Kamis, 11 September 2014

Pidato KH Syaifudin Amsir di Hari al Ghadir 2013



Zaman berzaman ya maula ya Rasulullah
lahirlah nabi ya maula di tanah Makkah
wafatnya nabi ya maula negeri Madinah
tinggalkan putri ya maula Siti Fatimah. 



“Inilah cuplikan pidato Rais Syuriah PBNU, KH Syaifudin Amtsir, di Acara Idul Ghadir di Aula Gedung Smesco Jakarta 26 Oktober 2013”

Saya sudah cukup lama membuat suatu kesimpulan yang saya belum pernah menemukan bagaimana rasanya membuat kesimpulan itu menjadi berubah. Yaitu sejak tahun ’81, waktu datang delegasi yang diutus oleh pemerintah Iran, yang saya masih ingat namanya, Syekh Abdul Qadir Al Katiri Asy Syafi’i.

Beliau datang mengawal salah satu orang alim besar dari Iran sana yang begitu mengesankan saya pada saat memaparkan apa yang ia rasakan tentang Indonesia dengan pernik-pernik pandangannya yang berupa-rupa, yang bermacam-macam terhadap Iran itu. Saat itu Abdul Qadir Al Katiri Asy Syafii, yang mungkin ia dari Kurdistan, memeluk saya saat saya menerjemahkan kalimat-kalimatnya buat para mahasiswa, buat anak-anak SMA, anak-anak sekolah madrasah yang datang ingin tahu rupa dari revolusi dan dari kembalinya al Imam Ayatullah Ruhullah al Khameini itu berikut pengantarnya-pengantarnya.

Ooo begini rupanya, revolusi Iran ditulis secara lengkap oleh Prof. Dr. Nasir Tamara yang belum jadi profesor saat itu sekitar tahun ’81. Dan saya menjadi terkejut juga ketika berkomentar, sampai saya tidak tahu lagi namanya,  Ayatullah dari Iran itu yang berkata,

“Kalian itu masih banyak yang terkungkung dengan kejahatan pers internasional. Sebab kalian hanya mendengar info yang dilansir dari koran-koran di Indonesia bahwa kami orang Iran memenjarakan ilmuwan-ilmuwan dari kalangan Sunni. Bila Anda datang ke sana Anda akan melihat sesuatu yang sama sekali berbeda bahwa kamilah yang menghormati ilmu dan menghormati para ilmuwan Sunni yang kami posisikan pada tempatnya yang benar. Para ilmuwan kami beri jatah mereka sebagai ilmuwan.”

Pada jumpa pertama di tahun ’81 di Jakarta di Kedutaan Iran itu saya mendengar info seperti ini. Dan betapa hebatnya, menurut perasaan saya, ketika dalam pemaparan yang menggebu-gebu itu beliau hanya membagikan-bagikan kepingan-kepingan seperti uang dari logam, kepingan logam itu yang bersimbolkan Masjidil Haram..ee Masjidil Aqsha. Bagaimana dengan Masjidil Aqsha?. Itulah tawaran mereka. Siapa yang berkuasa di sana sekarang ini?. Orang tahu Masjid Haram di Mekkah, Masjid Nabawi di Madinah yang kedua-duanya masih dalam kekuasaan kaum muslimin, tapi bagaimana dengan Al Aqsha?

Eee saya kira suatu pertanyaan yang dirasakan siapa saja, “man lam yahtamma bi amril muslimina falaysa minhum.” Itulah yang tersemat dalam ingatan saya.

Hadirin hadirot yang saya cintai dan saya mulyakan!

Kesimpulan yang saya maksud saat itu, bila tujuan sama, bila jalannya sama, bila yang disembah sama, bila kitab sucinya sama, tetapi dalam kesamaan-kesamaan yang begitu mendominasi seluruh daerah pemikiran di dunia Islam, lalu dari sesuatu yang serba sama muncul tuduhan-tuduhan saling salah dan saling berbeda maka semua orang akan berkesimpulan tidak ada yang benar di dalam dunia Islam. Tidak ada lagi yang patut diikuti di dalam dunia Islam.

Kata Syi’i, antum mukhtiin, ya Sunniyin kamu ini orang salah semua hai ahli sunnah. Kata Sunni kamu juga orang serba salah semua hai orang-orang Syiah. Lalu datang pertanyaan bila kedua pihak cuma bisa menyalahkan lantas siapa yang benar?

Untuk Indonesia, saya kan masih ikut mengalami meskipun serba sedikit ya zaman pemberontakan PKI di tahun ’65 itu. Sebelumnya kan muncul ke atas, yang mereka eluk-elukkan dengan sebutan Nasakom. Maafkan saya menyebut ini, dulu simbol mereka boleh didendangkan sedikit ya sesuai dengan lagu yang ada:

Nasakom bersatu, singkirkan kepala batu
Nasakom satu cita sosialisme pasti jaya.
saya anak SD waktu itu
Iki piye iki piye iki piye
sandang pangan larange koyo ngene
akibate salah urus ranok kabeh
mulo  ayo diganyang wae
yo saiki yo saiki yo saiki
wes ono deklarasi ekonomi
senjata ampuh mitayani
kanggo mbasmi kaum korupsi.

Lagu itu menyembul dari ranahnya orang-orang Komunis di Indoneisa. Tapi dengan begitu gesitnya, cerdiknya, dia menggabung ini NASAKOM dia bilang. Di sini nasionalis, di sini agama, di sini komunis. Tapi ujung cerita kata Pak Jurmawel Ahmad sang auditur saat itu, “Anda berdua-dua menggencet agama, nasionalis hurufnya tiga, komunis hurufnya tiga, orang beragama hanya satu huruf, NASAKOM”. 

Itu yang masih saya ingat di zaman itu. Kalau ini bolehlah dikritisi sebagai sesuatu yang saling bertabrakan untuk menjepit yang dibuat malang, nasionalisme agama komunis. Tapi kalo Syii-Sunni yang ini kiblatnya ya ada di kiblat di Mekkah yang ini Qur’annya Qur’anuna wahid, kalau main salah-salahan habislah semuanya. Itulah yang saya simpulkan saat itu. 

Makanya dalam pertemuan terakhir yang saya pikirkan saya sangat terpesona dengan apa yang saya bawa pulang ke Indonesia saat saya diundang ke Iran sana. Saya ketemu banyaknya ulama ahlussunah wal jamaah dan banyaknya ulama-ulama dari kalangan Syiah yang semuanya sepakat untuk berkata “falaysia ma’na taqrib bi an yanqariba an sunni syiiyan wa an yanqariba syi’i sunniyan”, arti taqrib itu bukan berarti secara total membuat suatu perubahan secara total sampai orang Syi’i berubah menjadi Sunni, atau Sunni berubah menjadi Syi’i, kata mereka. 

Saya terangkan, itu diungkapkan oleh puluhan ulama baik dari kalangan Sunni maupun dari kalangan Syi’i. Bahkan yang benar adalah dari perbedaaan-perbedaan bisa dicari persamaan-persamaan, dari persamaan-persamaan bisa dicari alat-alat persatuan.

Sambutan saya cuma sampai di sini mudah-mudahan ada manfaatnya. Maafkan bila terkhilaf. 

 Pembicara peringatan Idul Ghadir, dari kiri ke kanan: Dubes Iran, Dubes Paraguay (yang baru masuk Islam), tokoh Iran, Masyitoh Chusnan (Rektor UMJ), KH Syaifuddin Amsir (Rais Syuriyah PBNU), KH. Jalaluddin Rahmat (Ijabi). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar