Jumat, 08 Agustus 2014

Anak-anak Waktu


Lampu-lampu sebuah pabrik kertas, karena tampak berkerlap-kerlip dan berkerumun, lebih mirip sebuah kota kecil yang tak pernah tertidur. Dan memang sudah hampir tengah malam ketika pintu ruang bacaku masih terbuka. Juga, meski cukup jauh, suara-suara mesin pabrik kertas itu seolah datang dari setapak pematang di belakang rumah. Tak terasa, aku sudah bertahun-tahun hidup di dunia yang tak lagi sama seperti ketika aku masih kanak-kanak. Memang, sesuatu acapkali telah berubah secara pelan-pelan ketika kita tak sedang memikirkannya, atau ketika kita, entah sengaja atau tidak sengaja, tak menyadarinya.

Sementara itu, malam tetap lengang seperti biasanya, tak ada bising atau keriuhan selain suara-suara katak dan serangga. Namun, ketika aku masih kanak-kanak, tempat yang kini menjadi kawasan pabrik kertas itu adalah sejumlah rawa-rawa dan hutan belukar yang menjadi rumah bagi berbagai jenis ular dan binatang-binatang lainnya. Di tempat itu pula, dulu sering kulihat gerombolan-gerombolan bermacam-macam burung dan unggas yang singgah atau kembali terbang.

Aku baru terbangun dari tidur sebelum aku membuka pintu dan memandangi lampu-lampu pabrik kertas itu, dan karenanya aku sengaja menahan dingin angin selepas hujan. Sedangkan di antara atau di sekitar lintasan-lintasan pematang dan hamparan sawah-sawah, gelap terasa kental dengan kebisuannya yang menyerupai kiasan maut yang tengah terlelap karena cuaca lembab. Tetapi, ingatanku tentang masa silam, muncul ketika kupandangi barisan angka-angka pada kalender yang terpampang dan berdiri di atas meja bacaku, di antara beberapa buku, jurnal dan majalah yang terhampar dengan tenang, juga seperti kematian dan masa silam. Masa-masa yang bagiku seperti lorong-lorong keheningan yang panjang.

Ketika itu aku harus berjalan kaki dengan menempuh jarak beberapa kilometer untuk bisa sampai ke sekolah menengah pertama. Atau menumpang mobil-mobil truk pengangkut pasir dan batubata yang jarang ada, kecuali di hari-hari tertentu saja. Pernah juga aku harus berteduh di sepohon rindang di tengah perjalanan pulang dari sekolahku menuju rumah karena hujan lebat yang turun tiba-tiba. Itulah ketakutan pertamaku berada dalam kegelapan dan guyuran hujan di antara barisan pohon-pohon rindang sepanjang jalan dan sungai, yang karena keheningannya, lebih mirip terowongan panjang di waktu malam. Tetapi kini, sungai telah memiliki dinding-dinding batu dan pohon-pohon rindang sepanjang jalan telah digantikan barisan tiang-tiang beton, bersamaan dengan hadirnya pabrik kertas dengan dua cerobong asap raksasanya.

Tetapi, sebelum pabrik kertas itu dapat hadir dengan megah seperti sekarang ini, ada sebuah cerita tentang Nyi Randa, yang kemudian menjadi nama tempat yang kini telah digantikan pabrik kertas itu, yaitu Tegal Nyi Randa. Dan ketika pabrik kertas mulai dibangun di tegal itu, orang-orang bercerita tentang sepohon besar yang berdiri kokoh kembali keesokan harinya setelah dirobohkan. Pohon besar itulah yang oleh orang-orang dipercaya sebagai jelmaan Nyi Randa bertahun-tahun kemudian setelah ia melarikan diri ke rawa-rawa dan gugusan hutan belukar ketika seorang jawara membunuh suaminya tak lama setelah dilangsungkan resepsi pernikahan Nyi Randa dan suaminya yang terbunuh itu. Sebab, setelah kejadian itu, seperti cerita orang-orang di sekitar sungai Ciujung, Nyi Randa tak lagi ditemukan.

Mendapati pohon besar yang telah dirobohkan dengan menggunakan alat berat itu berdiri kokoh kembali keesokan harinya, pihak perusahaan pun merobohkan lagi pohon besar itu. Tetapi hasilnya tetap sama, pohon besar itu kembali berdiri seperti semula.

Kejadian itu pun segera menyebar luas di masyarakat, dan memunculkan dua pendapat: pihak perusahaan tetap ngotot untuk melenyapkan pohon tersebut, sementara sebagian masyarakat menginginkan agar pohon besar tetap ada di tempatnya seperti telah bertahun-tahun ada. Butuh waktu berhari-hari bagi pihak perusahaan untuk mewujudkan keinginan mereka sebelum akhirnya mereka berhasil membayar para dukun dan beberapa orang untuk melenyapkan pohon besar tersebut dengan bayaran yang cukup besar bagi orang-orang yang tak memiliki pekerjaan resmi.

Namun ceritanya tak hanya sampai di situ saja. Beberapa hari setelah pohon besar itu berhasil dilenyapkan, pihak perusahaan dikagetkan dengan banyaknya kehadiran ular-ular yang datang tiba-tiba entah dari mana ke setiap sudut dan tempat di kawasan pabrik kertas yang sedang dibangun itu, hingga beberapa pekerja pun meninggal karena serangan ular-ular tersebut. Sementara, di waktu malam, para pekerja seolah selalu mendengar suara seorang perempuan tengah bersenandung dan beberapa pekerja terjatuh dari konstruksi bangunan karena efek teror nyanyian gaib tersebut.

Dan seperti pada kejadian-kejadian sebelumnya, orang-orang pun mempercayai bahwa perempuan yang selalu bersenandung di waktu malam itu adalah Nyi Randa yang tengah merana dan merasakan kesepian karena telah terusir untuk kedua kalinya. Aku jadi teringat kembali tentang kisah Nyi Randa itu ketika kupandangi lampu-lampu pabrik kertas, yang dulunya adalah rawa-rawa dan habitat para unggas, burung-burung, dan binatang-binatang Tuhan lainnya. Sejumlah burung-burung dan para unggas, yang ketika terbang melintasi cakrawala pagi atau senja, membuatku membayangkan diri ingin seperti mereka yang dapat pergi dan terbang kapan saja. Itulah sepenggal kisah tanah kelahiranku, Ciujung atau Kragilan. 

Di masa kanak-kanak, tanah kelahiranku tak ubahnya butir-butir gerimis di sebuah senja yang agak malas, dan sebentang jalan yang berapitan dengan sebatang sungai yang dipenuhi barisan pohon-pohon rindang, yang ketika itu tak ada mobil-mobil yang melintas seperti sekarang ini, lebih mirip sebuah terowongan panjang yang sunyi dan menerjemahkan dirinya sebagai rasa damai yang bosan dan lelah, entah karena apa. Dan ketika kedua mataku memandang ke atas, akan kulihat beberapa kawanan burung melintas, seolah mereka hendak mengunjungi musim yang lain atau sekedar mencari dan menziarahi kemungkinan. Sementara itu, di pagi hari, cahaya matahari harus mampu menembus susunan daun-daun, ranting-ranting, dan dahan-dahan agar bisa menyentuh jalan, itu pun jika mendung tak kembali berkunjung, dan karenanya matahari pun tiba-tiba ingin kembali tertidur. Butir-butir gerimis itu, seperti telah kuibaratkan pada sebentang kanvas itu, akan menjelma bintik-bintik samar di antara hembusan udara.

Di waktu-waktu malam selepas hujan, dan tentu saja lebih sunyi, akan kudengar anjing-anjing menyalak dalam kegelapan. Mereka berkeliaran di jalan-jalan, sementara ibuku membaca al Qur’an selepas sembahyang menjelang jam sembilan, sebelum akhirnya terlelap di saat aku masih terjaga dan tercenung di meja belajar ketika aku sedang malas mengerjakan tugas sekolah. Tak ada jazz atau puisi ketika itu, sebab cita-citaku saat itu adalah menjadi ilmuwan seperti Isaac Newton dan Albert Einstein. Pastilah hal itu karena kegemaranku membaca buku-buku tentang para penemu dan ilmuwan yang kupinjam dari perpustakaan sekolah.

Setidak-tidaknya, kegemaranku itu tetap berjalan hingga ketika aku duduk di sekolah menengah pertamaku, di waktu-waktu aku harus berjalan kaki di saat fajar, dan sesekali menumpang mobil bak pengangkut pasir yang lewat di saat pulang. Dan sekarang, ketika aku telah menjadi seorang lelaki berusia puluhan tahun dan terbukti tidak menjadi seorang ilmuwan seperti yang kucita-citakan di masa kanak-kanak itu, semua yang telah kukatakan itu tak lebih masa silam yang samar, yang seperti juga telah kuandaikan, tak ubahnya lukisan buram pada sebentang kanvas yang tak lagi terawat. Juga, tak ada lagi lampu-lampu minyak dengan asapnya yang menghitamkan bilah-bilah bambu penyangga genting-genting rumah.

Di waktu-waktu itu, masih kuingat setiap usai sembahyang subuh di setiap hari Senin dan Kamis di pinggir jalan di depan rumah, beberapa pengrajin perabotan rumahtangga, yang membuat barang-barang kerajinan mereka dari bambu dan pohon-pohon pandan, akan berkumpul untuk menjajakan barang-barang kerajinan mereka kepada orang-orang yang kemudian akan menjualnya kembali di pasar, atau kepada orang-orang yang akan bersedia menjajakannya ke kampung-kampung tetangga.

Sekarang, aku dapat melihat lampu-lampu sebuah pabrik kertas lewat pintu ruang bacaku yang memang sengaja selalu kubuka ketika aku menulis dan membaca. Tak ada lagi hutan belukar dan rawa-rawa yang tak jauh dari setapak pematang tempatku dulu dan teman-temanku mencari jangkerik atau berburu belalang dan menerbangkan layang-layang. Sebab tempat itu kini telah digantikan dua cerobong asap raksasa. Ratusan sawah di sekitarnya pun telah disulap menjadi danau-danau buatan untuk memenuhi energi mesin-mesin dan kebutuhan yang lain bagi pabrik kertas itu. Namun dulu, ketikaku masih kanak-kanak, tempat itu cukup angker dan menjadi sarang bagi sejumlah binatang melata, semisal ular, dan rimbun pepohonannya merupakan rumah dan persinggahan sejumlah burung, yang di waktu pagi atau pun senja akan berkerumun atau berpencaran di rawa-rawa mereka untuk mencari makan.

Suara-suara mesin pabrik kertas itu bahkan terdengar dari ruang tempatku menulis dan membaca dan akan semakin terdengar jelas di waktu malam. Bersamaan dengan kehadiran pabrik kertas itu, dan juga bersamaan dengan ketika pohon-pohon rindang sepanjang jalan dan sungai telah digantikan tiang-tiang beton yang menjadi penghubung bentangan kawat-kawat listrik, tak ada lagi hening kegelapan yang panjang dan tak ada lagi cerita-cerita dan kabar-kabar tentang mayat seseorang yang tergeletak di tepi sungai Ciujung akibat sabetan golok beberapa oknum penjagal.

Tepat pada saat itulah, dunia yang sangat berbeda hadir dengan gagah perkasa dan banyak orang-orang yang mulai menyekolahkan anak-anak mereka ketika mereka sadar bahwa bila anak-anak mereka ingin bekerja sebagai karyawan atau karyawati, anak-anak mereka harus memiliki ijazah sekolah.


Sejak itulah, pelan-pelan tapi pasti, terutama anak-anak muda, tak lagi berpikir untuk tetap menjadi petani, seperti ketika aku membantu almarhumah ibuku bekerja memotong batang-batang padi dengan menggunakan pisau melengkung mirip celurit yang kami sebut arit. Sebab, setelah mereka lulus sekolah menengah, mereka akan langsung melamar untuk bekerja di sejumlah pabrik ketimbang memilih untuk menjadi petani seperti orangtua-orangtua mereka yang lugu dan sederhana. Sementara itu, di sudut-sudut rumah kami, nyala-nyala lampu minyak telah digantikan sejumlah neon dan bohlam yang tampak lebih riang. Meski kehadiran lampu-lampu neon dan bohlam itu harus dibayar oleh beberapa orang dengan cara menjual sawah mereka ke pihak perusahaan. Dan sejak itu pulalah, adzan panggilan sembahyang dikumandangkan dengan menggunakan pengeras suara. (Sulaiman Djaya


Tidak ada komentar:

Posting Komentar