Oleh
M.
Zahoor Amed (Sumber: The Sultan Who Slept On Stone, Perspective Vol. V,
No. 11 & 12, 1972, Time Press Karachi, India. Hal. 70/71)
Pada
tanggal 4 Mei 1799 Sultan
TIPU dari Mysore,
India gugur. Putera dari
negarawan terkenal Sultan Heidar Ali itu tewas
dalam pertempuran yang
tidak sebanding melawan Inggris. Syahidnya
Sultan Tipu telah mengawali terbitnya fajar baru abad
19 Masehi dengan
lembaran sejarah suram serta isyarat lampu merah bagi muslimin
India.
India semenjak itu merupakan kaca perbandingan bagi
seluruh Asia yang mencerminkan penderitaan-penderitaan yang dialami ummat Islam. Ia seolah-olah merupakan
sarang kesukaran ummat dan tubuh yang
sangat menderita oleh
kesukaran-kesukaran itu.
Pada peristiwa jatuhnya
benteng Sringamatam, tidak kurang
dari 1000 kanon (meriam)
yang jauh lebih
modern keadaannya jatuh ke
tangan musuh. Sukses
yang dicapai Inggris sehingga jatuhnya
kerajaan Islam yang
jaya itu, tidak lain
karena bantuan para
pengkhianat orang-orang seperti
Nizam dan Marathas, penguasa-penguasa wilayah
di tetangga sultan.
Pada mulanya
mereka hanya kelihatan
bersahabat dengan Inggris. Justru
sikap lahiriyah yang bersahabat
itu saja sudah menjengkelkan
hati sultan. Beliau telah
mensinyalir bahwa kedatangan orang-orang Inggris ke negerinya bukan saja sebagai pedagang, akan tetapi mereka menyusun
pergerakan di bawah tanah yang sangat
membahayakan kestabilan kerajaan. Itulah sebabnya
beliau memberi
peringatan-peringatan pada Nizam dan Marathas agar keduanya tidak
mendekati Inggris. Namun
peringatan-peringatan beliau itu tidak dihiraukan.
Karena situasi
yang membahayakan maka Sultan Tipu segera mengadakan kontak
dengan Turki dan Iran, minta agar Negara itu
bersedia membangun pangkalan
angkatan laut yang kuat bagi
sultan. Usaha-usaha pendekatan
ini cepat sekali tertangkap oleh
jaringan mata-mata Inggris yang tersebar luas dalam kalangan
anak negeri. Efeknya sangat merugikan, sehingga rencana-rencana sultan jadi gagal. Pada saat-saat itulah, tepatnya
pada tahun 1791
Inggris melancarkan serangan mendadak
dengan bantuan kawan-kawan,
Nizam dan Marathas
di mana kedua golongan ini telah berjanji setia.
Betapa
sedihnya hati sultan terhadap
tindakan mereka yang hina
itu. Negeri yang
dibangunnya begitu payah sehingga
menjadi makmur dan kuat, di mana industri dan pertanian maju, sistem tuan tanah
dihapuskan, irigasi dan bendungan dibangun secara modern, hubungan
perdagangan antar kota
dan antar Negara manuju pesat,
kapal-kapal dagang yang besar banyak berlabuh. Lebih dari itu kemajuan
yang dicapai Sultan
Tipu dalam bidang militer
sungguh menakjubkan, kanon-kanon (meriam) modern yang lebih baik
dari milik Inggris serta armada kapal perang
bahkan beberapa penulis sejarah mencatat Sultan Tipu telah memiliki
senjata-senjata roket yang ampuh. Semua hasil jerih payahnya
itu telah dipersiapkan
oleh orang-orang sebangsanya
untuk dihadiahkan pada Inggris.
Setahun
kemudian yakni tahun 1792 di Sringamatam pusat
dari kerajaan sultan, para
pengkhianat itu memperkokoh
lagi persahabatan mereka dengan
Inggris dengan perjanjian pertahanan bersama.
Peristiwa tersebut menusuk hati sultan begitu parahnya sehingga beliau
meninggalkan makan makanan istana, bahkan
beliau tidak lagi berbaring di peraduannya, melainkan seringkali tampak tertidur
dengan kemelut jiwa yang dalam, di atas sebuah batu.
Beliau
berusaha bangkit kembali dari awal-awal keruntuhannya itu, namun kondisi dan
situasi negeri sudah begitu
parah, sehingga segala daya
upaya sultan menjadi lumpuh.
Bahkan klimaks
dari awal-awal kehancuran telah tiba. Pada
saat-saat yang demikian beliau
mengirim pasukan-pasukan ke berbagai daerah wilayahnya untuk mengembalikan
kestabilan keamanan serta kepercayaan rakyat pada beliau. Saat-saat
itulah yang dinanti-nantikan para pengkhianat, saat-saat
kosongnya pasukan
pertahanan di ibukota
kerajaan. Mereka segera mengundang sahabat mereka Inggris
untuk melakukan serangan mendadak lagi.
Undangan mereka itu tidak disia-siakan oleh Inggris. Dengan
kekuatan pasukan yang
besar Inggris melakukan pengepungan
tapal-kuda atas benteng Sringamatam.
Sultan Tipu
sangat terkejut atas
hadirnya musuh secara tiba-tiba
itu. Dengan beberapa pengiringnya beliau
keluar dari benteng untuk
melihat dari dekat gerak-gerik
musuh. Tatkala ia balik pulang ke
benteng, tiba-tiba pintu gerbang
benteng itu telah
tertutup. Orang-orang pengabdi Inggris di dalam benteng itu telah
menutup pintu gerbang dan menjebak Sultan Tipu dalam perangkap yang tidak berdaya.
Pada saat-saat
itulah pasukan Inggris
menyerang beliau dengan suatu
pukulan dahsyat. Namun Sultan yang gagah berani itu melawan mati-matian, bahkan pada akhirnya beliau
masih sanggup
membendung arus kekuatan musuh hingga
hari telah petang. Padahal sejak pagi
hari ia tidak
makan dan minum. Keadaan yang
drastis ini sangat
memilukan hati para pengiringnya. Salah seorang mendekati
beliau dan menyarankan agar menyerah saja demi
keselamatannya sendiri. Akan tetapi Sultan Tipu dengan nada keras dan
marah berkata: "Lebih baik bagiku hidup singkat dan mati sebagai singa,
daripada hidup untuk seratus tahun namun tetap terhina." Sebuah ungkapan
yang mengingatkan kita kepada perjuangan Imam Husain di Karbala yang telah
mengalahkan ratusan lawan sendirian, meski akhirnya syahid mengenaskan dan
memilukan.
Akhirnya
pada tanggal 4 Mei 1799 Sultan Tipu syahid
bersama jatuhnya benteng Sringamatam
dan kerajaannya. Kemenangan Inggris
atas diri beliau semata-mata karena ada
orang-orang dalam yang
berkhianat, menggunting dalam lipatan menohok kawan seiring. Semenjak
itulah setapak demi
setapak anak benua itu
dicaplok oleh Inggris. Bersama-sama
dengan kaum Sikh,
Inggris dan orang dalam yang
mengabdi, ummat Islam berada
di ujung dua tombak yang
mematikan, membunuh segala milik pribadi mereka. “Islam di India redup bagaikan
lampu kehabisan minyak”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar