Senin, 08 September 2014

Mulla Sadra, Sang Mentari ‘Irfan

“Setelah membaca dan meneliti karya-karyanya, tak diragukan lagi bahwa Heidegger hanya catatan kaki Mulla Sadra” (Henry Corbin)

Oleh Mahmud Latifi. Penerjemah: Nasir Dimyati (Dewan Penerjemah Situs Sadeqin)

Tulisan ini membicarakan riwayat hidup mentari hikmah dan makrifat yang paling gemilang, keagungannya membuat semua akal pemikiran jadi terpesona, geloranya menggapai semua puncak, dan keindahan kata-katanya menguraikan semua kerumitan akidah. Kelugasannya dalam menyampaikan maksud melucuti tabir warna-warni wajah lawannya, ketahanan hati dan keinginannya menghancurkan semua tongkat praduga dan tuduhan. Dialah tokoh hikmah unggulan yang mengendarai cakrawala yakin dan menduduki peringkat tertinggi irfan, dialah guru pertama hikmah menjulang yang namanya menerangi mata rantai para hakim, kenang dia berarti pemandangan dari bumi sampai Ilahi, bersama dia diperlukan kejeniusan tersendiri sehingga dengan modal kompas wahyu dan layar tekad serta nahkoda hati yang dirundung rindu seorang dapat arungi keberadaan dalam empat perjalanan dari pangkal sampai kembali dan meraih kunci alam gaib serta kesaksian.

Mentari Hikmah Terbit

Menurut sebagian riwayat, Mirza Ibrahim bin Yahya Qiwami Syirazi menerima berita gembira kelahiran anak putranya pada siang hari kesembilan dari bulan Jumadil Ula tahun 980 hijriah,[1] bertahun-tahun lamanya dia menanti kelahiran anak dan telah berulang kali dia bernazar untuknya, tanpa menyia-nyiakan waktu dan dengan rasa gembira yang tak terungkapkan oleh kata-kata, dia langsung lari menuju ke dalam rumah dan sesuai dengan janji sebelumnya, dia beri nama anak putra itu dengan Muhammad, lalu selama dia hidup dia senantiasa menginfakkan satu logam –perak atau emas- di jalan Allah swt. Sebagai tanda rasa syukur kepada-Nya atas karunia anak tersebut.

Mirza Ibrahim adalah pedagang terkemuka dan terpercaya di wilayah propinsi Farsi (wilyah Iran), dia undang guru-guru pilihan dan unggulan untuk mendidik anak tunggal dia dan mengajarinya ilmu-ilmu yang resmi pada waktu itu, ketika Muhammad berusia 16 tahun Mirza Ibrahim mengirimnya ke kota Bashrah untuk berdagang, dan selama tiga bulan di kota itu Muhammad menyempatkan diri untuk berziarah ke makam Imam Ali Bin Abi Thalib as di kota Najaf dan Imam Husain as di kota Karbala, ketika berita kematian sang ayah sampai kepadanya dia langsung meninggalkan Irak dan kembali ke Syiraz, untuk beberapa waktu dia sibuk mengurusi harta-milik sang ayah walau keinginan untuk belajar terus bergejolak di dalam hatinya, akhirnya dia pasrahkan toko dan peninggalan ayah kepada pamannya yang juga orang baik demi mencari ilmu lagi, dia memilih untuk pergi ke kota Isfahan untuk tujuan itu. [2]

Sebagaimana tradisi hauzah-hauzah ilmiah pada zaman itu, besar sekali kemungkinan bahwa Mulla Sadra mulai mempelajari disiplin-disiplin ilmu Islami seperti fikih, usul fikih dan lain-lain di samping ilmu-ilmu umum seperti matematika, astronomi, kedokteran, geometri dan lain-lain; khususnya logika dan filsafat di kota Syiraz, dia telah menyelesaikan jenjang yang bisa diselesaikan di sana dan untuk menyempurnakan ilmu-ilmu yang digemarinya dia harus pergi dan berguru pada guru-guru terkemuka di kota-kota lain.

Awal Perjalanan

Umumnya periwayat hidup yang menulis biografi Mulla Sadra menyebutkan tujuan perjalanan dia dari Syiraz adalah kota Isfahan, akan tetapi karena Syah Abbas (Sultan Dinasti Safawi Persia) datang ke kota Syiraz pada tahun 998 –yang sudah barang tenru disertai oleh Syekh Baha’i- maka besar kemungkinan Sadrul Mutaallihin muda (Mulla Sadra) sudah bertemu dan kenal dengan Syekh Baha’i di sana, lalu setelah berapa waktu mereka sama-sama pergi menuju ibu kota Iran yang pada waktu itu adalah Qazwin. Dalam hal ini, manuskrip Mulla Sadra yang mengcopy naskah asli buku Hadiqoh Hilaliyah karya Syekh Baha’i –komentar atas doa Shohifah Sajjadiyah Imam Ali Zainal Abidin bin Imam Husain as, yang keempatpuluh tiga- menjadi referensi yang akurat; karena di akhir naskah manuskrip itu dia menuliskan “Abduhu al-Roji Shodru al-Din Muhammad Syirozi, Mahrusah Qozwin, syahru dzi al-hijjah, sanah alfu wa khomsu min al-hijrah al-nabawiyah”. Yakni, hamba-Nya yang berharap, Shadrudin Muhammad Syirazi, ibu kota Qazwin, bulan Dzul Hijjah, tahun 1005 hijriyah. Itu berarti dari tahun 1005 atau bahkan sebelumnya, Mulla Sadra giat belajar di ibu kota Qazwin dan begitu dekatnya dia dengan sang guru sehingga dia diijinkan untuk mengcopy karya-karya tulisnya. Oleh karena itu, bisa ditarik kesimpulan bahwa setehun setelah itu dan berbarengan dengan pindahnya ibu kota Iran dari Qazwin ke Isfahan, Mulla Sadra pergi menuju Isfahan.

Guru-Guru

Isfahan adalah ibu kota sekaligus pusat keilmuan Iran –sebelum Qazwin- pada zaman Mulla Sadra, mayoritas guru-guru besar bertinggal di dua kota yang memiliki daya tarik kuat bagi pemburu ilmu. Pada tahap pertama, Mulla Sadra belajar dari Syaikhul Islam Syahru Baha’il Haq wad Din Muhammad bin Abdussomad Amili yang dikenal dengan sebutan Syekh Baha’i, dia adalah guru besar dan paling terkemuka khususnya di bidang ilmu-ilmu tekstual, dialah yang pertama merintis bangunan dasar kepribadian ilmu dan akhlak Mulla Sadra, lalu bangunan spiritual itu disempurnakan oleh ulama terkemuka, guru besar ilmu-ilmu agama, makrifat ilahi dan hakiki serta pokok-pokok keyakinan, yatitu sayid yang mulia dan berjiwa suci, hakim yang ilahi, fakih yang rabbani Amir Muhammad Baqir bin Syamsudin yang dikenal dengan sebutan Mir Damad. Pemuda belia yang berbakat dan bersemangat ini belajar ilmu hadis, dirayah, rijal, fikih dan usul fikih dari Syekh Baha’i, dan belajar filsafat, kalam (teologi), irfan dan ilmu-ilmu rasa lainnya dari Mir Damad, dia juga belajar ilmu alam, matematika, astronomi dan geometri dari dua guru tersebut di tambah juga dengan Hakim Abu Qasim Mir Fandaraski; guru besar yang arif, zuhud dan juga spesialis matematika.

Tahapan-tahapan Sair dan Suluk

Selangkah demi selangkah akhirnya Mulla Sadra menjadi mahir dan menguasai ilmu-ilmu resmi zamannya secara baik, dan lebih khusus lagi filsafat Isyraq, filsafat Massya’, teologi, irfan, dan tafsir Qur’an. Dia kaji dengan teliti metode-metode para pendahulunya dan cermati titik-titik kelemahan mereka serta kuasai kendala-kendala aliran mereka. Meskipun Mulla Sadra banyak menyerap pelajaran dari filsafat Isyraq akan tetapi dia tidak menyerah di hadapan akidah mereka, begitu pula halnya dengan filsafat Massya’, meskipun dia adalah murid aliran filsafat ini akan tetapi dia tidak membelenggu diri dengan metode mereka.

Allamah Muhammad Reza Muzaffar menyebut periode kehidupan ini dengan periode pertama kehidupan intelektual Mulla Sadra dan perjalanan spiritualnya yang diisi dengan pelajaran, diskusi, kajian atas karya-karya filsuf terdahulu dan terkini serta penelitian terhadap ide-ide filosofis dan teologis, di dalam periode ini cita rasa irfan dan inovasi filosofis Mulla Sadra masih belum tampak. Mulla Sadra sendiri di dalam pengantar kitab Asfar menceritakan “Dari dulu dan sejak menjelang usia muda saya kerahkan seluruh daya dan upaya saya untuk menggeluti filsafat ketuhanan, apa saja yang bisa saya jangkau pasti saya pelajari, jerih payah itu telah memberikan banyak sekali hasil kepada saya sehingga saya dapat menelaah karya-karya baik filsuf pra maupun pasca Islam, saya menuai berbagai buah pemikiran mereka dan menyerap penemuan-penemuan intelektual mereka serta menemukan rahasia-rahasia yang bersembunyi di sana, saya simpan ringkasan buku dan risalah filsuf-filsuf Yunani dan guru-guru besar yang lain, saya memilih kesimpulan-kesimpulan yang penting dari setiap bab ... dan selama aktivitas itu, saya telah mengumpulkan berbagai kerang yang penuh dengan mutiara-mutiara hikmah dan makrifat yang berharga dari samudera hikmah”.[3]

Akan tetapi, di akhir pengantar yang sama dan juga di pengantar tafsirnya atas surat al-Waqi’ah, Mulla Sadra menyebut periode kehidupan dia ini; atau minimalnya sebagian dari periode kehidupan dia yang ini sebagai stagnasi dan bukan perjalanan, kelalaian dan bukan keingatan atau kepikiran. Dia mengelompokkannya dengan kebaikan orang-orang biasa yang terbilang keburukan bagi orang-orang terdekat dengan Yang Maha Esa, dan periode itu tidak lebih dari penghambur-hamburan umurnya saja, dia mengatakan “Sungguh saya senantiasa minta ampun kepada Allah swt atas bagian umur saya yang saya hambur-hamburkan di dalam kajian tentang karya-karya timpang filsuf, dialog dan perdebatan ahli kalam, ketelitian-ketelitian ilmiah, kepiawaian logika dan metode penyampaian mereka. Karena pada akhirnya, berkat pancaran cahaya iman dan dukungan serta uluran tangan Allah Yang Maha Pemurah swt. kepada saya maka menjadilah jelas bagi saya bahwa kaki para ahli argumentasi adalah terbuat dari kayu dan kiyas-kiyas mantik mereka adalah mandul serta jalan mereka di dalam makrifat Tuhan adalah menyimpang”. [4] “Sewaktu saya membuka mata dan menyaksikan diri saya sendiri, meskipun saya telah mencapai aneka timbunan tentang pengenalan Tuhan swt, penyucian Dia dari sifat-sifat lemah, kurang, dan jadi, begitu pula tentang pengenalan hari kebangkitan serta pengumpulan arwah manusia, akan tetapi pada kenyataannya tangan saya hampa dari makrifat yang sesungguhnya dan dari kesaksian Haq yang tidak mungkin diperoleh kecuali dengan cita rasa Ilahi dan perolehan hati”. [5]

Tokoh ulama Ayatullah Jawadi Amuli menggambarkan empat periode lagi bagi pendiri hikmah yang menjulang ini pasca periode yang pertama tersebut di atas, dan secara keseluruhan periode-periode itu dia sebut dengan tahapan-tahapan perubahan ruhani dan substantif Mulla Sadra. [6] Dan sekiranya periode pertama ini kita posisikan sebagai pengantar perjalanan pertama para pesuluk irfan maka riwayat hidup rasional Mulla Sadra sesuai sekali dengan empat tahapan suluk dan empat safar para arif.

Tunawisma di Bantaran Kekasih

Mulla Sadra adalah termasuk ulama langka yang enggan untuk sejalan dengan para penguasa atau hidup bersama pemuja-pemuja dunia dan sama sekali tidak senang dengan sanjungan-sanjungan para raja, keagungan ruh di dalam dirinya tidak pernah mengijinkan dia untuk tunduk di hadapan tampuk-tampuk duniawi. Dan sudah barang tentu para pemuja dunia juga tidak siap untuk menerima kehadiran tipe orang seperti ini yang terhitung pengganggu bagi mereka, itulah sebabnya Mulla Sadra tidak terhindar dari sengatan hasut, pelecehan dan fitnah mereka. Setelah menyelesaikan jenjang-jenjang pendidikan di Isfahan dan besar kemungkinan ketika gelombang hasut dan perlawanan mulai berusaha untuk menghempaskannya, Mulla Sadra pulang ke kampung halamannya dengan harapan bisa menemukan ketentraman di bawah perlindungan keluarga dan sanak familinya.

Tanggal kepulangan Mulla Sadra ke Syiraz juga tidak diketahui sebagaimana tanggal kepergian dia dari sana juga tidak diketahui. Kita juga tidak menemukan data yang memberitahukan masa tinggal dan aktivitas keilmuan serta sosial dia di sana, sangat mungkin jika masa itu berkisar antara tahun 1010 sampai 1020; yaitu ketika Wardi Khan, gubernur Farsi yang pemberani, peka, dan murah hati memutuskan agar dibangun sebuah sekolah khusus yang bernama Mulla Sadra untuk kemudian menjadi pusat ilmu-ilmu akal di kawasan. Tapi sayang, ajal tidak memberinya kesempatan lebih untuk merampungkan pembangunan sekolah tersebut dan dia terbunuh pada tahun 1021, bersamaan dengan situasi dan kondisi itu kalangan ulama Syiraz juga menunjukkan penolakannya terhadap Mulla Sadra bahkan mulai melancarkan berbagai gangguan dan pelecehan kepada dia, maka terpaksa dia meninggalkan kota Syiraz dan kembali ke kota Isfahan, dan menurut riwayat yang disampaikan Ayatullah Sayid Abu Hasan Qazwini dari Syiraz dia bepergian sampai ke sebuah daerah di sekitar kota Qom, Qazwini mengatakan
“Ketika Mulla Sadra pulang ke kota Syiraz, sebagaimana biasa dan merupakan tradisi masa lalu bahkan sekarang, dia dihasut oleh kelompok orang yang mengaku alim dan ulama, begitu beratnya gangguan mereka yang harus dirasakan oleh Mulla Sadra sehingga dia terpaksa keluar dari kota dan pergi sampai ke sebuah daerah di sekitar Qom, dia bermukim di salah satu rumah di kampung, dan di sana dia mengisi waktunya dengan pelatihan-pelatihan syariat dengan cara menunaikan shalat-shalat nafilah, amalan-amalan sunnah, puasa di siang hari, ibadah dan shalat tahajud di jantung malam”.[7]

Mulla Sadra adalah filsuf tunawisma yang berjiwa dan pikiran merdeka sehingga kemerdekaan itu mengharuskannya berpaling dari ibukota dan penduduknya serta mencukupkan diri dengan kehidupan di desa terpencil yang tidak memiliki fasilitas-fasilitas kesejahteraan yang diberikan secara khusus oleh istana Safawi untuk para ulama di ibukota, dia persiapkan dirinya untuk putus total dari selain Allah swt. Pilihan ini dia terangkan dalam ungkapannya: “Sewaktu saya melihat situasi dan kondisi saat itu memusuhi saya dan giat membina orang-orang hina dan bodoh, jilatan api kebodohan dan kesesatan semakin hari semakin berkobar, ketimpangan dan kepengecutan semakin meluas, maka terpaksa saya berpaling dari anak-anak dunia dan menarik diri dari medan seperti ini serta berhijrah dari dunia yang gelap dan beku menuju sudut yang terlindungi, di sana saya tidak dikenal, patah hati dan tersembunyi. Hati saya terputus dari segala harapan, dan bersama mereka yang patah hati saya giat menunaikan amalan-amalan wajib”.[8]

Periode kehidupan jawara hikmah dan kesaksian ini adalah permulaan jenjang dia berpaling dari warna-warni duniawi dan kedudukan serta kemuliaan majazi, jenjang dia patah hati dari dunia dan seluruh pemuja dunia serta gerak menuju keindahan dan keagungan Haq yang sesungguhnya, dan sudah barang tentu dia berjalan dengan kesulitan yang tak terbilang dan kebulatan tekad baja yang hanya dimiliki oleh segelintir orang. Para pesuluk menyebut perjalanan ini dengan perjalanan dari ciptaan menuju Haq.

Di Sudut Keterasingan

Periode ketiga kehidupan Mulla Sadra adalah tahapan kedua revolusi ruh dan gerak dia dari kesatuan menuju kesatuan serta jalan dia dari Haq menuju Haq dengan bantuan Haq. Ini tahapan yang paling panjang dari empat perjalanan sair dan suluk. Untuk menempuh jenjang berat pelatihan raga dan perjuangan jiwa, ibadah dan mendaki tangga-tangga kesingkapan dan kesaksian, Mulla Sadra memilih sebuah daerah yang bernama Kahak (berjarak tiga puluh kilo meter dari kota suci Qom), atau bisa juga dikatakan dia memilih daerah itu karena karunia paksa yang mengharuskannya terasing dari pusat ilmu dan budaya yang resmi pada waktu itu, yaitu Isfahan. Apapun itu, yang jelas Mulla Sadra terhindar dari hiruk pikuk pergunjingan dan perdebatan, kedudukan dan kesejahteraan duniawi serta keibukotaan, sebaliknya dia berlindung di dekat puteri Ahli Bait as yang mulia dan haramnya, yaitu Siti Fatimah Maksumah binti Imam Musa bin Ja’far Kazim as, sehingga karena itu dia mendapatkan karunia yang sangat berlimpah dari lautan ilmu keluarga suci Nabi Muhammad saw sekaligus terlindungi dari sengatan fitnah. Sebab Imam Ja’far Shadiq as pernah bersabda: “Ketika fitnah menyebar luas maka berlindunglah ke Qom dan sekitarnya”.[9]

Tahun kedatangan Mulla Sadra ke Kahak dan tempo tinggal dia di sana sama-sama sulit sekali untuk dipastikan sebagaimana kedatangan dan tempo tinggal dia di Isfahan. Namun jika sebagian dari catatan-catatan dia disesuaikan maka akan bisa disimpulkan bahwa dia berada di Kahak pada sekitar tahun 1025 sampai dengan 1039. Adapun mengenai lika-liku kehidupan di sana, kita juga tidak memiliki data-data yang akurat untuk itu kecuali apa yang dia tuangkan sendiri hitam di atas putih. Di pengantar buku Asfar, Mulla Sadra melanjutkan riwayat kesulitan dia sebagai berikut:

“Aku merayap ke daerah terpencil dengan keterasingan dan patah hati. Hati terpenggal dari segala harapan, dan dengan hati yang patah itu aku membulatkan tekad untuk menunaikan kewajiban-kewajibanku dan menutupi kekurangan-kekurangan masa laluku di dalam mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Besar. Tanpa mengajar dan tanpa menulis buku. Karena penyampaian pendapat, pengolahan di dalam disiplin-disiplin ilmu, pengajaran, pembelaan dengan menepis kritik dan hujatan serta ... adalah membutuhkan penyulingan ruh dan pemikiran, penyucian benak dari segala macam kerusakan dan ketidakselarasan, kestabilan situasi dan kondisi, serta ketenangan hati yang terhindar dari keruh dan jenuh. Oleh karena itu, dengan adanya semua keluh, kesah, duka dan kekesalan yang terdengar atau terlihat, bagaimana mungkin bisa mendapatkan peluang longgar seperti ini ... itulah sebabnya terpaksa saya memutuskan hati dari pergaulan dan perkumpulan masyarakat, saya putus asa dari keakraban mereka, sehingga pada akhirnya perpisahan dengan masa dan anak-anaknya menjadi mudah bagi saya dan saya tidak lagi mempedulikan ingkar atau ikrar mereka, dan sanjungan atau pelecehan mereka. Ketika itu, saya palingkan fitrahku ke arah Sebab Yang Hakiki Allah swt, dengan seluruh keberadaanku saya menunduk dan menangis di hadapan-Nya dalam waktu yang cukup lama”.[10]

Di dalam suratnya dari Kahak kepada sang guru Mir Damad, Mulla Sadra menjelaskan kondisi ruhnya sebagai berikut: “Adapun keadaan saya di sini, meskipun tidak sedikit kesulitan dan himpitan yang harus dipikul sebagai konsekwensi dari kehidupan di sini ... tapi segala puji bagi Allah swt iman saya dalam keadaan selamat dan tidak mendapatkan kekurangan dalam sinaran-sinaran ilmiah dan karunia-karunia qudsiah serta siraman-siraman ilahiah ... namun saya sungguh menyesal dan bersedih karena terhindar dari kebersamaan –dengan Anda- yang penuh kebahagiaan. Muka hitam ini sekitar tujuh sampai delapan tahun sudah tidak bisa bersama guru orang-orang mulia dan tokoh orang-orang terkemuka, dan tentunya kebersamaan dengan tokoh kebanggaan ahli ilmu dan pandangan adalah bukan hal yang mudah. ... . Akibat tebalnya rasa takut bersama masyarakat yang sezaman, rutin dalam menyendiri –bersama Tuhan-, kontinyu dalam berpikir dan berzikir maka banyak sekali makna-makna lembut dan persoalan-persoalan mulia yang tersingkap bagi hati saya yang cacat dan benak saya yang lemah ini ...”.[11]

Berjalan Di Arsy

Tahapan ketiga perjalanan ruhani Mulla Sadra Syirazi adalah perjalanan dari Tuhan menuju cipta demi mnyaksikan pengaruh-pengaruh Allah swt di manivestasi keindahan dan keagungan-Nya serta demi menelaah tanda-tanda Ilahi di tabiat, insan, afaq dan anfus. Semua itu akan diperoleh seorang pesuluk setelah melewati tahapan-tahapan sebelumnya. Di ujung perjalanan ini, manusia akan mencapai kedudukan Khilafah Ilahi dan terkadang di dalam istilah filsafat diungkapkan dengan “jahoni mi syawad benesyasteh dar gusyeh I”; dengan duduk menyendiri di penjuru, pesuluk akan menjadi global.

Keceriahan sekaligus kegembiraan Mulla Sadra di tahapan ini sama dengan keceriaan dan kegembiraan yang dirasakan oleh semua pesuluk yang mencapai kedudukan ini; sama-sama tidak bisa diungkapkan oleh kata-kata. Setelah sekian tahun penderitaan, akhirnya Mulla Sadra berhasil membuka pintu ke alam kudus dan menyaksikan hakikat-hakikat keilmuan –yang sebelumnya dia peroleh melalui pemikiran dan argumentasi- dengan kesingkapan-kesingkapan cahaya yang terang. Di pengantar Asfar, setelah menceritakan masa-masa sulit, derita dan musibah yang berat, Mulla Sadra mengungkapkan masa dan tahapan yang ketiga ini dengan masa ketenangan dan istirahat, dia mengatakan:

“Akhirnya, berkat perjuangan yang panjang dan latihan yang berat, cahaya Ilahi mencerahkan jiwaku dan api kesaksian menerangi hatiku. Cahaya-cahaya malakuti tercurahkan padanya dan rahasia-rahasia jabarut tersingkap untuknya sehingga saya menemukan rahasia-rahasia yang sebelumnya tidak saya ketahui dan mengungkap rumus-rumus yang tidak pernah saya ungkap melalui burhan, dan rahasia-rahasia Ilahi, hakikat rububi, simpanan arsyi, dan rumusan samadi yang sebelumnya saya raba dengan akal dan burhan sekarang saya temukan secara lebih jelas melalui kesaksian. Ketika itulah akalku menjadi tenang, tentram, dan merasakan lembutnya sepoi cahaya-cahaya Haq di pagi, sore, malam, dan siang hari, begitu dekatnya dia dengan Haq sehingga dia tidak pernah bosan untuk bermunajat dengan-Nya”.[12]

Makrifat Para Arif

Salah satu pengalaman manis Mulla Sadra di Kahak yang penuh kenangan, pelajaran, dan layak sekali untuk direnungkan adalah hal yang disebutkan oleh Marhum Syekh Abbas Qomi [13] dan didokumentasikan oleh Ustad Hasan Zadeh Amuli sebagai berikut: “Di salah satu naskah manuskrip Asfar yang ditulis tangan oleh Haji Mulla Muhammad Tehrani dan dilengkapi dengan catatan-catatan kaki Mulla Ali Nuri, Dzul Ainain dan catatan kaki Mulla Sadra sendiri, tepatnya di pembahasan tentang persatuan aqil dan ma’qul, tertulis: “Karunia pancaran cahaya Haq itu terjadi pada pagi hari Jum’at, tanggal tujuh bulan Jumadil Ula tahun 1037 Hq, dan ketika itu penulis –Asfar- berusia lima puluh delapan”. Marhum Mirza Ali Akbar Hakami Yazdi membubuhkan catatan kaki lagi di bawah catatan kaki atas Asfar ini, dan memuat pernyataan Mulla Sadra sebagai berikut: “Bagian buku yang ini, saya tulis pada saat saya tinggal di Kahak Qom, di hari Jumat saya berziarah ke makam puteri Musa bin Ja’far as di Qom dan meminta bantuan dia (baca tawasul), setelah itu masalah ini jadi tersingkap bagi saya berkat bantuan Allah swt”.[14]

Mentari Penerang Dunia

Tahapan akhir dari empat perjalanan ruhani adalah perjalanan dari cipta, menuju cipta, bersama Pencipta (Haq), untuk menyampaikan pesan Ilahi melalui pengajaran, penulisan, dan pembersihan jiwa-jiwa sehingga siapa saja yang dahaga hidayah dapat menyegarkan dirinya dengan tuntunan dia dan meneguk air jernih kehidupan Ilahi sepuas-puasnya. Periode akhir kehidupan Mulla Sadra ini diwarnai dengan kepulangan dia dari desa Kahak ke kota Syiraz lalu berkecimpung kembali di bidang kajian, pendidikan, dan penulisan. Popularitas Mulla Sadra semakin mendunia, pemburu-pemburu hikmah berbondong-bondong datang dari berbagai penjuru dunia untuk menemukan buruan mereka di dalam siramannya yang berharga. Mulla Sadra di pengantar Asfar mengatakan: “Secara bertahap, bekal-bekal yang saya simpan melimpah ruah bagaikan air terjun yang deras dan samudera yang bergelombang besar menimpa para pelajar dan pesuluk. Airnya yang jernih dan segar merubah pemahaman dan pengertian jadi hijau dan subur, gelombangnya mengalirkan sungai-sungai besar pemikiran ... Rahmat Ilahi menuntut makna-makna yang tersingkap dari alam rahasia dan cahaya serta tercurahkan dari tingkat Cahaya Semua Cahaya tidak tersembunyi lebih lama lagi. Saya diilhami oleh Allah swt untuk mencicipkan seteguk dari curahan-curahan ruhani kepada pencari yang haus dan menerangi hati-hati yang mencari cahaya hakikat, agar si peneguk menemukan kehidupan abadi dan pencari hidayah mendapatkan hati yang bersinar”.[15]

Sebagian periwayat hidup menyebutkan alasan Mulla Sadra pulang ke Syiraz adalah perintah Syah Safawi, akan tetapi mayoritas mereka meriwayatkan bahwa Imamqali Khan, gubernur Syiraz pada saat itu, mengundang dia untuk kembali ke tanah air dan bergiat mendidik pelajar di sekolah yang dibangun oleh bapaknya tidak lain karena dia –Mulla Sadra-. Kiranya cukup menjadi keistimewaan pusat keilmuan dan kebudayaan Syiraz berikut para pendirinya bahwa di sana ilmu-ilmu akal merupakan kurikulum yang juga harus dilewati oleh para pelajar. Terlepas dari kenyataan yang sesungguhnya dari dua kemungkinan di atas, surat Mulla Sadra di tahun-tahun awal kepulangannya ke Syiraz untuk sang guru Mir Damad menunjukkan bahwa dia tidak menyukai hijrah kepulangan ini dan dia sangat merindukan saat-saat menyepi dan menyendiri. Dia menyatakan penyesalan atas perpisahan dengan peluang dan kesempatan itu. Di sela-sela suratnya dia menuliskan:

“Sebelum hari-hari perpisahan, saya tidak disulitkan dengan kesibukan-kesibukan ini dan tidak juga ditimpa musibah perbincangan dengan orang-orang bodoh dan kurang di negeri ini. Saya merasa bosan tinggal lama di tempat ini, saya merasa sakit karena berbincang-bincang dengan orang-orang yang sakit, saya merasa sedih dan gelisah karena banyak keluarga, sanak famili, dan pihak-pihak yang tidak diinginkan di sekitar dan di zaman ini, begitu pula karena roda zaman yang tidak mendukung, tonggak-tonggak pemerintahan yang antipati, dan tokoh-tokoh zaman yang tidak peduli ... sebelumnya saya di posisi terpencil, menyendiri, dan menginjakkan kaki di kaki bukit kekayaan dan kemuliaan yang tidak membutuhkan cipta, di sana saya meraih malakah-malakah (semacam karakter) mulia dan merasa enggan untuk menyaksikan hal-hal yang tidak enak untuk disaksikan”.[16]

Mentari Datang, Bukti Mentari

Kemampuan yang luar biasa, ruh yang sangat merasa, zuhud, ibadah dan kedekatan dengan Tuhan membuat Mulla Sadra masyhur, baik di kalangan umum maupun di kalangan khusus, dia telah menarik perhatian semua orang. Sejak usia muda, dia tidak mempedulikan hal-hal duniawi dan material, sekelumit pun dia tidak pernah menyimpan keinginan untuk menarik perhatian dan sanjungan orang lain. Dia berspiritualitas dalam dan berjiwa menjulang, tidak ingin mendekatkan dirinya kepada raja atau penguasa dan tidak suka menjadi penguasa rakyat. Ketika para penulis dan pengarang buku pada zaman itu biasanya menulis karya atau buku mereka atas nama raja atau bahkan menteri dan orang terkemuka, bahkan terkadang mereka hadiahkan karya-karya itu kepada orang-orang tersebut, akan tetapi di dalam karya-karya Mulla Sadra sama sekali tidak ada tanda-tanda penulisan atau penghadiahan semacam itu, walaupun buku-bukunya terbilang banyak sekali namun tidak ada satu pun yang memuat nama orang-orang tersebut. Sungguh dia telah menyatukan ilmu dan amal, dan hikmah telah menjelma di dalam sepak terjangnya. Muhammad bin Ibrahim Syirazi ini sejak muda dia sudah diberi julukan oleh sang guru Mir Damad dengan Sadrudin dan Sadra, bisa dikatakan bahwa sanjungan pertama terhadap dia adalah julukan yang diberikan oleh sang guru kepadanya di dalam bait-bait puisinya.

Filsuf kontemporer Ayatullah Sayid Abu Hasan Qazwini mengatakan: “Mulla Sadra adalah orang yang tiada duanya di bidang filsafat Ilahi dan penelitian tentang masalah-masalah rumit metafisika, daya serap dan keindahan seleranya membuat dia istimewa daripada yang lain. Menurut saya, di bidang ketuhanan dan makrifat jiwa, Mulla Sadra lebih unggul daripada Syekh Ra’is –Ibnu Sina-, dan tidak ada seorang pun yang menandingi kepiawaian dia dalam mengungkapkan maksud dan keteguhan logika. Dia juga termasuk pakar dan pemilik konsep di bidang ilmu fikih. Dia pakar yang tiada duanya pada masa itu di bidang ilmu rijal. Dia mahir di bidang matematika, geometri dan astronomi. Dan salah satu keutamaan terbesar dia adalah di bidang Irfan”.[17]

Allamah Thabathaba’i, mufassir Qur’an dan filsuf kontemporer terkemuka mengatakan: “Sadrudin Muhammad bin Ibrahim Syirazi ... setelah usai dari masa belajar ... bertahun-tahun dia menyendiri dengan giat berjuang, berlatih, dan menjernihkan jiwa. Setelah bertahun-tahun usaha dan derita akhirnya dia berhasil membuka pintu ke alam qudus sehingga dapat menyaksikan hakikat-hakikat ilmu, yang sebelumnya dia gapai melalui pemikiran dan argumentasi, dengan ketersingkapan-ketersingkapn dari jenis cahaya”.[18]

“Dia adalah filsuf pertama yang menata masalah-masalah filsafat –setelah perjalanannya selama berabad-abad di dunia Islam- secara rapih seperti masalah matematika. Oleh karena itu, pertama-tama dia telah membuka kemampuan baru filsafat untuk mengutarakan lalu menyelesaikan ratusan masalah filsafat yang sebelumnya tidak terselesaikan oleh filsafat, kedua dia telah merubah silsilah persoalan irfan yang sampai pada saat itu dipandang sebagai kerangka di balik kerangka akal dan maklumat di atas jangkauan pikiran menjadi mudah untuk dikaji dan didiskusikan, ketiga dia telah merubah timbunan teks-teks agama dan sabda-sabda filosofis para Imam Ahlul Bait as yang dalam dan selama berabad-abad hanya disebut sebagai teka-teki yang tidak terjawab atau bahkan terkadang dikategorikan sebagai mutasyabih –hal yang samar-, menjadi jelas dan teruraikan dengan baik sehingga teks-teks agama, irfan dan filsafat menemukan perdamaian yang sempurna dan bergerak di satu jalan”.[19]

Syahid Murtadha Muthahhari mengatakan: “Di bidang ilmu tertinggi ... atau yang biasa disebut dengan hikmah Ilahi ... Mulla Sadra telah memayungi semua filsuf sebelum dia dengan cahayanya. Dia rubah dasar-dasar dan pokok-pokok ilmu ini dan membangunnya di atas dasar dan pokok yang tak tergoyahkan. Dia adalah hakim Ilahi dan filsuf Rabbani yang tiada duanya yang telah mengantarkan hikmah Ilahi ke tahapan baru”.[20]

Pemimpin revolusi Islam Iran, Imam Khomeini mengatakan: “Muhammad bin Ibrahim Syirazi ... adalah orang pertama yang membangun mabda’ (titik mula) dan ma’ad (titik kembali) di atas pokok besar yang tidak mungkin untuk ditembus, dia buktikan ma’ad jismani dengan burhan akli (rasional) dan menerangi kegelapan Syekh Ra’is –Ibnu Sina- dalam hal ini, dia padukan antara syariat suci dengan hikmah Ilahi. Dan berdasarkan kajian yang sempurna tentang dia, siapa saja yang mengucapkan sesuatu tentang dia maka tidak lain karena ketidakmampuan orang itu sendiri untuk sampai pada keterangan-keterangan dia yang menjulang ... dia adalah filsuf besar Islam dan hakim agung Ilahi ... yang menerangi cakrawala Timur dengan cahaya hikmah al-Qur’an ...”.[21]

Kilauan Hikmah Muta’aliyah

Hari ketika bahtera penyelemat, Islam murni Muhammadi mendarat di tepi kering dan panas jahiliyah yang diwarnai dengan fanatisme Quraisy dan kerajaan gelap Dinsati Umayyah, filsafat Yunani yang tertatih-tatih dan bercampur syirik serta hikmah gereja Iskandarani mulai mekar dan naik daun di kawasan Syam, Mesir dan Baghdad, filsafat Yunani dan hikmah gereja itu kemudian menjadi bahan pokok bagi mereka yang hendak berperang melawan Tsaqolain atau dua pusaka agung Rasulullah saw; yaitu al-Qur’an dan Ahlul Bait as. Tak lama kemudian, ulama mulia Islam -dan khususnya mereka yang terdidik di bawah naungan Ahlul Bait as dengan tetap bersandar kepada peradaban sejati al-Qur’an dan Ahlul Bait as serta tidak peduli dengan target-target politis “Kebangkitan Penerjemahan”- mengenal istilah-istilah filsafat dan menggunakan juga logika Aristoteles serta penyingkapan Neo Plato –Skolastik- di dalam pergulatan ilmiah, politik dan pemahaman terhadap al-Qur’an. Bahkan mereka menjadi guru besar di bidang-bidang itu dan melakukan pembaharuan serta melancarkan kritikan yang dalam dengan tetap bersandar kepada tolok ukur ajaran al-Qur’an.

Farabi dan Ibnu Sina mengemas metode Aristoteles dengan gaya baru; Filsafat Massya’. Syihabudin Suhrawardi menetapkan unsur suluk dan pencerahan sebagai asas filsafatnya serta membubuhkan unsur-unsur filosofis lain dengan gaya yang sangat menawan; Filsafat Isyraq. Bersamaan dengan dua model filsafat itu, ada aliran ilmu lain yang membela akidah agama dengan metode burhan dan mengimbangi langkah-langkah filsafat, yaitu aliran ilmu kalam yang senantiasa menciptakan lahan-lahan baru untuk mengutarakan persoalan-persoalan baru di dalam filsafat sehingga secara tidak disadari telah membantu perkembangan filsafat itu sendiri. Selain tiga model tersebut, irfan juga tampil sebagai jalan untuk menggapai hakikat agama dan merupakan metode yang khas untuk makrifat Ilahi dan sampai kepada kesempurnaan maknawi, dia berusaha menawarkan sisi sejati dan inti dari syariat Islam. Sejarah menjadi saksi empat aliran yang berbeda-beda ini, dan selama itu dia tidak pernah mencatat keberhasilan ulama atau filsuf untuk menggabungkan empat aliran yang deras ini sehingga mengalir ke satu arah.

Latar belakang peradaban ini dari satu sisi sangat kaya dengan bahan-bahan pokok, tapi dari sisi yang lain mengalami kemarau dan kemandulan, hal itu disebabkan oleh dominasi kebangkitan anti akal yang muncul bersamaan dengan Barat atau mungkin karena hubungan yang terjalin antara Daulat Safawi dengan Eropa, akibatnya kebangkitan itu juga melebarkan bayangannya sampai kepada bidang-bidang keilmuan Islam, jika di Barat kebangkitan itu melahirkan filsafat Positivisme maka di Timur, khususnya di tengah detak jantung kuat Syi’ah, kelompok Dzohiriyah dan Akhbari yang membelenggu benak dan pikiran mereka dengan makna-makna lahir yang kaku dan sederhana dari teks-teks syariat, muncul dan menguat sehingga tiap-tiap aliran hikmah dan makrifat yang tersebut di atas mengering kerontang dan tidak bebas untuk berkembang serta berinovasi. Di tengah situasi dan kondisi yang seperti ini terbitlah mentari penerang dunia, yaitu Hikmah Muta’aliyah, di langit pemikiran Islam Iran dan menyinari cakrawala timur dengan cahaya hikmahnya.

Hikmah Muta’aliyah bisa dipandang sebagai perempatan yang mempertemukan empat jalan besar filsafat Massya’ Aristotels dan atau Ibnu Sina, filsafat Isyraq Syahrawardi, irfan teori Muhyidin Ibnu Arabi, dan konsep-konsep teologi Islami. Dari sisi yang lain, Hikmah Muta’aliyah juga bisa dipandang sebagai bangunan besar yang menggabungkan empat unsur yang berbeda-beda, tentunya setelah melakukan beberapa perubahan aktif dan reaktif di dalam empat unsur itu kemudian dia memberikan bentuk dan kenyataan yang baru kepada gabungan empat unsur tersebut yang sudah barang tentu esensi gabungan ini berbeda dengan masing-masing dari empat unsur tersebut. [22] Perselisihan yang ketat dan berkepanjangan antara filsafat Massya’ dan filsafat Isyraq ... begitu pula perselisihan antara filsafat dan irfan diselesaikan oleh Mulla Sadra sehingga betapa banyak hakikat-hakikat Islam yang menjadi terang dengan hikmahnya.[23]

Perasaan kalah muslimin di abad-abad terakhir pasca renaisans sangatlah dalam sehingga tidak membuka jalan kepada suara lantang lagu kehidupan Hikmah Muta’aliyah yang menggilas tulang-tulang rapuh filsafat Aristoteles dan Neo Plato (Skolastik) di bawah rodanya yang besar untuk didengar oleh orang-orang Barat dan juga yang kebarat-kebaratan; baik yang kuno maupun yang modern, perasaan kalah muslimin itu tidak mengijinkan perubahan besar filsafat yang diciptakan oleh Mulla Sadra ini sampai kepada mereka. Namun tidak mungkin diingkari bahwa kemunculan Mulla Sadra telah menyampaikan giat pemikiran di Iran masa Safawi kepada puncaknya, ide-idenya memenuhi semua relung kehidupan intelektual dan rasional selama empat abad yang lalu dan sekarang pun hikmah yang dia cetuskan masih menjulang.

Karya Abadi

Mulla Sadra adalah penulis handal yang berjerih payah di bidang filsafat Islam, karya-karya tulisnya sangat lembut dan fasih, salah satu guru besar mengatakan bahwa di sepanjang sejarah literatur Syi’ah hanya ada dua ulama yang indah dalam penyampaian dan piawai dalam penulisan, mereka berdua tidak ada bandingannya dan mungkin di masa depan juga tidak ada yang menandinginya, mereka adalah Syahid Tsani Zainudin Jabal Amili di bidang fikih dan Mulla Sadra di bidang filsafat. Karya-karya Mulla Sadra lebih dari empat puluh judul buku yang masing-masing dari buku itu tidak ada yang menandingi atau minimal jarang sekali yang bisa menandinginya. Semua karya tulisnya selain risalah Seh Ashl dar Ilme Akhloq dan beberapa suratnya, adalah berbahasa arab –bahasa resmi di pusat-pusat keilmuan masa itu-, dan semuanya menggunakan prosa yang jelas, fasih dan bersajak sehingga sangat enak dan mudah untuk dijadikan kurikulum filsafat dan irfan. Sebagian karya tulis filsafatnya memiliki warna irfan yang lebih kental, dan sebagiannya lagi memiliki warna burhan yang lebih kental, walaupun bisa dikatakan dari semua karyanya tercium semerbak bau harum irfan.

Salah satu keistimewaan karya-karya Mulla Sadra yang sangat penting dan tidak dimiliki oleh ulama sebelum dia adalah penyelarasan antara konsep-konsep dan keterangan-keterangan agama dengan burhan-burhan filsafat sekiranya tidak pernah dia menyatakan pendapat secara pasti tentang persoalan filsafat sebelum merujuk kepada ayat-ayat al-Qur’an dan hadis-hadis Ahlul Bait as. Sering dia mengungkapkan dirinya bangga karena mampu memahami rahasia-rahasia al-Qur’an dan sunnah yang tidak pernah dipahami oleh orang lain sebelum dia. Seluruh karya-karya filsafat dia penuh dengan ayat-ayat al-Qur’an dan hadis, dan seluruh tafsirnya sarat dengan kesimpulan-kesimpulan irfani dan rasional, dia adalah satu-satunya yang terkemuka di dalam penyelarasan antara wahyu, irfan dan akal, tidak ada ulama yang menandinginya di dalam metode ini. Dan setelah dia, muridnya yang bernama Faidh Kasyani meneruskan metode ini dengan baik.

Secara umum, tulisan-tulisan Mulla Sadra memiliki kesitimewaan-keistimewaan seperti kecakupan, keputusan yang membenahi sekaligus mendamaikan antara pendapat-pendapat yang bertikai, penggunaan akal, rasa, dan wahyu untuk menerangkan hal-hal yang samar, liputan atas pendapat-pendapat ulama yang terdahulu, dan yang terakhir adalah cara penulisan yang lugas dan mudah. Menurut pernyataan Allamah Hasan Zadeh Amuli, buku Asfar Arba’ah adalah buku induk karya-karya Mulla Sadra yang mulai dia tulis di saat-saat akhir pemukimannya di Kahak, jelas dari sisi jangkauan pandang dan luasnya pembahasan buku ini lebih unggul daripada buku Syifa karya Ibnu Sina dan Futuhat Makkiyah karya Ibnu Arabi. Allamah mengatakan: “Buku Asfar adalah titik sambung dan lingkaran yang utuh dari ensiklopedia filsafat Massya’ Ibnu Sina dan samudara rahasia batin Ibnu Arabi, dengan kata lain buku ini adalah puncak ribuan tahun pemikiran dan perenungan para filsuf serta hakim Islam sekaligus dasar bangunan rasional yang baru dan sejati yang bersumber dari ajaran-ajaran Islam”.[24]

Mulla Sadra di dalam karya spektakulernya Asfar menerangkan hubungan antara hikmah, agama, akal, dan wahyu sebagai berikut: “Sungguh jauh dan tidak mungkin hukum-hukum syariat yang haq, Ilahi dan terang berbenturan dengan makrifat-makrifat yang bersifat yakin dan pasti. Binasalah filsafat yang undang-undangnya tidak sesuai dengan al-Qur’an dan sunnah”. [25]  Mulla Sadra juga memiliki penguasaan yang luar biasa dalam memahami makna-makna lahir al-Qur’an dan menyibak rahasia-rahasianya, walaupun dia selalu berpegang teguh kepada al-Qur’an dan hadis di mayoritas buku-buku filsafatnya dan bahkan menerangkan ayat-ayat atau hadis, akan tetapi dia sendiri giat menulis buku-buku yang secara khusus menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dan menerangkan hadis; dia telah menulis tafsir atas surat as-Sajdah, Yasin, al-Waqi’ah, al-Hadid, al-Jum’ah, at-Thoriq, al-A’la, az-Zilzal, dan surat al-Baqarah sampai ayat 65 berikut ayat Kursi dan ayat Nur. Karya tafsir filosofis yang sangat berharga dan sudah berkali-kali dicetak ulang.

Syarah Ushul Kafi Marhum Akhund adalah syarah (komentar dan keterangan) pertama atas buku Ushul Kafi yang ditulis pada enam abad sebelumnya, dengan itu dia telah membuka pintu tradisi penulisan syarah atas hadis-hadis akidah yang dalam, dan sudah barang pasti buku Syarah ini merupakan salah satu teks akidah Syi’ah yang paling penting pada masa Kerajaan Safawi dan yang terbaik dalam penyelarasan antara hikmah, irfan dan wahyu bahkan bisa dinyatakan sebagai kunci pertama yang membuka tradisi penyelarasan tersebut. Penulis buku Roudhot al-Jannat mengomentari buku ini sebagai berikut: “Menurut saya, buku ini adalah syarah yang paling tinggi atas hadis-hadis Ahlul Bait, paling bermanfaat, dan paling berharga”.[26]  Di giat penulisan, mulanya Mulla Sadra tergolong penulis yang filsuf dan rasional; dia menulis komentar atas buku Hidayah dan catatan pinggir untuk buku Syifa’ karya Ibnu Sina. Kemudian setelah melewati jenjang-jenjang sair dan suluk dia tergolong penulis yang arif dan bertumpu pada wahyu, dengan kuasa Ilahi dan petunjuk Nabawi dia berhasil melampaui empat perjalanan dan menuliskan Asfar Arba’ah. Pada akhirnya, semua keinginan dia terfokus kepada pemahaman lalu penjelasan ayat-ayat al-Qur’an dan hadis-hadis Ahlul Bait as, dan di akhir hayatnya di salah satu tangannya dia menulis tafsir surat al-Baqarah dan di tangan yang lain dia menulis syarah kitab al-Hujjah di dalam buku Kafi, dan di tengah kesibukan itulah dia menemui Kekasihnya.

Rumah Tangga Mentari

Mulla Sadra adalah menantu Dhiya’udin Muhammad bin Mahmud Razi yang dikenal dengan Dhiya’ul Urofa (cahaya orang-orang arif); mertua Syah Murtadha bapak Faidh Kasyani. Berarti Faidh Kasyani sebelum menyambung hubungan keilmuan dengan Mulla Sadra, dia sudah memiliki hubungan kekeluargaan dengan dia, anak puteri Mulla Sadra adalah anak bibinya Faidh Kasyani. Masing-masing dari anak Mulla Sadra mewarisi bekal ilmu-ilmu Islam yang cukup bahkan mereka termasuk orang-orang yang terkenal di dunia Islam, kenyataan ini merupakan manifestasi lain dari kebesaran ruh Ilahi filsuf besar Mulla Sadra yang menjelma di dalam rumah tangga.

[1] Anak pertama rumah tangga ini bernama Ummu Kultsum, lahir pada tahun 1019, dia mempelajari ilmu, pandangan, dan filsafat dari bapaknya sendiri, kemudian dia menikah dengan Mulla Abdurrazaq Lahiji (Fayyadh) pada tahun 1034. Dia meneruskan studinya dengan belajar kepada suaminya sendiri sehingga dia menjadi ahli di berbagai disiplin ilmu yang umum pada waktu itu dan tidak jarang dia menghadiri pertemuan-pertemuan ilmiah serta turut aktif berdiskusi dengan yang lain.[27]

[2] Muhammad Ibrahim Abu Ali Hakimi, ulama yang arif, salik dan muhahdis yang terkemuka. Dia lahir pada tahun 1021 dan belajar dari bapaknya sendiri. Dia menulis banyak buku dan salah satu karyanya adalah tafsir Ayat Kursi dalam bahasa Persia. Namun, berdasarkan sebagian dari buku-bukunya dan juga berdasarkan pernyataan beberapa ahli biografi, Muhammad Ibrahim di masa akhir kehidupannya berpaling dari filsafat dan bahkan menghujatnya. [28]

[3] Zubaidah Khatun adalah anak yang ketiga Mulla Sadra, dia lahir pada tahun 1024. Dia seorang alim, sastrawan, mulia, dan hafal al-Qur’an. Kemudian dia menjadi istri seorang ulama besar yang bernama Mirza Mu’inudin Fasa’i sekaligus menjadi guru sastra Mirza Kamaludin Fasa’i (Mirza Kumala), menantu Allamah Majlisi Pertama. Dia mempelajari hadis dan tafsir al-Qur’an dari bapak dan kakak perempuannya serta mengajarkan sastra kepada anaknya. [29]

[4] Zainab adalah anak puteri yang ketiga Mulla Sadra, dia orang yang alim, mulia, teolog, filsuf, arif, rajin beribadah, zuhud dan termasuk bintang gemilang di bidang retorika dan sastra. Dia mengambil banyak pelajaran dari bapak dan saudaranya, kemudian setelah menikah dengan Faidh Kasyani dia menyempurnakan pelajarannya dengan tuntunan suami. Tahun kelahirannya tidak tercatat di buku-buku riwayat hidup akan tetapi tahun wafatnya disebutkan 1097. [30]

[5] Nidzamudin Ahmad nama anak putra kedua Mulla Sadra, dia seorang ulama, sastrawan, hakim, dan pujangga yang arif. Dia lahir di kota Kasyan pada tahun 1031 dan meninggal di bulan Rajab tahun 1074. Salah satu judul bukunya adalah Midhmar Donesy dalam bahasa Persia. [31]

[6] Maksumah Khatun adalah anak Mulla Sadra yang terakhir. Dia menjadi istri Allamah Mirza Qiwamudin Neirizi, salah satu murid terkenal Mulla Sadra yang juga menulis catatan pinggir untuk buku Asfar. Dia lahir pada tahun 1033 dan wafat pada tahun 1093. Dia adalan wanita yang alim, pecinta sastra, ahli hadis, rajin beribadah, zuhud, dan hafal al-Qur’an. Dia mengambil banyak pelajaran dari bapak dan kakak-kakaknya; Zubaidah dan Ummu Kultsum.

Mentari Menyingsing

Mulla Sadra selama 71 tahun masa hidupnya telah menunaikan ibadah haji tujuh kali dengan berjalan kaki, dia rajin mengkristalkan hatinya dengan tawaf di Ka’bah, dan pada akhirnya dia pun menyambut ajalnya di jalan ini, entah di awal perjalanannya yang ketujuh menuju Mekkah atau ketika pulang dari sana, tepatnya pada tahun 1050 Hq dan di kota Bashrah dia berpisah dengan tubuhnya dan melaju ke arah Haq swt. Di sana dia dimakamkan, dan meskipun sekarang tidak ada jejak kuburannya akan tetapi harum wangi Hikmah Muta’aliah senantiasa menyegarkan indera penciuman jiwa.[32]

Catatan:

1. Mulla Sadro, Henry Corbin, diterjemahkan oleh Dzabihullah Manshuri, hal. 9.
2. Ibid. Hal. 28.
Berdasarkan catatan pinggir yang ditulis oleh Muhammad Qiwami Syirazi sendiri di salah satu pembahasan penting buku Asfar dan Masya’irnya pada tahun 1037 dan di sana dia menyebutkan usianya 58 tahun, tanggal kelahiran dia adalah tahun 979 atau tahun-tahun pertama 980an. Adapun mengenai rincian pendidikan, guru, sekolah dan pertumbuhan masa mudanya bisa dikatakan tidak ada referensi yang kuat untuk itu, yang ada hanyalah cerita sebagaimana telah disebutkan di atas secara ringkas. Namun, mengingat ciri-khas kultur dan politik kawasan Farsi pada zaman itu yang relatif aman, tenang dan tentram di bawah pemerintahan Mirza Muhammad Khudabandeh (saudara Syah Isma’il dua dan bapaknya Syah Abbas besar), dan ditambah juga dengan dukungan Khudabandeh yang besar terhadap orang-orang alim di kawasan, apalagi Khowjeh Ibrahim Qiwami juga memiliki posisi yang kuat di pemerintahan dan kedudukan mulia di tengah masyarakat, maka bisa diketahui bahwa Mulla Sadra menjalani masa kecil dan mudanya dengan pendidikan dan perkembangan ilmu yang baik atau bahkan unggul.
3. Asfar, jilid 1, hal. 4.
4. Ibid. Hal. 11.
5. Tafsir Suroh Waqi’ah, pengantar.
6. Syarhe Asfor, jilid 6, bagian pertama, pengantar, hal. 48-49.
7. Yodnomehe Mullo Sadro, Nasyre Donesygohe Tehron, hal. 2.
8. Asfar, jilid 1, hal. 6.
9. Bihar al-Anwar, Allamah Muhammad Baqir Majlisi, jilid 60, hal. 216.
10. Asfar, jilid 1, hal. 6 dan 7.
11. Majalah Farhangge Iron Zamin, jilid 13, hal. 84-100.
12. Ibid. Hal. 8.
13. Safinah al-Bihar, jilid 2, hal. 17.
14. Ittihode Oqil wa Ma’qul, hal. 107, 109.
15. Asfar, jilid 1, hal. 8.
16. Majalah Farhangge Iron Zamin, jilid 13, hal. 84-100.
17. Yodnomeh Mullo Sadro, hal. 2.
18. Ibid. Hal. 15.
19. Syi’ah Dar Islom, Nasyre Bunyode Ilmi wa Fikrie Allomeh, hal. 62.
20. Khadamote Mutaqobele Islom u Iron, hal. 586.
21. Kasyf al-Asror, hal. 36-53.
22. Khadamote Mutaqobele Islom wa Iron, hal. 587.
23. Majmu’ehe Otsor, Syahid Mutahari, jilid 13, hal. 249-252.
24. Torikhe Falsafeh dar Islom, Intisyorote Semat, jilid 1, hal. 469.
25. Asfar, jilid 8, hal. 303.
26. Rodudhot al-Jannat, jilid 4, hal. 120.
27. Mustadrok A’yan al-Syi’ah, jilid 2, hal. 43.
28. Ma’adin al-Hikmah, Intisyorote Kitobkhonehe Ayatullah Mar’asyi, hal. 15.
29. A’yan al-Syi’ah, jilid 3, hal. 83 (Mustadrok).
30. A’yan al-Syi’ah, jilid 3, hal. 83 (Mustadrok).
31. Muqoddimah Ma’adin al-Hikmah, hal. 15.
32. Riwayat hidup ini dinukil dan kemudian diterjemahkan dari buku Gulsyane Abror, karya kelompok penulis, dan diterbitkan oleh Pazuhesykadehye Boqirul Ulum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar