Oleh Caner K. Dagli (Princeton
University)
Dalam Matsnawi Rumi, kita
menemukan sebuah kisah yang menawan mengenai peristiwa yang terjadi antara Ali
dan “ksatria tak-beriman”, yang secara tradisional dipandang telah terjadi
dalam Fathu Khaibar. Ali mendapatkan
ksatria ini dan mengelilinginya untuk mengalahkannya, lalu ksatria lawan Ali
tersebut meludahi wajah Ali. Terkejut dengan reaksi ksatria tersebut, Ali malah
menyarungkan kembali pedangnya, memperpanjang usia si ksatria yang meludahi
wajahnya itu.
Pelajarilah bagaimana bertindak secara ikhlas dari
Ali, ketahuilah Singa Allah (Asadullah) disucikan dari semua tipu-daya, yang
seringkali kita anggap sebagai “jihad dan mencari keridhaan Tuhan, padahal
bersumber dari nafsu pribadi”. Ksatria itu meludahi wajah Ali, kebanggaan
setiap nabi dan wali. Ia meludahi wajah yang di hadapannya rembulan membungkuk
di tempat ibadah.
Seketika Ali menyarungkan
pedangnya dan menenangkan (usahanya) dalam memerangi ksatria yang menjadi
lawannya itu. Jawara itu terheran-heran dengan sikap dan perbuatan Ali ini dan
dengan menunjukkan pengampunan dan rahmatnya segera. Ia berkata, “Anda mengangkat pedang tajam Anda
terhadapku, mengapa engkau menyarungkannya kembali? Apakah Anda melihat bahwa
itu lebih baik ketimbang memerangiku, sehingga Anda menjadi segan dalam
memburuku?”
Ketika pasase ini
berlanjut, jawara itu meminta Ali untuk mengatakan kepadanya apa yang telah ia
lihat, untuk menyampaikan alasan rahasia atas pemaafannya. Jawara itu telah
merasakan suatu perubahan spiritual yang berkilauan melalui perbuatan ganjil
(enigmatic) Ali, dan kini berusaha memahami bagaimana rahmat Allah telah
mendatanginya:
Wahai Ali, engkau adalah semua pikiran dan pandangan,
ceritakanlah sedikit apa yang telah kau lihat!
Pedang kesabaranmu merobek jiwaku,
air pengetahuanmu telah menyucikan bumiku.
Katakanlah!
Aku tahu bahwa semuanya ini
adalah
rahasia-rahasiaNya, karena ini cara (kerja)-Nya
untuk
membunuh tanpa pedang.
Matamu telah belajar mempersepsi Yang Gaib,
sementara pandangan pengamat tertutup.
Sejauh bulan membisu menunjukkan jalan itu,
ketika ia berbicara ia menjadi cahaya di atas cahaya.
Karena engkau adalah gerbang kota ilmu,
karena engkau adalah pendaran cahaya Rahmat.
Bukalah, wahai Gerbang, kepadanya yang mencari
gerbang,
agar melaluimu sekam bisa sampai pada inti.
Kita harus memperhatikan,
pertama-tama, Rumi menulis bahwa ia (si ksatria tak-beriman) meludahi wajah
Ali. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, tradisi Islam memberi Ali gelar khusus Karramallahu
Wajhah. Wajah yang diludahi sang jawara tak-beriman itu adalah wajah
yang sama yang memiliki kekuatan transformatif pada jiwanya. Di sini kita bisa
menyamakan wajah Ali dengan rembulan, dan cahaya di atas cahaya sebagai
cahaya-cahaya yang direfleksikan matahari.
Kegelapan malam dari jiwa
menutupi (“kafara” – “kafir”) disinari oleh cahaya yang datang dari bulan,
tetapi bulan memberikan cahaya secara tepat karena itu bukan di kegelapan
malam, namun adalah kehadiran cahaya matahari, Cahaya Intelek Ilahi, yang itu
memantul kepada mereka yang belum mencapai Visi Matahari Ilahi. Ksatria
tak-beriman itu mengakui ketika ia membicarakan bulan yang menunjukkan jalan
tanpa bicara. Separuh kehidupannya yang tidak diharapkan cukup membuka
pandangan batin sehingga ia bisa melihat bulan “wajah Ali” yang menyinarinya,
mendesaknya untuk bertanya kepada Ali yang baru dilihatnya, sebagaimana orang
yang telah melihat rembulan, tetapi bukan matahari, akan heran apakah sumber
cahaya luar biasa itu.
Kita juga bisa ingat di
sini ayat tentang Musa. Musa berkata kepada keluarganya, “Tunggulah (di sini) sesungguhnya aku melihat api, mudah-mudahan aku
dapat membawa suatu berita kepadamu (dari) tempat api itu atau (membawa)
sesuluh api, agar kamu dapat menghangatkan badan” (al Qur’an surah al
Qashash: 29). Dari keadaan “kufur” (tertutup – tak beriman), si ksatria lawan
Ali itu menjadi seorang pencari ruhani, yang Rumi gambarkan dengan serangkaian
pertanyaan, “Apa yang telah kau-lihat?
Katakanlah”. Di sini Rumi menggambarkan peran Ali sebagai Sang Guru Besar
(mursyidnya para mursyid) pertama dalam Islam setelah Nabi Muhammad.
(Petikan singkat ini
dikutip dari tulisan panjang Caner K. Dagli yang berjudul Ali Bin Abi Thalib dan Tasawuf)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar