Selasa, 31 Maret 2015

Ketika Kebenaran Al Qur’an Diakui Kedokteran Dunia




Oleh DR. Rinto Anugraha (Dosen UGM Yogyakarta)

Fakta! Sebuah jurnal kedokteran ilmiah kedokteran Internasional di bidang jantung, International Journal of Cardiology, mempublikasikan sebuah paper yang berjudul “The heart and cardiovascular system in the Qur’an and Hadeeth” (Jantung dan sistem jantung dalam Al Qur’an dan Hadits). Ini termasuk sebuah paper yang langka. Paper itu ditulis oleh Marios Loukas, Yousuf Saad, Shane Tubbs dan Mohamadali Shoja. Penulis pertama, Marios Loukas adalah seorang Profesor di St. George University dengan bidang riset seputar jantung, teknik dan anatomi pembedahan, arteriogenesis hingga pendidikan medis. http://www.sgu.edu/research/research-investigators-loukas.html

Pencarian dengan menggunakan portal ISIWeb Knowledge menyebutkan sekitar 280 paper ilmiah yang pernah ditulis oleh Marios Loukas di bidang jantung. Ini menunjukkan kredibilitas beliau sebagai pakar yang berkompeten untuk berbicara soal jantung, termasuk tulisannya yang membicarakan jantung di dalam Al Quran dan Hadits. International Journal of Cardiology itu sendiri termasuk jurnal ternama di bidang jantung. Nilai Impact factor jurnal tersebut sekitar 3. Paper yang diterbitkan itu dapat dilihat di: http://www.internationaljournalofcardiology.com/article/S0167-5273(09)00566-X/abstract

Bagi pembaca yang tertarik dengan paper tersebut, silakan mendownload file pdfnya di: http://www.4shared.com/document/tsQIFQ4J/heart-cardiovascular-quran-had.html Mungkin penting untuk diketahui disini, bahwa kata “heart” dalam dunia kedokteran berarti jantung, bukan hati. Adapun “hati” dalam kedokteran adalah liver. Karena itu kata “qalb” dalam bahasa Arab, diterjemahkan oleh penulis paper tersebut menjadi “heart”, yang dalam bahasa Indonesia berarti jantung.

Ada sejumlah hal menarik dari paper tersebut.

Paper tersebut dikirim dan sampai (received) ke jurnal tersebut pada tanggal 7 Mei 2009. Ternyata, hanya dalam 5 hari kemudian tanggal 12 Mei 2009, paper tersebut langsung disetujui (accepted) oleh editor jurnal tersebut. Sepanjang pengetahuan saya, proses ini sangat-sangat cepat. Rata-rata sebuah paper membutuhkan waktu satu hingga beberapa bulan untuk dapat disetujui oleh editor jurnal. Bahkan ada yang membutuhkan waktu bertahun-tahun. Lamanya proses itu salah satunya karena adanya diskusi panjang dengan reviewer atau pihak ketiga yang memberikan penilaian layak tidaknya sebuah paper untuk dapat diterbitkan di sebuah jurnal ilmiah. Dugaan saya, proses yang hanya lima hari sejak proses received hingga accepted ini disebabkan karena editor langsung setuju dengan isi paper tersebut sehingga tidak diperlukan lagi proses pengecekan oleh pihak ketiga.

Paper itu sendiri terbit secara online pada 25 Agustus 2009. Kemudian dicetak dalam edisi kertas pada 1 April 2010.

Dalam pengantarnya, penulis menjelaskan kemajuan ilmu kedokteran saat ini nampaknya melupakan kontribusi dari sejumlah teks-teks agama, salah satunya adalah Quran dan Hadits. Padahal beliau menyebut deskripsi yang akurat tentang struktur anatomi, prosedur bedah, karakteristik fisiologi dan pengobatan medis, “Found within the Qur’an and Hadeeth are accurate descriptions of anatomical structures, surgical procedures, physiological characteristics, and medical remedies.” Paper itu ditulis sebagai review atau rangkuman untuk menyajikan secara akurat kontribusi Al Quran dan Hadits dengan fokus khusus pada sistem jantung “to accurately present the anatomical and medical contributions of the Qur’an and Hadeeth, with specific focus on the cardiovascular system.”

Setelah menyebutkan sejarah singkat Al Quran dan Hadits, Marios Loukas menjelaskan perbedaan kontras dalam Islam dan Kristen mengenai hubungan antara agama dan sains. Dalam sejarah Kristen di abad pertengahan dan masa Renaissance, pengaruh gereja Kristen melumpuhkan (stifle) perkembangan sains, bahkan jika pengamatan sains tersebut sebenarnya didukung oleh perhitungan dan pemikiran rasional. Sementara, sains di era kejayaan Islam berkembang luas disebabkan ajaran Islam mendorong (encourage) dan mendukung riset sains. Selain itu, dalam Islam pencarian ilmu pengetahuan merupakan bagian dari ibadah kepada Tuhan (an act of worship to God).

Paper itu menjelaskan tentang pandangan umum tentang pengobatan dalam Al Qur’an dan Hadits. Diantaranya, Allah SWT yang menciptakan penyakit, dan setiap penyakit itu selalu ada obat dan metode penyembuhannya. Sebuah penyakit yang sembuh terjadi karena adanya ijin dari Allah SWT (permission of God). Ada dua macam perlakuan (treatment) untuk proses penyembuhan suatu penyakit, yaitu secara spiritual dan fisik. Sebab, Al Quran menyebut penyakit tidak hanya berupa penyakit fisik, namun juga penyakit yang “tersembunyi” seperti keragu-raguan (doubt), kotoran keimanan (impurity), kemunafikan (hypocrisy) dan tidak beriman (disbelief) dan dusta (falsehood).

Selain penyakit batin tersebut, Al Quran dan Hadits juga mendiskusikan beberapa penyakit fisik seperti sakit perut (abdominal pain), mencret (diarrhea), demam (fever), penyakit kusta (leprosy), and penyakit mental. Diantara obat yang manjur adalah madu karena mengandung gula, vitamin dan anti mikroba. Selanjutnya Al Quran berbicara tentang makanan apa saja yang haram dikonsumsi, seperti bangkai, darah, daging babi serta yang disembelih tidak atas nama Allah.

Mengenai sistem jantung, darah dan sirkulasinya, penulis menyebut tentang sebuah ayat Al Quran yang menyatakan bahwa “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya” (Qaaf 16). Ini menunjukkan relasi antara Allah SWT dengan hamba-Nya, sekaligus mengisyaratkan pentingnya pembuluh darah di leher dan hubungannya dengan jantung.

Panjang lebar, penulis paper tersebut juga mengupas jantung, penyakit yang berkaitan dengan jantung, serta kontribusi Al Qur’an dan Hadits bagi dunia medik. Seperti, pembuluh darah aorta, diskusi seputar darah pada penyembelihan binatang. Al Quran juga menyebut ada tiga kelompok manusia berdasarkan keadaan “heart”, yaitu orang yang beriman (believers) yang memiliki heart yang hidup, orang kafir (rejecters of faith) yang memiliki heart yang mati, dan orang munafik (the hypocrites) yang ada penyakit dalam heart. Karena itu Marios Loukas menyatakan bahwa heart memiliki dua tipe, yaitu spiritual heart dan physical heart. Tiga kategori itu termasuk ke dalam spiritual heart. Ia juga menyebutkan bahwa ulama (scholars) membagi dua jenis penyakit dalam spiritual heart, yaitu syubuhat dan syahwat.

Bagian yang juga menarik, ketika secara tidak langsung gaya hidup manusia yang dikehendaki oleh Allah SWT, membuat kemungkinan terkena penyakit jantung menjadi lebih kecil, seperti melakukan aktivitas spiritual, makan secukupnya, bekerja secara fisik, tidak marah dan iri hati, menjauhi keserakahan, serta menjauhkan diri dari makanan dan minuman yang dilarang. Termasuk dibahas pula gerakan-gerakan shalat (berdiri, sujud duduk) yang berhubungan dengan kesehatan, sampai-sampai gerakan orang shalat yang malas seperti yang dilakukan oleh orang munafik dikecam dalam Al Quran. Hingga dibahas pula, larangan Islam untuk mengkonsumsi alkohol untuk khamar yang bisa ditinjau dari segi kesehatan. Sebab, alkohol berpengaruh pada seluruh organ tubuh, seperti liver, lambung, usus, pankreas, jantung dan otak dan dapat menyebabkan sejumlah penyakit, seperti liver cirrhosis, pancreatic insufficiency, cancer, hypertension dan heart disease.

Di bagian kesimpulan, penulis menyatakan bahwa Al Qur’an dan ucapan Nabi Muhammad merupakan teks agama, spiritual dan sekaligus saintifik, serta memberikan pengaruh (influence) bagi ilmu medik dan anatomi. Setelah panjang lebar menjelaskan, penulis menyatakan bahwa jantung (heart) sesungguhnya berisi unsur hati, kecerdasaan dan emosi, sebagaimana juga unsur fisik tubuh yang dapat mengalami sakit, seperti pembekuan darah dll. Penulis juga menyatakan bahwa saintis Eropa di abad pertengahan gagal dalam mengambil manfaat dari Islam, disebabkan oleh beberapa kemungkinan diantaranya proses penterjemahan yang buruk.

Menurut hemat saya, Al Quran memang bukan kitab sains, namun petunjuk hidup bagi manusia. Bagi orang yang beriman, Al Quran juga tidak butuh bukti untuk kebenaran isinya. Namun demikian, adanya sejumlah isyarat-isyarat ilmiah yang belakangan terbukti sesuai dengan perkembangan sains modern semakin menunjukkan bahwa Al Quran bukanlah sebuah kitab yang biasa, tetapi sebuah mukjizat dari Allah SWT. Inilah domain yang dimasuki oleh Marios Loukas dan partnernya. Orang seperti Marios Loukas dengan kepakarannya di bidang jantung sangat tepat untuk membahas masalah ini. Tentu, usaha ini patut mendapat apresiasi dari kita, kaum muslimin. Salah satunya, beberapa saintis Turki menulis paper di jurnal tersebut yang berjudul “Islamic legacy of cardiology: Inspirations from the holy sources”, sebagai kelanjutan dari paper Marios Loukas tersebut. http://www.internationaljournalofcardiology.com/article/S0167-5273(09)01393-X/abstract

Disamping itu pula, sudah menjadi sunnatullah jika gembong anti Islam selalu menampakkan kebenciannya terhadap setiap upaya untuk memajukan Islam. Kalangan anti Islam dari kelompok faithfreedom.org misalnya, mereka sangat tidak suka ketika jurnal Cardiology itu menerbitkan paper tersebut. Bahkan salah satunya seperti Syed Kamran Mirza sampai menulis surat kepada jurnal tersebut agar menarik paper tersebut. Tentu saja permintaan itu ditolak.

Semoga informasi ini bisa menjadi tambahan inspirasi untuk kaum muslimin, untuk selalu menjadi yang terbaik di bidang masing-masing, menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain, dan juga menjadi tambahan keimanan bagi kita, kaum muslimin.

Jumat, 20 Maret 2015

Alasan Syiah Tidak Bersedekap dalam Shalat



Oleh Ayatullah Jafar Subhani

Kenapa orang-orang Syi’ah shalat dengan tangan lurus (tidak bersendekap)?

Sedekap tangan kiri dengan tangan kanan di waktu shalat adalah sunnah (tidak wajib) menurut tiga dari empat mazhab Ahli Sunnah.

Ulama Mazhab Hanafi mengatakan, ‘Sunnah hukumnya dan tidak wajib sendekap tangan pada waktu shalat, dan sebaiknya bagi orang laki untuk mendekap punggung tangan kiri dengan telapak tangan kanannya persis di bawah pusar, adapun orang perempuan sebaiknya meletakkan kedua tangan sendekap itu di atas dada.’

Ulama Mazhab Syafi’i mengatakan, ‘Baik untuk laki maupun perempuan, hukum sendekap tangan pada waktu shalat adalah sunnah (yakni, dianjurkan tapi tidak wajib), dan sebaiknya telapak tangan kanan diletakkan di atas punggung tangan kiri persis di bawah dada dan di atas pusar serta sedikit serong ke arah kiri.’

Ulama Mazhab Hanbali mengatakan, ‘Sendekap tangan hukumnya sunnah (tidak wajib), dan sebaiknya telapak tangan kanan diletakkan di atas punggung tangan kiri persis di bawah pusar.’

Adapun Mazhab Maliki berbeda pendapat dengan mereka, ulama Mazhab Maliki mengatakan, ‘Sunnah hukumnya bagi orang yang melakukan shalat wajib untuk membiarkan tangannya terurai atau lurus.’ Sebelum mereka pun ada sebagian fukaha yang berpendapat demikian; antara lain, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Musayib, Sa’id bin Jubair, Atha’, lbnu Juraih, Nakha’i, Hasan Bashri, lbnu Sirin, dan sebagainya.

Diriwayatkan pula dari Imam Auza’i bahwa seorang pelaku shalat bebas memilih antara sendekap tangan atau melepaskan tangannya begitu saja pada waktu shalat.[1]

Tapi menurut Mazhab Syi’ah Imamiyah, haram hukumnya orang yang sedang shalat untuk sendekap atau meletakkan salah satu tangannya di atas tangan yang lain, dan hal itu menurut mereka membatalkan shalat. Langka sekali di antara fukaha Syi’ah Imamiyah yang menyatakan hukum makruh untuk perbuatan itu, seperti Abu Shalah Halabi di dalam kitabnya Al­Kafi, mayoritas mereka menghukuminya sebagai haram.[2]

Cara Nabi Saw Shalat

Meskipun tiga mazhab Ahli Sunnah di atas (Hanafi, Syafi’i dan Hanbali) membolehkan sendekap tangan pada waktu shalat dan panjang-lebar mereka membahas hal ini, akan tetapi pada kenyataannya mereka tidak mempunyai bukti yang memuaskan untuk membolehkan sendekap tangan pada waktu shalat, apalagi bukti tentang kesunnahannya. Lebih dari itu, sewajamya dikatakan bahwa ada berbagai dalil yang membuktikan sebalik pendapat mereka; hadis-hadis dari dua belah pihak (Ahli Sunnah dan Syi’ah) yang menjelaskan tata cara shalat Nabi Muhammad Saw sama sekali tidak menyebutkan sendekap tangan atau letak satu tangan di atas tangan yang lain, dan tidak mungkin beliau meninggalkan satu hal yang sunnah sepanjang hidup beliau atau dalam tempo yang lama dalam hidupnya. Berikut ini kami akan membawakan contoh dari hadis-hadis tersebut, hadis dari jalur Ahli Sunnah dan hadis dari jalur Syi’ah Imamiyah, dan semua hadis itu menjelaskan cara Nabi Saw shalat tapi sedikit pun tidak menyinggung masalah sendekap tangan, apalagi perincian tata cara sendekap tangan.

Hadis Abu Humaid Sa’idi

Hadis ini telah diriwayatkan oleh para muhadis Ahli Sunnah, dan pada kesempatan ini kami menukilnya dari kitab Sunan Baihaqi, dia mengatakan, ‘Dia (Abu Humaid) menghadap ke arah para sahabat Nabi seraya berkata, ‘Akulah orang yang paling tahu di antara kalian tentang shalat Rasulullah Saw.’ mereka menanggapinya dengan pertanyaan, ‘Apa alasanmu? Padahal kamu tidak lebih dulu daripada kami menjadi sahabat beliau, tidak pula kamu lebih sering menyertai beliau.’ dia membantah, ‘Tidak seperti yang kalian katakan.’ Mereka pun melanjutkan, ‘Kalau begitu, jelaskanlah kepada kami cara Nabi shalat.’ Abu Hamid pun menjelaskan:

Rasulullah Saw setiap kali ingin berdiri hendak menunaikan shalat beliau mengangkat kedua tangan setinggi bahu lalu mengucapkan takbir, ketika seluruh anggota tubuhnya telah seimbang beliau memulai bacaan, setelah itu beliau bertakbir seraya mengangkat kedua tangan setinggi bahu, kemudian beliau ruku’ dan meletakkan kedua telapak tangan di atas kedua lutut sekiranya berada pada posisi yang seimbang; tidak mengangkat kepala tinggi-tinggi dan tidak pula menundukkannya ke bawah. Setelah itu, beliau bangun dari ruku’ seraya berdiri dan mengucapkan, ‘Sami ‘allohu liman hamidah.’ Lalu beliau mengangkat kedua tangan setinggi bahu seraya mengucapkan takbir, bersujud di atas bumi dalam keadaan kedua tangan berjarak dari pinggangnya, kemudian beliau bangkit dari sujud seraya menundukkan (baca: melipat) kaki kiri dan duduk di atasnya, beliau buka jari-jari kakinya saat sujud, lalu beliau melakukan sujud kedua dengan cara yang sama, dan setelah sujud kedua beliau mengucapkan takbir dan menundukkan (baca: melipat) kaki kiri serta duduk di atasnya sehingga seluruh anggota tubuhnya sampai pada tingkat kesimbangan. Rakaat kedua shalat juga beliau lakukan dengan cara yang sama dengan rakaat pertama, dan setelah dua rakaat beliau mengucapkan takbir dalam keadaan berdiri seraya mengangkat kedua tangan setinggi bahu seperti takbir pembukaan shalat, beliau melanjutkan shalatnya demikian sampai sujud yang terakhir. Setelah itu, beliau mengucapkan salam seraya meletakkan kaki kirinya di belakang dalam keadaan warik[3]; yakni, duduk di atas kaki kiri, sementara bagian atas kaki kanan tepat berada di atas telapak kaki kiri.’

Semua ulama telah menyatakan bahwa Abu Hamid berkata yang sebenarnya, dan demikianlah Rasulullah Saw melakukan shalat.[4]

Itulah hadis dari jalur Ahli Sunnah yang menjelaskan cara Nabi Muhammad Saw shalat, dan kita telah memperhatikan maknanya. Adapun hadis dari jalur Syi’ah Imamiyah mengenai cara shalat adalah:

Hadis Hammad bin Isa

Hammad bin Isa meriwayatkan dari Imam Ja’far Shadiq as bahwa beliau bersabda, ‘Betapa tidak seyogianya seorang yang telah berumur 60 atau 70 tahun tapi tidak pernah melakukan shalat dengan syarat yang sempurna.’ Hammad melanjutkan riwayatnya, ‘Dalam hati aku merasa hina -setelah mendengar sabda Imam as-, maka aku katakan kepada beliau, ‘Semoga diriku menjadi tebusan untukmu! Ajarkanlah kepadaku shalat yang memenuhi seluruh syarat.’

Maka Abu Abdillah Imam Ja’far bin Muhammad Shadiq as menghadap ke arah kiblat dengan tubuh berdiri tegak seraya meletakkan kedua tangan di atas pahak dengan jari-jari yang rapat, beliau dekatkan kedua kaki sehingga berjarak sekitar ­tiga jari yang terbuka, seluruh jari-jari beliau menuju ke arah kiblat dan tidak pernah beliau palingkan darinya, dengan kekhusyukan yang sempuma lalu beliau mengucapkan takbir dan membaca surat Al-Hamd (Al-Fatihah) serta surat Al­ Ikhlash secara tartil. Kemudian, beliau berhenti sejenak dalam keadaan berdiri sekiranya cukup untuk sekali tarikan nafas, lalu beliau mengucapkan takbir tetap dalam keadan berdiri, setelah itu beliau ruku’ seraya meletakkan dua telapak tangan di atas tempurung kedua lutut dengan jari-jari terbuka, beliau dorong kedua lutut ke belakang sampai punggung beliau menjadi lurus, sehingga kalau saja setetes air atau minyak dituangkan ke atas punggung beliau niscaya tetesan itu tidak akan cenderung ke arah mana pun, dan itu disebabkan oleh lurusnya punggu beliau. Di dalam ruku’nya, beliau meluruskan leher dan menutup kedua matanya seraya tiga kali mengucapkan tasbih (Subhana Robbiyal ‘Adzimi wa bihamdih), kemudian beliau kembali berdiri tegak dan begitu telah berdiri tegak maka beliau mengucapkan, ‘Sami’allohu liman hamidah’. Setelah itu, tetap dalam keadaan berdiri beliau mengucapkan takbir sambil mengangkat kedua tangan sampai di hadapan muka, lalu beliau sujud seraya meletakkan kedua tangannya terlebih lulu di atas tanah sebelum kedua lutut, dan dalam sujud beliau tiga kali mengucapkan, ‘Subhana Robiyal A’la wa bihamdih.’ Di dalam sujudnya, beliau sama sekali tidak meletakkan salah satu anggota tubuhnya di atas anggota tubuh yang lain, beliau sujud dengan dela pan anggota tubuh untuk sujud: dahi, dua telapak tangan, dua tempurung lutut, dua ibu jari kaki, dan hidung (wajib hukumnya meletakkan tujuh anggota tubuh untuk sujud di atas tanah, adapun meletakkan hidung di atas tanah hukumnya adalah sunnah). Setelah itu, beliau mengangkat kepala dari sujud dan ketika sudah duduk tegak beliau mengucapkan takbir. Beliau melipat betis kaki kiri dan duduk di atasnya, ketika itu beliau meletakkan punggung (bagian atas) kaki kanan di atas telapak kaki kiri, dan beliau mengucapkan, ‘Astaghfirulloha Robbi wa atubu ilaih.’ Tetap dalam keadaan duduk beliau lalu mengucapkan takbir dan setelah itu beliau melakukan sujud yang kedua seperti sujud yang pertama, beliau mengucapkan zikir tasbih sebagaimana zikir tasbih yang beliau ucapkan pada sujud yang pertama, beliau tidak menggunakan salah satu anggota tubuhnya sebagai bantuan untuk anggota tubuh yang lain dalam menunaikan ruku’ dan sujud, dalam keadaan sujud beliau memisahkan kedua tangan dari badan seperti sayap, beliau tidak meletakkan hasta tangan di atas tanah. Dan demikianlah beliau menunaikan dua rakaat shalat.

Setelah itu beliau bersabda, ‘Hai Hammad, seperti inilah hendaknya kamu shalat, di waktu shalat jangan mempedulikan apa-apa -selain Allah Swt-, jangan memainkan tangan atau jari­jari, jangan meludah ke kanan, kiri, atau hadapanmu.’[5]

Sebagaimana tercantum di atas, kedua hadis itu dalam rangka menjelaskan cara shalat yang wajib, dan sedikit pun di dalamnya tidak terdapat singgungan mengenai sendekap tangan. Kalau saja sendekap tangan itu hukumnya sunnah dalam shalat, niscaya Imam Ja’far Shadiq as tidak mungkin meninggalkannya ketika menjelaskan cara shalat, padahal dengan praktik yang beliau lakukan beliau hendak menampilkan kepada kita cara Rasulullah Saw shalat, hal itu karena beliau mengetahui cara itu dari ayahnya Imam Muhammad Baqir as, dan Imam Baqir as juga dari ayah-ayahnya yang merupakan para imam, mereka pun dari Amirul Mukminin Ali as, dan beliau sendiri dari Rasulullah Saw. Karena itu, sendekap tangan pada waktu shalat adalah bid’ah, karena hal itu sama dengan memasukkan sesuatu yang bukan tergolong syariat ke dalam syariat.

Pelajaran Shalat Bagi Orang yang Salah Shalat

Di kalangan ulama hadis Ahli Sunnah terdapat sebuah hadis yang dikenal dengan judul hadis orang yang salah shalat (shalat secara tidak benar atau tidak sah). Di dalam hadis ini disebutkan bahwa Abu Hurairah meriwayatkan, ‘Rasulullah Saw masuk ke dalam masjid, dan pada waktu itu ada seorang lelaki yang juga masuk ke dalam masjid seraya melakukan shalat. Kemudian dia datang menghampiri Rasulullah Saw dan mengucapkan salam kepada beliau. Rasulullah Saw membalas salamnya dan bersabda, ‘Ulangilah dan shalat lagi.’ Dia pun melakukan shalat lagi, dan setelah itu dia kembali mendatangi Rasulullah Saw, beliau bersabda kepadanya, ‘Ulangi dan shalatlah lagi.’ Hal ini terulang sampai tiga kali sehingga orang itu berkata kepada beliau, ‘Sumpah demi Allah yang mengutusmu secara benar, saya tidak tahu lebih dari yang telah saya lakukan, alangkah baiknya jika engkau mengajarkan shalat kepadaku.’

Ketika itu, beliau bersabda, ‘Kala kamu telah berdiri untuk shalat maka ucapkanlah takbir, lalu bacalah ayat Al-Qur’an yang kamu bisa, kemudian ruku’lah sekiranya tubuhmu tenang… ‘ beliau mengajarkan bagian dan syarat shalat yang lain kepadanya,[6]  tapi tidak ada sedikit pun singgungan mengenai sendekap tangan atau letak tangan kanan di atas tangan kiri. Padahal, seandainya memang benar sendekap tangan ini wajib atau sunnah muakkad (yang ditekankan) pada waktu shalat, niscaya beliau tidak akan mengabaikannya.

Pandangan Para Imam Ahli Bait as

Dari keterangan di atas, kita sama-sama telah menyadari bahwa tidak ada dalil yang membuktikan kesunnahan sendekap tangan pada waktu shalat, itulah pula sebabnya kita menyaksikan para imam Ahli Bait as menghindari perbuatan sendekap tangan pada waktu shalat, dan mereka menyebutnya sebagai tradisi kaum Majusi di hadapan raja mereka.

Muhammad bin Muslim meriwayatkan dari Imam Ja’far Shadiq as atau Imam Muhammad Baqir as seraya berkata, ‘Aku tanyakan kepada beliau, apa hukumnya orang yang meletakkan salah satu tangannya di atas tangan yang lain pada waktu shalat (bersendekap tangan)?’ beliau menjawab, ‘Perbuatan ini merup­akan sikap hormat di hadapan para raja, dan tidak seyogianya dilakukan pada waktu shalat.’

Zurarah meriwayatkan dari Imam Muhammad Baqir as bahwa beliau bersabda, ‘Hendaknya kalian memperhatikan shalat, janganlah melakukan takfir (sendekap tangan atau meletakkan salah satu tangan di atas tangan yang lain), karena kaum Majusi melakukan perbuatan ini.

Dalam sebuah sanadnya, Syaikh Shaduq meriwayatkan dari Amirul Mukminin Ali as bahwa beliau bersabda, ‘Orang muslim tidak mempertemukan kedua tangannya pada waktu shalat (tidak bersendekap tangan), ketika dia berdiri di hadapan Allah Swt dia tidak akan menyerupakan dirinya dengan orang kafir (yakni orang majusi) yang bersendekap tangan di hadapan raja.’[7]

Di sini, perlu juga kami menyinggung perkataan Dr. Ali Salus setelah dia menukil berbagai pendapat dan fatwa dari fukaha Syi’ah dan Ahli Sunnah mengenai sendekap tangan, dia menggugat pihak yang mengharamkan sendekap tangan (atau letak salah satu tangan di atas tangan yang lain) pada waktu shalat seraya mengatakan, ‘Orang-orang yang mengharamkan sendekap tangan sekaligus menyebutnya sebagai faktor batalnya shalat, atau orang yang hanya mengharamkan perbuatan itu tanpa menyebutnya sebagai faktor pembatal shalat, adalah orang yang membuat perselisihan dan perpecahan di antara Muslimin atas dasar fanatisme mazhab.’[8]

Wajar sekali untuk ditanyakan kepada Dr. Ali Salus, ‘Apa salah Syi’ah bila setelah penelitian yang luas dan mendalam terhadap Al-Qur’an dan Sunnah kemudian mereka sampai kepada hasil bahwa sendekap tangan pada waktu shalat merupakan tradisi yang muncul setelah kepergian Rasulullah Saw, dan pada periode khulafa masyarakat muslim diperint­ahkan untuk melakukan hal itu?

Seandainya tuduhan semacam itu (fanatik dan biang perpecahan) dibenarkan terhadap Syi’ah, sudikah dia dan orang-­orang seperti dia menuduhkan hal yang sama kepada Imam Malik? Karena menurut Imam Malik, secara mutlak atau hanya pada waktu shalat wajib makruh hukumnya seseorang untuk bersendekap tangan. Dengan demikian, sudikah Dr. Ali Salus dan orang-orang seperti dia menyebut imam di Darul Hijrah ini (Imam Malik) sebagai seorang fanatik mazhab dan biang perpecahan?

Sebaliknya, apa bukti dia (Dr. Ali Salus) dan orang-orang seperti dia menganggap perbuatan sendekap tangan pada waktu shalat bukan sebagai tanda fanatisme mazhab dan kecenderungan terhadap perselisihan di tengah kaum Muslimin?

Silahkan Anda sendiri yang menghakiminya.

[1] Muhammad Jawad Mughniyah, Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Khomsah, hal. 11 O; Dr. Abdulhamid, Risalatun Mukhtashoroh Al-Sasdl, hal. 5.
[2] Muhammad Hasan Najafi, Jawahir Al-Kalam.jld. 11, hal. 15-16.
[3] Tawarroka berarti seseorang sedang duduk di atas kaki kirinya, sementara punggung (bagian atas) kaki kanannya tepat berada di atas telapak kaki kirinya.
[4] Sunan Al-Baihaqi, jld. 2, hal. 72, 73, 101, 102; Sunan Abi Dawud, jld. 1, hal. 194, bab pembukaan shalat, hadis no. 730-736; Sunan Al-Tirmidzi, jld. 2, hal. 98, bah ciri-ciri shalat.
[5] Syaikh Hur Amili, Wasa’il Al-Syi’ah, jld. 4, bab I dari bab-bab tentang amalan-amalan shalat, hadis no. 1, bab 17, hadis no. 1 clan 2.
[6] Shohih Al-Bukhori, jld. 1, hal. 189, no. 793; Shohih Muslim, jld. 2, hal. 11.
[7] Syaik.h Hur Amili, Wasa’il Al-Syi’ah, jld. 4, bab 15 dari bab-bab tentang faktor pembatal shalat, hadis no. 1, 2 dan 7.
[8] Fiqh Al-Syi’ah Al-Imamiyah wa Mawadhi’u Al-Khilaf Bainahu wa Baina Al-Madzahib Al-Arba’ah, hal. 183.

Kamis, 19 Maret 2015

Rak Buku Sastra Puisi




Sajak-sajak yang termaktub dalam buku antologi puisi karya penyair Sulaiman Djaya ini menyuguhkan 69 sajak yang menampilkan dan menyuarakan ragam tema. Tampak juga sajak-sajak yang termuat dalam Mazmur Musim Sunyi ini tampil dalam aneka gaya dan bentuk puitika: mulai dari kwatrin hingga puisi prosaik, dari bentuk ode hingga balada, dan tak lupa juga sajak-sajak yang berbentuk atau bergaya meditatif kedalam, hening, dan berusaha menyelami realitas yang ingin “direnungi” dan ingin “dibaginya” dengan para pembaca, semisal sajak-sajak yang bernada sufistik dan sajak-sajak permenungan personal penyairnya.

Dan tak lupa juga, buku Mazmur Musim Sunyi ini pun memuat sejumlah sajak cinta romantis dan sajak cinta renyah yang terkesan rileks dan bercanda, selain tentu saja ada juga sajak-sajak yang bercerita tentang kenangan penyairnya, seperti sajak-sajak yang bertema dan berjudul tentang "Ibu". Untuk yang berminat membeli, bisa pesan ke: 0815-4614-7625. Harga Rp. 50.000 (Sudah termasuk ongkos kirim). 

Pendapat Para Penulis tentang Buku Mazmur Musim Sunyi

Keberhasilan Sulaiman Djaya adalah memainkan personifikasi dan hiperbola dalam setiap puisi-puisinya. Material dihidupkan oleh teknik seorang penyair, bukan alami. Ini salah satu gaya yang dimiliki oleh SD (Heri Maja Kelana, penulis dan pecinta sepeda).

Puisi-puisi penyair Sulaiman Djaya yang terkumpul dalam buku Mazmur Musim Sunyi ini menyiratkan keseimbangan kecerdasan pikiran dan tangan sebagai “sekembar” aktus intelegensia itu sendiri. Bagi penulis, gagasan itu di dalam tangan yang sekaligus bekerja kompak dengan intuisi dan pikirannya. Terlihat juga dalam beberapa sajaknya yang prosaik, selain sajak-sajaknya yang tertib laiknya puitika kwatrin itu, menampilkan diri dengan lincah sekaligus rileks (M. Taufan, penyair tinggal di Bekasi).

Di dalam bis, di Smoking Area saya buka buku Mazmur Musim Sunyi. Saya menemukan puisi berjudul "Monolog". Ada bagian menarik di puisi itu, seperti berikut: Saya tahu seorang penyair harus belajar menulis puisi yang kata pertamanya bukan aku. Saya merenungi kalimat tersebut. Seorang penyair harus belajar menulis puisi yang kata pertamanya bukan aku. "Aku" ini, aku sebagai kediriankah? Jika memang demikian, saya setuju. Penyair harus bisa menulis puisi yang tidak hanya berkutat dengan kediriannya, sebab ada banyak hal di luar diri yang juga penting dan esensial untuk dituliskan (Lutfi Mardiansyah, penyair tinggal di Sukabumi).

Simbol-simbol waktu yang ditanam Sulaiman Djaya dalam puisi-puisinya mengingatkan pada sumpah Tuhan atas nama makhluknya, yakni “Demi Waktu”. Keberadaan waktu dalam kehidupan memang misterius. Ia seperti sangat jauh padahal begitu dekat. Seperti sangat renggang padahal begitu rapat dengan tubuh dan ruh manusia (M. Rois Rinaldi, penulis tinggal di Cilegon).

Akan banyak sekali yang ditemukan dari puisi-puisi yang terhimpun dalam Mazmur Musim Sunyi Sulaiman Djaya ini, yang secara tanpa sadar menggunakan citraan warna-warna untuk menandakan benda-benda. Sebut saja “putih beludru” dalam puisi “Memoar”, “November yang agak ungu” untuk latar waktu pada puisi “Surat Cinta”, “mendengar putih bintang-bintang”, “tahun-tahun adalah kibasan perak warna kelabu yang jadi biru”, “hijau musim di wajahmu yang matang”, “senja tampak marun”, “langit kuning bulan Mei”, “akhirnya datanglah Desember putih”, dan masih banyak lagi yang lainnya yang kemudian dapat disandingkan dengan penanda waktu (Mugya Syahreza Santosa, penyair tinggal di Bandung).