Sajak-sajak yang termaktub
dalam buku antologi puisi karya penyair Sulaiman Djaya ini menyuguhkan 69 sajak
yang menampilkan dan menyuarakan ragam tema. Tampak juga sajak-sajak yang
termuat dalam Mazmur Musim Sunyi ini tampil dalam aneka gaya dan bentuk puitika:
mulai dari kwatrin hingga puisi prosaik, dari bentuk ode hingga balada, dan tak
lupa juga sajak-sajak yang berbentuk atau bergaya meditatif kedalam, hening,
dan berusaha menyelami realitas yang ingin “direnungi” dan ingin “dibaginya”
dengan para pembaca, semisal sajak-sajak yang bernada sufistik dan sajak-sajak
permenungan personal penyairnya.
Dan tak lupa juga, buku
Mazmur Musim Sunyi ini pun memuat sejumlah sajak cinta romantis dan sajak cinta
renyah yang terkesan rileks dan bercanda, selain tentu saja ada juga
sajak-sajak yang bercerita tentang kenangan penyairnya, seperti sajak-sajak
yang bertema dan berjudul tentang "Ibu". Untuk yang berminat membeli,
bisa pesan ke: 0815-4614-7625. Harga Rp. 50.000 (Sudah termasuk
ongkos kirim).
Pendapat Para Penulis tentang Buku Mazmur Musim Sunyi
Keberhasilan Sulaiman
Djaya adalah memainkan personifikasi dan hiperbola dalam setiap puisi-puisinya.
Material dihidupkan oleh teknik seorang penyair, bukan alami. Ini salah satu
gaya yang dimiliki oleh SD (Heri Maja Kelana, penulis dan
pecinta sepeda).
Puisi-puisi penyair
Sulaiman Djaya yang terkumpul dalam buku Mazmur Musim Sunyi ini menyiratkan
keseimbangan kecerdasan pikiran dan tangan sebagai “sekembar” aktus
intelegensia itu sendiri. Bagi penulis, gagasan itu di dalam tangan yang
sekaligus bekerja kompak dengan intuisi dan pikirannya. Terlihat juga dalam
beberapa sajaknya yang prosaik, selain sajak-sajaknya yang tertib laiknya puitika
kwatrin itu, menampilkan diri dengan lincah sekaligus rileks (M.
Taufan, penyair tinggal di Bekasi).
Di dalam bis, di Smoking
Area saya buka buku Mazmur Musim Sunyi. Saya menemukan puisi berjudul
"Monolog". Ada bagian menarik di puisi itu, seperti berikut: Saya
tahu seorang penyair harus belajar menulis puisi yang kata pertamanya
bukan aku. Saya merenungi kalimat tersebut. Seorang penyair harus
belajar menulis puisi yang kata pertamanya bukan aku. "Aku" ini,
aku sebagai kediriankah? Jika memang demikian, saya setuju. Penyair harus bisa
menulis puisi yang tidak hanya berkutat dengan kediriannya, sebab ada banyak
hal di luar diri yang juga penting dan esensial untuk dituliskan (Lutfi
Mardiansyah, penyair tinggal di Sukabumi).
Simbol-simbol waktu yang
ditanam Sulaiman Djaya dalam puisi-puisinya mengingatkan pada sumpah Tuhan atas
nama makhluknya, yakni “Demi Waktu”. Keberadaan waktu dalam kehidupan memang
misterius. Ia seperti sangat jauh padahal begitu dekat. Seperti sangat renggang
padahal begitu rapat dengan tubuh dan ruh manusia (M. Rois Rinaldi, penulis tinggal di Cilegon).
Akan banyak sekali yang
ditemukan dari puisi-puisi yang terhimpun dalam Mazmur Musim Sunyi Sulaiman
Djaya ini, yang secara tanpa sadar menggunakan citraan warna-warna untuk
menandakan benda-benda. Sebut saja “putih beludru” dalam puisi “Memoar”,
“November yang agak ungu” untuk latar waktu pada puisi “Surat Cinta”,
“mendengar putih bintang-bintang”, “tahun-tahun adalah kibasan perak warna
kelabu yang jadi biru”, “hijau musim di wajahmu yang matang”, “senja tampak
marun”, “langit kuning bulan Mei”, “akhirnya datanglah Desember putih”, dan
masih banyak lagi yang lainnya yang kemudian dapat disandingkan dengan penanda
waktu (Mugya Syahreza Santosa, penyair tinggal di Bandung).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar