Sejak saat Muhammad Saw
meninggalkan Makkah menuju Madinah, setelah tiga belas tahun kepedihan besar
dan perjuangan yang panjang, beliau tahu bahwa masa penantian dan persembunyian
Islam telah berakhir. Dengan pertolongan para sahabatnya yang setia dan berani,
beliau harus membangun fondasi suatu bangunan organisasi Islam serta mendirikan
basis pemerintahan politiknya pada jalan yang dikehendaki Allah.
Pada masa ini, di timur
semenanjung itu, Raja Persia mempunyai suatu istana yang gemerlapan dan mahligai
yang mewah. Di tempat itu ribuan budak wanita dan ribuan pelayan telah ditunjuk
untuk melaksanakan tugas upacara perayaan. Hasil kerja rakyat yang sengsara
membanting tulang dikerahkan untuk membiayai sistem itu.
Di utara Afrika pun, Heraklitus sedang mengintip dengan rezimnya yang menakutkan serta empirium yang megah. Dapatlah dikatakan bahwa yang tampak dirinya pada kedua negara yang luas itu adalah istana-istana yang menjulang ke angkasa, yang eksklusif bagi para pemerintah itu; kesenian, kesusasteraan, peperangan, pengumpulan pajak, selera dan penemuan, semuanya dilakukan supaya upacara-upacara kerajaan dan imperium dapat berlangsung cemerlang dan penuh dengan gemerlap.
Tetapi, Muhammad Saw, pada
saat memasuki Madinah, langsung membangun sebuah masjid dan rumahnya yang
sederhana di samping masjid itu. Pintu rumah itu menghadap ke dalam masjid.
Sampai pada akhir hayatnya ketika pemerintahan Islam telah tegak dengan kukuh
di seluruh Arabia, beliau tidak pernah mengubah gaya hidupnya. Sebagai pemimpin
mutlak dalam negara pun, beliau makan sederhana. Beliau sering duduk bersama
fakir miskin di atas tanah, bergaul dengan mereka, sebagaimana seorang budak
yang terhina. Beliau biasa menunggangi keledai tanpa pelana, dan sangat sering
membopong orang lain di atas punggungnya.
Metode pemimpin seperti ini menunjukkan perbedaan antara pemerintahannya dengan pemerintahan kerajaan Persia dan Empirium Roma. Rakyat dapat melihat dengan mata kepala mereka sendiri bahwa suatu pemerintahan dan sistem baru telah lahir di antara kedua dasar aristokratis. Tidak ada perbedaan antara sistem baru ini memandang yang memerintah dan yang diperintah, perwira dan prajurit, majikan dan budak; semuanya berdiri dalam satu barisan pada persada Tuhan dan keadilan. Pendiri pemerintahan ini meninggal dunia, dan dengan melanggar hak-hak dan kedudukan politik Ali (yang mana imamah Ali dan hak kekhalifahannya berdasarkan wahyu al Qur’an yang turun saat Haji Wada’), baru pertama tembok kekhalifahan diletakkan dengan bengkok. Abu Bakar kemudian mengangkat Umar sebagai penggantinya, dan pukulan kedua pun menimpa pemerintahan Islam. Walaupun Umar dan Abu Bakar sendiri adalah penyebab dari penyimpangan ini, namun organisasi politik Islam ditegakkan pada dasar-dasar yang telah dibangun Nabi sendiri: kesederhanaan, persamaan, distribusi kekayaan yang adil, dan pencegahan sentralisasi.
Umar pun pergi dan diganti
oleh Utsman; orang tua yang mengambil alih kendali pemerintahan.
Ketidakstabilan yang telah terjadi pada dasar pemerintahan Islam, telah menjadi
demikian besarnya, sehingga bangunan Muhammad Saw serta merta diruntuhkan.
Dalam masa pemerintahan Utsman, kekhalifahan itu berubah menjadi kerajaan,
rumah-rumah lempung para pemimpin Islam berubah menjadi istana-istana,
kesederhanaan berubah menjadi upacara megah.
Abu Dzar, orang yang
keempat atau kelima masuk Islam dan yang pedangnya paling efektif dalam
kemajuan gerakan Islam, melihat penyimpangan ini. Ali, cermin ketakwaan dan
kebenaran, terkucil. Musuh-musuh Islam telah mendapatkan jalannya memasuki
organisasi kekhalifahan, dan, bagaikan anai-anai, menggerogoti Islam. Para
pencari kebenaran yang telah terbebas, seorang demi seorang, diusir keluar dan
dibungkam.
Ketika Abu Bakar
menyisihkan Ali dari gelanggang politik dan mengambil sendiri kedudukan
khalifah, Abu Dzar menjadi cemas. Masa depan Islam menjadi gelap dalam
pikirannya, dan tampak menakutkan; namun ia masih melihat, betapapun juga,
kafilah Islam masih bergerak maju pada jalan utamanya, dan sekalipun suatu hak
yang besar telah diabaikan, sistem Islam tidak cerai-berai. Walaupun ia menjadi
berang dan mendidih dengan kemarahan, ia mematrikan materai pembungkam pada
bibimya. Ketika pemerintahan Utsman mendominasi Islam, rakyat jelata, kaum pekerja
dan orang-orang yang tidak berdaya, tertindas di bawah langkah-langkah para
penyerobot, para pedagang budak, orang-orang kaya dan para aristokrat yang
masuk keluar istana Utsman dan Mu’awiyah. Perbedaan-perbedaan golongan dan
konsentrasi kekayaan, dihidupkan kembali; Islam terancam bahaya besar, berubah
dari sikap Nabi dan kesederhanaan serta kecermatan Abu Bakar dan Umar, yang
hidup sebagai rakyat kebanyakan, bahkan miskin dan papa.
Ribuan dinar diboroskan
untuk membangun sebuah Istana Hijau, seorang gubemur Islam (Mu’awiyah) dan
suatu rezim ditegakkan sebagai tahta kerajaan. Abu Bakar, untuk mendapatkan
nafkahnya, memerah susu kambing seorang wanita Yahudi; namun, sekarang, seuntai
kalung istri Utsman, khalifah Nabi bernilai sepertiga dari jumlah pajak Afrika!
Umar, hanya karena seekor kuda, membawa seorang pemuda yang menyalahgunakan
jabatan ayahnya ―seorang komandannya yang terkemuka― ke pengadilan, karena
mereka hendak mengambil seekor kuda secara curang, sedang Utsman mengangkat
Marwan bin Hakam ―yakni orang yang telah diasingkan oleh Nabi― menjadi
penasihatnya dan memberikan kepadanya Khaibar serta pajak-pajak (kharaj) dari
Afrika Utara, sebagai pemberian yang tidak boleh diganggu gugat.
Abu Dzar menyaksikan seluruh tontonan yang memalukan ini. Ketika ia tidak sanggup lagi menanggungnya, ia bicara, bangkit, suatu kebangkitan yang jantan dan mengagumkan; suatu kebangkitan yang menyebabkan pemberontakan di seluruh negeri-negeri Islam melawan Utsman; suatu kebangkitan, yang gelombang semangatnya dapat dilihat bahkan sampai saat ini di gelanggang masyarakat-masyarakat manusia.
Abu Dzar berusaha
mengembangkan kesatuan ekonomi dan politik Islam, sementara rezim Utsman sedang
menghidupkan aristokrasi. Abu Dzar mempercayai Islam sebagai tempat perlindungan
orang-orang yang tidak berdaya, orang-orang yang tertindas dan rakyat jelata,
sedangkan Utsman hendak menjadikannya alat kapitalisme, benteng untuk
memelihara kepentingan-kepentingan para penyerobot, orang-orang kaya dan kaum
aristokrat.
Perjuangan antara Abu Dzar
dan Utsman pun dimulai, dan Abu Dzar pada akhirnya kehilangan hidupnya di jalan
ini. Abu Dzar memekik, “Modal, kekayaan, emas dan perak yang telah kau timbun
harus dibagi-bagikan secara adil kepada seluruh kaum Muslimin. Setiap orang harus
mendapatkan bagiannya dalam keberuntungan orang lain, dalam sistem ekonomi dan
etika Islam, dalam segala rahmat kehidupan.” Tetapi Utsman melihat Islam dalam
upacara-upacara, pertunjukkan lahiriah dan kepura-puraan pada kesalehan dan
kesucian. Ia tidak percaya bahwa agama harus ‘turut campur’ dalam urusan
kemiskinan golongan mayoritas dan kemewahan kalangan minoritas. Abu Dzar, yang
telah memulai perjuangan untuk mengembangkan keadilan Islami, tidak dapat
ditenangkan dan tidak pula hendak menenangkan musuh.
Setiap kali saya memikirkan kehidupan Abu Dzar dan melihat pengabdiannya kepada Tuhan, saya teringat kepada Pascal. Pascal mengatakan, “Hati mempunyai penalaran yang tidak dapat dicapai pikiran. Hati menyaksikan adanya Tuhan, bukan akal; iman datang melaluinya.” Abu Dzar mengatakan, “Dalam eksistensi yang tidak bertepian ini, saya telah mendapatkan tanda-tanda yang memandu saya menuju Tuhan. Tidak ada harapan bahwa pikiran akan mencapai Hakikat-Nya melalui diskusi dan analisa, karena Dia lebih besar dari semua ini, dan tidak ada kemungkinan untuk melampaui-Nya.”
Abu Dzar, sebagaimana
Pascal, mempercayai Tuhan melalui hatinya; tiga tahun sebelum ia bertemu dengan
Nabi, ia telah menyembah Allah.
Ketika ia sedang berbicara
tentang kapitalisme dan penimbunan kekayaan, ketika ia sedang gigih membela
orang-orang yang melarat, ketika ia sedang berpaling menghadapi para aristokrat
dan para penghuni istana Damaskus dan Madinah, ia mengingatkan kita kepada
Proudhon,[1] tetapi bagaimanapun, Abu Dzar tidak sama dengan Pascal
dan Proudhon. Abu Dzar mengenal Tuhan; mulai hari itu ia tidak pernah surut
pada Jalan-Nya; sejenak pun ia tidak melemah dalam pemikiran dan tinclakannya.
Proudhon tidak mempunyai kemurnian, pengabdian dan peribadatan seperti Abu
Dzar, tidak pula Pascal mempunyai kegiatan dan gairah sepertinya. Abu Dzar
telah menjadi insan kamil, manusia sempurna, dalam akidah Islam. Ucapan-
ucapannya cukup menunjukkan kebesarannya.
Bagi banyak orang yang
mempelajari sejarah Islam, mungkin timbul pertanyaan ini: apakah hasil yang
mulia dari gerakan ini, selain beberapa gerakan kecil tentara, kemenangan, dan
terciptanya suatu empirium besar yang terserak-serak setelah beberapa abad?
Apakah perbedaan antara gerakan Islam dan gerakan-gerakan politik dan militer
lainnya dalam sejarah, yang mencapai kemenangan-kemenangan yang serupa dan
bahkan kejayaan yang lebih besar, terutama apabila kita melihat bahwa gerakan
Islam itu, dari sejak tahap pertamanya, menghadapi perbedaan-perbedaan politik,
dibikin menyimpang dari garis utamanya dan bahkan para pemimpin Islam yang
sesungguhnya juga menyadari hal ini?
Lalu, apakah yang telah
dilakukan Islam? Apakah hasil yang telah dicapai dengan segala pengorbanan dan
perjuangan Nabi dan para pengikutnya yang saleh beribadat dan pemberani?
Apabila Islam mengalami masa gemilangnya, kejayaan-kejayaan ini dicapai melalui
sultan-sultan Bani Umayyah dan Bani Abbas serta orang-orang seperti mereka yang
tidak mempunyai hubungan riil dan langsung dengan kebenaran-kebenaran Islam.
Penilaian seperti ini, pada sisi ini, mengandung kebenaran; kita tidak boleh menerima bahwa ekspansionisme ini, kemenangan-kemenangan militer dan kekuatan empirium Islam, sebagai tujuan Islam; tidak boleh pula kita mempercayainya sebagai yang termasuk hasil-hasil besar dari gerakan ini. Apabila kita melihat Islam dengan kacamata agama, problema ini bukan saja akan terpecahkan, tetapi kita bahkan akan mengagumi pula hasil-hasil yang agung, kemajuan dan kejayaan-kejayaan Islam. Agama adalah satu-satunya faktor yang mempunyai suatu kewajiban ke arah peningkatan universal dari penciptaan yang mengantar umat manusia kepada kemajuan dan ketinggian. Agama adalah ibarat ‘sebab’ yang membuat benda mati menjadi tumbuhan, tumbuhan menjadi hewan, hewan menjadi manusia, dan mendapatkan kesempurnaan. Agama juga adalah penyebab yang merupakan kelanjutan riwayat penciptaan yang mencengangkan, dan membawa manusia ke tujuan terakhir yang harus dicapainya; memperkenankan roh manusia membumbung ke puncak-puncak yang tertinggi dari keluhuran makrifat dan kemanusiaan, bahkan mengangkatnya melewati gurun dan menempatkannya mengatasi waktu dan ruang.
Dengan demikian maka orang
dapat mengatakan bahwa agama adalah perangsang, stimulan dan pendorong manusia
untuk bergerak ke atas tangga transformasi. Dengan kata lain, agama adalah
suatu pabrik di mana makhluk manusia yang sesungguhnya dibangun, dan tidak
patut kita mengharapkan dari agama sesuatu selain ini.
Sekarang, harus dilihat,
apakah Islam telah mampu atau tidak, mencapai sukses pada jalan ini dan
memberikan contoh-contoh dan model-model hasil produksinya ke pasaran
kemanusiaan.
Untuk mempelajari masalah yang membingungkan ini, kita harus mencari, di sela-sela sejarah, beberapa orang dari kaum pria dan wanita yang tampil dari kalangan massa rakyat yang tidak dikenal, para budak yang tertindas dan yang kepayahan. Yakni, kita harus mencari di antara nama-nama dari kalangan rakyat itu sendiri, yang sejarah terlalu malu untuk mencatatnya.
Sejarah paling sering
berlutut di hadapan istana-istana sultan yang megah, di medan-medan
pertempuran, dan di ambang pintu dewa-dewa emas dan kekerasan. Tetapi, sekali
ini, kita melihat bahwa sejarah pemuja aristokrasi ini sendiri sekarang pergi
ke kemah-kemah tua, ke rumah-rumah lempung yang reot. Ke kediaman budak-budak
Afrika, kepada orang yang tidak bernama, kepada orang-orang yang berkaki
telanjang di gurun Arab, kepada orang yang tidak penting, seperti Abu Dzar,
pria dari suku Ghifar, Salman dari Iran yang tunawisma dan Bilal, seorang budak
yang murah. Sejarah, satu demi satu, mencatat kehidupan mereka dengan rakus dan
penuh gairah. Dengan penghormatan-penghormatan tertinggi, sejarah menyuguhkan
mereka kepada generasi-generasi umat manusia di masa depan. Dan haruslah
dipelajari mengapa dan sejak kapan sejarah mencari Fir’aun, si pencari penghuni
istana kerajaan ini, menjadi begitu merendah.
Jadi, untuk mendapatkan
hasil-hasil yang telah dicapai gerakan Islam, kita tidak harus melihat
kemenangan-kemenangan di Asia, di Afrika dan negeri-negeri di Eropa selatan.
Bahkan, kita harus memperhatikan kemajuan yang dicapai gerakan ini dalam
kedalaman pemikiran, otak, hati dan jiwa dari sekelompok para pengikutnya yang
terbatas. Kejayaan-kejayaan yang dicapai Islam dalam perkisaran dan perputaran
rohani manusia-manusia ini tampak lebih cemerlang, lebih luas dan lebih
menakjubkan bagi orang-orang yang lebih memberikan penilaian kepada kebenaran
dan perikemanusiaan, ketimbang pada kekuasan dan dominasi militer yang
lahiriah.
Kejayaan-kejayaan Islam
dalam sejarah negara-negara seperti Romawi dan Persia, dan pada nasib para
ekspansionis seperti Jenghis Khan, Dara, Napoleon dan orang-orang lain yang
seperti itu, orang ‘kenamaan yang tidak berotak’, tidaklah merupakan
kekecualian, tetapi membangun seorang penghuni gurun pasir yang tak bernama dan
setengah liar seperti Jundab ibn Junadah menjadi seorang Abu Dzar al-Ghifari
adalah unik dalam setiap ideologi atau gerakan. Apabila basil Islam tidak lebih
dari mendidik keempat atau lima orang manusia seperti Abu Dzar, Salman, Amar
bin Yasir dan Bilal, telah cukuplah itu bagi pikiran manusia untuk mengagumi
kejayaan- kejayaan Islam.
Tetapi sayang, hak-hak orang besar yang dipandang
sebagai suatu kehormatan bagi sejarah Islam, telah disia-siakan: karena para
pengikut agama itu sendiri, yang dihidangi kekuasaan akal dan pedang dari
manusia-manusia duniawi ini, tidak mengenal mereka, tidak memahami
tingkat-tingkat tertinggi yang telah dicapai para teladan kemanusiaan dalam
rangkaian transformasi, dan bahkan tidak mengetahui biografi singkat dari
orang-orang ini.
Dengan sikap tak acuh dan
lalai kita menghancurkan hak dari para pionir yang sesungguhnya dan tokoh-tokoh
takwa dan keberanian ini, kita telah memberikan pukulan-pukulan; dan seluruh
kaum Muslimin turut mengambil bagian dalam kesalahan ini.
Lebih mencengangkan lagi
ialah bahwa, pada umumnya, orang- orang yang dipandang sebagai para pemimpin
revolusi Islam yang terus mendukung kebenaran dan bahkan mengorbankan dirinya
untuk itu, selama masa pemerintahan Abu Bakar dan penggantinya, Ali (pemimpin
para Syi’ah) malah direndahkan, dan haknya diabaikan. Dapatlah dikatakan dengan
tegas bahwa karena perjuangan mereka dengan rezim itu, dan karena usaha-usaha
mereka, Islam yang masih murni diserahkan ke dalam tangan sejarah. Mereka
membantu kemanusiaan untuk mencapai sumber kebenaran dan kebijaksanaan, di
tengah percokolan orang ambisius yang berpura-pura, dan karena perjuangan serta
perlawanan mereka yang berani melawan perubahan-perubahan sistem pemerintahan
Islam.
Abu Dzar adalah salah satu dari beberapa orang ini, salah satu dan para pemimpin dan para penyelamat yang telah dibebaskan, yang dihasratkan manusia masa kini. Sejak saat mesin-mesin menciptakan krisis yang parah dalam dunia ekonomi, membuat ekonomi menjadi masalah kehidupan yang paling peka dan menjadi dasar dari segala sesuatu, pandangan-pandangannya telah mendapatkan kedudukan yang lebih penting, dan sekarang, sekali lagi, mereka menciptakan kembali pemandangan-pemandangan di Damaskus dan Madinah itu.
Orang yang mengumpulkan
para jelata dan yang berkekurangan di sekelilingnya, merangsang mereka melawan
para penyerobot, pemuja uang, para pengumpul emas dan para aristokrat, sekarang
telah menyebabkan kaum Muslimin sedunia mendengarkan kata-katanya, pandangan-pandangannya,
sisinya yang berapi-api, yang menghangatkan hati. Seakan-akan mereka melihat
dia, pada sejarah yang jauh, dengan mata mereka sendiri; ia yang mengumpulkan
orang-orang yang tertindas dan sengsara, di masjid, dengan sesungguhnya merangsang
mereka untuk menentang para penghuni Istana Hijau dan pemerintah Utsman,
memekikkan, “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak
menafkahkannya pada jalan Allah...” (Q.S. 9:34)
“Hai Mu’awiyah! Apabila
engkau membangun istana ini dengan uangmu sendiri, itu mubazir; dan apabila
dengan uang rakyat, itu pengkhianatan.”
“Hai Utsman! Anda telah membuat orang miskin menjadi miskin, dan orang kaya menjadi kaya.” [2]
Catatan:
1. Proudhon seorang sosialis
yang meletakkan dasar-dasar sosialisme, tetapi kemudian disingkirkan oleh Marx.
2. “Pengantar” ini ditulis Ali Syari’ati Mazinani pada tahun 1955, sedang bab-bab selanjutnya, tahun 1972.
Sumber:
| |||||
Jumat, 27 Februari 2015
Abu Dzar Sang Sufi Revolusioner
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar