Oleh Ayatullah Jafar Subhani
Kenapa orang-orang Syi’ah
shalat dengan tangan lurus (tidak bersendekap)?
Sedekap tangan kiri dengan
tangan kanan di waktu shalat adalah sunnah (tidak wajib) menurut tiga dari
empat mazhab Ahli Sunnah.
Ulama Mazhab Hanafi
mengatakan, ‘Sunnah hukumnya dan tidak wajib sendekap tangan pada waktu shalat,
dan sebaiknya bagi orang laki untuk mendekap punggung tangan kiri dengan
telapak tangan kanannya persis di bawah pusar, adapun orang perempuan sebaiknya
meletakkan kedua tangan sendekap itu di atas dada.’
Ulama Mazhab Syafi’i
mengatakan, ‘Baik untuk laki maupun perempuan, hukum sendekap tangan pada waktu
shalat adalah sunnah (yakni, dianjurkan tapi tidak wajib), dan sebaiknya
telapak tangan kanan diletakkan di atas punggung tangan kiri persis di bawah
dada dan di atas pusar serta sedikit serong ke arah kiri.’
Ulama Mazhab Hanbali
mengatakan, ‘Sendekap tangan hukumnya sunnah (tidak wajib), dan sebaiknya
telapak tangan kanan diletakkan di atas punggung tangan kiri persis di bawah
pusar.’
Adapun Mazhab Maliki
berbeda pendapat dengan mereka, ulama Mazhab Maliki mengatakan, ‘Sunnah
hukumnya bagi orang yang melakukan shalat wajib untuk membiarkan tangannya
terurai atau lurus.’ Sebelum mereka pun ada sebagian fukaha yang berpendapat
demikian; antara lain, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Musayib, Sa’id bin
Jubair, Atha’, lbnu Juraih, Nakha’i, Hasan Bashri, lbnu Sirin, dan sebagainya.
Diriwayatkan pula dari
Imam Auza’i bahwa seorang pelaku shalat bebas memilih antara sendekap tangan
atau melepaskan tangannya begitu saja pada waktu shalat.[1]
Tapi menurut Mazhab Syi’ah
Imamiyah, haram hukumnya orang yang sedang shalat untuk sendekap atau
meletakkan salah satu tangannya di atas tangan yang lain, dan hal itu menurut
mereka membatalkan shalat. Langka sekali di antara fukaha Syi’ah Imamiyah yang
menyatakan hukum makruh untuk perbuatan itu, seperti Abu Shalah Halabi di dalam
kitabnya AlKafi, mayoritas mereka menghukuminya sebagai haram.[2]
Cara Nabi Saw Shalat
Meskipun tiga mazhab Ahli
Sunnah di atas (Hanafi, Syafi’i dan Hanbali) membolehkan sendekap tangan pada
waktu shalat dan panjang-lebar mereka membahas hal ini, akan tetapi pada
kenyataannya mereka tidak mempunyai bukti yang memuaskan untuk membolehkan
sendekap tangan pada waktu shalat, apalagi bukti tentang kesunnahannya. Lebih
dari itu, sewajamya dikatakan bahwa ada berbagai dalil yang membuktikan sebalik
pendapat mereka; hadis-hadis dari dua belah pihak (Ahli Sunnah dan Syi’ah) yang
menjelaskan tata cara shalat Nabi Muhammad Saw sama sekali tidak menyebutkan sendekap
tangan atau letak satu tangan di atas tangan yang lain, dan tidak mungkin
beliau meninggalkan satu hal yang sunnah sepanjang hidup beliau atau dalam
tempo yang lama dalam hidupnya. Berikut ini kami akan membawakan contoh dari
hadis-hadis tersebut, hadis dari jalur Ahli Sunnah dan hadis dari jalur Syi’ah
Imamiyah, dan semua hadis itu menjelaskan cara Nabi Saw shalat tapi sedikit pun
tidak menyinggung masalah sendekap tangan, apalagi perincian tata cara sendekap
tangan.
Hadis Abu Humaid Sa’idi
Hadis ini telah
diriwayatkan oleh para muhadis Ahli Sunnah, dan pada kesempatan ini kami
menukilnya dari kitab Sunan Baihaqi, dia mengatakan, ‘Dia (Abu Humaid)
menghadap ke arah para sahabat Nabi seraya berkata, ‘Akulah orang yang paling
tahu di antara kalian tentang shalat Rasulullah Saw.’ mereka menanggapinya
dengan pertanyaan, ‘Apa alasanmu? Padahal kamu tidak lebih dulu daripada kami
menjadi sahabat beliau, tidak pula kamu lebih sering menyertai beliau.’ dia
membantah, ‘Tidak seperti yang kalian katakan.’ Mereka pun melanjutkan, ‘Kalau
begitu, jelaskanlah kepada kami cara Nabi shalat.’ Abu Hamid pun menjelaskan:
Rasulullah Saw setiap kali
ingin berdiri hendak menunaikan shalat beliau mengangkat kedua tangan setinggi
bahu lalu mengucapkan takbir, ketika seluruh anggota tubuhnya telah seimbang
beliau memulai bacaan, setelah itu beliau bertakbir seraya mengangkat kedua
tangan setinggi bahu, kemudian beliau ruku’ dan meletakkan kedua telapak tangan
di atas kedua lutut sekiranya berada pada posisi yang seimbang; tidak
mengangkat kepala tinggi-tinggi dan tidak pula menundukkannya ke bawah. Setelah
itu, beliau bangun dari ruku’ seraya berdiri dan mengucapkan, ‘Sami ‘allohu
liman hamidah.’ Lalu beliau mengangkat kedua tangan setinggi bahu seraya
mengucapkan takbir, bersujud di atas bumi dalam keadaan kedua tangan berjarak
dari pinggangnya, kemudian beliau bangkit dari sujud seraya menundukkan (baca:
melipat) kaki kiri dan duduk di atasnya, beliau buka jari-jari kakinya saat
sujud, lalu beliau melakukan sujud kedua dengan cara yang sama, dan setelah
sujud kedua beliau mengucapkan takbir dan menundukkan (baca: melipat) kaki kiri
serta duduk di atasnya sehingga seluruh anggota tubuhnya sampai pada tingkat
kesimbangan. Rakaat kedua shalat juga beliau lakukan dengan cara yang sama
dengan rakaat pertama, dan setelah dua rakaat beliau mengucapkan takbir dalam
keadaan berdiri seraya mengangkat kedua tangan setinggi bahu seperti takbir
pembukaan shalat, beliau melanjutkan shalatnya demikian sampai sujud yang
terakhir. Setelah itu, beliau mengucapkan salam seraya meletakkan kaki kirinya
di belakang dalam keadaan warik[3];
yakni, duduk di atas kaki kiri, sementara bagian atas kaki kanan tepat berada
di atas telapak kaki kiri.’
Semua ulama telah
menyatakan bahwa Abu Hamid berkata yang sebenarnya, dan demikianlah Rasulullah
Saw melakukan shalat.[4]
Itulah hadis dari jalur
Ahli Sunnah yang menjelaskan cara Nabi Muhammad Saw shalat, dan kita telah
memperhatikan maknanya. Adapun hadis dari jalur Syi’ah Imamiyah mengenai cara
shalat adalah:
Hadis Hammad bin Isa
Hammad bin Isa meriwayatkan
dari Imam Ja’far Shadiq as bahwa beliau bersabda, ‘Betapa tidak seyogianya
seorang yang telah berumur 60 atau 70 tahun tapi tidak pernah melakukan shalat
dengan syarat yang sempurna.’ Hammad melanjutkan riwayatnya, ‘Dalam hati aku
merasa hina -setelah mendengar sabda Imam as-, maka aku katakan kepada beliau,
‘Semoga diriku menjadi tebusan untukmu! Ajarkanlah kepadaku shalat yang
memenuhi seluruh syarat.’
Maka Abu Abdillah Imam
Ja’far bin Muhammad Shadiq as menghadap ke arah kiblat dengan tubuh berdiri tegak
seraya meletakkan kedua tangan di atas pahak dengan jari-jari yang rapat,
beliau dekatkan kedua kaki sehingga berjarak sekitar tiga jari yang terbuka,
seluruh jari-jari beliau menuju ke arah kiblat dan tidak pernah beliau
palingkan darinya, dengan kekhusyukan yang sempuma lalu beliau mengucapkan
takbir dan membaca surat Al-Hamd (Al-Fatihah) serta surat Al Ikhlash secara
tartil. Kemudian, beliau berhenti sejenak dalam keadaan berdiri sekiranya cukup
untuk sekali tarikan nafas, lalu beliau mengucapkan takbir tetap dalam keadan
berdiri, setelah itu beliau ruku’ seraya meletakkan dua telapak tangan di atas
tempurung kedua lutut dengan jari-jari terbuka, beliau dorong kedua lutut ke
belakang sampai punggung beliau menjadi lurus, sehingga kalau saja setetes air
atau minyak dituangkan ke atas punggung beliau niscaya tetesan itu tidak akan
cenderung ke arah mana pun, dan itu disebabkan oleh lurusnya punggu beliau. Di
dalam ruku’nya, beliau meluruskan leher dan menutup kedua matanya seraya tiga
kali mengucapkan tasbih (Subhana Robbiyal ‘Adzimi wa bihamdih), kemudian beliau
kembali berdiri tegak dan begitu telah berdiri tegak maka beliau mengucapkan,
‘Sami’allohu liman hamidah’. Setelah itu, tetap dalam keadaan berdiri beliau
mengucapkan takbir sambil mengangkat kedua tangan sampai di hadapan muka, lalu
beliau sujud seraya meletakkan kedua tangannya terlebih lulu di atas tanah
sebelum kedua lutut, dan dalam sujud beliau tiga kali mengucapkan, ‘Subhana
Robiyal A’la wa bihamdih.’ Di dalam sujudnya, beliau sama sekali tidak
meletakkan salah satu anggota tubuhnya di atas anggota tubuh yang lain, beliau
sujud dengan dela pan anggota tubuh untuk sujud: dahi, dua telapak tangan, dua
tempurung lutut, dua ibu jari kaki, dan hidung (wajib hukumnya meletakkan tujuh
anggota tubuh untuk sujud di atas tanah, adapun meletakkan hidung di atas tanah
hukumnya adalah sunnah). Setelah itu, beliau mengangkat kepala dari sujud dan
ketika sudah duduk tegak beliau mengucapkan takbir. Beliau melipat betis kaki
kiri dan duduk di atasnya, ketika itu beliau meletakkan punggung (bagian atas)
kaki kanan di atas telapak kaki kiri, dan beliau mengucapkan, ‘Astaghfirulloha
Robbi wa atubu ilaih.’ Tetap dalam keadaan duduk beliau lalu mengucapkan takbir
dan setelah itu beliau melakukan sujud yang kedua seperti sujud yang pertama,
beliau mengucapkan zikir tasbih sebagaimana zikir tasbih yang beliau ucapkan
pada sujud yang pertama, beliau tidak menggunakan salah satu anggota tubuhnya
sebagai bantuan untuk anggota tubuh yang lain dalam menunaikan ruku’ dan sujud,
dalam keadaan sujud beliau memisahkan kedua tangan dari badan seperti sayap,
beliau tidak meletakkan hasta tangan di atas tanah. Dan demikianlah beliau
menunaikan dua rakaat shalat.
Setelah itu beliau
bersabda, ‘Hai Hammad, seperti inilah hendaknya kamu shalat, di waktu shalat
jangan mempedulikan apa-apa -selain Allah Swt-, jangan memainkan tangan atau
jarijari, jangan meludah ke kanan, kiri, atau hadapanmu.’[5]
Sebagaimana tercantum di
atas, kedua hadis itu dalam rangka menjelaskan cara shalat yang wajib, dan
sedikit pun di dalamnya tidak terdapat singgungan mengenai sendekap tangan.
Kalau saja sendekap tangan itu hukumnya sunnah dalam shalat, niscaya Imam
Ja’far Shadiq as tidak mungkin meninggalkannya ketika menjelaskan cara shalat,
padahal dengan praktik yang beliau lakukan beliau hendak menampilkan kepada
kita cara Rasulullah Saw shalat, hal itu karena beliau mengetahui cara itu dari
ayahnya Imam Muhammad Baqir as, dan Imam Baqir as juga dari ayah-ayahnya yang
merupakan para imam, mereka pun dari Amirul Mukminin Ali as, dan beliau sendiri
dari Rasulullah Saw. Karena itu, sendekap tangan pada waktu shalat adalah
bid’ah, karena hal itu sama dengan memasukkan sesuatu yang bukan tergolong
syariat ke dalam syariat.
Pelajaran Shalat Bagi Orang yang Salah Shalat
Di kalangan ulama hadis
Ahli Sunnah terdapat sebuah hadis yang dikenal dengan judul hadis orang yang
salah shalat (shalat secara tidak benar atau tidak sah). Di dalam hadis ini
disebutkan bahwa Abu Hurairah meriwayatkan, ‘Rasulullah Saw masuk ke dalam
masjid, dan pada waktu itu ada seorang lelaki yang juga masuk ke dalam masjid
seraya melakukan shalat. Kemudian dia datang menghampiri Rasulullah Saw dan
mengucapkan salam kepada beliau. Rasulullah Saw membalas salamnya dan bersabda,
‘Ulangilah dan shalat lagi.’ Dia pun melakukan shalat lagi, dan setelah itu dia
kembali mendatangi Rasulullah Saw, beliau bersabda kepadanya, ‘Ulangi dan
shalatlah lagi.’ Hal ini terulang sampai tiga kali sehingga orang itu berkata
kepada beliau, ‘Sumpah demi Allah yang mengutusmu secara benar, saya tidak tahu
lebih dari yang telah saya lakukan, alangkah baiknya jika engkau mengajarkan
shalat kepadaku.’
Ketika itu, beliau
bersabda, ‘Kala kamu telah berdiri untuk shalat maka ucapkanlah takbir, lalu
bacalah ayat Al-Qur’an yang kamu bisa, kemudian ruku’lah sekiranya tubuhmu
tenang… ‘ beliau mengajarkan bagian dan syarat shalat yang lain kepadanya,[6]
tapi tidak ada sedikit pun singgungan mengenai sendekap tangan atau letak
tangan kanan di atas tangan kiri. Padahal, seandainya memang benar sendekap
tangan ini wajib atau sunnah muakkad (yang ditekankan) pada waktu shalat,
niscaya beliau tidak akan mengabaikannya.
Pandangan Para Imam Ahli Bait as
Dari keterangan di atas,
kita sama-sama telah menyadari bahwa tidak ada dalil yang membuktikan
kesunnahan sendekap tangan pada waktu shalat, itulah pula sebabnya kita
menyaksikan para imam Ahli Bait as menghindari perbuatan sendekap tangan pada
waktu shalat, dan mereka menyebutnya sebagai tradisi kaum Majusi di hadapan
raja mereka.
Muhammad bin Muslim
meriwayatkan dari Imam Ja’far Shadiq as atau Imam Muhammad Baqir as seraya
berkata, ‘Aku tanyakan kepada beliau, apa hukumnya orang yang meletakkan salah
satu tangannya di atas tangan yang lain pada waktu shalat (bersendekap
tangan)?’ beliau menjawab, ‘Perbuatan ini merupakan sikap hormat di hadapan
para raja, dan tidak seyogianya dilakukan pada waktu shalat.’
Zurarah meriwayatkan dari
Imam Muhammad Baqir as bahwa beliau bersabda, ‘Hendaknya kalian memperhatikan
shalat, janganlah melakukan takfir (sendekap tangan atau meletakkan salah satu
tangan di atas tangan yang lain), karena kaum Majusi melakukan perbuatan ini.
Dalam sebuah sanadnya,
Syaikh Shaduq meriwayatkan dari Amirul Mukminin Ali as bahwa beliau bersabda,
‘Orang muslim tidak mempertemukan kedua tangannya pada waktu shalat (tidak bersendekap
tangan), ketika dia berdiri di hadapan Allah Swt dia tidak akan menyerupakan
dirinya dengan orang kafir (yakni orang majusi) yang bersendekap tangan di
hadapan raja.’[7]
Di sini, perlu juga kami
menyinggung perkataan Dr. Ali Salus setelah dia menukil berbagai pendapat dan
fatwa dari fukaha Syi’ah dan Ahli Sunnah mengenai sendekap tangan, dia
menggugat pihak yang mengharamkan sendekap tangan (atau letak salah satu tangan
di atas tangan yang lain) pada waktu shalat seraya mengatakan, ‘Orang-orang
yang mengharamkan sendekap tangan sekaligus menyebutnya sebagai faktor batalnya
shalat, atau orang yang hanya mengharamkan perbuatan itu tanpa menyebutnya
sebagai faktor pembatal shalat, adalah orang yang membuat perselisihan dan
perpecahan di antara Muslimin atas dasar fanatisme mazhab.’[8]
Wajar sekali untuk
ditanyakan kepada Dr. Ali Salus, ‘Apa salah Syi’ah bila setelah penelitian yang
luas dan mendalam terhadap Al-Qur’an dan Sunnah kemudian mereka sampai kepada
hasil bahwa sendekap tangan pada waktu shalat merupakan tradisi yang muncul setelah
kepergian Rasulullah Saw, dan pada periode khulafa masyarakat muslim diperintahkan
untuk melakukan hal itu?
Seandainya tuduhan semacam
itu (fanatik dan biang perpecahan) dibenarkan terhadap Syi’ah, sudikah dia dan
orang-orang seperti dia menuduhkan hal yang sama kepada Imam Malik? Karena
menurut Imam Malik, secara mutlak atau hanya pada waktu shalat wajib makruh
hukumnya seseorang untuk bersendekap tangan. Dengan demikian, sudikah Dr. Ali
Salus dan orang-orang seperti dia menyebut imam di Darul Hijrah ini (Imam
Malik) sebagai seorang fanatik mazhab dan biang perpecahan?
Sebaliknya, apa bukti dia
(Dr. Ali Salus) dan orang-orang seperti dia menganggap perbuatan sendekap
tangan pada waktu shalat bukan sebagai tanda fanatisme mazhab dan kecenderungan
terhadap perselisihan di tengah kaum Muslimin?
Silahkan Anda sendiri yang
menghakiminya.
[1] Muhammad Jawad Mughniyah, Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib
Al-Khomsah, hal. 11 O; Dr. Abdulhamid, Risalatun Mukhtashoroh Al-Sasdl, hal. 5.
[3] Tawarroka berarti seseorang sedang duduk di
atas kaki kirinya, sementara punggung (bagian atas) kaki kanannya tepat berada
di atas telapak kaki kirinya.
[4] Sunan Al-Baihaqi, jld. 2, hal. 72, 73, 101, 102;
Sunan Abi Dawud, jld. 1, hal. 194, bab pembukaan shalat, hadis no. 730-736;
Sunan Al-Tirmidzi, jld. 2, hal. 98, bah ciri-ciri shalat.
[5] Syaikh Hur Amili, Wasa’il Al-Syi’ah, jld. 4, bab I
dari bab-bab tentang amalan-amalan shalat, hadis no. 1, bab 17, hadis no. 1
clan 2.
[7] Syaik.h Hur Amili, Wasa’il Al-Syi’ah, jld. 4, bab 15
dari bab-bab tentang faktor pembatal shalat, hadis no. 1, 2 dan 7.
[8] Fiqh Al-Syi’ah Al-Imamiyah wa Mawadhi’u Al-Khilaf
Bainahu wa Baina Al-Madzahib Al-Arba’ah, hal. 183.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar