang yang merasa lelah…Aku mendengar suara sebagian orang ‎yang memuji pidatoku. Terlintas di hatiku perasaan senang mendengar pujian itu. Karena itu ‎undangan kedua dan ketiga untuk berpidato aku tolak dan selama empat tahun setelah itu ‎aku tidak pernah naik ke mimbar dan berkhotbah.”[5]‎

Ketika Sayid Ruhulah Mosavi hijrah ke kota suci Qom, saat itu Reza Khan ‎Pahlevi, raja pertama dinasti Pahlevi melanjutkan kebijakannya yang anti agama. Di masa ini, ‎Sayid Ruhullah yang sedang sibuk dengan aktivitas belajar, mengajar dan menulis buku, ‎mulai berkenalan dengan para ulama pejuang seperti Ayatollah Haj Agha Nurullah Esfahani, ‎Ayatollah Modarres dan sejumlah nama besar lainnya.

Di masa kekuasaan Reza Khan ini ‎tercipta kondisi yang sangat mencekik. Karena itu para ulama berjuang untuk ‎mempertahankan dan melindungi hauzah ilmiah yang merupakan pusat pendidikan agama ‎Islam di Qom. Bisa dikatakan bahwa perjuangan mempertahankan hauzah di zaman itu tidak ‎kalah pentingnya dari membentuk pemerintahan Islam yang kelak terjadi tahun 1979[6].‎

Ketika Imam Khomeini (ra) menginjak usia 40 tahun, terjadi dua ‎peristiwa besar. Pertama, berkecamuknya Perang Dunia II dan jatuhnya Iran ke tangan ‎pendudukan asing, dan Kedua larinya Reza Khan ke luar negeri dan anaknya yang bernama ‎Mohammad Reza naik ke singgasana kekuasaan. ‎

Melihat kondisi yang ada, Sayid Ruhullah Mosavi merasa bahwa inilah saat yang tepat untuk ‎melakukan gerakan kebangkitan demi memperbaiki kondisi negeri Iran yang carut marut. Meski ‎telah melakukan banyak usaha, namun kebangkitan yang diinginkan tidak terjadi. Imam ‎Khomeini yang telah dikenal sebagai salah seorang ulama besar di Qom memiliki kecakapan ‎yang seharusnya untuk memimpin sebuah gerakan kebangkitan rakyat. Ia sudah ‎merasakan 20 tahun kekuasaan Reza Khan dan memiliki wawasan politik yang luas.

Pada ‎tanggal 11 Jumada Thani tahun 1363 Hijriyah atau sekitar tahun 1944 Masehi, Imam ‎Khomeini merilis sebuah pernyataan yang menyerukan rakyat bangkit dengan memanfaatkan ‎kondisi yang ada.

“Hari ini bertiup angin ruhani yang sejuk dan hari ini adalah hari yang paling ‎baik untuk sebuah kebangkitan demi perbaikan. Jika kalian lewatkan kesempatan ini dan ‎tidak bangkit demi ridha Allah serta tidak mengambalikan syiar agama ke posisinya semula, ‎maka besok, orang-orang tak bermoral dan pengumbar syahwat akan menguasai kalian. ‎Mereka akan mempermainkan kehormatan kalian demi kepentingannya.”[7]‎

Tak lama kemudian, Imam Khomeini kaum muslim Iran dan Imam Khomeini mengalami dua peristiwa duka. ‎Pertama adalah wafatnya Ayatullah Al-Udzma Boroujerdi pada tanggal 29 Maret 1961. ‎Dengan wafatnya marji besar Syiah ini, dunia Islam kehilangan salah satu tokoh penting yang ‎membentengi Islam, dan di sisi lain musuh-musuh Islam dan Iran bersuka cita atas kepergian ‎Ayatullah Boroujerdi (ra).

Peristiwa kedua adalah wafatnya Ayatullah Kashani, pejuang besar ‎dalam melawan kekuasaan imperialisme Inggris. Nama Ayatullah Kashani cukup membuat ‎hati penguasa Britania Raya dan musuh-musuh Islam bergetar. Wafatnya dua ulama besar ‎ini terjadi seiring dengan dimulainya periode masuknya pengaruh Amerika Serikat (AS) di Iran. ‎

Amerika Serikat gencar menekan rezim Shah Pahlevi untuk memberlakukan perubahan di semua bidang ‎sesuai kemauan Washington. Imam Khomeini menangkap sinyal bahaya besar di balik ‎perombakan gaya Amerika Serikat ini. Langkah-langkah rezim Pahlevi hanya akan membuka jalan bagi ‎Amerika Serikat dan Israel untuk menguasai Iran.

Segera, Imam Khomeini gencar mengingatkan semua pihak ‎untuk menyadari bahaya dari langkah-langkah Shah Pahlevi yang akan menguntungkan imperialisme Amerika dan apartheid Israel ini. Rezim Pahlevi kemudian melakukan pembalasan atas ‎gerakan Imam Khomeini dengan sebuah tindakan yang brutal. Tentara dan dinas keamanan (SAVAK) ‎pada tanggal 22 Maret tahun 1963, bertepatan dengan peringatan Syahadah Imam Ja’far As-Shadiq ‎‎(as), dikerahkan untuk menyerang madrasah Feiziyah di Qom, tempat Imam Khomeini ‎mengajar. Banyak pelajar agama yang gugur Shahid dalam peristiwa itu.‎

Peristiwa Feiziyah semakin mendorong Imam Khomeini untuk melanjutkan gerakannya. ‎Memperingati 40 hari gugurnya para pelajar Feiziyah, Imam Khomeini menyampaikan ‎pidatonya yang berapi-api. Beliau mengumumkan tidak akan diam sebelum menundukkan ‎rezim Shah Pahlevi yang disokong Amerika dan Israel itu. Malam harinya, Imam Khomeini ditangkap dan dijebloskan ke penjara Qasr. Pagi ‎hari, berita penangkapan Imam Khomeini didengar oleh masyarakat luas di Tehran dan kota-‎kota lainnya. ‎

Massa dalam jumlah besar berbondong-bondong memenuhi jalanan dan bergerak menuju ‎istana Shah Pahlevi. Mereka berjalan dengan meneriakkan yel-yel “Khomeini atau Mati”. Dengan ‎slogan ini mereka menuntut rezim untuk membebaskan ulama pejuang ini. Rezim pun ‎melakukan tindakan brutal dengan membantai para demonstran. Korban pun berjatuhan.‎

Kepemimpinan Imam Khomeini dalam gerakan melawan Shah Pahlevi nampaknya reda ketika rezim ‎mengasingkan beliau ke Turki lalu ke Irak. Namun aktivitas perjuangan Imam Khomeini tidak ‎berhenti meski di pengasingan. Tahun 1978, putra tertua Imam Khomeini bernama Ayatollah ‎Sayid Mostafa Khomeini dalam sebuah peristiwa mencurigakan didapatkan terbujur kaku di ‎kamarnya. Banyak bukti yang mengarah kepada keterlibatan SAVAK dalam pembunuhan ‎Ayatollah Mustafa yang selalu menyertai ayahnya dalam setiap langkah. ‎

Syahidnya Ayatollah Mostafa Khomeini kembali menyulut gelora perjuangan yang selama ini ‎dilakukan di bawah tanah. Gelora itu kian membara setelah koran Ettelaat memuat tulisan ‎artikel yang menghujat Imam Khomeini dan kalangan ulama secara umum. Masyarakat ‎Muslim menggelar aksi demo dan memprotes kekurang-ajaran koran Ettelaat.

Aksi demo itu ‎berujung pada peristiwa pembantaian yang dilakukan tentara terhadap warga kota Qom. ‎Gerakan kebangkitan rakyat silih berganti terjadi di beberapa kota penting, Qom, Tabriz, ‎Isfahan, Yazd, Shiraz dan kota-kota lainnya. Puncak politik tangan besi rezim Shah Pahlevi terjadi ‎pada peristiwa yang dikenal dengan nama peristiwa 17 Shahrivar 1357 Qamariah Shamsiah. ‎

Shah Reza Pahlevi yang menyaksikan kondisi Iran sudah tidak memungkinkan ‎baginya untuk menetap lebih lama, segera angkat kaki meninggalkan Iran dan ‎singgasananya. Dengan larinya Shah Pahlevi, Imam Khomeini yang saat itu berada di Paris ‎memutuskan untuk kembali ke Iran. Jutaan warga menyambut kedatangan Imam Khomeini. ‎Tiba di Tehran, Imam langsung menuju Behesht-e Zahra, taman makam para pahlawan ‎perjuangan melawan rezim Shah. Di sana beliau menyampaikan pidatonya yang bersejarah. ‎Imam menyatakan bahwa kekuasaan yang ada saat ini tidak legal. ‎

Tiba tanggal 1 Februari 1979, Imam Khomeini segera memimpin langsung perjuangan rakyat ‎Iran menumbangkan kekuasaan despotik Shah Pahlevi yang sudah di ujung tanduk. Tanggal ‎‎10 Februari, PM Shapour Bakhtiar mengeluarkan undang-undang darurat militer dan jam ‎malam. Imam dalam sebuah amaran singkatnya menyebut jam malam tidak legal. Selama 24 ‎jam terjadi bentrokan bersenjata antara rakyat dan tentara yang masih setia kepada rezim ‎Shah Pahlevi. ‎

Pagi hari tanggal 11 Februari 1979, dengan kaburnya Shapour Bakhtiar ke luar negeri, kekuasaan ‎Shah Pahlevi pun berakhir. Sebagai gantinya berdiri pemerintahan baru dengan sistem Republik ‎Islam. ‎

Sejak kemenangan revolusi Islam hingga 2 Juni 1989 (hari wafat Imam Khomeini) terjadi ‎banyak peristiwa penting di Iran yang menunjukkan betapa Amerika Serikat (AS) memusuhi ‎pemerintahan Islam ini. Kelompok pemberontak sayap kanan atau kiri di Iran yang berusaha ‎menumbangkan pemerintahan Islam didukung secara penuh, baik secara politik maupun ‎finansial, oleh Barat (Amerika, Israel, Ingris, dkk) dan Timur (Rezim Saudi Arabia dkk). Adidaya dunia pun mendorong tiran Irak, Saddam, untuk menyerang Iran. Perang pun meletus dan berlangsung selama delapan tahun –terhitung sejak 1980 hingga 1988.‎

Berbagai makar dan tipu daya dalam skala besar dilakukan oleh adidaya Barat dan Timur ‎untuk menggulung pemerintahan Islam di Iran. Namun berkat pertolongan Allah dan di bawah ‎kepemimpinan Imam Khomeini, semua tipu daya itu dapat digagalkan dan pemerintahan ‎Islam di Iran tetap berdiri dengan tegaknya hingga saat ini. ‎

CATATAN:
‎[1] Kautsar (Kumpulan Pidato Imam Khomeini r.a), diterbitkan oleh Yayasan Penyusunan ‎dan Penerbitan karya Imam Khomeini, cetakan pertama, jilid 1 halaman 615‎.
‎[2] Sayid Ali Qaderi, Ruhullah Khomeini (Biografi Imam Khomeini r.a), Yayasan ‎Penyusunan dan Penerbitan karya Imam Khomeini, cetakan ketiga, jilid 1 halaman 232 – ‎‎236.‎
‎[3] Amir Reza Sotoudeh, Pa be Paye Aftab (Kumpulan kisah hidup Imam Khomeini r.a), ‎jilid 1 halaman 30.‎
‎[4] Sayid Ali Qaderi, Ruhullah Khomeini (Biografi Imam Khomeini r.a), Yayasan ‎Penyusunan dan Penerbitan karya Imam Khomeini, cetakan ketiga, jilid 1 hal: 260, ‎juga Sar Gozashtehaye Vijeh jilid 6 halaman 11.‎
‎[5] Sayid Ali Qaderi, Ruhullah Khomeini (Biografi Imam Khomeini r.a), Yayasan ‎Penyusunan dan Penerbitan karya Imam Khomeini, cetakan ketiga, jilid 1 halaman 260.‎
‎[6] Buletin Khabar Nameh yang diterbitkan untiuk seminar Haj Agha Nurullah Esfahani ‎nomor 1 halaman 16 – 17 dan nomor 2 halaman 12 – 13, mengutip pernyataan ‎Ayatollah Pasandideh dan Ayatollah Mazaheri.‎
‎[7] Sahifeye Nour, Yayasan Penyusunan dan Penerbitan karya Imam Khomeini, cetakan ‎ketiga, jilid 1 halaman 4 – 6.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar