Disampaikan
pada Diskusi Publik “Pembangunan Etika
dan Budaya Politik” yang diselenggarakan oleh LSM MP Banten dan Kemendagri
di Anyer, Serang, Banten 23 Agustus 2014
Dalam
artikel menariknya yang berjudul Globalisasi
Terpilih dan Globalisasi-globalisasi Hegemonik (Lihat Oliver Leaman [ed],
Pemerintahan Akhir Zaman, Al-Huda 2005, hal. 64), Sayid Reza Ameli Menulis: “Globalisasi merupakan hasil dari munculnya
industri komunikasi global yang dianggap sebagai hal vital bagi munculnya
berbagai bentuk globalisasi lahiriah, dalam tampilan budaya, dan secara samar,
dalam orientasi kognitif”. Apa yang dikatakan Sayid Reza Ameli itu cukup
menarik bagi kita saat ini, mengingat jaman kita ini, sebagaimana sama-sama
kita sadari, bukan hanya jaman meruahnya informasi secara massif dan cepat,
namun juga derasnya arus dis-informasi (baca: penyesatan atau penghasutan) baik
berupa berita atau pun opini yang digerakkan oleh motif dan ambisi politik,
seperti “upaya” menarik simpati dan dukungan bagi ISIS yang didesign oleh Barat
(Amerika, Israel, Ingris dkk) yang mendapat kecaman dunia karena kekejaman yang
mereka lakukan, semisal tak segan-segan menyembelih manusia itu, apa pun agama,
mazhab, atau ras orang-orang yang mereka sembelih. Tentu saja alatnya adalah
“citra” dan “pencitraan”. Sebagai contoh ISIS yang diciptakan oleh Barat itu
dicitrakan sebagai kelompok yang “memperjuangkan Islam” demi mendapatkan
dukungan dan legitimasi kaum muslimin dunia. Dalam hal ini, Barat menggunakan
“Islam” justru ketika ingin mengekspansi Islam demi kepentingan dan keuntungan
Barat (baca: Amerika, Israel, Ingris dkk).
Meski
belakangan ummat Islam sadar dengan “manipulasi atasnama Islam” oleh ISIS dan
Barat itu, namun sesungguhnya ada literatur yang menurut beberapa kalangan
dianggap dan dipercaya sebagai ramalan akan munculnya kelompok-kelompok seperti
ISIS tersebut, yaitu perkataan Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah yang
terdapat dalam kitab Kanzul Ummal yang dihimpun oleh Ulama Besar Ahlus Sunnah
yang bernama Al Muttaqi Al Hindi pada riwayat nomor 31.530: "Jika kalian
melihat bendera-bendera hitam, tetaplah kalian di tempat kalian berada, jangan
beranjak dan jangan menggerakkan tangan dan kaki kalian (artinya tetap tenang,
jangan menyambut seruan mereka, jangan larut dalam euforia mendukung pasukan
itu), kemudian akan muncul kaum lemah (lemah akal sehat dan imannya), tiada
yang peduli pada mereka, hati mereka seperti besi (hati keras membatu jauh dari
cahaya hidayah), mereka akan mengaku sebagai Ashabul Daulah (pemilik Negara, saat ini ISIS telah mengumumkan
berdirinya Daulah Islam di Iraq dan Syam), mereka tidak pernah menepati janji,
mereka berdakwah pada Al Haq (kebenaran) tapi mereka bukan Ahlul Haq (pemegang
kebenaran), namanya dari sebuah julukan, marganya dari nama daerah, rambut
mereka tak pernah dicukur, panjang seperti rambut perempuan, jangan bertindak
apapun sampai nanti terjadi perselisihan di antara mereka sendiri, kemudian
Allah mendatangkan kebenaran kepada siapa yang dikehendaki-Nya." Namanya
adalah julukan (Nama yang diawali dengan kata "Abu"). Marganya dari
nama daerah (Al-Baghdadi) merujuk kepada ibu kota Iraq saat ini, yakni Baghdad.
Dengan demikian, Abu Bakar Al-Baghdadi, yaitu pemimpin ISIS yang telah
mengumumkan dirinya sebagai khalifah itu bukan nama yang sebenarnya, dan bila
kita mengikuti perkembangan berita dan ulasannya, ternyata adalah agen MOSSAD
Israel yang bernama Shimon Elliot.
Lalu
apa hubungannya ISIS (yang di sini sekedar contoh saja) dengan jaman citra dan
tekno sains, era kita saat ini? Tak lain bahwa berkat “rekayasa media” yang
dimiliki kelompok ISIS dan para pendukung mereka, mereka dapat menyebarkan dan
menciptakan “opini” dan “citra” mereka sebagai “mujahidin”, padahal motif dan
perang mereka ternyata berbagi, bahkan bekerjasama, dengan kepentingan Barat (yang
dalam hal ini Amerika, Israel, Ingris, Rezim Saud, dkk). Mereka, sebagai
contoh, mengklaim diri sebagai “mujahidin” agar dapat menarik simpati dan dukungan
kaum muslim, meski perang mereka sesungguhnya berdasarkan kepentingan dan skenario
Amerika dan para sekutunya. Inilah contoh yang akan disebut oleh Sayid Reza
Ameli itu sebagai “Globalisasi Hegemonik” alias “Globalisasi yang Sepihak dan
Menindas”, yang dalam bahasa Jacques Derrida (Lihat Giovanna Borradori,
Philosophy in the Time of Terror, terj. Alfons Taryadi, Penerbit Kompas 2005,
hal. 232-236) disebut sebagai “mondialisasi”, yaitu pendesakkan atau pemaksaan ideologi
dan kekuatan politik dan ekonomi dari dunia yang satu (yang dalam hal ini Dunia
Barat) terhadap dunia lainnya, yang seringkali motifnya adalah kepentingan
material dan ekonomis (semisal perebutan minyak).
Selain
seperti yang dikatakan oleh Sayid Reza Ameli dan Jacques Derrida itu, Anthony
Giddens memiliki istilah sendiri untuk menyebut era globalisasi dan kapitalisme
lanjut jaman kita ini, yaitu apa yang disebutnya “modernitas kedua”, sedangkan
Jean Baudrillard menyebutnya sebagai “Era Simulacra”, yaitu suatu jaman ketika “citra” dan “gambar-gambar
visual” adalah motor utama penggerak pikiran dan perilaku kita dalam hidup
keseharian kita. Suatu jaman ketika “realitas” dimanipulasi dan direkayasa oleh
media serta “hasrat pasar” yang cepat dan massif di era mutakhir kita ini. Tak
terkecuali juga ketika hasrat-hasrat politik menggunakan tekno-sains untuk
melakukan dis-informasi (pemanipulasian dan penghasutan), semisal ketika ISIS
dan Barat membajak Islam dan “Jihad” demi mengelabui sekaligus demi mendapatkan
dukungan dan legitimasi pihak-pihak yang justru ingin mereka “taklukkan”, yaitu
Islam dan kaum muslim. Sedangkan “modernitas kedua” yang dimaksud Anthony
Giddens, meminjam paparannya Sindhunata di majalah Basis Edisi Januari-Februari
Tahun 2000 halaman 7 adalah “suatu periode peralihan masyarakat, di mana
peralihan itu terjadi dengan menggelisahkan, ketika yang lama dirobohkan di
saat yang baru belum dibangun”.
Dengan
demikian, di era tekno sains dan jaman citra kita ini, kita dituntut untuk
menjadi orang-orang cerdas dan cermat yang akan mampu memilah dan membedakan
antara informasi (pengetahuan dan informasi yang objektif) dengan dis-informasi
(penyesatan, penghasutan, dan pemanipulasian) yang acapkali digerakkan oleh
hasrat-hasrat politik sepihak. Sebagai contoh, yang dalam hal ini kita akan
kembali mengambil contoh ISIS yang mencitrakan diri sebagai para “mujahidin”
itu, ternyata adalah “agen” dan “pion” Barat (Amerika, Ingris, Israel, Rezim
Saud, dkk) dalam ranah persaingan dengan Iran, Rusia, dkk di kawasan Timur
Tengah.
Mereka (Barat) menamakan rencananya itu dengan istilah Timur
Tengah Baru. Istilah Timur Tengah Baru sendiri diperkenalkan ke dunia pada
bulan Juni 2006 di Tel Aviv oleh Menteri Luar Negeri AS Condoleezza Rice.
Pergeseran (pemetaan) ini dalam ungkapan kebijakan luar
negeri bertepatan dengan peresmian Baku-Tbilisi-Ceyhan (BTC) Terminal Minyak di
Mediterania Timur. Proyek ini,
yang telah dalam tahap perencanaan selama beberapa tahun, terdiri dalam
menciptakan busur ketidakstabilan, kekacauan, dan kekerasan yang membentang
dari Libanon, Palestina, dan Suriah ke Irak, Teluk Persia, Iran, dan perbatasan
Afghanistan. Peta Timur Tengah baru, atau dalam realitasnya adalah Peta jalan
militer Anglo-Amerika di Timur Tengah ini, adalah penciptaan sebuah entri untuk
dapat masuk ke Asia Tengah (serangan terhadap Rusia) melalui Timur Tengah.
Dalam hal inilah Timur
Tengah, Afghanistan, dan Pakistan akan menjadi batu loncatan untuk memperluas
pengaruh Amerika Serikat terhadap posisi Rusia dan Republik bekas Soviet di
Asia Tengah. Selain itu, desain ulang yang terkandung dalam peta tersebut
diposisikan juga untuk memecahkan masalah kontemporer Timur Tengah, yang sesuai
dengan keinginan Israel, Amerika, dan Ingris.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar