Minggu, 10 Juli 2016

Kaum Intelektual dan Demokrasi Pasar


Bagi yang konsen pada studi analisis wacana, kajian politik global, dan soal-soal yang berkaitan dengan kapitalisme serta kondisi mutakhir masyarakat dunia kita belakangan ini, tentu mengenal pula nama Noam Chomsky. Tulisan ini mencoba untuk menguraikan kembali analisanya Noam Chomsky tentang demokrasi-kapitalis, utamanya terkait dengan negara Noam Chomsky sendiri, Amerika Serikat, yang belakangan ini acapkali disorot karena politik invasif-nya di sejumlah negara, utamanya di Timur Tengah, seperti di Irak dan Suriah belakangan ini.

Di sini, yang hendak diangkat dan didadarkan adalah bagaimana kaum korporat (para oligarkh dan pengusaha-pengusaha multinasional) yang bekerjasama dengan kekuasaan ‘membentuk pikiran publik’ atau menggiring opini dan pikiran masyarakat dalam memandang dunia dan realitas kita saat ini, yang salah-satu contohnya adalah dengan menggunakan kelas menengah kaum intelektual (yang menikmati bayaran dan kenyamanan dari kapitalisme dan pasar yang dikendalikan kelas/korporasi berkuasa).

Dalam pandangan dan analisisnya Noam Chomsky, proses pembentukan pikiran publik melalui propaganda dan doktrin untuk mengukuhkan kekuasaan kelas berkuasa di Amerika Serikat telah lazim digunakan, bahkan dapat dikatakan sejak Amerika Serikat itu sendiri didirikan oleh para pendatang yang membantai puluhan juta (ada yang menyebut seratus juta) orang-orang Indian yang merupakan penduduk asli benua Amerika kala itu. Tanpa ditopang oleh penguasaan atas pikiran publik, demikian diterangkan Noam Chomsky, maka doktrin-doktrin kelas berkuasa takkan bisa bertahan lama.

Dalam hal ini, apa yang diperlukan oleh setiap kekuasaan adalah “mendikte setiap pikiran publik persis seperti halnya sebuah pasukan mendikte tubuh-tubuh dari tentara-tentaranya” melalui lembaga-lembaga dan atau institusi-institusi, semisal lewat institusi pendidikan, selain melalui media-media massa.

Dengan mengutip pengalaman Edward Bernays saat bekerja untuk Komite untuk Informasi Publik, Noam Chomsky menunjukkan bahwa sejak Perang Dunia Pertama, Amerika Serikat telah terbiasa dengan upaya-upaya “menundukkan pikiran publik”, “merekayasa konsensus”, “menggiring aspirasi massa”, dan juga “memanipulasi massa atau publik (masyarakat dan warga negara) secara terencana dan cerdas, semisal membentuk dan menggiring kebiasaan-kebiasaan dan opini-opini massa secara terorganisir demi tujuan-tujuan strategis dan politis Amerika, dan tentu juga demi menciptakan kepatuhan warga negara”.

Upaya-upaya tersebut tentu saja ditopang bukan hanya melalui propaganda-propaganda media-media massa belaka yang dimiliki para korporat yang bekerjasama dengan pemerintah dan para politisi Amerika Serikat, melainkan oleh kaum intelektual, seperti yang dilakukan James Madison, agar gagasan dan doktrin tentang kekuasaan kaum kapitalis itu bisa memperoleh legitimasi dan bahkan landasan konstitusional di dalam negeri Amerika Serikat, sehingga kepatuhan warga Amerika Serikat pun dimungkinkan, dan menimalisir potensi kritis dari warga negara Amerika.

James Madison yang merupakan intelektual politik dan presiden keempat Amerika Serikat itu, demikian sebagaimana dicontohkan Noam Chomsky, memainkan peranan yang sangat penting bagi peletakan batu fondasi (alas atau dasar) bagi struktur politik yang kapitalis dan imperialis, dapat berlaku dan berjalan di Amerika Serikat. Jadi, dalam hal ini, dapat dikatakan, sedari awal sebenarnya struktur dan pemerintahan di Amerika Serikat dirancang demi ‘mengamankan’ kepentingan kaum oligarkh dan para korporat yang bekerjasama dengan pemerintah dan para politisi di Amerika Serikat.

Lebit lanjut, Noam Chomsky menerangkan bahwa sebagai salah seorang perancang konstitusi Amerika Serikat, James Madison menolak pengalaman Inggris dimana demokrasi memungkinkan masyarakat kelas bawah untuk merebut kembali tanah dari para tuan tanahnya, dan hal itu dirasa sangat mengkhawatirkan bagi para bangsawan dan korporat yang ada di Amerika Serikat.

Begitulah, karena kekhawatiran itu, James Madison pun berupaya sekuat pikiran dan tenaganya untuk meletakkan dasar politik Amerika Serikat dengan mendukung suatu model sistem politik yang “melindungi minoritas orang kaya (para korporat dan kaum oligarkh) menghadapi kaum mayoritas” dan “mencanangkan suatu sistem dan mekanisme di mana kekuasaan politik harus berada di tangan orang-orang kaya di negeri itu, harus dalam kendali dan berada di tangan para oligarkh dan korporat”, sementara “lapis masyarakat yang lain harus dimarjinalisasikan dan dipecah-belah, agar tercipta partisipasi publik yang terbatas di wilayah arena politik”.

Dan tak diragukan lagi, hasil dari doktrin Masonian itu pun adalah diteguhkannya kekuasaan otoritarian yang menjadi dasar dari demokrasi pasar (demokrasi yang dikendalikan kaum elit kecil kapitalis yang pernah dikritik Bung Karno itu), yaitu sejenis demokrasi yang dikangkangi oleh kaum oligarkh dan korporasi bisnis dan digunakan untuk memuluskan dan ‘memapankan’ kekuasaan mereka, sebagaimana terjadi saat ini di mana mereka membiayai sejumlah perang dan politik invasi Amerika ke sejumlah negara, utamanya di Timur Tengah, semisal di Yaman, Suriah dan Irak.

Selanjutnya, setelah konstitusi Masonian yang menopang kekuasaan kaum kapitalis tersebut ditegakkan dan dimapankan sistem dan mekanismenya, beberapa doktrin yang memiliki preferensi terhadap ‘pasar bebas’ (liberalisme yang akan menguntungkan mereka) pun diterapkan. Kaum intelektual di negeri itu pun mengamini tuntutan kaum industrialis Amerika Serikat yang menyerukan adanya “malapetaka yang mengancam kaum industrialis” dalam bentuk “kekuasaan politik massa rakyat yang baru terbangun.”

Bersama-sama dengan kaum intelektual itulah, “kaum industrialis (para oligarkh dan korporat) itu harus menjalankan serta memenangkan perang yang tiada akhir demi memperebutkan pikiran-pikiran manusia” dan “mengindoktrinasi para warga negara dengan cerita kapitalis” yang mereka buat, yang bahkan mereka massifkan dalam kurikulum pendidikan dan “didoktrinkan’ di sekolah-sekolah dan perguruan-perguruan tinggi. Beberapa dari suara-suara kaum industrialis dan intelektual itu utamanya ditujukan untuk mewaspadai bangkitnya kekuatan sosialisme di Amerika Latin, dan dalam hal inilah Amerika Serikat juga berusaha membendung pengaruh-pengaruh pikiran sosialis yang datang dari Soviet (Rusia).

Kemudian, untuk menghambat proses tersebut, kaum intelektual, kalangan pebisnis (para oligarkh dan kaum elite korporat) dan negara imperial Amerika Serikat pun berupaya untuk menanamkan doktrin Washington Konsensus (neo-liberalisme) dan demokrasi pasar, baik melalui serangkaian perjanjian struktural maupun melalui perang imperialis. Terhadap upaya ini, para editor jurnal ilmiah yang bergaris liberal, contohnya, mendukung dengan gigih dengan menyebut bahwa proses yang sedang terjadi pada dasarnya “kebangkitan kembali demokrasi di Amerika Latin”.

Tak pelak lagi, dukungan ‘membuta’ (tanpa kritik dan perlawanan) kaum intelektual itu, sebagaimana dipaparkan Noam Chomksy, melalaikan fakta bahwa: “demokrasi yang dimaksud adalah sejauh ia meniru model Amerika Serikat yang memberi keleluasaan pada kaum kaya, juga mengabaikan bahwa demokrasi seperti itu seringkali dibangun di atas perang dan teror terhadap kaum miskin, serta yang juga cukup miris: melupakan fakta bahwa demokrasi pasar berdiri di atas penderitaan kaum buruh, petani, dan kaum miskin lainnya yang semakin dihisap dan dieksploitasi. 


Senin, 27 Juni 2016

Khomeini Perubah Sejarah


“Di manakah gerakan kebangsaan? Wahai bangsa Iran, Iran terancam petaka. Negeri Darius dijarah bangsa Nicholas” (Ayatullah Khomeini)

Khomeini adalah nama yang tak asing bagi jutaan Muslim di seluruh dunia. Pemimpin bersahaja ini telah ‎mengubah alur sejarah, bukan hanya Iran, negerinya, tetapi juga seluruh dunia.‎ lahir pada tanggal 20 Jumada Thaniyah tahun 1321 Hijriyah, kelahirannya bertepatan dengan hari lahir Sayyidah Fatimah Az-Zahra, putri Nabi Muhammad SAW. ‎Imam Khomeini yang terlahir dengan nama Ruhullah Mostafavi (Musavi) berasal dari ‎keluarga yang dikenal dengan ketinggian ilmu, taqwa dan perjuangan melawan kezaliman. ‎Ayahnya, Ayatullah Sayid Mostafa Musavi gugur syahid di tangan berandalan lokal karena ‎pembelaannya terhadap orang-orang yang tertindas. Ketika itu, Imam Khomeini masih berusia lima ‎bulan. ‎

Sepeninggal ayahnya, Imam Khomeini hidup di bawah bimbingan ibunya (Banu Hajar) yang ‎penyayang, bibinya (Sahebeh Khanoum) yang dikenal bertaqwa dan pemberani, serta ‎pengasuhnya yang saleh (Nane Khavar). Sejak kanak-kanak sudah mempelajari ‎kemahiran berkuda dan menembak.‎

Masa kanak-kanak dan remaja dilewati olehnya ketika Iran sedang mengalami ‎gejolak besar politik dan sosial. Sejak masa itu ia telah mengenal dari dekat kesulitan ‎yang dialami oleh masyarakat umum. Keterlibatan keluarganya dalam membela hak-hak ‎kaum tertindas membuatnya kelak tumbuh menjadi pejuang hakiki. Ketika masih kanak-kanak ‎ia sering melukiskan perasaannya yang memprihatinkan tentang kondisi masyarakat sekitar dalam ‎corat-coret buku gambarnya. Di masa remaja, perasaan itu semakin dalam ia rasakan. Dalam ‎salah satu bukunya yang ia tulis di masa remaja, yang kala itu masih berusia antara ‎‎9 dan 10 tahun, ia menulis: ‎ Di manakah kecemburuan Islam?‎ Di manakah gerakan kebangsaan?

Kepada bangsa Iran, ia menulis: Wahai bangsa Iran, Iran terancam petaka. Negeri Darius dijarah bangsa Nicholas[1‎].

Tulisan itu bisa disebut sebagai statemen politik pertama yang dibuat oleh ‎remaja yang kelak akan memimpin bangsa Iran, sekaligus menunjukkan perhatiannya yang ‎besar kepada nasib negeri dan bangsanya. ‎Sejak kecil ia memang tertarik kepada tokoh-tokoh pejuang. Ketika Mirza Kucik Khan Jangali ‎bangkit berjuang dengan mengangkat senjata, ia ikut membantu menyampaikan ‎pidato dan membaca syair tentang Mirza Jangali. Ia juga terlibat mengumpulkan dana untuk ‎membantu gerakan Mirza. Sampai akhirnya ia memutuskan untuk bergabung dengan ‎kelompok Jangali dan bertemu Mirza[2].‎

Sebagai remaja, ia memiliki kecerdasan yang luar biasa. Ia berhasil ‎menguasai berbagai cabang ilmu. Selain ilmu fiqih, ushul dan filsafat, ia juga menguasai irfan. ‎Kedalaman ilmunya diakui oleh para gurunya sendiri. Ia belajar dari sejumlah ‎guru di kota Khomein, Arak dan Qom. Hanya dalam waktu enam tahun ia berhasil ‎mempelajari banyak cabang ilmu sebelum akhirnya mengukuhkan diri sebagai salah seorang ‎ulama dan pengajar di pusat ilmu Islam di kota Qom[3‎]

Ketika masih menjadi pelajar agama di kota Arak, Sayid Ruhullah Mosavi yang kala itu ‎berusia 19 tahun untuk pertama kalinya mendapat kesempatan secara resmi berpidato di ‎depan umum. Pidato itu dalam acara memperingati tokoh penting Revolusi Konstitusi ‎Mojtahed Thabatabai. Pidato yang lebih mirip dengan statemen politik itu disampaikan oleh ‎seorang pelajar agama yang masih muda untuk mengenang jasa tokoh perjuangan Revolusi ‎Konstitusi[4].‎

Imam Khomeini mengenai hari itu menceritakannya sendiri: ”…Aku diminta untuk menyampaikan khotbah di atas mimbar. Tawaran itu aku terima dengan ‎baik. Malam itu aku tak banyak tidur, bukan karena takut berbicara di depan umum tetapi ‎karena meyakini bahwa aku bakal berdiri di mimbar milik Rasulullah SAW. Karena itu aku ‎memohon kepada Allah untuk memberikan pertolongan-Nya kepadaku, agar di antara semua ‎yang kuucapkan sejak awal hingga akhir, jangan ada kata-kata yang tidak kuyakini. ‎Permohonan ini adalah ikrar antara aku dan Allah. Khotbahku yang pertama kali berlangsung ‎panjang, tapi tidak ada orang yang merasa lelah…Aku mendengar suara sebagian orang ‎yang memuji pidatoku. Terlintas di hatiku perasaan senang mendengar pujian itu. Karena itu ‎undangan kedua dan ketiga untuk berpidato aku tolak dan selama empat tahun setelah itu ‎aku tidak pernah naik ke mimbar dan berkhotbah.”[5]‎

Ketika Sayid Ruhulah Mosavi hijrah ke kota suci Qom, saat itu Reza Khan ‎Pahlevi, raja pertama dinasti Pahlevi melanjutkan kebijakannya yang anti agama. Di masa ini, ‎Sayid Ruhullah yang sedang sibuk dengan aktivitas belajar, mengajar dan menulis buku, ‎mulai berkenalan dengan para ulama pejuang seperti Ayatollah Haj Agha Nurullah Esfahani, ‎Ayatollah Modarres dan sejumlah nama besar lainnya.

Di masa kekuasaan Reza Khan ini ‎tercipta kondisi yang sangat mencekik. Karena itu para ulama berjuang untuk ‎mempertahankan dan melindungi hauzah ilmiah yang merupakan pusat pendidikan agama ‎Islam di Qom. Bisa dikatakan bahwa perjuangan mempertahankan hauzah di zaman itu tidak ‎kalah pentingnya dari membentuk pemerintahan Islam yang kelak terjadi tahun 1979[6].‎

Ketika Imam Khomeini (ra) menginjak usia 40 tahun, terjadi dua ‎peristiwa besar. Pertama, berkecamuknya Perang Dunia II dan jatuhnya Iran ke tangan ‎pendudukan asing, dan Kedua larinya Reza Khan ke luar negeri dan anaknya yang bernama ‎Mohammad Reza naik ke singgasana kekuasaan. ‎

Melihat kondisi yang ada, Sayid Ruhullah Mosavi merasa bahwa inilah saat yang tepat untuk ‎melakukan gerakan kebangkitan demi memperbaiki kondisi negeri Iran yang carut marut. Meski ‎telah melakukan banyak usaha, namun kebangkitan yang diinginkan tidak terjadi. Imam ‎Khomeini yang telah dikenal sebagai salah seorang ulama besar di Qom memiliki kecakapan ‎yang seharusnya untuk memimpin sebuah gerakan kebangkitan rakyat. Ia sudah ‎merasakan 20 tahun kekuasaan Reza Khan dan memiliki wawasan politik yang luas.

Pada ‎tanggal 11 Jumada Thani tahun 1363 Hijriyah atau sekitar tahun 1944 Masehi, Imam ‎Khomeini merilis sebuah pernyataan yang menyerukan rakyat bangkit dengan memanfaatkan ‎kondisi yang ada.

“Hari ini bertiup angin ruhani yang sejuk dan hari ini adalah hari yang paling ‎baik untuk sebuah kebangkitan demi perbaikan. Jika kalian lewatkan kesempatan ini dan ‎tidak bangkit demi ridha Allah serta tidak mengambalikan syiar agama ke posisinya semula, ‎maka besok, orang-orang tak bermoral dan pengumbar syahwat akan menguasai kalian. ‎Mereka akan mempermainkan kehormatan kalian demi kepentingannya.”[7]‎

Tak lama kemudian, Imam Khomeini kaum muslim Iran dan Imam Khomeini mengalami dua peristiwa duka. ‎Pertama adalah wafatnya Ayatullah Al-Udzma Boroujerdi pada tanggal 29 Maret 1961. ‎Dengan wafatnya marji besar Syiah ini, dunia Islam kehilangan salah satu tokoh penting yang ‎membentengi Islam, dan di sisi lain musuh-musuh Islam dan Iran bersuka cita atas kepergian ‎Ayatullah Boroujerdi (ra).

Peristiwa kedua adalah wafatnya Ayatullah Kashani, pejuang besar ‎dalam melawan kekuasaan imperialisme Inggris. Nama Ayatullah Kashani cukup membuat ‎hati penguasa Britania Raya dan musuh-musuh Islam bergetar. Wafatnya dua ulama besar ‎ini terjadi seiring dengan dimulainya periode masuknya pengaruh Amerika Serikat (AS) di Iran. ‎

Amerika Serikat gencar menekan rezim Shah Pahlevi untuk memberlakukan perubahan di semua bidang ‎sesuai kemauan Washington. Imam Khomeini menangkap sinyal bahaya besar di balik ‎perombakan gaya Amerika Serikat ini. Langkah-langkah rezim Pahlevi hanya akan membuka jalan bagi ‎Amerika Serikat dan Israel untuk menguasai Iran.

Segera, Imam Khomeini gencar mengingatkan semua pihak ‎untuk menyadari bahaya dari langkah-langkah Shah Pahlevi yang akan menguntungkan imperialisme Amerika dan apartheid Israel ini. Rezim Pahlevi kemudian melakukan pembalasan atas ‎gerakan Imam Khomeini dengan sebuah tindakan yang brutal. Tentara dan dinas keamanan (SAVAK) ‎pada tanggal 22 Maret tahun 1963, bertepatan dengan peringatan Syahadah Imam Ja’far As-Shadiq ‎‎(as), dikerahkan untuk menyerang madrasah Feiziyah di Qom, tempat Imam Khomeini ‎mengajar. Banyak pelajar agama yang gugur Shahid dalam peristiwa itu.‎

Peristiwa Feiziyah semakin mendorong Imam Khomeini untuk melanjutkan gerakannya. ‎Memperingati 40 hari gugurnya para pelajar Feiziyah, Imam Khomeini menyampaikan ‎pidatonya yang berapi-api. Beliau mengumumkan tidak akan diam sebelum menundukkan ‎rezim Shah Pahlevi yang disokong Amerika dan Israel itu. Malam harinya, Imam Khomeini ditangkap dan dijebloskan ke penjara Qasr. Pagi ‎hari, berita penangkapan Imam Khomeini didengar oleh masyarakat luas di Tehran dan kota-‎kota lainnya. ‎

Massa dalam jumlah besar berbondong-bondong memenuhi jalanan dan bergerak menuju ‎istana Shah Pahlevi. Mereka berjalan dengan meneriakkan yel-yel “Khomeini atau Mati”. Dengan ‎slogan ini mereka menuntut rezim untuk membebaskan ulama pejuang ini. Rezim pun ‎melakukan tindakan brutal dengan membantai para demonstran. Korban pun berjatuhan.‎

Kepemimpinan Imam Khomeini dalam gerakan melawan Shah Pahlevi nampaknya reda ketika rezim ‎mengasingkan beliau ke Turki lalu ke Irak. Namun aktivitas perjuangan Imam Khomeini tidak ‎berhenti meski di pengasingan. Tahun 1978, putra tertua Imam Khomeini bernama Ayatollah ‎Sayid Mostafa Khomeini dalam sebuah peristiwa mencurigakan didapatkan terbujur kaku di ‎kamarnya. Banyak bukti yang mengarah kepada keterlibatan SAVAK dalam pembunuhan ‎Ayatollah Mustafa yang selalu menyertai ayahnya dalam setiap langkah. ‎

Syahidnya Ayatollah Mostafa Khomeini kembali menyulut gelora perjuangan yang selama ini ‎dilakukan di bawah tanah. Gelora itu kian membara setelah koran Ettelaat memuat tulisan ‎artikel yang menghujat Imam Khomeini dan kalangan ulama secara umum. Masyarakat ‎Muslim menggelar aksi demo dan memprotes kekurang-ajaran koran Ettelaat.

Aksi demo itu ‎berujung pada peristiwa pembantaian yang dilakukan tentara terhadap warga kota Qom. ‎Gerakan kebangkitan rakyat silih berganti terjadi di beberapa kota penting, Qom, Tabriz, ‎Isfahan, Yazd, Shiraz dan kota-kota lainnya. Puncak politik tangan besi rezim Shah Pahlevi terjadi ‎pada peristiwa yang dikenal dengan nama peristiwa 17 Shahrivar 1357 Qamariah Shamsiah. ‎

Shah Reza Pahlevi yang menyaksikan kondisi Iran sudah tidak memungkinkan ‎baginya untuk menetap lebih lama, segera angkat kaki meninggalkan Iran dan ‎singgasananya. Dengan larinya Shah Pahlevi, Imam Khomeini yang saat itu berada di Paris ‎memutuskan untuk kembali ke Iran. Jutaan warga menyambut kedatangan Imam Khomeini. ‎Tiba di Tehran, Imam langsung menuju Behesht-e Zahra, taman makam para pahlawan ‎perjuangan melawan rezim Shah. Di sana beliau menyampaikan pidatonya yang bersejarah. ‎Imam menyatakan bahwa kekuasaan yang ada saat ini tidak legal. ‎

Tiba tanggal 1 Februari 1979, Imam Khomeini segera memimpin langsung perjuangan rakyat ‎Iran menumbangkan kekuasaan despotik Shah Pahlevi yang sudah di ujung tanduk. Tanggal ‎‎10 Februari, PM Shapour Bakhtiar mengeluarkan undang-undang darurat militer dan jam ‎malam. Imam dalam sebuah amaran singkatnya menyebut jam malam tidak legal. Selama 24 ‎jam terjadi bentrokan bersenjata antara rakyat dan tentara yang masih setia kepada rezim ‎Shah Pahlevi. ‎

Pagi hari tanggal 11 Februari 1979, dengan kaburnya Shapour Bakhtiar ke luar negeri, kekuasaan ‎Shah Pahlevi pun berakhir. Sebagai gantinya berdiri pemerintahan baru dengan sistem Republik ‎Islam. ‎

Sejak kemenangan revolusi Islam hingga 2 Juni 1989 (hari wafat Imam Khomeini) terjadi ‎banyak peristiwa penting di Iran yang menunjukkan betapa Amerika Serikat (AS) memusuhi ‎pemerintahan Islam ini. Kelompok pemberontak sayap kanan atau kiri di Iran yang berusaha ‎menumbangkan pemerintahan Islam didukung secara penuh, baik secara politik maupun ‎finansial, oleh Barat (Amerika, Israel, Ingris, dkk) dan Timur (Rezim Saudi Arabia dkk). Adidaya dunia pun mendorong tiran Irak, Saddam, untuk menyerang Iran. Perang pun meletus dan berlangsung selama delapan tahun –terhitung sejak 1980 hingga 1988.‎

Berbagai makar dan tipu daya dalam skala besar dilakukan oleh adidaya Barat dan Timur ‎untuk menggulung pemerintahan Islam di Iran. Namun berkat pertolongan Allah dan di bawah ‎kepemimpinan Imam Khomeini, semua tipu daya itu dapat digagalkan dan pemerintahan ‎Islam di Iran tetap berdiri dengan tegaknya hingga saat ini. ‎

CATATAN:
‎[1] Kautsar (Kumpulan Pidato Imam Khomeini r.a), diterbitkan oleh Yayasan Penyusunan ‎dan Penerbitan karya Imam Khomeini, cetakan pertama, jilid 1 halaman 615‎.
‎[2] Sayid Ali Qaderi, Ruhullah Khomeini (Biografi Imam Khomeini r.a), Yayasan ‎Penyusunan dan Penerbitan karya Imam Khomeini, cetakan ketiga, jilid 1 halaman 232 – ‎‎236.‎
‎[3] Amir Reza Sotoudeh, Pa be Paye Aftab (Kumpulan kisah hidup Imam Khomeini r.a), ‎jilid 1 halaman 30.‎
‎[4] Sayid Ali Qaderi, Ruhullah Khomeini (Biografi Imam Khomeini r.a), Yayasan ‎Penyusunan dan Penerbitan karya Imam Khomeini, cetakan ketiga, jilid 1 hal: 260, ‎juga Sar Gozashtehaye Vijeh jilid 6 halaman 11.‎
‎[5] Sayid Ali Qaderi, Ruhullah Khomeini (Biografi Imam Khomeini r.a), Yayasan ‎Penyusunan dan Penerbitan karya Imam Khomeini, cetakan ketiga, jilid 1 halaman 260.‎
‎[6] Buletin Khabar Nameh yang diterbitkan untiuk seminar Haj Agha Nurullah Esfahani ‎nomor 1 halaman 16 – 17 dan nomor 2 halaman 12 – 13, mengutip pernyataan ‎Ayatollah Pasandideh dan Ayatollah Mazaheri.‎
‎[7] Sahifeye Nour, Yayasan Penyusunan dan Penerbitan karya Imam Khomeini, cetakan ‎ketiga, jilid 1 halaman 4 – 6.

Senin, 20 Juni 2016

Hempher, Kisah Sang Intelijen Inggris (Bagian Pertama)


Pada tahun 1710 M, perwakilan negara-negara jajahan telah mengutusku ke Mesir, Iraq, Tehran (Iran), Hijaz dan Astana untuk mengumpulkan dokumen-dokumen lengkap yang akan memberi jalan keluar bagi kami untuk memporak-porandakan kaum muslimin dan meluaskan kekuasaan kami di atas negeri-negeri Islam. Pada waktu yang sama perwakilan mengutus sembilan pejabat yang terpilih, berjiwa patriot, disiplin dan pemberani. Mereka diutus untuk kekuasaan pemerintah ke selururuh bagian-bagian imperatur dan semua negara Islam.

Kami dibekali harta yang cukup oleh perwakilan, maklumat yang diperlukan, peta-peta yang memadai dan nama-nama para hakim, ulama dan tokoh-tokoh tiap suku. Dan aku tidak senang dengan ucapan sekretaris di saat perpisahan ‘dengan nama Al-Masih’, yang mengatakan: “Masa depan negri kita bergantung pada keberhasilan kalian, karena itu berjuanglah dengan sekuat tenaga kalian agar kalian berhasil”.

Maka aku berangkat menuju Astana. Di sana ada beberapa pekerjaan pentingku sekaligus, ialah belajar bahasa Turki, bahasa kaum muslimin di sana. Di London aku pernah belajar tiga bahasa Turki, Arab (bahasa Al-Qur`an) dan Parsi (bahasa Pahlevi dan rakyat Iran). Namun belajar bahasa adalah sebuah perkara, sedangkan menguasai bahasa sampai batas mampu berbicara dengan bahasa suatu bangsa adalah perkara lain. Di mana perkara yang pertama tidak membutuhkan masa yang lama sedangkan perkara yang kedua lebih jauh lama lagi. Aku belajar bahasa dengan sedetailnya sehingga orang lain tidak menyangka asalku.

Tetapi aku tidak khawatir dengan masalah itu, sebab kaum muslimin mempunyai jiwa toleransi, lapang dada dan baik sangka, sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi mereka. Jadi keraguan mereka tidaklah sama dengan keraguan yang ada pada kami. Di sisi lain, pemerintahan Turki belum sampai pada tahap yang berkemampuan untuk mengungkap mata-mata dan pekerja kami. Dan yang menyenangkan kami bahwa Turki adalah pemerintahan yang pasif dan tak serius.

Setelah perjalananku itu, kini aku sampai di Astana. Di sana aku punya nama Muhammad, dan aku harus pergi ke masjid (tempat ibadah kaum muslimin). Aku harus disiplin, rapi, bersih dan menjadi hamba yang taat sebagaimana yang mereka lakukan. Terlintas dalam benakku: “Mengapa kami memerangi mereka sebagai umat manusia? Mengapa kami berbuat mencerai-beraikan mereka dan mengambil apa yang mereka miliki? Inikah yang diajarkan Al-Masih?” Cepat-cepat kukuasai diriku dan menghindari pikiran setan ini. Kutuang minuman ke dalam gelas dan kuminum.

Di sana aku bertemu dengan seorang syeikh yang alim namanya, Ahmad Afandam. Dia orang baik, penyabar, tulus dan cinta kebaikan. Aku tidak menemukan orang baik sepertinya pada para pendeta kami. Dia selalu berusaha siang malamnya mencontoh dan mengikuti sunnah Nabi Muhammad. Dan dia selalu menjadikan Nabinya sebagai figur yang luhur. Setiap disebut nama Nabinya maka tergenang air matanya. Mujur nasibku karena ia tidak pernah sepatah katapun menanyakan di mana aku berasal dan apa bangsaku. Dia memanggilku dengan nama ‘Muhammad Afandi’. Dia selalu mengajariku, bila aku bertanya dia menjawab. Dia selalu menyambutku dan besar perhatiannya terhadapku, karena menyadari bahwa aku adalah tamu di negrinya. Aku datang untuk bekerja dan sebagai orang yang patuh di bawah naungan pemerintah, sebagaimana yang diajarkan Nabi Muhammad (ini yang aku jadikan alasan di Astana).

Pernah aku mengutarakan kepada Syeikh, “Aku seorang pemuda, ayah dan ibuku telah meninggal dan aku tak punya saudara. Mereka meninggalkan warisan kepadaku. Kemudian aku berpikir, aku bekerja dan belajar Al-Qur`an dan sunnah. Maka aku mendatangi pusat Islam untuk memperoleh ilmu agama dan dunia”. Syeikh sangat gembira dan mendukung niatku itu. Lalu ia mengatakan kepadaku –dan aku mencatat kata-katanya-, “Wajib atas kami disebabkan beberapa hal:

[1] Karena Anda seorang muslim, dan antara muslimin adalah saudara.

[2] Karena Anda seorang tamu, dan Rasulullah saw bersabda, “Muliakanlah tamumu”.

[3] Karena Anda seorang penuntut ilmu dan Islam, dan memuliakan penuntut ilmu itu ditekankan.

[4] Karena Anda bermaksud bekerja, dan dalam hadis disebutkan bahwa “Orang yang bekerja adalah kekasih Allah”.

Sungguh aku takjub dengan keterangannya ini, dan aku katakan pada diriku, “andai saja orang-orang nasrani mempunyai jiwa mulia seperti ini”. Tetapi aku juga heran, bagaimana Islam yang begitu tinggi ini mengalami kelemahan dan terbelakang. Keadaan ini tentunya di tangan ulama yang su`, ulama yang bodoh akan kehidupan.

Kukatakan pada syeikh, “Aku ingin belajar Al-Qur`an!”. Maka ia menyambutku dan mengajariku surat Hamdalah dan menafsirkan makna-maknanya. Aku mengalami kesulitan dalam melafazkan sebagian bacaannya dan terkadang saking sulitnya tak mampu kuatasi. Aku teringat, bacaan yang selalu kuulangi sampai berpuluh-puluh kali dalam seminggu ialah bacaan “wa ‘alâ imamim mimmam ma’ak”, tapi tetap aku tak bisa melafazkannya dengan benar. Dan syeikh mengatakan padaku, “Anda harus menguasai idghâm meskipun ada rentetan delapan huruf mim”. Aku membaca Al-Qur`an mulai dari awal surat sampai khatam di hadapannya dalam masa dua tahun penuh. Dan ketika ia hendak mengajariku cara wudhu, ia menyuruhku berwudhu mengikuti ia berwudhu, kemudian kami duduk menghadap kiblat.

Perlu kusebutkan bahwa wudu menurut kaum muslimin, ialah membasuh dan mengusap. Cara mereka pertama, membasuh muka. Kedua, membasuh tangan yang kanan sampai sikut.  

Ketiga, membasuh tangan yang kiri sampai sikut. Keempat, mengusap kepala, telinga dan leher. Dan kelima, membasuh (mengusap) dua kaki.

Mereka mengatakan dianjurkan  sebelum wudu, berkumur dan menghirup air ke dalam hidung.

Dan aku sangat meragukan adanya anjuran miswâk, ialah sebuah amalan (kayu siwâk) yang mereka masukkan ke dalam mulut mereka untuk membersihkan gigi wudu. Dan aku yakin bahwa amalan ini merusak gigi dan mulut. Terkadang amalan ini melukai mulut dan mengeluarkan darah. Tetapi aku harus melakukannya, sebab menurut mereka adalah sunnah muakkadah dari Nabi mereka (Muhammad), dan mereka menyebutkan banyak manfaat dan keutamaan dari amalan ini.

Aku tidur di kamar penjaga masjid dan aku beri ia uang. Ia adalah orang yang berwatak fanatik, namanya Marwan Afandi, nama yang diambil dari salah satu nama sahabat Nabi Muhammad. Pembantu masjid itu bangga punya nama yang berkah itu. Ia pernah mengatakan padaku, “kalau Anda punya anak laki namailah Marwan, sebab Marwan adalah seorang sahabat besar yang berjuang untuk Islam”.

Aku tinggal bersamanya, dimana ia selalu menyediakan untukku makanan. Dan tiap pada hari Jum’at (hari besar kaum muslimin) aku libur bekerja. Adapun pada hari-hari biasa aku pergi bekerja sebagai tukang kayu. Gajiku kecil dan aku terima mingguan darinya. Dan bila aku bekerja di waktu pagi saja maka aku dapatkan separuh gaji. Juragan kayu itu bernama Khalid.  

Khalid si juragan kayu itu buruk perangainya dan sangat fanatik. Dan dia sangat percaya padaku, aku tak tahu kenapa. Mungkin dia percaya lantaran aku penurut dan mendengarkan kata-katanya. Aku tak pernah membantahnya jika ia bicara soal agama atau bicara soal tokonya. Dan ketika ia berdua denganku (untuk memenuhi nafsu bejatnya), ia memintaku melakukan liwath denganku dan perbuatan ini menurut Islam adalah sangat terlarang dan haram hukumnya –seperti yang telah diterangkan oleh syeikh. Dan Khalid adalah seorang muslim yang baik di luar dan buruk di dalam. Ia bergaul dan hadir salat Jum’at, tapi apakah dalam seharinya ia salat lima waktu atau tidak, aku tidak tahu!

Aku tolak permintaannya, dan aku kira ia telah melakukan perbuatan keji ini dengan sebagian buruhnya. Melihat salah satu pekerjanya, seorang anak muda yang tampan wajahnya. Slanik namanya, seorang Yahudi yang kemudian masuk Islam. Terkadang aku melihatnya bersama Khalid di belakang tokonya dalam gudang kayu. Mereka berdua menampakkan (pura-pura) menata kayu di gudang, tapi aku tahu yang sebenarnya bahwa mereka di belakang untuk memenuhi syahwat.

Aku makan siang di toko, setelah itu aku pergi ke masjid untuk salat Zhuhur dan aku tidak keluar dari masjid sampai waktu Asar. Usai salat Ashar aku pergi ke rumah Syeikh Ahmad untuk belajar Al-Qur`an, belajar bahasa Turki dan bahasa Arab selama dua jam. Dan setiap hari Jum’at aku sedekahkan sebagian uang yang aku peroleh dari gaji mingguan. Pada hakikatnya sedekah yang aku bayar hanyalah sogokanku supaya hubunganku dengannya terus berlangsung dan langgeng. Dan supaya dia mengajariku pelajaran yang terpenting. Dia tidak hanya mengajariku Al-Qur`an, prinsip-prinsip Islam dan bahasa Turki dan Arab saja (tetapi juga pelajaran-pelajaran yang lain).

Ketika Syeikh Ahmad tahu bahwa aku seorang bujangan, ia memintaku agar aku menikahi salah satu putrinya. Tetapi aku menolaknya dengan alasan bahwa aku lemah syahwat, tidak mempunyai kemampuan yang semestinya dimiliki seorang lelaki. Sebelum aku ungkapkan adanya uzur (kelainan), hubungan baikku dengannya nyaris terputus sampai-sampai ia mengatakan bahwa menikah itu sunnah Rasul. Dan beliau bersabda, “Barang siapa yang membenci sunnahku maka ia bukan dari golonganku”. Saat itu aku terpaksa berterus terang (padahal bohong) punya penyakit tersebut. Maka Syeikh mengangguk dan selamatlah hubunganku dengannya seperti biasanya, dengan kecintaan dan ketulusan.

Setelah dua tahun lamanya aku tinggal di Astana, aku pamit kepada Syeikh untuk pulang ke tanah air (Ingris). Tetapi ia menghalangiku sambil berkata, “Kenapa pulang? Di Astana ini sungguh menyenangkan di hati dan mempesona di mata, dan Allah menggabungkan dunia dan agama di sini. Bukankah kamu pernah bilang bahwa ayah dan ibumu telah mati dan kamu tidak punya saudara kandung? Karena itu jadikanlah Astana ini tempat hidupmu”. Syeikh menyatakan bahwa ia senang sekali bila aku tinggal, dan aku juga merasakan demikian. Tetapi  negeriku memaksa untuk (pertama) aku kembali ke London untuk memberikan laporan tentang ihwal wilayah-wilayah di ibu kota pemerintahan ini. Kedua utnuk mengambil perintah-perintah penting yang selanjutnya.

Selama aku di Astana, misiku berjalan dengan baik. Setiap bulan aku kirim laporan ke kementerian negara-negara jajahan, tentang keadaanku dan perkembangan-perkembangan serta apa saja yang aku telah saksikan. Aku selipkan dalam catatan laporanku berita tentang juragan kayu yang memintaku melakukan liwath. Kemudian dijawab dengan nada protes, “Kenapa itu ditolak, jika perbuatan itu mengantarkan pada tujuan, maka no problem!”. Membaca jawaban ini, aku termenung dan berpikir, “Mengapa tokoh-tokoh kami tidak malu dengan perbuatan keji dan hina ini?” Aku hanya bisa diam tanpa kata-kata dan tidak beranjak dari jamuan makan.

Di waktu aku berpisah dengan Syeikh, air matanya berlinang dan memelukku sambil berkata, “Allah bersamamu wahai anakku! Bila kau kembali ke negeri ini dan aku telah mati maka ingatlah aku, kelak kita akan bertemu dengan Rasulullah saw di padang Mahsyar”.