“Cerpen dan catatan diaris karya Sulaiman Djaya ini pernah dipublikasi harian Kabar Banten, 07 Juni 2010”
Saat saya pertamakali melihatnya, ia
selalu tersenyum pada setiap orang yang turun dari angkutan umum yang saya
tumpangi ketika saya berangkat menuju studio tempat saya biasa On Air setiap
malam Rabu untuk materi Seni dan Gaya Hidup yang pemandunya tak lain adalah
teman saya sendiri. Semula, saya menganggapnya sebagai pengalaman yang biasa
saja. Katakanlah pengalaman dan kenyataan hidup yang seringkali terjadi ketika
saya hidup di kota-kota di Indonesia. Orang seperti dirinya saya anggap sebagai
kenyataan hidup yang sudah biasa saya lihat ketika saya masih di Jakarta.
Dengan jumlah yang lebih banyak tentunya. Namun, saya cukup serius juga
memperhatikan dirinya ketika angkutan umum yang saya tumpangi masih berhenti
karena ada empat penumpang yang turun sembari membayarkan uang mereka pada si
sopir secara bergantian. Saya kagum pada dua matanya yang terang dan bening
untuk ukuran seorang perempuan gelandangan alias perempuan jalanan.
Saat itu, ia sebenarnya tak hanya
tersenyum-senyum sendiri yang adakalanya diselingi tawanya yang samar. Ia juga
bergerak-gerak atau lebih tepatnya bergoyang-goyang ke samping kiri dan kanan
mirip seorang bocah perempuan yang sedang belajar bernyanyi dengan malu-malu.
Hanya saja saya tak lagi memikirkannya ketika angkutan umum yang saya tumpangi
kembali melaju. Sebab yang sebenarnya adalah karena pikiran saya sibuk
mematangkan materi seputar Minat Baca dan Gaya Hidup Remaja Kota, sebuah materi
yang sebenarnya membuat saya cukup terbebani dan menguras pikiran, terlebih
karena sejauh pengalaman saya remaja-remaja di kota kecil tidak mencerminkan
remaja-remaja yang mau menyisihkan uang jajan mereka untuk membeli buku-buku
bacaan di luar buku wajib mereka di sekolah.
Sesampainya di studio tempat biasa saya
On Air, saya berdiskusi terlebih dahulu dengan teman saya yang sekaligus
pemandu saya seputar tema yang akan kami udarakan malam itu. Tak saya sangka,
teman saya berpendapat bahwa alangkah lebih baiknya bila tema yang akan
diangkat disisipi dengan muatan yang dapat membangkitkan minat remaja pada
kenyataan kehidupan sehari-hari yang sebenarnya sering mereka jumpai. Kontan
saja pikiran saya tertuju pada perempuan gelandangan yang saya lihat dalam
perjalanan menuju studio yang telah saya katakan itu.
Setelah obrolan singkat kami itu kami
pun memasuki studio dan langsung melenturkan tema dan materinya menjadi
“Menjumpai Keseharian”. Kami tak menyangka, selama kami On Air malam itu, ada
puluhan pemirsa yang menelepon untuk bertanya dan menyumbangkan pendapat
mereka. Maka jadilah On Air malam itu sebagai On Air yang menempati rating
paling tinggi dibanding sebelum-sebelumnya. Dan tentu saja kami pun merasa bahagia
dan senang.
Di hari Selasa sore minggu berikutnya
saya kembali berangkat untuk kembali On Air dengan materi yang berbeda. Dalam
perjalanan saya di hari Selasa yang untuk kesekian kalinya itu saya tak melihat
perempuan gelandangan yang telah saya lihat sebelumnya.
Saya pun mulai bertanya-tanya ke mana
gerangan si perempuan gelandangan itu sekarang? Di dalam angkutan umum yang
saya tumpangi hari itu saya mulai memikirkan kemungkinan-kemungkinan ia berada.
Tapi sepanjang perjalanan itu saya tak melihatnya. Dan, pada kesempatan On Air
untuk yang kesekian kalinya itu, saya memutuskan untuk menginap di ruang
rekaman yang bersebelahan dengan ruang studio. Mungkin karena malam itu saya
terlampau lelah untuk melakukan perjalanan pulang setelah saya ngobrol dengan
salah satu penyiar perempuan yang minta ditemani sampai tiba gilirannya On Air
pada jam dua belas malam. Meski selepas jam sebelas malam itu saya sebenarnya
sudah merasakan kantuk akibat kelelahan. Keesokan harinya saya pun berangkat
pulang pada jam sembilan pagi setelah sarapan nasi uduk dan menghabiskan
segelas Cappuccino. Juga tentu saja, menghisap sebatang rokok kretek.
Saat saya telah masuk angkutan umum,
awalnya saya duduk tenang saja di dalam angkutan umum yang saya tumpangi. Tapi
karena macet yang cukup lama dan membuat tubuh saya gerah, saya pun ingin
mengetahui penyebab kemacetan. Dan ketika saya menanyakannya pada si sopir, si
sopir menjawabnya bahwa ada kecelakaan beberapa ratus meter di depan. “Oh,
begitu,” ujar saya. Setengah jam kemudian angkutan umum mulai melaju. Begitulah
selanjutnya. Di hari Selasa berikutnya lagi saya pun kembali berangkat menuju
studio seperti sebelum-sebelumnya. Lagi-lagi saya tak melihat si perempuan
gelandangan di tempat pertamakali saya melihatnya. Tapi beberapa ratus meter
kemudian saya melihatnya tengah bersandar di sepohon besar pinggir jalan. Kali
ini gaun dekil yang dikenakannya terlihat berubah dan sangat berbeda. Lengan
kiri gaun yang dikenakannya kali ini robek dan bagian yang menutup dadanya sedikit
terbuka hingga menampakkan sebagian dadanya. Dan yang membuat saya penasaran
dan bertanya-tanya adalah ketika tangan kanannya seolah tengah meraba-raba dan
meremas-remas bagian tubuhnya yang berada di bawah perutnya dan di ujung dua
pahanya.
Melihat hal tersebut saya pun mulai
membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dan yang dialaminya.
“Mungkinkah ia telah diperkosa?” Tanya saya dalam hati. Karena ketika itu ia
seperti tengah menahan kesakitan di saat ia menyandarkan kepalanya dan mendongakkan
wajahnya ke atas, mirip seseorang yang tengah berdoa kepada langit yang
ditatapinya. “Jika benar ia telah diperkosa, terkutulah orang yang telah
memperkosanya,” bathin saya. Tanpa saya sadari sepanjang perjalanan itu pikiran
saya sibuk menerka-nerka kejadian apa yang menimpanya. “Ah, mungkin saja ia
lapar,” saya menduga-duga dalam hati, “Atau mungkin juga hanya merasakan
kesakitan, tapi bukan karena diperkosa,” saya terus membathin. Namun, lamunan
saya berhenti ketika si sopir mengingatkan saya bahwa saya telah sampai di
tempat yang saya minta padanya. Dan tentu saja seperti biasanya, malam itu kami
kembali On Air, dan saya pun kembali menginap di studio sambil menemani seorang
penyiar perempuan yang biasa dipanggil Mbak Mela.
Selama Mbak Mela On Air malam itu saya
menemaninya sembari membaca koran-koran yang telah saya bawa ke studio dari
tempatnya. Di sela-sela iklan siaran saya pun mulai meminta pendapat Mbak Mela
bagaimana bila seorang perempuan gelandangan diperkosa. Saat itu saya ingin
tahu perasaan dan empati Mbak Mela sebagai sesama perempuan. “Misalkan, ini
hanya seandainya lho!,” papar Mbak Mela, “Misalkan yang diperkosa itu adalah
saya, tentu saya akan mengalami trauma,” lanjutnya, “Meski yang diperkosa itu
perempuan gila alias perempuan tak normal?”, tanya saya, “saya pikir itu tak
akan ada bedanya sepanjang ia memiliki perasaan seperti halnya saya,” lanjut
Mbak Mela. “Kalau boleh tahu, kenapa kau menanyakan hal itu?”, tanya Mbak Mela,
“Bukan apa-apa sih”, kilah saya, “Hanya saja saya melihat seorang gelandangan
yang saya pikir telah mengalami perkosaan ketika saya dalam perjalanan menuju
ke sini”, papar saya, “Maksudnya kamu melihatnya diperkosa?”, tanya Mbak Mela,
“Tidak juga sih”, jawab saya, “Saya hanya mengambil kesimpulan dari ekspresi wajahnya
dan kondisi tubuhnya juga pakaiannya ketika saya melihat dirinya yang
meraba-raba bagian tubuhnya yang berada di bawah perutnya dan di ujung kedua
pahanya dengan tangan kanannya, sementara ia mendongakkan wajahnya ke atas”,
lanjut saya, “Mungkin saja ia diperkosa, tapi mungkin saja hal lain yang
menimpanya”, ujar Mbak Mela, “Sebab bisa jadi kesimpulan kamu itu keliru di
saat kamu tak melihatnya diperkosa, apalagi kecendrungan orang adalah
membenarkan anggapannya sendiri, tapi saya percaya kamu tidak seperti
itu.”
Saya tak melanjutkan perbincangan itu
karena khawatir mengganggu tugas Mbak Mela untuk siaran, dan saya pun kembali
membaca koran yang bertumpuk di hadapan saya, di meja studio malam itu. Setelah
Mbak Mela selesai siaran, saya langsung menuju sofa ruang tamu dan membaringkan
tubuh saya hingga tertidur tanpa saya sadari. Keesokan harinya saya pun
berangkat pulang. Pagi itu saya tak lagi memikirkan keingintahuan saya pada apa
yang menimpa si perempuan gelandangan yang sempat membuat saya gelisah itu.
Mungkin karena saya terpengaruh oleh pendapat Mbak Mela. Tapi di pagi itu saya
menyimak perbincangan, lebih tepatnya cerita sopir angkutan umum yang tengah
saya tumpangi kepada temannya yang sama-sama duduk di depan bersama si sopir.
Si sopir itu bercerita bahwa ia hampir saja menabrak perempuan gelandangan di
hari yang sama ketika saya melihatnya untuk yang kedua kalinya itu. Untung
saja, cerita si sopir, ia hanya menyerempetnya ketika ia hendak melaju setelah
menurunkan beberapa penumpang. Saya hanya bisa tersenyum ketika mendengar
cerita si sopir, atau lebih tepatnya saya berusaha untuk tidak tertawa agar
tidak dituduh gila oleh sesama penumpang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar