Selasa, 19 Agustus 2014

Sang Sultan yang Tidur di Atas Batu



Oleh M. Zahoor Amed (Sumber: The Sultan Who Slept On Stone, Perspective Vol. V, No. 11 & 12, 1972, Time Press Karachi, India. Hal. 70/71)

Pada tanggal 4 Mei  1799  Sultan  TIPU  dari  Mysore,  India gugur.  Putera dari negarawan terkenal Sultan Heidar Ali itu tewas  dalam  pertempuran  yang  tidak   sebanding   melawan Inggris.  Syahidnya  Sultan  Tipu  telah mengawali terbitnya fajar baru abad 19  Masehi  dengan  lembaran  sejarah  suram serta isyarat lampu merah bagi muslimin India.

India  semenjak itu merupakan kaca perbandingan bagi seluruh Asia yang mencerminkan penderitaan-penderitaan yang  dialami ummat Islam. Ia seolah-olah merupakan sarang kesukaran ummat dan tubuh yang  sangat  menderita  oleh  kesukaran-kesukaran itu.  Pada  peristiwa  jatuhnya  benteng  Sringamatam, tidak kurang dari 1000  kanon  (meriam)  yang  jauh  lebih  modern keadaannya  jatuh  ke  tangan  musuh.  Sukses  yang dicapai Inggris sehingga jatuhnya  kerajaan  Islam  yang  jaya  itu, tidak  lain  karena  bantuan  para  pengkhianat  orang-orang seperti Nizam dan  Marathas,  penguasa-penguasa  wilayah  di tetangga sultan.

Pada   mulanya  mereka  hanya  kelihatan  bersahabat  dengan Inggris. Justru sikap lahiriyah  yang  bersahabat  itu  saja sudah  menjengkelkan  hati  sultan. Beliau telah mensinyalir bahwa kedatangan orang-orang Inggris ke negerinya bukan saja sebagai  pedagang, akan tetapi mereka menyusun pergerakan di bawah tanah yang sangat  membahayakan  kestabilan  kerajaan. Itulah  sebabnya  beliau  memberi peringatan-peringatan pada Nizam dan Marathas agar keduanya  tidak  mendekati  Inggris. Namun peringatan-peringatan beliau itu tidak dihiraukan.

Karena  situasi  yang  membahayakan  maka Sultan Tipu segera mengadakan kontak dengan Turki dan Iran, minta  agar  Negara itu  bersedia  membangun  pangkalan  angkatan laut yang kuat bagi  sultan. Usaha-usaha  pendekatan  ini   cepat   sekali tertangkap  oleh  jaringan  mata-mata  Inggris yang tersebar luas dalam kalangan anak negeri. Efeknya sangat  merugikan, sehingga  rencana-rencana  sultan jadi gagal. Pada saat-saat itulah,  tepatnya  pada  tahun  1791   Inggris   melancarkan serangan  mendadak  dengan  bantuan  kawan-kawan,  Nizam dan Marathas di mana kedua golongan ini telah berjanji setia.

Betapa sedihnya hati sultan terhadap  tindakan  mereka  yang hina  itu.  Negeri  yang  dibangunnya  begitu payah sehingga menjadi makmur dan kuat, di mana industri dan pertanian maju, sistem tuan tanah dihapuskan, irigasi dan bendungan dibangun secara modern, hubungan perdagangan  antar  kota  dan  antar Negara manuju pesat, kapal-kapal dagang yang besar banyak berlabuh. Lebih dari itu  kemajuan  yang  dicapai  Sultan  Tipu  dalam bidang  militer  sungguh  menakjubkan,  kanon-kanon (meriam) modern yang lebih baik dari milik Inggris serta armada kapal perang  bahkan beberapa penulis sejarah mencatat Sultan Tipu telah memiliki senjata-senjata roket yang ampuh. Semua hasil jerih  payahnya  itu  telah  dipersiapkan  oleh  orang-orang sebangsanya untuk dihadiahkan pada Inggris.

Setahun kemudian yakni tahun 1792 di Sringamatam pusat  dari kerajaan  sultan,  para  pengkhianat  itu  memperkokoh  lagi persahabatan  mereka  dengan   Inggris   dengan   perjanjian pertahanan  bersama.  Peristiwa tersebut menusuk hati sultan begitu parahnya sehingga beliau meninggalkan  makan  makanan istana,  bahkan  beliau tidak lagi berbaring di peraduannya, melainkan seringkali tampak  tertidur  dengan  kemelut  jiwa yang dalam, di atas sebuah batu.

Beliau berusaha bangkit kembali dari awal-awal keruntuhannya itu, namun kondisi dan situasi negeri  sudah  begitu  parah, sehingga  segala  daya  upaya  sultan menjadi lumpuh. Bahkan klimaks dari awal-awal kehancuran telah tiba. Pada  saat-saat yang  demikian  beliau  mengirim pasukan-pasukan ke berbagai daerah wilayahnya untuk  mengembalikan  kestabilan  keamanan serta  kepercayaan rakyat pada beliau. Saat-saat itulah yang dinanti-nantikan  para pengkhianat,   saat-saat   kosongnya pasukan   pertahanan  di  ibukota  kerajaan.  Mereka  segera mengundang sahabat mereka Inggris untuk  melakukan  serangan mendadak  lagi.  Undangan mereka itu tidak disia-siakan oleh Inggris.  Dengan  kekuatan  pasukan   yang   besar   Inggris melakukan pengepungan tapal-kuda atas benteng Sringamatam.

Sultan  Tipu  sangat  terkejut  atas  hadirnya  musuh secara tiba-tiba itu. Dengan beberapa  pengiringnya  beliau  keluar dari  benteng  untuk  melihat  dari dekat gerak-gerik musuh. Tatkala ia balik  pulang  ke  benteng,  tiba-tiba  pintu gerbang  benteng  itu  telah  tertutup. Orang-orang pengabdi Inggris di dalam benteng itu telah menutup pintu gerbang dan menjebak Sultan Tipu dalam perangkap yang tidak berdaya.

Pada  saat-saat  itulah  pasukan  Inggris  menyerang  beliau dengan suatu pukulan dahsyat. Namun Sultan yang gagah berani itu melawan  mati-matian, bahkan pada akhirnya beliau masih sanggup membendung arus kekuatan musuh hingga  hari telah petang. Padahal  sejak  pagi  hari  ia  tidak  makan  dan minum. Keadaan  yang  drastis  ini  sangat  memilukan   hati   para pengiringnya. Salah seorang mendekati beliau dan menyarankan agar menyerah saja demi  keselamatannya sendiri. Akan tetapi Sultan Tipu dengan nada keras dan marah berkata: "Lebih baik bagiku hidup singkat dan mati sebagai singa, daripada hidup untuk seratus tahun namun tetap terhina." Sebuah ungkapan yang mengingatkan kita kepada perjuangan Imam Husain di Karbala yang telah mengalahkan ratusan lawan sendirian, meski akhirnya syahid mengenaskan dan memilukan.

Akhirnya pada tanggal 4 Mei 1799 Sultan Tipu syahid  bersama jatuhnya  benteng  Sringamatam  dan  kerajaannya. Kemenangan Inggris atas diri beliau semata-mata karena ada  orang-orang dalam  yang  berkhianat,  menggunting  dalam lipatan menohok kawan seiring. Semenjak itulah  setapak  demi  setapak  anak benua  itu  dicaplok  oleh Inggris. Bersama-sama dengan kaum Sikh, Inggris dan orang dalam yang  mengabdi,  ummat  Islam berada  di  ujung dua tombak yang mematikan, membunuh segala milik pribadi mereka. “Islam di India  redup  bagaikan  lampu kehabisan minyak”



Tidak ada komentar:

Posting Komentar