Ketika
saya menulis tentang “akhir sejarah” (end of history) lebih daripada dua
puluh tahun yang lalu, satu hal yang saya tidak antisipasi adalah derajat
anti-Amerikanisme, sebagai satu keretakan utama dari politik global, yang
justru diciptakan oleh perilaku dan penilaian salah Amerika sendiri.
Namun masih, terutama sekali sejak serangan teroris 11 September 2001, hal itulah yang persisnya telah terjadi, dikarenakan empat kesalahan kunci yang dibuat oleh pemerintah Bush.
Pertama,
doktrin “preemption” (menyerang sebagai pertahanan) yang
dipertimbangkan sebagai jawaban atas serangan 2001, secara serampangan
diperluas hingga termasuk Irak dan negara-negara lain yang disebut “rogus
states” (negara kriminal) yang mengancam hendak mengembangkan senjata pemusnah
massal. Untuk pastinya, hak “preemption” secara penuh dibenarkan vis-à-vis
teroris-teroris non-negara (stateless) yang menggunakan senjata-senjata
seperti itu. Namun, hal itu tidak bisa menjadi inti dari kebijakan
non-proliferasi umum, yang atas dalih itu Amerika Serikat mengintervensi secara
militer di mana-mana untuk mencegah pengembangan senjata nuklir.
Harga
dari implementasi kebijakan seperti itu akan menjadi terlalu mahal (ratusan
milyar dolar dan jutaan korban di Irak, dan masih akan terus bertambah).
Miskalkulasi
penting kedua berkaitan dengan kemungkinan reaksi global terhadap penggunaan
hegemoni Amerika. Banyak orang di dalam pemerintahan Bush percaya bahwa, bahkan
tanpa persetujuan Dewam Keamanan PBB atau NATO sekalipun, kuasa hegemonik
Amerika akan menjadi sah oleh kesuksesan implementasinya. Ini telah menjadi
pola dalam banyak inisiatif AS selama Perang Dingin, dan di Balkan selama
1990-an; yang pada masa itu dikenal sebagai “kepemimpinan” ketimbang
“unilateralisme”.
Namun,
menjelang saat peperangan Irak, kondisi-kondisinya telah berubah: AS telah
tumbuh menjadi relatif sangat kuat tangguh dibandingkan negara-negara lain di
dunia sehingga ketiadaan timbal-balik menjadi salah satu sumber yang kuat dari
ketidakpuasan, bahkan bagi sekutu-sekutu terdekat Amerika. Anti-Amerikanisme
struktural yang timbul dari distribusi kekuatan global tampak jelas sebelum
perang Irak, dalam oposisi kepada globalisasi yang dipimpin Amerika selama
tahun-tahun pemerintahan Clinton. Namun, kondisi itu diperburuk oleh ketidakhormatan
“di depan mata” pemerintahan Bush terhadap sejumlah institusi internasional
segera setelah ia menduduki kursi kepresidenan—sebuah pola yang berlanjut
hingga awal perang Irak.
Kekeliruan
Amerika yang ketiga adalah terlalu percaya diri dalam kaitan dengan seberapa
efektifnya kekuatan militer konvensional dalam berhadapan dengan negara-negara
lemah dan jaringan organisasi-organisasi transnational yang membentuk karakter
politik internasional, sedikitnya di kawasan Timur Tengah yang lebih luas.
Adalah penting untuk dipertanyakan mengapa sebuah negara dengan kekuatan
militer yang lebih tangguh dibandingkan kekuatan manapun dalam sejarah manusia,
dan yang membelanjakan anggarannya bagi kepentingan militer sebanyak hampir
seluruh isi dunia jika digabungkan, tidak mampu menghasilkan keamanan kepada
sebuah negeri kecil berpenduduk 24 juta jiwa setelah lebih daripada tiga tahun
masa pendudukan.
Setidaknya,
sebagian dari problem tersebut adalah bahwa ia berhadapan dengan
kekuatan-kekuatan sosial yang kompleks, yang tidak terorganisasi ke dalam
hirarki-hirarki yang terpusat, yang dapat menyelenggarakan aturan-aturan, dan
yang konsekuensinya diancam, diintimidasi, atau, jika tidak, dimanipulasi
melalui kekuatan konvensional.
Israel
membuat suatu kekeliruan yang serupa ketika berpikir bahwa ia bisa memanfaatkan
margin yang mahabesar dari kekuatan militer konvensionalnya untuk menghancurkan
Hizbullah pada perang Lebanon musim panas lalu. Keduanya, Israel maupun AS,
bernostalgia dengan dunia negara-negara bangsa abad ke-20. Ini dapat dimengerti
karena ia adalah dunia yang cocok dengan jenis kekuatan konvensional yang
mereka (Israel dan AS) kuasai.
Namun,
nostalgia itu telah menjerumuskan kedua negara itu untuk salah menafsirkan
tantangan yang mereka sekarang hadapi, apakah dengan menghubungkan al-Qaida
kepada Saddam Hussein, atau Hizbullah kepada Iran dan Suriah. Hubungan itu
memang ada dalam kasus Hizbullah tetapi para aktor jaringan mempunyai akar
sosial mereka masing-masing dan bukan sesederhana ‘boneka’ yang digunakan oleh
kekuatan-kekuatan regional. Inilah alasan kenapa penggunaan kekuatan
konvensional dibuat frustasi.
Akhirnya,
penggunaan kekuatan oleh pemerintah Bush sudah mengalami invaliditas bukan
hanya karena strategi atau doktrin yang memaksa, tetapi juga karena kekurangan
kompetensi yang sederhana. Di Irak saja, pemerintah salah mengestimasi ancaman
senjata pemusnah massal, gagal membuat rencana yang matang bagi suatu
pendudukan, dan kemudian terbukti tidak mampu melakukan penyesuaian dengan
cepat ketika berbagai hal berjalan ke arah yang salah. Hingga hari ini, ia
(pemerintah Bush) telah melakukan kesalahan serius terhadap persoalan-persoalan
operasional yang sangat sederhana di Irak, seperti membiayai upaya-upaya
promosi demokrasi.
Ketidakcakapan
dalam implementasi menghasilkan konsekuensi-konsekuensi strategis. Banyak
suara yang dulu menuntut, dan kemudian menyia-nyiakan, intervensi militer ke
Irak kini malah meminta perang dengan Iran. Mengapa seluruh isi dunia berpikir
bahwa bertikai dengan musuh yang lebih besar dan lebih tangguh akan dapat
ditangani dengan lebih cakap?
Namun,
masalah pokoknya tetaplah pada distribusi kekuatan yang asimetris (tidak
seimbang) di dalam sistem internasional. Setiap negara yang berada dalam posisi
seperti AS, bahkan meski ia adalah negara demokrasi, akan tergoda untuk
menggunakan kekuatannya yang hegemonik dengan batasan-batasan yang semakin
sedikit. Para founding fathers Amerika termotivasi oleh sebuah keyakinan
yang sama bahwa sebuah kekuatan yang tidak terkendali (unchecked power),
bahkan meski ia sah secara demokratis, bisa berbahaya. Itulah mengapa mereka
menciptakan sebuah sistem konstitutional yang dibangun dari kekuatan-kekuatan
yang secara internal terpisah untuk membatasi kekuasaan eksekutif.
Sistem
semacam itu pada hari ini tidak eksis dalam skala global. Inilah mungkin yang
bisa menjelaskan mengapa Amerika kini terjebak dalam kesulitan seperti
tersebut. Sebuah distribusi kekuatan internasional yang lebih lembut, bahkan
dalam suatu sistem global yang tidak secara penuh demokratis, akan menghadirkan
lebih sedikit godaan untuk mengabaikan kebijaksanaan dalam menggunakan
kekuatan.
*Yoshihiro Francis Fukuyama adalah
filosof Amerika, ahli politik ekonomi, dan penulis. Ia adalah Dekan School
of Advanced International Studies, Johns Hopkins University, dan Ketua “The
American Interest”. Fukuyama sangat dikenal dengan karyanya The End of
History and the Last Man.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar