“Di manakah gerakan
kebangsaan? Wahai bangsa Iran, Iran terancam petaka. Negeri Darius dijarah
bangsa Nicholas” (Ayatullah Khomeini)
Khomeini
adalah nama yang tak asing bagi jutaan Muslim di seluruh dunia. Pemimpin
bersahaja ini telah mengubah alur sejarah, bukan hanya Iran, negerinya, tetapi
juga seluruh dunia. lahir pada tanggal 20 Jumada Thaniyah tahun 1321 Hijriyah,
kelahirannya bertepatan dengan hari lahir Sayyidah Fatimah Az-Zahra, putri Nabi
Muhammad SAW. Imam Khomeini yang terlahir dengan nama Ruhullah Mostafavi
(Musavi) berasal dari keluarga yang dikenal dengan ketinggian ilmu, taqwa dan
perjuangan melawan kezaliman. Ayahnya, Ayatullah Sayid Mostafa Musavi gugur syahid
di tangan berandalan lokal karena pembelaannya terhadap orang-orang yang
tertindas. Ketika itu, Imam Khomeini masih berusia lima bulan.
Sepeninggal
ayahnya, Imam Khomeini hidup di bawah bimbingan ibunya (Banu Hajar) yang
penyayang, bibinya (Sahebeh Khanoum) yang dikenal bertaqwa dan pemberani,
serta pengasuhnya yang saleh (Nane Khavar). Sejak kanak-kanak sudah mempelajari
kemahiran berkuda dan menembak.
Masa
kanak-kanak dan remaja dilewati olehnya ketika Iran sedang mengalami gejolak
besar politik dan sosial. Sejak masa itu ia telah mengenal dari dekat kesulitan
yang dialami oleh masyarakat umum. Keterlibatan keluarganya dalam membela
hak-hak kaum tertindas membuatnya kelak tumbuh menjadi pejuang hakiki. Ketika
masih kanak-kanak ia sering melukiskan perasaannya yang memprihatinkan tentang
kondisi masyarakat sekitar dalam corat-coret buku gambarnya. Di masa remaja,
perasaan itu semakin dalam ia rasakan. Dalam salah satu bukunya yang ia tulis
di masa remaja, yang kala itu masih berusia antara 9 dan 10 tahun, ia menulis:
Di manakah kecemburuan Islam? Di
manakah gerakan kebangsaan?
Kepada
bangsa Iran, ia menulis: Wahai bangsa
Iran, Iran terancam petaka. Negeri Darius dijarah bangsa Nicholas[1].
Tulisan
itu bisa disebut sebagai statemen politik pertama yang dibuat oleh remaja yang
kelak akan memimpin bangsa Iran, sekaligus menunjukkan perhatiannya yang besar
kepada nasib negeri dan bangsanya. Sejak kecil ia memang tertarik kepada
tokoh-tokoh pejuang. Ketika Mirza Kucik Khan Jangali bangkit berjuang dengan
mengangkat senjata, ia ikut membantu menyampaikan pidato dan membaca syair
tentang Mirza Jangali. Ia juga terlibat mengumpulkan dana untuk membantu
gerakan Mirza. Sampai akhirnya ia memutuskan untuk bergabung dengan kelompok
Jangali dan bertemu Mirza[2].
Sebagai
remaja, ia memiliki kecerdasan yang luar biasa. Ia berhasil menguasai berbagai
cabang ilmu. Selain ilmu fiqih, ushul dan filsafat, ia juga menguasai irfan.
Kedalaman ilmunya diakui oleh para gurunya sendiri. Ia belajar dari sejumlah
guru di kota Khomein, Arak dan Qom. Hanya dalam waktu enam tahun ia berhasil
mempelajari banyak cabang ilmu sebelum akhirnya mengukuhkan diri sebagai salah
seorang ulama dan pengajar di pusat ilmu Islam di kota Qom[3]
Ketika
masih menjadi pelajar agama di kota Arak, Sayid Ruhullah Mosavi yang kala itu
berusia 19 tahun untuk pertama kalinya mendapat kesempatan secara resmi
berpidato di depan umum. Pidato itu dalam acara memperingati tokoh penting
Revolusi Konstitusi Mojtahed Thabatabai. Pidato yang lebih mirip dengan
statemen politik itu disampaikan oleh seorang pelajar agama yang masih muda
untuk mengenang jasa tokoh perjuangan Revolusi Konstitusi[4].
Imam Khomeini mengenai hari itu menceritakannya sendiri: ”…Aku diminta untuk
menyampaikan khotbah di atas mimbar. Tawaran itu aku terima dengan baik. Malam
itu aku tak banyak tidur, bukan karena takut berbicara di depan umum tetapi
karena meyakini bahwa aku bakal berdiri di mimbar milik Rasulullah SAW. Karena
itu aku memohon kepada Allah untuk memberikan pertolongan-Nya kepadaku, agar
di antara semua yang kuucapkan sejak awal hingga akhir, jangan ada kata-kata
yang tidak kuyakini. Permohonan ini adalah ikrar antara aku dan Allah.
Khotbahku yang pertama kali berlangsung panjang, tapi tidak ada orang yang
merasa lelah…Aku mendengar suara sebagian orang yang memuji pidatoku. Terlintas
di hatiku perasaan senang mendengar pujian itu. Karena itu undangan kedua dan
ketiga untuk berpidato aku tolak dan selama empat tahun setelah itu aku tidak
pernah naik ke mimbar dan berkhotbah.”[5]
Ketika
Sayid Ruhulah Mosavi hijrah ke kota suci Qom, saat itu Reza Khan Pahlevi, raja
pertama dinasti Pahlevi melanjutkan kebijakannya yang anti agama. Di masa ini,
Sayid Ruhullah yang sedang sibuk dengan aktivitas belajar, mengajar dan
menulis buku, mulai berkenalan dengan para ulama pejuang seperti Ayatollah Haj
Agha Nurullah Esfahani, Ayatollah Modarres dan sejumlah nama besar lainnya.
Di
masa kekuasaan Reza Khan ini tercipta kondisi yang sangat mencekik. Karena itu
para ulama berjuang untuk mempertahankan dan melindungi hauzah ilmiah yang
merupakan pusat pendidikan agama Islam di Qom. Bisa dikatakan bahwa perjuangan
mempertahankan hauzah di zaman itu tidak kalah pentingnya dari membentuk
pemerintahan Islam yang kelak terjadi tahun 1979[6].
Ketika
Imam Khomeini (ra) menginjak usia 40 tahun, terjadi dua peristiwa besar. Pertama,
berkecamuknya Perang Dunia II dan jatuhnya Iran ke tangan pendudukan asing,
dan Kedua larinya Reza Khan ke luar negeri dan anaknya yang bernama Mohammad
Reza naik ke singgasana kekuasaan.
Melihat
kondisi yang ada, Sayid Ruhullah Mosavi merasa bahwa inilah saat yang tepat
untuk melakukan gerakan kebangkitan demi memperbaiki kondisi negeri Iran yang
carut marut. Meski telah melakukan banyak usaha, namun kebangkitan yang
diinginkan tidak terjadi. Imam Khomeini yang telah dikenal sebagai salah
seorang ulama besar di Qom memiliki kecakapan yang seharusnya untuk memimpin
sebuah gerakan kebangkitan rakyat. Ia sudah merasakan 20 tahun kekuasaan Reza
Khan dan memiliki wawasan politik yang luas.
Pada
tanggal 11 Jumada Thani tahun 1363 Hijriyah atau sekitar tahun 1944 Masehi,
Imam Khomeini merilis sebuah pernyataan yang menyerukan rakyat bangkit dengan
memanfaatkan kondisi yang ada.
“Hari
ini bertiup angin ruhani yang sejuk dan hari ini adalah hari yang paling baik
untuk sebuah kebangkitan demi perbaikan. Jika kalian lewatkan kesempatan ini
dan tidak bangkit demi ridha Allah serta tidak mengambalikan syiar agama ke
posisinya semula, maka besok, orang-orang tak bermoral dan pengumbar syahwat
akan menguasai kalian. Mereka akan mempermainkan kehormatan kalian demi
kepentingannya.”[7]
Tak lama kemudian, Imam Khomeini kaum muslim Iran dan Imam
Khomeini mengalami dua peristiwa duka. Pertama adalah wafatnya Ayatullah Al-Udzma
Boroujerdi pada tanggal 29 Maret 1961. Dengan wafatnya marji besar Syiah ini,
dunia Islam kehilangan salah satu tokoh penting yang membentengi Islam, dan di
sisi lain musuh-musuh Islam dan Iran bersuka cita atas kepergian Ayatullah
Boroujerdi (ra).
Peristiwa
kedua adalah wafatnya Ayatullah Kashani, pejuang besar dalam melawan kekuasaan
imperialisme Inggris. Nama Ayatullah Kashani cukup membuat hati penguasa
Britania Raya dan musuh-musuh Islam bergetar. Wafatnya dua ulama besar ini
terjadi seiring dengan dimulainya periode masuknya pengaruh Amerika Serikat
(AS) di Iran.
Amerika
Serikat gencar menekan rezim Shah Pahlevi untuk memberlakukan perubahan di
semua bidang sesuai kemauan Washington. Imam Khomeini menangkap sinyal bahaya
besar di balik perombakan gaya Amerika Serikat ini. Langkah-langkah rezim
Pahlevi hanya akan membuka jalan bagi Amerika Serikat dan Israel untuk
menguasai Iran.
Segera,
Imam Khomeini gencar mengingatkan semua pihak untuk menyadari bahaya dari
langkah-langkah Shah Pahlevi yang akan menguntungkan imperialisme Amerika dan
apartheid Israel ini. Rezim Pahlevi kemudian melakukan pembalasan atas gerakan
Imam Khomeini dengan sebuah tindakan yang brutal. Tentara dan dinas keamanan
(SAVAK) pada tanggal 22 Maret tahun 1963, bertepatan dengan peringatan Syahadah
Imam Ja’far As-Shadiq (as), dikerahkan untuk menyerang madrasah Feiziyah di
Qom, tempat Imam Khomeini mengajar. Banyak pelajar agama yang gugur Shahid
dalam peristiwa itu.
Peristiwa
Feiziyah semakin mendorong Imam Khomeini untuk melanjutkan gerakannya.
Memperingati 40 hari gugurnya para pelajar Feiziyah, Imam Khomeini
menyampaikan pidatonya yang berapi-api. Beliau mengumumkan tidak akan diam
sebelum menundukkan rezim Shah Pahlevi yang disokong Amerika dan Israel itu.
Malam harinya, Imam Khomeini ditangkap dan dijebloskan ke penjara Qasr. Pagi
hari, berita penangkapan Imam Khomeini didengar oleh masyarakat luas di Tehran
dan kota-kota lainnya.
Massa
dalam jumlah besar berbondong-bondong memenuhi jalanan dan bergerak menuju
istana Shah Pahlevi. Mereka berjalan dengan meneriakkan yel-yel “Khomeini atau
Mati”. Dengan slogan ini mereka menuntut rezim untuk membebaskan ulama pejuang
ini. Rezim pun melakukan tindakan brutal dengan membantai para demonstran.
Korban pun berjatuhan.
Kepemimpinan
Imam Khomeini dalam gerakan melawan Shah Pahlevi nampaknya reda ketika rezim
mengasingkan beliau ke Turki lalu ke Irak. Namun aktivitas perjuangan Imam Khomeini
tidak berhenti meski di pengasingan. Tahun 1978, putra tertua Imam Khomeini
bernama Ayatollah Sayid Mostafa Khomeini dalam sebuah peristiwa mencurigakan
didapatkan terbujur kaku di kamarnya. Banyak bukti yang mengarah kepada
keterlibatan SAVAK dalam pembunuhan Ayatollah Mustafa yang selalu menyertai
ayahnya dalam setiap langkah.
Syahidnya
Ayatollah Mostafa Khomeini kembali menyulut gelora perjuangan yang selama ini
dilakukan di bawah tanah. Gelora itu kian membara setelah koran Ettelaat memuat
tulisan artikel yang menghujat Imam Khomeini dan kalangan ulama secara umum.
Masyarakat Muslim menggelar aksi demo dan memprotes kekurang-ajaran koran
Ettelaat.
Aksi
demo itu berujung pada peristiwa pembantaian yang dilakukan tentara terhadap
warga kota Qom. Gerakan kebangkitan rakyat silih berganti terjadi di beberapa
kota penting, Qom, Tabriz, Isfahan, Yazd, Shiraz dan kota-kota lainnya. Puncak
politik tangan besi rezim Shah Pahlevi terjadi pada peristiwa yang dikenal
dengan nama peristiwa 17 Shahrivar 1357 Qamariah Shamsiah.
Shah
Reza Pahlevi yang menyaksikan kondisi Iran sudah tidak memungkinkan baginya
untuk menetap lebih lama, segera angkat kaki meninggalkan Iran dan
singgasananya. Dengan larinya Shah Pahlevi, Imam Khomeini yang saat itu berada
di Paris memutuskan untuk kembali ke Iran. Jutaan warga menyambut kedatangan
Imam Khomeini. Tiba di Tehran, Imam langsung menuju Behesht-e Zahra, taman
makam para pahlawan perjuangan melawan rezim Shah. Di sana beliau menyampaikan
pidatonya yang bersejarah. Imam menyatakan bahwa kekuasaan yang ada saat ini
tidak legal.
Tiba
tanggal 1 Februari 1979, Imam Khomeini segera memimpin langsung perjuangan
rakyat Iran menumbangkan kekuasaan despotik Shah Pahlevi yang sudah di ujung
tanduk. Tanggal 10 Februari, PM Shapour Bakhtiar mengeluarkan undang-undang
darurat militer dan jam malam. Imam dalam sebuah amaran singkatnya menyebut
jam malam tidak legal. Selama 24 jam terjadi bentrokan bersenjata antara
rakyat dan tentara yang masih setia kepada rezim Shah Pahlevi.
Pagi
hari tanggal 11 Februari 1979, dengan kaburnya Shapour Bakhtiar ke luar negeri,
kekuasaan Shah Pahlevi pun berakhir. Sebagai gantinya berdiri pemerintahan
baru dengan sistem Republik Islam.
Sejak
kemenangan revolusi Islam hingga 2 Juni 1989 (hari wafat Imam Khomeini) terjadi
banyak peristiwa penting di Iran yang menunjukkan betapa Amerika Serikat (AS)
memusuhi pemerintahan Islam ini. Kelompok pemberontak sayap kanan atau kiri di
Iran yang berusaha menumbangkan pemerintahan Islam didukung secara penuh, baik
secara politik maupun finansial, oleh Barat (Amerika, Israel, Ingris, dkk) dan
Timur (Rezim Saudi Arabia dkk). Adidaya dunia pun mendorong tiran Irak, Saddam,
untuk menyerang Iran. Perang pun meletus dan berlangsung selama delapan tahun –terhitung
sejak 1980 hingga 1988.
Berbagai
makar dan tipu daya dalam skala besar dilakukan oleh adidaya Barat dan Timur
untuk menggulung pemerintahan Islam di Iran. Namun berkat pertolongan Allah
dan di bawah kepemimpinan Imam Khomeini, semua tipu daya itu dapat digagalkan
dan pemerintahan Islam di Iran tetap berdiri dengan tegaknya hingga saat ini.
CATATAN:
[1] Kautsar (Kumpulan Pidato Imam Khomeini
r.a), diterbitkan oleh Yayasan Penyusunan dan Penerbitan karya Imam Khomeini,
cetakan pertama, jilid 1 halaman 615.
[2]
Sayid Ali Qaderi, Ruhullah Khomeini (Biografi Imam Khomeini r.a), Yayasan
Penyusunan dan Penerbitan karya Imam Khomeini, cetakan ketiga, jilid 1 halaman
232 – 236.
[3]
Amir Reza Sotoudeh, Pa be Paye Aftab (Kumpulan kisah hidup Imam Khomeini r.a),
jilid 1 halaman 30.
[4]
Sayid Ali Qaderi, Ruhullah Khomeini (Biografi Imam Khomeini r.a), Yayasan
Penyusunan dan Penerbitan karya Imam Khomeini, cetakan ketiga, jilid 1 hal:
260, juga Sar Gozashtehaye Vijeh jilid 6 halaman 11.
[5]
Sayid Ali Qaderi, Ruhullah Khomeini (Biografi Imam Khomeini r.a), Yayasan
Penyusunan dan Penerbitan karya Imam Khomeini, cetakan ketiga, jilid 1 halaman
260.
[6]
Buletin Khabar Nameh yang diterbitkan untiuk seminar Haj Agha Nurullah Esfahani
nomor 1 halaman 16 – 17 dan nomor 2 halaman 12 – 13, mengutip pernyataan
Ayatollah Pasandideh dan Ayatollah Mazaheri.
[7]
Sahifeye Nour, Yayasan Penyusunan dan Penerbitan karya Imam Khomeini, cetakan
ketiga, jilid 1 halaman 4 – 6.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar