Oleh Andraina Ary Fericandra
Sebagai sebuah ilmu
pengetahuan, ilmu pengetahuan sosial (social science) dituntut
untuk melakukan penelitian dan memikirkan status fakta, bukti, dan teori. Tidak
jarang ilmu pengetahuan sosial mendapat tantangan dari gagasan-gagasan baru
yang berasal dari disiplin ilmu lainnya. Oleh karena itu, penting bagi para
pakar ilmu pengetahuan sosial untuk memahami filsafat ilmu pengetahuan. Selain
itu, para pakar ilmu pengetahuan sosial harus mengetahui bagaimana ilmu
pengetahuan tradisional bekerja, untuk kemudian meniru metode-metode yang
digunakan, memodifikasi, maupun menolak metode-metode tersebut. Dalam tulisan
ini, penulis mencoba memaparkan tentang pemikiran induktif dari ilmu
pengetahuan, pandangan Karl Popper mengenai hypothetico-deductive, dan
pandangan-pandangan alternative yang disampaikan oleh Thomas Kuhn dan Imre
Lakator, termasuk kritik dan gagasan baru mengenai ilmu pengetahuan.
Dalam tulisan Peter K.
Smith yang berjudul “Philosophy of Science and its Relevance for the Social
Sciences” disebutkan bahwa filsafat ilmu pengetahuan tidak bisa dipisahkan dari
empat pertanyaan, yaitu : Apa karakteristik yang membedakan ilmu pengetahuan
dengan bukan ilmu pengetahuan? Prosedur apa yang harus dilaksanakan oleh para
ahli ilmu pengetahuan? Syarat apa yang harus dipenuhi untuk penjelasan ilmiah
yang benar? Apa status kognitif dari hukum dan prinsip ilmiah? (Smith 2000,
4-5). Smith juga menyebutkan bahwa sebagai sebuah disiplin ilmu, filsafat ilmu
pengetahuan berkaitan dengan bidang lain, seperti sejarah ilmu pengetahuan,
sosiologi pengetahuan, dan filsafat penelitian. Perkembangan sejarah,
sosiologis, dan pemikiran para ilmuwan secara psikologis memiliki peran yang
penting dalam membantu perkembangan ilmu, kreativitas, serta interpretasi dalam
sebuah penelitian.
Secara historis, asal-usul
filsafat ilmu pengetahuan telah ada sejak zaman Yunani Kuno ketika Aristoteles
(384-322 SM) mengemukakan suatu pondasi untuk ‘sifat dasar dari segala sesuatu’
(Smith 2000, 6). Aristoteles juga memiliki pandangan induktif-deduktif untuk
memperoleh pengetahuan yang sistematis. Pandangan induktif-deduktif Aristoteles
tersebut pun terus dikembangkan oleh para filsuf pada periode klasik, seperti
Roger Bacon dan Descartes yang memunculkan pandangan dan metode baru, yakni
hypothetico-deductive hingga abad ke-12.
Dalam perkembangannya,
pada periode Eropa modern, pandangan Aristoteles terus menuai kritik. Misalnya
dari seorang ilmuwan di abad ke-19, John Stuart Mill yang membantah bahwa ada
empat metode induktif dasar yang digunakan untuk membedakan antara hal yang
kebetulan dan korelasi kasual, yakni agreement, difference, concomitant
variations, dan residues. Mill juga membantah
bahwa proses dugaan dan induksi bisa memberi kesimpulan hubungan kausal (Smith
2000, 7). Argumen-argumen yang disampaikan oleh Mill merupakan contoh dari
pandangan induktivis atau tradisional dari metode ilmu pengetahuan. Singkatnya,
ilmu pengetahuan dihasilkan dengan mengumpulkan data faktual melalui observasi
dan eksperimen yang bisa meningkatkan data base untuk observasi tersebut.
Melalui metode induktif, generalisasi dan hukum kausal bisa dicapai, dengan
catatan jika semua deduksi dari hukum induksi tersebut benar.
Kemudian pada awal abad
ke-20, muncul filsuf modern bernama Karl Popper (1902-1994) yang mengkritik
pandangan tradisional dengan menawarkan pandangan alternatif, yaitu hypothetico-deductive. Popper mengatakan bahwa kemajuan
ilmu pengetahuan bisa dicapai dengan membuat hipotesis, yakni membuat deduksi
dari hipotesis-hipotesis tersebut kemudian menggunakan observasi dan eksperimen
untuk menguji deduksi-deduksi tersebut hingga ditemukan kesalahan, kemudian
merevisi atau mengubah hipotesis untuk mengatasi kesalahan tersebut (Smith
2000, 8). Dengan kata lain, metode hypothetico-deductive dilakukan dengan
membuat hipotesis-hipotesis terlebih dahulu yang kemudian diikuti oleh
pelaksanaan observasi dan interpretasi dengan menggunakan teori. Konsep hypothetico-deductive menjelaskan bahwa hipotesis
merupakan hal yang penting dalam penerapan konsep falsifikasi dalam pencarian
teori baru.
Pada dasarnya, Popper
tidak mengumpulkan fakta, sebagaimana Karl Pearson tidak mengumpulkan observasi
yang tidak bias, melainkan menafsirkan observasi dengan kecenderungan,
prekonsepsi, hipotesis, dan teori. Pandangan ini berkaitan dengan beberapa
gagasan modern dari psikologi persepsi dan psikologi pembangunan (Smith 2000,
8). Psikologi persepsi tergantung pada ekspektasi dan pengalaman yang diperoleh
individu sebelumnya. Sedangkan dalam psikologi pembangunan, Popper mengatakan
bahwa observasi merupakan “theory laden”, yakni selalu memiliki hipotesis baik
implisit maupun eksplisit. Fakta atau observasi terbuka terhadap reinterpretasi
dari suatu teori yang berbeda. Suatu teori bisa sesuai dengan observasi, namun
hasil observasi bisa tidak setuju dengan teori. Hal ini mengarahkan pada dua
hubungan, yakni: (1) sebuah teori tidak pernah bisa diverifikasi dalam arti
terbukti benar, namun bisa dipalsukan; (2) semua pengetahuan bersifat
sementara, tidak ada kebenaran absolut, namun ada satu teori yang lebih dipilih
daripada teori-teori lainnya (Smith 2000, 10).
Teori yang sudah ada pun
bisa ditentang atau falsified. Misalnya, teori Einstein
yang meruntuhkan teori Newton. Akan tetapi, hal ini bukan berarti Einstein
telah mencapai kebenaran absolut, karena bisa jadi di masa depan akan muncul
teori baru yang bisa menumbangkan teori Einstein. Einstein hanya telah memberi
penjelasan teori yang lebih baik daripada Newton. Falsifikasi yang dilakukan
Einstein terhadap teori Newton merupakan ilustrasi dari poin krusial akhir dari
pandangan Popper, yakni bahwa teori tidak bisa dibuktikan, namun bisa
ditentang, dan bahwa falsifiabilitas merupakan patokan yang memisahkan ilmu
pengetahuan dan bukan ilmu pengetahuan. Selain itu, Popper mengatakan bahwa
para ilmuwan harus bisa menentang teori mereka sendiri daripada menerimanya. “The wrong view of science betrays itself in the craving to be
right” (Popper t.t dalam Smith 2000, 11).
Melalui patokan
falsifiabilitas ini, Popper memandang bahwa psychoanalysis bukanlah ilmu
pengetahuan (non-science). Pandangan itu
dikarenakan Popper membantah bahwa gagasan psychoanalysis bisa digunakan
untuk menjelaskan perilaku manusia manapun, sehingga tidak bisa ditentang atau
disalahkan (falsified). Oleh karena itu,
penulis berpendapat bahwa pemikiran Popper menjadi sangat berpengaruh dalam
perkembangan ilmu pengetahuan. Pandangan Popper yang merupakan alternatif dari
pandangan-pandangan tradisional dan sebagai penekanan pada kebutuhan
pre-hipotesis serta upaya untuk menentang teori yang sudah ada pun terlihat
sebagai sebuah penyegaran terhadap antidote dari berbagai ilmu pengetahuan semu
(pseudo-science).
Pandangan Popper pun
menuai kritik dari para ethologist yang mengatakan bahwa pembuatan hipotesis
terlebih dahulu bisa membuat berat sebelah atau membiaskan persepsi peneliti
(Smith 2000, 12). Mereka juga berargumen bahwa teori seharusnya muncul setelah
pengumpulan data, misalnya data kualitatif yang diperoleh melalui observasi
atau wawancara. Salah satu pengkritik pandangan Popper adalah Thomas Kuhn
(1922-98). Kuhn setuju dengan Popper dalam melihat observasi sebagai “theory
laden” dan ilmu pengetahuan sebagai aktivitas penyelesaian masalah yang tidak
bisa mencapai suatu kebenaran yang dapat diverifikasi secara absolut. Akan
tetapi, Kuhn tidak setuju dengan peran falsifiabilitas dan terkait kriteria
yang memisahkan antara ilmu pengetahuan dan bukan ilmu pengetahuan. Kuhn lebih
memperhatikan sejarah ilmu pengetahuan. Misalnya, dia mengatakan bahwa Kimia
menjadi ilmu pengetahuan ketika Dalton mengemukakan teori atomnya. Teori atom
tersebut kemudian memberi seperangkat asumsi yang bisa menjadi panduan untuk
pekerjaan selanjutnya, seperti identifikasi elemen yang hilang, pengujian
bagaimana elemen tertentu dikombinasikan, dan sebagainya.
Kuhn telah memajukan
pembatasan patokan antara ilmu pengetahuan dan bukan ilmu pengetahuan, yakni
bahwa suatu bidang disebut dengan ilmu pengetahuan jika memiliki suatu
paradigma. Ilmu pengetahuan dibedakan dari bukan ilmu pengetahuan dengan
menjadi kegiatan penyelesaian masalah melalui suatu paradigma yang bisa
diterima oleh umum (Smith 2000, 14). Agar bisa diterima sebagai suatu paradigma,
suatu teori harus terlihat lebih bagus daripada pesaingnya, namun tidak harus
menjelaskan semua fakta yang bisa ditentang (Kuhn 1970, 17-18 dalam Smith 2000,
14).
Selain itu, dalam
pendekatan Kuhn, peran falsifiabilitas dibatasi. Semua paradigma pasti memiliki
anomali. Kuhn juga setuju bahwa terkadang teori bisa difalsifikasi, akan tetapi
Kuhn menganggap hal tersebut sebagai suatu periode “revolutionary science”.
Periode tersebut terjadi ketika suatu paradigma mengalami chaos dan kehilangan
para pengikutnya, namun tidak ada paradigma baru yang menonjol. Kuhn juga
mengenalkan konsep pergeseran paradigma, yakni yang membutuhkan
rekonseptualisasi yang lengkap, dalam bahasa yang baru, dari informasi yang
sebelumnya diinterpretasikan di paradigma lama. Pergeseran paradigma ini
terjadi dikarenakan kelompok ilmuwan menjadi lebih kuat atau mendapat pengaruh
sosial lebih. Sehingga jelas bahwa ilmu pengetahuan dipengaruhi oleh
tekanan-tekanan sosial (Smith 2000, 16).
Kemudian muncul filsuf
bernama Imre Lakatos (1922-1974) yang menjembatani perbedaan pandangan dari
Popper dan Kuhn. Lakatos sepakat dengan Kuhn bahwa Popper salah dalam
menekankan falsifikasi sebagai patokan pembatas antara ilmu pengetahuan dan
bukan ilmu pengetahuan, namun dia menolak relativisme yang dikemukakan oleh
Kuhn. Lakatos mencari cara untuk menjaga gagasan-gagasan Popper sebagai suatu
kemajuan ilmiah sementara menjaga wawasan Kuhn terkait bagaimana ilmu
pengetahuan sebenarnya berubah. Untuk itu, Lakatos membedakan tiga jenis
falsifikasionisme dalam ilmu pengetahuan (Smith 2000, 17), yaitu: (1) dogmatic falsificationism, yakni teori ditumbangkan
oleh penemuan fakta-fakta; (2) naïve methodological falsificationism, yakni
Lakatos tidak setuju dengan adanya penolakan dini dari suatu teori; (3) sophisticated methodological falsificationism, yakni
tidak ada falsifikasi sebelum kemunculan teori yang lebih baik.
Dari penjabaran di atas,
penulis menyimpulkan bahwa para filsuf, seperti Popper, Kuhn, dan Lakatos
memiliki pandangan yang berbeda terkait filsafat ilmu pengetahuan. Perbedaan
pemikiran para filsuf tersebut memiliki peran yang penting dalam membantu
perkembangan ilmu pengetahuan, termasuk terkait proses penelitian dan
penggunaan teori. Misalnya Popper yang mengkritik pandangan tradisional dengan
menawarkan hypothetico-deductive, yakni
pembuatan hipotesis sebelum melakukan observasi atau eksperimen dan mengenalkan
konsep falsifikasi.
Kemudian Thomas Kuhn yang
menyumbang pemikiran bahwa sesuatu disebut ilmu pengetahuan apabila memiliki
paradigma, serta mengenalkan konsep pergeseran paradigma dalam ilmu
pengetahuan, serta Imre Lakatos yang menjadi jembatan dari pemikiran Popper dan
Kuhn dengan membuat klasifikasi dari falsifikasionisme. Tentu saja
pemikiran-pemikiran tersebut menjadi hal yang sangat penting untuk
diaplikasikan dalam ilmu, termasuk ilmu sosial yang di dalamnya terdapat Ilmu
Hubungan Internasional. Penulis setuju dengan pendapat para filsuf tersebut,
terutama terkait adanya kemajuan ilmu pengetahuan yang terus mengalami
perkembangan, misalnya kemunculan teori baru sebagai pelengkap dan memperbaiki
teori-teori lama yang sudah tidak relevan. Perkembangan teori ini diperlukan
karena peran teori ini sangatlah penting dalam suatu proses penelitian yang
dilakukan oleh para ilmuwan.
Sumber: Smith, Peter K. 2000. “Philosophy of Science and Its
Relevance for the Social Sciences”, in Dawn Burton (ed.), Research Training for
Social Scientists, London: Sage Publications, pp. 4-20.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar