Selasa, 12 Agustus 2014

Hegemoni Otodestruksi Amerika



Oleh Francis Fukuyama*

Ketika saya menulis tentang “akhir sejarah” (end of history) lebih daripada dua puluh tahun yang lalu, satu hal yang saya tidak antisipasi adalah derajat anti-Amerikanisme, sebagai satu keretakan utama dari politik global, yang justru diciptakan oleh perilaku dan penilaian salah Amerika sendiri.

Namun masih, terutama sekali sejak serangan teroris 11 September 2001, hal itulah yang persisnya telah terjadi, dikarenakan empat kesalahan kunci yang dibuat oleh pemerintah Bush.

Pertama, doktrin  “preemption” (menyerang sebagai pertahanan) yang dipertimbangkan sebagai jawaban atas serangan 2001, secara serampangan diperluas hingga termasuk Irak dan negara-negara lain yang disebut “rogus states” (negara kriminal) yang mengancam hendak mengembangkan senjata pemusnah massal. Untuk pastinya, hak “preemption” secara penuh dibenarkan vis-à-vis teroris-teroris non-negara (stateless) yang menggunakan senjata-senjata seperti itu. Namun, hal itu tidak bisa menjadi inti dari kebijakan non-proliferasi umum, yang atas dalih itu Amerika Serikat mengintervensi secara militer di mana-mana untuk mencegah pengembangan senjata nuklir.

Harga dari implementasi kebijakan seperti itu akan menjadi terlalu mahal (ratusan milyar dolar dan jutaan korban di Irak, dan masih akan terus bertambah).

Miskalkulasi penting kedua berkaitan dengan kemungkinan reaksi global terhadap penggunaan hegemoni Amerika. Banyak orang di dalam pemerintahan Bush percaya bahwa, bahkan tanpa persetujuan Dewam Keamanan PBB atau NATO sekalipun, kuasa hegemonik Amerika akan menjadi sah oleh kesuksesan implementasinya. Ini telah menjadi pola dalam banyak inisiatif AS selama Perang Dingin, dan di Balkan selama 1990-an; yang pada masa itu dikenal sebagai “kepemimpinan”  ketimbang “unilateralisme”.

Namun, menjelang saat peperangan Irak, kondisi-kondisinya telah berubah: AS telah tumbuh menjadi relatif sangat kuat tangguh dibandingkan negara-negara lain di dunia sehingga ketiadaan timbal-balik menjadi salah satu sumber yang kuat dari ketidakpuasan, bahkan bagi sekutu-sekutu terdekat Amerika. Anti-Amerikanisme struktural yang timbul dari distribusi kekuatan global tampak jelas sebelum perang Irak, dalam oposisi kepada globalisasi yang dipimpin Amerika selama tahun-tahun pemerintahan Clinton. Namun, kondisi itu diperburuk oleh  ketidakhormatan “di depan mata” pemerintahan Bush terhadap sejumlah institusi internasional segera setelah ia menduduki kursi kepresidenan—sebuah pola yang berlanjut hingga awal perang Irak.

Kekeliruan Amerika yang ketiga adalah terlalu percaya diri dalam kaitan dengan seberapa efektifnya kekuatan militer konvensional dalam berhadapan dengan negara-negara lemah dan jaringan organisasi-organisasi transnational yang membentuk karakter politik internasional, sedikitnya di kawasan Timur Tengah yang lebih luas. Adalah penting untuk dipertanyakan mengapa sebuah negara dengan kekuatan militer yang lebih tangguh dibandingkan kekuatan manapun dalam sejarah manusia, dan yang membelanjakan anggarannya bagi kepentingan militer sebanyak hampir seluruh isi dunia jika digabungkan, tidak mampu menghasilkan keamanan kepada sebuah negeri kecil berpenduduk 24 juta jiwa setelah lebih daripada tiga tahun masa pendudukan.

Setidaknya, sebagian dari problem tersebut adalah bahwa ia berhadapan dengan kekuatan-kekuatan sosial yang kompleks, yang tidak terorganisasi ke dalam hirarki-hirarki yang terpusat, yang dapat menyelenggarakan aturan-aturan, dan yang konsekuensinya diancam, diintimidasi, atau, jika tidak, dimanipulasi melalui kekuatan konvensional.

Israel membuat suatu kekeliruan yang serupa ketika berpikir bahwa ia bisa memanfaatkan margin yang mahabesar dari kekuatan militer konvensionalnya untuk menghancurkan Hizbullah pada perang Lebanon musim panas lalu. Keduanya, Israel maupun AS, bernostalgia dengan dunia negara-negara bangsa abad ke-20. Ini dapat dimengerti karena ia adalah dunia yang cocok dengan jenis kekuatan konvensional yang mereka (Israel dan AS) kuasai.

Namun, nostalgia itu telah menjerumuskan kedua negara itu untuk salah menafsirkan tantangan yang mereka sekarang hadapi, apakah dengan menghubungkan al-Qaida kepada Saddam Hussein, atau Hizbullah kepada Iran dan Suriah. Hubungan itu memang ada dalam kasus Hizbullah tetapi para aktor jaringan mempunyai akar sosial mereka masing-masing dan bukan sesederhana ‘boneka’ yang digunakan oleh kekuatan-kekuatan regional. Inilah alasan kenapa penggunaan kekuatan konvensional dibuat frustasi.

Akhirnya, penggunaan kekuatan oleh pemerintah Bush sudah mengalami invaliditas bukan hanya karena strategi atau doktrin yang memaksa, tetapi juga karena kekurangan kompetensi yang sederhana. Di Irak saja, pemerintah salah mengestimasi ancaman senjata pemusnah massal, gagal membuat rencana yang matang bagi suatu pendudukan, dan kemudian terbukti tidak mampu melakukan penyesuaian dengan cepat ketika berbagai hal berjalan ke arah yang salah. Hingga hari ini, ia (pemerintah Bush) telah melakukan kesalahan serius terhadap persoalan-persoalan operasional yang sangat sederhana di Irak, seperti membiayai upaya-upaya promosi demokrasi.

Ketidakcakapan dalam implementasi menghasilkan konsekuensi-konsekuensi strategis. Banyak  suara yang dulu menuntut, dan kemudian menyia-nyiakan, intervensi militer ke Irak kini malah meminta perang dengan Iran. Mengapa seluruh isi dunia berpikir bahwa bertikai dengan musuh yang lebih besar dan lebih tangguh akan dapat ditangani dengan lebih cakap?

Namun, masalah pokoknya tetaplah pada distribusi kekuatan yang asimetris (tidak seimbang) di dalam sistem internasional. Setiap negara yang berada dalam posisi seperti AS, bahkan meski ia adalah negara demokrasi, akan tergoda untuk menggunakan kekuatannya yang hegemonik dengan batasan-batasan yang semakin sedikit. Para founding fathers Amerika termotivasi oleh sebuah keyakinan yang sama bahwa sebuah kekuatan yang tidak terkendali (unchecked power), bahkan meski ia sah secara demokratis, bisa berbahaya. Itulah mengapa mereka menciptakan sebuah sistem konstitutional yang dibangun dari kekuatan-kekuatan yang secara internal terpisah untuk membatasi kekuasaan eksekutif.

Sistem semacam itu pada hari ini tidak eksis dalam skala global. Inilah mungkin yang bisa menjelaskan mengapa Amerika kini terjebak dalam kesulitan seperti tersebut. Sebuah distribusi kekuatan internasional yang lebih lembut, bahkan dalam suatu sistem global yang tidak secara penuh demokratis, akan menghadirkan lebih sedikit godaan untuk mengabaikan kebijaksanaan dalam menggunakan kekuatan.

*Yoshihiro Francis Fukuyama adalah filosof Amerika, ahli politik ekonomi, dan penulis. Ia adalah Dekan School of Advanced International Studies, Johns Hopkins University, dan Ketua “The American Interest”. Fukuyama sangat dikenal dengan karyanya The End of History and the Last Man.  

Penerjemah: Irman A. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar