Oleh I.K.A Howard (Diterjemahkan oleh Arif Budiarso dari “al-Kafi by
Al-Kulaini”, “Man la Yahduruh al-Faqih by Al-Saduq” dan “Tahdhib al-Ahkam and
al-Istibsar by al-Tusi” dalam al-Serat, Vol. 2, No. 2, 1976)
TRADISI penulisan hadis sebenarnya telah berkembang sejak zaman Nabi Muhammad saw. Orang yang pertama yang melakukannya adalah Nabi Muhammad sendiri, yaitu melalui Ali bin Abi Thalib as. Sejarah mencatat bahwa Nabi saw memiliki sebuah shahifah, lembaran-lembaran kertas, yang selalu digantungkan di bahu pedangnya. Kemudian Rasulullah saw. mendiktekan hadis-hadisnya kepada ‘Ali untuk disalin ke dalam shahifahnya itu. Tatkala Rasulullah saw. meninggal dunia, Imam ‘Ali memeliharanya dengan baik. Shahifah Rasulullah itu kemudian lebih dikenal dengan nama “shahifah Ali”.
Selain shahifah, yang umumnya memuat tentang hukum diyat dan sedikit persoalan lainnya, Rasulullah saw. juga mendiktekan kepada ‘Ali hadis-hadis lain yang disalinnya ke dalam lembaran-lembaran yang jauh lebih besar, yang kemudian dikenal dengan nama al-Jami’ah. Imam Ja’far al-Shadiq menyebutkan: Al-Jami’ah adalah lembaran yang panjangnya sekitar 70 hasta, yang mencakup semua persoalan haram dan halal, ditulis oleh Imam ‘Ali dan didiktekan langsung oleh Rasulullah saw. kepada Imam ‘Ali.
Pada masa kegaiban Imam
Mahdi as, para pengikut Ahlulbait berusaha membukukan kembali hadis-hadis yang
tercecer itu. Mereka memulai dari kitab-kitab yang masih tersisa; melalui
periwayatan langsung dari orang ke orang hingga sampai ke Rasulullah saw.; atau
ke salah satu itu antara Imam Dua Belas. Hasilnya antara lain adalah empat
kitab hadis utama, yang dikenal dengan al-Kutub al-Arba’ah, yakni: al-Kafi, Man
la Yahduruh al-Faqih, Tahzib al-Ahkam dan al-Istibshar.
Al-Kutub al-Arba’ah disusun oleh ahli-ahli hadis yang istiqamah dalam agama. Al-Kafi disusun oleh Syaikh al-Kulaini, Man la Yahduruh al-Faqih oleh Syaikh al-Shaduq, dan Tahzib al-Ahkam dan al-Istibshar oleh Syaikh al-Thusi.
Al-Kafi
Kitab al-Kafi ditulis oleh
Tsiqat al-Islam, Abu Ja’far Muhammad bin Ya’qub bin Ishaq al-Kulaini al-Razi,
meninggal pada 328/329H (939/ 940 M). Riwayat hidupnya sangat sedikit
diketahui. Ada perbedaan pendapat mengenai dirinya, seperti apakah nama yang
dinisbahkan kepadanya adalah al-Kulaini atau al-Kulini. Namun disepakati bahwa
Kulain atau Kulin merujuk pada sebuah dusun di Iran.[1]
Beberapa karya al-Kulaini
dipercaya ditulis dalam sufara’ Imam Mahdi. Pada masa ini beberapa orang
bertindak mewakili Imam se!ama masa gaib kecil, al-ghaibah al-sughrah. Di
antaranya adalah al-Kafi, sebuah kitab al-rijal, sebuah buku mengenai penilaian
para perawi hadis, al-Radd ‘ala al-Qaramatah (Penyangkalan terhadap
Karmatians), Rasa’il al-a’Immatah (Surat-surat para Imam) dan bunga rampai
puisi mengenai para Imam. Di an tara kitab-kitab itu hanya al-Kafi yang
nampaknya masih tetap lestari.[2]
Al-Kafi merupakan kumpulan
hadis yang diajarkan Nabi saw serta para Imam dan diteruskan kepada kaum Muslim
oleh murid-murid para Imam. Kata al-Kafi berarti “Yang Mencukupi”, sebuah buku
yang dimaksudkan untuk menjadi koleksi lengkap hadis Syi’ah Imamiah. Hal ini
dijelaskan oleh al-Kulaini dalam kata pengantar karyanya tersebut:
...Inilah sebuah buku yang
akan mencukupi kebutuhan keagamaan Anda (kafin), yang mencakup semua aspek
pengetahuan (‘ilm) agama, yang sesuai bagi para pelajar, dan guru dapat
merujuk. Dengan demikian buku ini dapat digunakan siapapun yang menginginkan
ilmu agama dan hukum praktis (‘amal) sesuai dengan hadis yang kuat (athar) dari
yang sebenarnya (para Imam) ...
Untuk menyelesaikan kitab
al-Kafi, al-Kulaini memerlukan waktu dua puluh tahun. Al-Kafi memang sebuah
karya yang amat lengkap dan luas, yang dibagi menjadi tiga bagian: al-ushul,
al-furu’ dan al-raudhah. Pada bagian ushul berisi hadis-hadis mengenai dasar-dasar
agama dan prinsip-prinsip di mana hukum agama berpijak. Bagian furu’ membahas
hadis yang memperinci detail hukum agama. Sedangkan rawdhah adalah kumpulan
hadis yang menguraikan berbagai segi minat keagamaan dan termasuk beberapa
surat dan khutbah para Imam.
Ciri utama karya ini
adalah hadis-hadis tersebut disajikan secara sistematis dalam bab-bab yang
sesuai dengan pokok persoalan. Sistem ini mulai digunakan ulama-ulama Islam
pada abad kedua dan abad ketiga Hijriah. Dalam hal ini al-Kulaini bukan ulama
Imamiah pertama yang menggunakan metode ini. Ada karya-karya kumpulan hadis
lain yang menggunakan metode yang sama, patut dicatat misalnya kitab al-Mahasin
karya Ahmad bin Muhammad bin Khalid al-Barqi (w. 274H/887M).[3]
Namun demikian, al-Kafi adalah karya pertama yang memuat penelitian lengkap
hadis Imamiah dengan cara ini.
Kumpulan hadis yang
disebut ushul, adalah kumpulan hadis-hadis, yang didengar langsung dari para
Imam atau dari tangan kedua. Jumlahnya ada sekitar empat ratus kumpulan.[4]
Penyusunan bab hadis-hadis ini tidak diatur sesuai pokok permasalahannya
melainkan berdasarkan urutan hadis tersebut didengar, tanpa memperhatikan
materi subjek atau dari Imam yang mana hal itu didengar.[5]
Ushul-ushul ini adalah dasar bagi kumpulan hadis al-Kulaini seperti yang
dilakukan oleh ulama-ulama sebelumnya. Namun, dengan berkembangnya
kumpulan-kumpulan hadis yang lengkap, ushul menjadi kurang penting, dan hanya
ada beberapa manuskrip yang tetap bertahan.
Para pengumpul hadis baik
sebelum maupun sesudah al-Kulaini menguji isnad (rantai para perawi) dengan
ketelitian tinggi. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa semua pembawa hadis
adalah orang yang mempunyai iman yang benar. Namun al-Kulaini tampaknya kurang
menaruh perhatian pada isnad dibandingkan dengan matan atau isi dari hadis.
Kadang al-Kulaini melaporkan hadis dengan sanad orang-orang yang bukan langsung
murid para Imam, bahkan ada juga yang berasal dari kaum Zaidiyah, Ghulat dan
orang-orang yang tidak ada hubungannya dengan keyakinan Syiah.[6]
Para ulama hadis telah
mengembangkan sistem pengklasifikasian hadis-hadis yang sesuai dengan tingkat
otentisitasnya dalam hubungannya dengan isnad dan materi subjek. Jumlah hadis
dalam al-Kafi adalah 15.181,[7] sedangkan menurut perhitungan lain
15.176.[8] Jika hadis-hadis yang dilaporkan pada bagian-bagian yang
berbeda juga dihitung, jumlahnya ditambah lebih dari 1.000 lagi. Di antara hadis dasar, ada 5.072 yang
dianggap kuat (shahih) oleh para ulama, 144 dianggap bagus (hasan), 178 sebagai
dapat dipercaya (muwaththaq), 302 dianggap kuat (qawi), dan 9.484 dianggap
lemah (dha’if).[9]
Namun, jika sebuah hadis
dinyatakan lemah tidak berarti ia tidak benar. Ini berarti ulama-ulama hadis
telah menemukan beberapa kelemahan dalam hadis tersebut, biasanya salah seorang
dalam isnad, yang memunculkan kemungkinan bahwa hadis tersebut boleh jadi tidak
tersambung kepada Imam. Ilmu yang dikembangkan oleh para sarjana hadis Islam
untuk menguji isnad, latar belakang individu perawi yang menyampaikan suatu
hadis dan materi subjek hadis adalah ‘ilm al-Rijal.
Ushul al-Kafi dibagi
menjadi delapan bab dan sebagian besar dibagi menjadi bagian (abwab). Kedelapan
bab tersebut adalah:
1. Bab Akal dan Kebodohan (Kitab al-‘Aql wa al-Jahl), membahas
perbedaan teologis antara akal dan kebodohan;
2. Bab Keutamaan Ilmu (Kitab Fadl al-‘Ilm), menguraikan metode pendekatan ilmu tradisional Islam; metode menilai kebenaran materi subjek hadis, sebuah gambaran hadis dari Imam dan alasan-alasan menentang penggunaan opini pribadi (ra’y) dan analogy (qiyas);
3. Bab Kesatuan (Kitab al-Tawhid), membicarakan teologi ketuhanan;
4. Bab Bukti-bukti (Kitab al-Hujjah), berhubungan dengan kebutuhan manusia dan dunia untuk mempunyai bukti (hujjah). Hujjah itu adalah para Imam, dan sebelumnya adalah para Nabi. Juga termasuk bagian sejarah para Imam;
5. Bab Keyakinan dan Kekufuran (Kitab al-lman wa al-Kufr), merupakan tinjauan lengkap atas unsur-unsur keyakinan dan kekafiran. Termasuk topik-topik penting seperti “pilar-pilar Islam”, dan perbedaan antara Iman dan Islam;
6. Bab Doa (kitab al-Du’a), membahas doa-doa pribadi yang berbeda dengan shalat yang dilakukan dengan cara tertentu pada waktu tertentu. Di sini dicatat doa-doa yang dianjurkan oleh para Imam pada berbagai situasi dan kesempatan;
7. Bab Keutamaan al-Quran (kitab al-fadl al-Quran). mengenai keuntungan-keuntungan yang didapat para penganut yang membaca al-Quran, dan menganjurkan metode-metode pembacaannya;
8. Bab Persahabatan (kitab al-‘Ishra), menegaskan bahwa hubungan dengan Tuhan juga mencakup hubungan manusia dengan sesama manusia. Hal ini memang agak mengejutkan menemukan bab seperti ini dimasukkan dalam ushul atau dasar-dasar agama. Sedangkan perhatian utama dalam ushul pada bab lainnya adalah mengenai hubungan manusia dengan Tuhan.
2. Bab Keutamaan Ilmu (Kitab Fadl al-‘Ilm), menguraikan metode pendekatan ilmu tradisional Islam; metode menilai kebenaran materi subjek hadis, sebuah gambaran hadis dari Imam dan alasan-alasan menentang penggunaan opini pribadi (ra’y) dan analogy (qiyas);
3. Bab Kesatuan (Kitab al-Tawhid), membicarakan teologi ketuhanan;
4. Bab Bukti-bukti (Kitab al-Hujjah), berhubungan dengan kebutuhan manusia dan dunia untuk mempunyai bukti (hujjah). Hujjah itu adalah para Imam, dan sebelumnya adalah para Nabi. Juga termasuk bagian sejarah para Imam;
5. Bab Keyakinan dan Kekufuran (Kitab al-lman wa al-Kufr), merupakan tinjauan lengkap atas unsur-unsur keyakinan dan kekafiran. Termasuk topik-topik penting seperti “pilar-pilar Islam”, dan perbedaan antara Iman dan Islam;
6. Bab Doa (kitab al-Du’a), membahas doa-doa pribadi yang berbeda dengan shalat yang dilakukan dengan cara tertentu pada waktu tertentu. Di sini dicatat doa-doa yang dianjurkan oleh para Imam pada berbagai situasi dan kesempatan;
7. Bab Keutamaan al-Quran (kitab al-fadl al-Quran). mengenai keuntungan-keuntungan yang didapat para penganut yang membaca al-Quran, dan menganjurkan metode-metode pembacaannya;
8. Bab Persahabatan (kitab al-‘Ishra), menegaskan bahwa hubungan dengan Tuhan juga mencakup hubungan manusia dengan sesama manusia. Hal ini memang agak mengejutkan menemukan bab seperti ini dimasukkan dalam ushul atau dasar-dasar agama. Sedangkan perhatian utama dalam ushul pada bab lainnya adalah mengenai hubungan manusia dengan Tuhan.
Furu’ al-Kafi adalah
mengenai uraian rincian hukum Islam. Hukum Islam mencakup perilaku manusia
terhadap Tuhan dan hubungan sesama manusia. Dalam Furu’ berisi lebih banyak
hadis daripada ushul, ada 26 bab. Isinya diawali dengan Bab Kesucian (Kitab al-Thaharah), mengenai cara bersuci yang
diperlukan sebelum shalat dan ketika batal dalam keadaan suci. Selanjutnya buku
kedua adalah Bab Menstruasi (Kitab
al-Haid), mengenai di mana keadaan suci batal karena menstruasi. Buku ketiga, Bab Pemakaman (Kitab al-Jana’iz) mengenai
pemakaman dan hal lainnya yang berkaitan dengan upacara penguburan. Bab Shalat (Kitab al-Shalat),
menguraikan cara-cara shalat, dan juga menguraikan tentang shalat sunnah.
Setelah kitab al-Shalat
kemudian dibahas mengenai zakat
(al-Zakat). Selanjutnya bab puasa
(kitab al-Shiyam), berisi aturan-aturan puasa wajib Ramadhan dan juga puasa
sunnah dan puasa yang dilakukan karena kafarat. Bab Haji (Kitab al-Hajj), berisi mengenai cara-cara ibadah haji.
Al-Kulaini juga memasukkan pada bab ini sebuah bagian mengenai mengunjungi
makam Nabi dan para Imam (al-Ziarat).
Bab berikutnya kitab
al-Jihad menyajikan hadis-hadis peraturan perang suci. Ini diikuti kitab
al-Ma’isyah mengenai cara-cara memperoleh penghidupan. Segala macam masalah
perdagangan dibicarakan pada bab ini. Perkawinan adalah subjek pada buku
berikutnya. Ada banyak rincian termasuk sebuah bagian yang sangat rinci tentang
perkawinan sementara (mut’ah). Pernikahan umumnya diikuti dengan kelahiran
anak-anak, dan buku selanjutnya, kitab al-Aqiqah membahas mengenai berbagai
persoalan yang berhubungan dengan kelahiran dan membesarkan anak. Aqiqah
sebenarnya adalah mengorbankan hewan yang dilakukan pada usia tujuh hari anak.
Setelah itu rambut anak tersebut dipotong dan berat timbangannya diberikan sebagai
sedekah dalam bentuk perak. Nabi saw
melakukan penyembelihan hewan ini, atas nama al-Hasan dan al-Husain dan Fatimah
memberikan sedekahnya. Setelah membahas masalah perkawinan dan anak-anak,
selanjutnya tentang perceraian (al-Thalaq). Masalah perbedaan hukum mengenai
perceraian diuraikan dalam haclis- hadis dari Nabi dan para Imam.
Sedangkan mengenai
perbudakan didiskusikan dalam kitab al-‘Itq wa al-Tadbir wa al-Khatibah,
misalnya tentang perbedaan jenis budak dan cara memerdekakannya. Dua bab
berikut adalah mengenai berburu (said) dan penyembelihan (dhaba’ih). Dan dalam
al-Furu’ ada tiga bab tentang kehidupan sehari-hari: pertama mengenai makanan
(at’ima), kedua minuman (ashriba) dan yang ketiga mengenai pakaian, perhiasan
dan kesopanan (al-ziq wa-‘l-tajammul wa-‘l-muru’a). Setelah itu bab mengenai
hewan piaraan (dawajin). Dua bab lainnya berkaitan dengan harta warisan. Yang
pertama berjudul al-Wasaya menguraikan warisan dan yang kedua al-Mawarith
menguraikan hukum waris biasa. Sedangkan sisanya berkaitan dengan pelaksanaan
hukum. Kitab al-Hudud menguraikan keadaan dan cara penghukuman, sedangkan
al-Diyat mengenai hukum qishash dan rincian kompensasi yang harus diberikan
jika seseorang melukai orang lain secara fisik.
Kitab al-Syahadat berisi
syarat untuk kesaksian dalam kasus hukum, dan kitab al-Qada’ wa al-Ahkam
menguraikan tentang undang-undang tingkah laku hakim dan syarat orangnya. Dalam
furu’ ditutup dengan kitab al-Aiman wa al-Nuzhur wa al-Kaffarat, yakni mengenai
sumpah, janji dan cara penebusan kesalahan ketika pihak kedua batal.
Dalam Rawdhah al-Kafi,
al-Kulaini tidak mengikuti metode sistematika yang digunakan dalam ushul dan
furu’. Hadis-hadis tersebut tersusun satu dengan yang lain dalam urutan yang
tampaknya hampir tidak beraturan, sehingga tidak sistematis seperti yang
disajikan pada dua bagian yang lain.
Dalam menyajikan
hadis-hadis dalam al-Kafi, pendekatan al- Kulaini adalah membiarkan hadis-hadis
tersebut berbicara untuk mereka sendiri. Campur tangan dirinya sendiri amat
sedikit. Kadang al-Kulaini menjelaskan beberapa ketidaksesuaian atau yang
kelihatan sebagai ketidakkonsistenan, tetapi ini amat jarang. Sumbangan
utama al-Kulaini adalah pada pengumpulan dan penyuntingan besar-besaran.
Pentingnya al-Kafi sebagai
sebuah karya kumpulan hadis sangat nyata. Al-Kafi dianggap sebagai satu di
antara empat buku hadis utama Syi’ah. Ini membawa kepada sejumlah komentar yang
ditulis oleh penulis- penulis berikutnya, seperti kitab Mir’at al-‘Uqul fi
Syarh Akhbar al-Rasul oleh al-Majlisi (w. 1110/1698M). Komentator lain,
termasuk Mulla Sadr al-Din al-Syirazi (w. 1050/1640M), al-Mazandarani (w.
1080/1699M), al-Qazwini (w. 1089/1678M) dan Muhammad Baqir bin Damad (w.
1040/1630).
Man la Yahduruh al-Faqih
Kitab ‘Man la yahduruh
al-Faqih’ ditulis al-Syaikh al-Shaduq. Al-Syaikh al-Shaduq adalah gelar yang
diberikan kepada Abu Ja’far Muhammad bin ‘Ali ibn Babawaih al-Qummi. Ia
mendapatkan gelar al-Syaikh al-Shaduq karena keluasan pengetahuannya dan
reputasinya untuk kebenaran. Gelar ini yang juga dipakai oleh ayahnya. Pada
masanya (abad ke-4 H) ia adalah ulama hadis terpenting dan satu dari ulama
hadis paling terkemuka dalam Islam Syi’ah.
Al-Syaikh ‘Ali, ayah
penulis adalah seorang tokoh terkemuka di antara ulama-ulama Qum. Pada masa
ayahnya itulah keluarganya mulai menjadi pengikut Syi’ah. Namun tak diketahui
kapan keluarga tersebut masuk Islam.[11] Al-Syaikh al-Shaduq kadang
dikenal sebagai Ibn Babawaih, yang merupakan ciri nama keluarga dari Persia.
Babwaih adalah versi Arab dari bentuk kata Persia Babuyah.[12]
Kelahiran al-Syaikh
al-Shaduq tidak diketahui dengan pasti. Namun ada sebuah cerita menarik waktu
keadaan kelahirannya. Ketika ayahnya berada di Iraq, dia bertemu Abu al-Qasim
al-Husain bin Rawh, wakil ke-3 Imam Gaib. Selama pertemuan mereka, ia bertanya
beberapa pertanyaan. Kemudian dia menulis kepada al-Husain bin Rawh memintanya
untuk menyampaikan sebuah surat kepada Imam Gaib. Dalam suratnya, dia meminta
seorang anak. Al-Husain mengirim jawaban yang memberitahunya bahwa mereka (Imam
Gaib dan al-Husain) telah berdoa kepada Tuhan agar mengabulkan permintaan
tersebut dan dia akan dikaruniai dua anak. Versi lain dari kisah ini menyatakan
tiga anak. Yang tertua dari anak-anak ini adalah Muhammad, yaitu al-Syaikh
al-Shaduq.
Berdasar kisah ini,
ulama-ulama Syi’ah awal memperkirakan kelahirannya setelah tahun 305 H, mungkin
306 H. Sedang al-Husain bin Rawh menjadi wakil Imam Gaib dari 305 H sampai
meninggal pada 326 H. Al-Syaikh al-Shaduq lahir dan tumbuh besar di Qum. Dia
diajar oleh ayahnya dan menjadi berhubungan dekat dengan semua ulama Islam
terkemuka di Qum dan belajar kepada sebagian dari mereka.[13] Qum
merupakan pusat pendidikan tradisional Syi’ah yang berpengaruh besar pada
al-Syaikh al-Shaduq. Al-Syaikh al-Shaduq mengunjungi berbagai kota dalam mencari
hadis dan ulama, yang dari mereka ia belajar hadis, tidak kurang ada 211 ulama
tempat ia belajar.
Selama hidupnya karya yang
dihasilkan al-Syaikh al-Shaduq cukup banyak.[14] Al-Thusi mengatakan
bahwa jumlahnya lebih dari 300, dan dia mempunyai 43 karya al-Shaduq. Sedangkan
al-Najasyi menyebutkan hanya 193 karya al-Shaduq. Anehnya bahwa al-Najasyi
tidak menyebut karya penting Man la Yahduruh al-Faqih! Banyak karya al-Syaik
al-Shaduq yang hilang tetapi sebagian tetap lestari dan telah dipublikasikan. Ada
juga yang belum dipublikasikan tetapi masih ada dalam bentuk manuskrip. Selama
hidupnya al-Shaduq membaktikan sebagian besar tenaganya untuk pengumpulan dan
kompilasi hadis; dia juga guru besar hadis. Pada akhir kehidupannya, ia tinggal
di Rayy dan meninggal pada 381 H. Al-Shaduq diundang ke sana oleh Buyid Rukn
al-Dawlah.[15] Dia sangat dihormati oleh Rukn al-Dawlah dan
mengambil tempat dalam diskusi dengannya. Walaupun kemudian dilarang oleh Buyid
Wazir Ibn ‘Abbad.[16]
Pada banyak karyanya,
al-Syaikh al-Shaduq mencerminkan ketertarikannya kepada hadis dan hampir
semuanya berbentuk kompilasi hadis. Selain kitab hadis, dia juga menulis
pernyataan keyakinannya terhadap Islam Syi’ah dalam al-I’tiqadat. Kemudian
salah seorang muridnya, yaitu teolog terkenal al-Syaikh al-Mufid, menulis
beberapa kritikan tentang buku itu dalam karyanya Tashih al-I’tiqad.
Karyanya Man la yahduruh al-Faqih ini termasuk dalam empat buku hadis utama Syi’ah. Meskipun banyak karya al-Shaduq yang penting, namun Man la Yahduruh al-Faqih merupakan karya terpentingnya. Beberapa penulis menyatakan ada lima buku hadis utama Syi’ah, dengan memasukkan karya al-Syaikh al-Shaduq yang lain Madinat al-‘Ilm, dalam deretan ini.[17] Al-Thusi menyebutkan bahwa karya tersebut lebih besar dari Man la Yahduruh al-Faqih.[18] Namun buku ini sekarang tidak lagi ada. Madinat al-‘Ilm sepertinya banyak menjelaskan masalah ushuluddin daripada furu’.
Kitab Man la Yahduruh al-Faqih menekankanpada masalah furu’, dan telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan baik oleh E.G. Brown, dengan judul “Every man his own lawyer”,[19] Dalam pengantarnya al-Shaduq menjelaskan susunannya dan alasan mengenai judulnya. Pada saat al-Shaduq di Ilaq dekat Balkh, bertemu dengan Syarif al-Din Abu ‘Abdullah yang nama lengkapnya Muhammad bin al-Husain bin al-Husain bin Ishaq bin Musa bin Ja’far bin ‘Ali bin al-Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib. Syarif al-Din sangat terpesona pada al-Shaduq dalam percakapannya, kelemahlembutannya, kebaikannya, martabatnya dan minat al-Shaduq pada agama. Syarif al-Din membawa sebuah buku karya Muhammad bin Zakharia al-Razi, berjudul “Dokter pribadi tiap orang” (Man la Yahduruh al-Thalib) agar menjadi perhatian al-Shaduq. Syarif al-Din kemudian meminta al-Shaduq untuk menyusun sebuah buku tentang yurisprudensi (fiqh), al-Halal wa al-Haram al-Syara-i’ wa al-Ahkam, yang kemudian ia susun pada subjek tersebut dengan judul Man la Yahduruh al-Faqih dan berfungsi sebagai sebuah karya rujukan.[20]
Kitab Man la Yahduruh
al-Faqih berisi ringkasan semua hadis yang dikumpulkan oleh al-Syaikh
al-Shaduq, dan termasuk dalam buku-buku pribadi pada subjek hukum. Dalam daftar
buku-buku al-Syaikh al-Shaduq, karya-karyanya dihubungkan pada tiap subjek
furu’, misalnya karya kitab al-Nikah atau kitab al-Hajj. Inilah perhatian
keduanya yang ditekankan oleh penulis, ketika Syarif al-Din meminta menulis
karya ini meskipun pada kenyataannya Syarif al-Din telah menyalin atau
mendengar hadis dari 145 buku.[21]
Unsur lain dalam Man la
Yahduruh al-Faqih, disusun sebagai sebuah buku rujukan untuk membantu orang
awam Syi’ah, dalam praktik keperluan hukum Islam. Oleh karena itu buku ini
tidak ditujukan untuk para sarjana, yang ingin untuk mengecek para perawi. Para
ulama dapat mengecek isnad pada sejumlah kajian individu yang disusun oleh
al-Syaikh al-Shaduq. Buku ini adalah ringkasan dari kajian hadis hukum dari
seorang ulama besar hadis. Al-Syaikh al-Shaduq mengatakan bahwa dia menyusun
dengan adanya permintaan padanya untuk menyusun buku tersebut:
Karena saya menemukan ini
tepat untuk dilakukan. Saya menyusun buku tersebut tanpa sanad sehingga rantai
perawi menjadi tidak terlalu panjang dan menjadi berlebihan. Saya tidak
bermaksud untuk mengemukakan semua hat yang mereka kemukakan. Tetapi saya
mengemukakan sesuatu pendapat hukum dan yang saya anggap benar.
Al-Syaikh al-Shaduq juga
memberikan catatan tentang beberapa karya awal yang dia rujuk, seperti pada
karya-karya Hariz bin ‘Abdullah al-Sijistani, yang meninggal pada masa Imam
Ja’far al-Shadiq; buku ‘Ubaidillah bin ‘Ali al-Halabi, sezaman dengan Imam
Ja’far; buku ‘Ali bin Mahziyar, yang menerima hadis dari Imam ‘Ali al-Ridha,
Imam Muhammad al- Jawwad dan Imam al-Hadi; buku al-Husain bin Sa’id, yang juga
mendengar hadis dari tiga Imam ini; Nawadir-nya Ahmad bin Muhammad bin ‘Isa (w.
297 H) yang mendengar juga hadis dari tiga Imam tersebut. Kitab Nawadir
al-Hikmah-nya Muhammad bin Yahya bin ‘Imran al-Asy’ari, Kitab al-Rahmah-nya
Sa’d bin ‘Abdullah (w. 299/301 H), Jami’-nya Muhammad bin al-Hasan (w. 343 H),
salah seorang guru al-Syaikh. Juga Nawadir-nya Muhammad bin Abi ‘Umayr (w. 218
H), kitab al-Mahasin-nya Ahmad bin Abi ‘Abdullah al-Barqi (Ahmad bin Muhammad
bin Khalid al-Barqi w. 274/280 H, dan buku ini telah diterbitkan di Teheran).
Al-Shaduq dalam
pengantarnya sering merujuk kepada karyanya sendiri pada beberapa bagian buku
tersebut. Misalnya pada akhir Bab Nawadir al-Hajj (Bab Hadis Luar Biasa tentang
Haji), dia berkata: Saya telah
menerbitkan Nawadir ini dengan isnad dan lainnya dalam kitab Jami’, Nawadir
al-Hajj.
Ciri lain dari karya ini, penulis menggunakan metode dengan tidak membiarkan hadis-hadis berbicara bagi diri mereka sendiri tetapi menarik aturan-aturan dari hadis-hadis atau menjelaskan artinya. Dalam sebuah ringkasan hadis tentang haji, al-Shaduq memberikan uraian panjang mengenai semua ritual yang dilakukan kaum mukminin dengan hanya sedikit hadis dalam uraiannya.
Karya ini sebagian besar
berkaiatan dengan masalah yurisprudensi fiqh (furu’), dan tidak diatur dalam
bab-bab tetapi dalam bagian yang lebih kecil (abwab). Mencakup berbagai masalah
seperti puasa dan haji secara berurutan. Dalam hal ini al-Syaikh al-Shaduq
telah membuat sebuah ringkasan hukum yang berguna untuk umat Syi’ah awam masa
itu.
Man la yahduruh al-Faqih,
baru-baru ini telah diterbitkan dalam empat jilid di Teheran, sebagai lazimnya
satu dan empat karya besar hadis, memiliki banyak komentar yang ditulis
mengenainya. Di antaranya yang menulis komentar adalah al-Sayyid Ahmad bin lain
al-'Abidin al-'Alawi al-'Amili (w. 1060 H) dan Muhammad Taqi al-Majlisi
al-Awwal (w. 1070 H), yang merupakan penulis besar Syi’ah.
Tahzhib al-Ahkam dan
al-Istibshar oleh Al-Thusi Dua karya ini, Tahzhib al-Ahkam dan al-Istibshar
ditulis oleh Syaikh al-Ta’ifa (guru masyarakat) Abu Ja’far Muhammad bin
al-Hasan bin ‘Ali bin al-Hasan al- Thusi, lahir di Thus, Iran, pada tahun 385
H. Karimya menandai puncak kejayaan pendidikan dan pengajaran Islam Syi’ah.
Pada waktu itu ulama Syi’ah tak punya saingan di dunia Islam. Di antaranya
adalah guru al-Syaikh al-Thusi, al-Syaikh al-Mufid dan dua bersaudara al-Syarif
al-Murtadha dan al-Syarif al-Rhadi, yang merupakan pengikut Ahlulbait dan ulama
terkemuka.
Masa kejayaan kependidikan
masyarakat Islam Syi’ah diawali oleh al-Kulainy (w. 328/9 H), penulis kumpulan
hadis al-Kafi.[22] Kemudian dilanjutkan oleh al-Syaikh al-Shaduq Ibn
Babawaih (w. 381 H) dengan karya besamya Man La Yahduruh al-faqih.[23]
Selanjutnya ialah kumpulan hadis yang disusun oleh al-Syaikh al-Thusi yaitu
Tahzhib al-Ahkam fi Syarh al-Munqi’a[24] dan al-Istibshar fima ‘Khtalaf
min al-Akbar.[25]
Al-Syaikh al-Thusi tumbuh
di Thus dan memulai sekolahnya di sana. Pada 408 H dia meninggalkan Thus untuk
belajar di Baghdad, di sana ia belajar di bawah bimbingan al-Syaikh al-Mufid
(w. 413 H). Pada masa kepemimpinan al-Syarif al-Murtadha sampai meninggal pada
tahun 436 H, al-Syaikh al-Thusi berhubungan dekat dengan al-Syarif al-Murtadha.
Karena keluasan pengetahuan dan keulamaannya menjadikan al-Thusi penerus
alamiah dari al-Syarif al-Murtadha sebagai pemuka Islam Syi’ah. Ceramahnya
sangat menarik sehingga khalifah Abbasiah, al-Qadir billah, menghadiri
kuliahnya dan menghormatinya.
Pada tahun-tahun terakhir
kehidupan al-Syaikh al-Thusi, situasi politik di Baghdad dan daerah kekuasaan
Abbasiah berada dalam kekacauan. Kaum Saljuq yang sangat anti-Syi’ah
memperoleh tampuk kekuasaan di pusat Kerajaan Islam dengan mengorbankan Buyids
yang selalu nampak toleran terhadap pandangan Syi’ah. Pada 447 H,
Tughril, Bek pemimpin kaum Saljuq memasuki Baghdad. Pada saat itu banyak ulama
Sunni dan Syi’ah yang dibunuh di Baghdad. Rumah al-Syaikh al-Thusi dibakar,
demikian juga buku-buku dan karya-karyanya yang ditulis di Baghdad, bersama
dengan perpustakaan penting buku-buku Syi’ah.
Al-Syaikh al-Thusi,
setelah melihat bahayanya untuk tetap tinggal di Baghdad, meninggalkan Baghdad
dan pergi ke al-Najaf. Al-Najaf, kota di mana ‘Ali bin Abi Thalib terbunuh,
merupakan sebuah kota penting Muslim Syi’ah. Dengan kedatangan al-Syaikh
al-Thusi mendorong kota ini menjadi pusat pendidikan Syi’ah terkemuka hingga kini.
Al-Syaikh al-Thusi
meninggal di al-Najaf pada 460 H. Jenazahnya dikubur di dalam sebuah rumah,
yang dibuat menjadi sebuah masjid seperti diperintahkan dalam surat wasiatnya.
Hingga kini makamnya merupakan sebuah tempat ziarah di al-Najaf. Selanjutnya
Al-Thusi digantikan oleh puteranya, al-Hasan, yang dikenal sebagai al-Mufid
al-Tsani, juga ulama terkemuka.[26]
Al-Syaikh al-Thusi
merupakan ahli hadis terpelajar yang telah menulis dua kitab hadis Tahzhib
al-Ahkam dan Al-Istibshar. Al-Thusi bukan hanya seorang ahli hadis, ia juga
seorang ahli hukum yang otoritatif, yang dapat menafsirkan hadis sesuai
kebutuhan ilmu hukum. Dan banyak karyanya mengenai ilmu hukum dan dasar-dasar
ilmu hukum tetap lestari, khususnya al-Mabsuth dan al-Nihayah. Dia juga adalah pemuka
teolog pada jamannya. Disamping menulis tentang teologi umum, al-Thusi kadang
memberi catatan mengenai isi karya-karya penulis Syi’ah awal.
Tahzhib al-Ahkam fi Syarh al-Muqni’a
Karya al-Thusi Tahzhib
al-Ahkam fi Syarh al-Muqni’a ini dapat diartikan sebagai “Pemurnian Ilmu Hukum
dalam Penjelasan yang Mencukupi”, pada maksud awalnya merupakan komentar untuk
kitab “Yang Mencukupi” (al-Muqni’a) merupakan kumpulan hadis oleh al-Syaikh
al-Mufid, guru al-Thusi. Dia menjelaskan hal ini pada pengantar karyanya dan
hanya akan membahas furu’ hukum Islam, misalnya aturan praktis untuk
melaksanakan syariat, hukum suci Islam. Dia berkata:
Pertama-tama, saya
membahas bab yang berkaitan dengan bersuci (thaharah), dengan mengenyampingkan
(bab) bagian sebelumnya yang membahas tentang Keesaan Tuhan (tawhid), Keadilan
(‘adl), Kenabian (nubuwwah) dan Imamah (imamah), sebab penjelasan
mengenai hal-hal tersebut akan terlalu panjang. Dan juga bukan maksud buku ini
untuk menguraikan dasar-dasar agama (al-ushul).[27]
Dalam pengantarnya,
al-Thusi menjelaskan alasan utama karya ini hanya membahas pada masalah furu’
saja, karena menurut al-Thusi ada perbedaan besar yang muncul pada hadis-hadis
Syi’ah. Dia menyebutkan bahwa
perbedaan-perbedaan masalah furu’digunakan lawan-lawan Syi’ah sebagai argumen
dalam melawan keabsahan hakikat aqidah Syi’ah. Keadaan menjadi cukup
genting, al-Thusi melaporkan catatan al-Mufid tentang seorang pengikut Syi’ah
yang meninggalkan masyarakatnya karena kontradiksi hadis. Kemudian al-Thusi menetapkan
untuk menganalisa hadis-hadis mengenai furu’, menjelaskan hadis mana yang
kurang sempurna dan dan mendamaikan/mempertemukan kontradiksi yang terdapat
pada hadis-hadis yang kuat. Dia menggunakan al-Maqni’a-nya al-Mufid sebagai
dasar pekerjaan ini.[28] Bagaimanapun, dia tidak hanya menguraikan
hadis-hadis yang digunakan dalam al-Muqni’a; dia menganalisa banyak lagi hadis
lain yang dimasukkan pada akhir bagian.
Metode yang digunakan adalah dengan mengutip hadis-hadis tersebut dilanjutkan dengan komentar al-Mufid tentangnya, kemudian diikuti oleh penjelasan al-Thusi tentang komentar al-Mufid. Walaupun terkadang tidak selalu nyata apakah penjelasan tersebut dari al-Mufid atau al-Thusi. Al-Thusi jelas menyatakan bahwa yang dimaksud adalah al-Mufid ketika dia berkata “Al-Syaikh berkata...”. Tetapi kadang diskusi dimulai oleh pernyataan yang ambigu: “Dia berkata...”, ini dapat merujuk ke al-Mufid atau al-Thusi. Pada bagian appendiks al-Thusi membuat penjelasannya dengan mengatakan: “Muhammad bin al-Hasan berkata...” Diskusi hadis kadang sungguh panjang. Misalnya adalah diskusi mengenai cara bersuci. Ada kutipan-kutipan ayat berbahasa Arab untuk mendukung pendapat Syi’ah mengenai mengusap kaki daripada membasuhnya.[29]
Karya ini terbagi menjadi
bab-bab, dan bab-bab terbagi menjadi bagian-bagian (abwab) dengan appendiks di
belakangnya. Karya ini adalah kajian yang sangat luas tentang hadis-hadis Syi
ah dan terdiri dan bab-bab berikut: Bersuci (al-Thaharah), Sholat (al-Shalat),
Zakat (al-Zakat), Puasa (al-Shiyam), Haji (al-Hajj), Jihad (al-Jihad), Syarat
Pengadilan dan Hukum (al-Qadaya wa-’l-Ahkam), Penghasilan/Pendapatan
(al-Makasib), Perdagangan (al-Tijarat), Perkawinan (al-Nikah), Perceraian
(al-Talaq), Pembebasan budak (al-‘Itq wa-’l-Tadbir wa-’l-Mukatba), Sumpah,
Janji dan Penebusan kesalahan (al-Ayman wa-’l Nudhur wa-’l-Kaffarat), Berburu
dan Penyembelihan Ritual (al-Said wa-’l-Dhaba’ih), Wakaf dan Sedekah (al-Wuquf
wa-’l-Sadaqat), Warisan (al-Wasaya), Aturan formal harta warisan (al-Fara’id
wa-’l-Mawarith), Hukuman yang Ditentukan Wahyu (Al-Hudud) , dan bab Ganti rugi
untuk Luka-luka Tubuh (al-Diyat).
Al-Thusi memulai karyanya
ketika al-Mufid masih hidup dan mencapai bab terakhir bersuci pada saat
al-Mufid meninggal pada 413 H. Meski demikian karyanya sampai al-Thusi pindah
ke al-Najaf pada 448 H. belum selesai.[30] Satu ciri karya al-Thusi adalah pada
penafsirannya terhadap apa itu hadis yang benar, sehingga turut memelihara
hukum Syi’ah, hal ini membuat posisinya sejajar dengan al-Kulaini dan
Ibn-Babawaih. Luasnya penyebaran bermacam-macam hadis-hadis Syi’ah selama masa
itu, dari saat meninggalnya al-Kulaini sampai al-Thusi (328/9H-460 H.) karena
pada periode ini kaum Buyid, yang amat bersimpati terhadap Syi’ah, memegang
kekuasaan di Baghdad. Ini adalah suatu masa di mana kaum Syi’ah tidak dianiaya
dan dapat mengakui aqidahnya tanpa telalu takut. Dalam keadaan seperti itu, ada
banyak kesempatan bagi orang luar untuk membawa hadis lain ke dalam khazanah
Syi’ah. Bagaimanapun al-Thusi memiliki karya-karya yang tersedia bagi para
penyusun kumpulan hadis Syi’ah awal. Al- Thusi berkata mengenai karya ini:
Ketika rekan-rekan kami
melihat hadis (akhbar) tentang apa-apa yang dihalalkan dan diharamkan (al-halal
wa-’l-haram) terkumpul di dalamnya. Mereka melihat bahwa sebagian besar hadis
dibahas di bagian ilmu hukum dengan yurisprudensi. Pada semua bagian-bagiannya
dan bab-babnya, sangat sedikit hadis tentang ushul disusun dari rekan-rekan
kami, di dalam buku-buku dan kumpulan hadis mereka.[31]
Al-Istibshar fima ‘Khtalaf al-Akhbar
Kitab Al-lstibshar adalah
karya keempat dan terakhir dari karya utama hadis Islam Syi’ah. Isinya mencakup
bidang yang sama dengan Tahzhib al-Ahkam tetapi lebih kecil. al-Thusi
menyebutkan bahwa rekan- rekannya setelah melihat ukuran dan kitab Tahdhib
al-Ahkam berpikir: Akan berguna jika ada sebuah buku rujukan (mazhkur) yang
dapat digunakan oleh para pemula dalam mempelajari fiqh, atau seorang yang
telah tamat untuk kembali mengingat-ingat, atau pelajar tingkat menengah untuk
mengkaji lebih dalam. Dengan demikian mereka bisa mendapatkan apa yang
dibutuhkan dan mencapai hasrat jiwa mereka. Apa yang berkaitan dengan
hadis-hadis yang berbeda-beda akan dikumpulkan dengan cara diringkas...
Karena itu mereka meminta
saya untuk mencurahkan perhatian untuk menyusun dan meringkas Tahzhib al-Ahkam.
Memulai tiap bagiannya dengan sebuah pengantar mengenai putusan-putusan hukum
dan hadis-hadis di dalamnya. Kemudian saya menyebutkan hadis-hadis yang tidak
sepaham dan menjelaskan titik temu di antara keduanya. Saya mengikuti apa yang
saya lakukan dalam buku yang lebih besar (misal, Tahzhib al-Ahkam). Pada
permulaan buku, saya akan menjelaskan secara singkat bagaimana hadis-hadis
ditimbang terhadap [32] yang lainnya.
Al-Thusi kemudian
mengikuti pernyataan ini dengan uraian singkat namun luas dan jelas mengenai
dasar-dasar yurisprudensi.[33] Seperti dilihat dari pengantar
al-Thusi, al-Istibshar pada dasarnya adalah sebuah ringkasan dari Tahzhib
al-Ahkam. Metodenya serupa tetapi lebih singkat. Tidak terdapat banyak hadis
yang dipergunakan dalam karya ini dan penjelasannya lebih ringkas. Dalam
beberapa hal mirip Man la Yahduruh al-Faqih, meski tidak memberikan sanad
lengkap untuk hadis yang dikutip. Meski demikian mungkin dapat dikatakan bahwa
al-Kafi dan Tahdhib al-Ahkam mewakili kumpulan-kumpulan hadis, sedangkan Man la
Yahduruh al-Faqih dan al-Istibshar adalah buku yang dimaksudkan untuk digunakan
sebagai rujukan singkat untuk pelajar dan ulama.
Kumpulan dan komentar
hadis-hadis Syi’ah tidak berakhir pada al-Thusi. Tetapi karyanya menandai titik
puncak dalam proses ini. Dimulai oleh al-Kulaini, dengan karyanya al-Kafi, yang
meski bukan kumpulan hadis pertama, merupakan karya besar pertama kumpulan
hadis. Proses ini kemudian dilanjutkan oleh Ibn Babawaih. Dalam pengantarnya
pada Man la Yahduruh al-Faqih, Ibn Babawaih menjelaskan bahwa ia juga telah
menggunakan Ushul al-Kafi tersebut. Al-Thusi, penulis dua karya besar hadis
Syi’ah yang lain, juga mengakui kebergantungannya pada karya- karya awal
tersebut. Seperti yang telah disebutkan, ketiga penulis ini dan keempat karya
besarnya memberikan gambaran umum yang sesuai dengan pemikiran hukum Islam
Syi’ah. Ini adalah gambaran yang luar biasa mengenai hadis dan menunjukkan
bahwa, apapun tingkah laku pribadi yang mungkin terjadi, pemuka ulama Syi’ah
mempunyai pandangan yang jelas dan konsisten mengenai hadis-hadis mereka.
Catatan:
1. Bandingkan dengan pengantar ‘Ali Akbar al-Ghaffari pada al-Kafi al-Kulaini edisi delapan volumenya (Teheran, edisi ke-3 1388-), I, 9-13.
2. Ibid. I, 14.
3. Ibid. I, 23-24, dikutip dari teks al-Kulaini pada halaman 8.
4. Karya ini telah disunting dalam dua volume oleh Jalal al-Din al-Husaini dan dipublikasikan di Teheran, 1370 AH.
5. Pada usul, lihat Agha Buzurg, al-Tihrani al-Dari’a ila Tasarif al-Syi’ah (Najaf dan Teheran, 1963-), II, 125-129.
6. Hashim Ma’ruf al-Hasani, Dirasat fi al-Kafi wa al-Shahih (Sur 1968) 137-8.
7. Berdasar pada perhitungan berbagai kategori hadis yang diberikan oleh Agha Buzurg al-Tihrani, op.cit. XVII 245.
8. Angka diberikan oleh ‘Ali Akbar al-Ghaffari dalam pengantar al-Kafi, juz I, hal. 28, catatan kaki 3.
9. Agha Buzurg al-Tihrani, op.cit., juz XVII, hal. 245.
10. F. Sezgin, Geshichte des arabischen Schrifttums, Leiden, 1967, juz I, hal. 541-542.
11. Tentang al-Kulaini dan al-Kafi, lihat Al-Serat, Vol. II, No. 1 (Maret, 1976), hal. 28-32.
12. Tentang Ibn Babawaih and Man la yahduruh al-Faqih, lihat al-Serat, No. 2 (Juni, 1976), hal. 19-22.
13. Edisi baru dalam sepuluh volume disunting oleh al-Sayyid Hasan al-Musawi al-Khurasan, diterbitkan di Teheran, edisi ke-3, 1390 H.
14. Uraian kehidupan al-Syaikh al-Thusi diambil dari pengantar al-Sayyid Bahr al-Ulum pada Talkhis al-Syafi-nya al-Thusi, edisi ke-3, Qumm, 1974, hal. 1-45.
15. Tahzhib al-Ahkam, op.cit., juz I, hal. 3.
16. Idem, hal. 2-3.
17. Idem, hal. 66- 74
18. al-Musawi, pengantar dalam Tahzhib al-Ahkam, I, hal. 46 mengutip al-Sayyid Bahr al-Ulum.
19. al-Istibshar, op.cit. juz I, hal. 2.
20. Idem, hal. 2-3.
21. Idem, hal. 3-5
22. Lihal pengantar al-Sayyid Hasan al-Musawi al-Khurasan dalam edisi Man la Yahduruh al-Faqih-nya, Teheran, 1390.
23. A. Fyzee, A Shi’ite Creed, Calcutta, 1942, hal. 8, catatan kaki 2.
24. Lihal al-Sayyid Hasan al-Musawi al-Khurasan, “Introduction”, op. cit., I, hal. z-t
25. W. Madelung, “Imamism and Mu’tazilite Theology”, dalam Le Shi’isme Imamite, Paris, 1970, hal. 21.
26. Al-Syaikh al- Thusi, al-Fihrist, Masyhad, 1351 A.H.S.), hal. 303.
27. Disebutkan oleh A. A. Fyzee, op. cit., hal. 11, 16.
28. Disebutkan oleh W. Madelung, op. cit., hal. 20.
29. Al-Sayyid Hasan al-Musawi al-Khurasan, op. cit.
30. Al-Syaikh al-Thusi, loc. cit.
31. Dikutip dari A. A. Fyzee, op. cit., hal. 6.
32. Man la Yahduruh al-Faqih, juz. I, hal. 2-3.
33. Ibid., juz I, hal. 3.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar