Fragmen-fragmen ini
hanya sekedar fiksi (yang berusaha filosofis) yang mencoba menciptakan kecerdasan dan kepekaan, sekaligus
memberikan hiburan. Singkatnya, humor adalah sebentuk berpikir dan berwacana
dengan cara dan metode alternatif. Berikut beberapa di antaranya:
Seorang Filsuf
dan Tukang Sepatu
Hari
itu seorang filsuf yang hanya mempunyai sepasang sepatu minta tolong kepada seorang
tukang sepatu untuk memperbaiki sepatunya, dan ia rela untuk menunggu.
"Sekarang sudah waktunya tutup" ujar si tukang sepatu, "oleh
karena itu saya tidak dapat memperbaikinya sekarang. Mengapa engkau tidak
datang besok pagi saja?" kata si tukang sepatu. "Saya hanya mempunyai
sepasang sepatu ini, dan saya tidak dapat berjalan tanpa sepatu." "Baiklah,”
kata si tukang sepatu, “untuk sementara engkau saya pinjami sepatu." "Apa!
Memakai sepatu orang lain? Kauanggap apa saya ini?" jawab sang filsuf. Mendengar
tanggapan emosional sang filsuf tersebut, si tukang sepatu itu pun membela
diri: "Mengapa engkau menolak menggunakan sepatu orang lain di kakimu
kalau engkau begitu saja membawa pikiran-pikiran orang lain di kepalamu?"
Telat Ujian
Ada
empat orang mahasiswa yang kebetulan telat ikut ujian semester karena bangun
kesiangan. Mereka lantas menyusun strategi untuk kompak menuturkan alasan yang
sama agar dosen mereka berbaik hati memberi ujian susulan. Mahasiswa A: “Pak,
maaf kami telat ikut ujian semester”. Mahasiswa B: “Iya pak. Kami berempat naik
angkot yang sama dan ban angkotnya meletus”. Mahasiswa C: “Iya kami kasihan
sama supirnya. Jadinya kami bantu dia pasang ban baru”. Mahasiswa D: “Oleh
karena itu kami mohon kebaikan hati bapak untuk kami mengikuti ujian susulan”. Sang
dosen pun berpikir sejenak dan akhirnya memperbolehkan mereka ikut ujian
susulan. Keesokan harinya ujian susulan dilaksanakan, namun keempat mahasiswa
tersebut diminta mengerjakan ujian di empat ruangan yang berbeda dan tidak
diperkenankan membawa handphone. Dan ternyata ujiannya cuma ada dua soal dan
dengan ketentuan mereka baru diperbolehkan melihat dan mengerjakan soal kedua
setelah selesai mengerjakan soal pertama. Soal pertama sangat mudah dengan
bobot nilai 10. Keempat mahasiswa tersebut mengerjakan dengan tersenyum-senyum.
Namun, ketika tiba giliran membaca soal kedua dengan bobot nilai 90, keringat
dingin pun mulai bercucuran. Di soal kedua itu tertulis: “Kemarin, ban angkot
sebelah mana yang meletus?”
Nelayan dan
Ilmuwan
Di
sebuah perahu di lautan, berbincang lah nelayan dan cendekiawan. “Apa bapak
pernah belajar ilmu fisika?” Tanya ilmuwan. “Tidak” jawab nelayan singkat.
Cendekiawan melanjutkan ”Ah, jika demikian bapak telah kehilangan SEPEREMPAT
peluang kehidupan Bapak” si Nelayan cuma membisu. “Apa bapak pernah belajar
sejarah filsafat?” tanya cendikiawan. “Belum pernah,” jawab nelayan itu
singkat. Cendekiawan melanjutkan, ”Ah, jika demikian bapak telah kehilangan
SEPEREMPAT lagi peluang kehidupan Bapak”. Si Nelayan hanya bisa membisu. “Apa
bapak pernah belajar dan bisa berkomunikasi dengan bahasa asing?” tanya
cendikiawan. “Tidak bias,” jawab nelayan. “Aduh, jika demikian bapak total
telah kehilangan TIGA PEREMPAT peluang kehidupan Bapak”. Tiba-tiba angin
kencang datang dari tengah laut dan perahu yang mereka tumpangi pun oleng hingga
hampir terbalik, dan si cendekiawan itu pun tercebur. Dengan agak berteriak, si
nelayan bertanya kepada si cendekiawan yang tengah berjuang tersebut: “Apa
bapak bisa berenang?” Dengan suara gemetar dan muka pucat ketakutan, sang
cendekiawan menjawab “Tidak bisa!”. “Aduh, jika demikian, bapak telah
kehilangan SEMUA peluang hidup bapak!” ujar si nelayan.
Abu Nawas Jadi
Filsuf
Melihat
ayam betinanya bertelur, sang raja tersenyum. Ia memanggil pengawal agar
mengumumkan kepada rakyat bahwa kerajaan mengadakan sayembara untuk umum.
Sayembara itu berupa pertanyaan yang mudah tetapi memerlukan jawaban yang tepat
dan masuk akal. Barang siapa yang bisa menjawab pertanyaan itu akan mendapat
imbalan yang amat menggiurkan. Satu pundi penuh uang emas: Tetapi bila tidak
bisa menjawab maka hukuman yang menjadi akibatnya.
Banyak
rakyat yang ingin mengikuti sayembara itu terutama orang-orang miskin. Beberapa
dari mereka sampai meneteskan air liur. Mengingat beratnya hukuman yang akan
dijatuhkan maka tak mengherankan bila pesertanya hanya empat orang. Dan salah
satu dari para peserta yang amat sedikit itu adalah Abu Nawas. Aturan main
sayembara itu ada dua. Pertama, jawaban harus masuk akal. Kedua, peserta harus
mampu menjawab sanggahan dari raja sendiri.
Pada
hari yang telah ditetapkan, para peserta sudah siap di depan panggung. Raja
duduk di atas panggung. Ia memanggil peserta pertama. Peserta pertama maju
dengan tubuh gemetar. Raja bertanya, “Manakah yang lebih dahulu, telur atau
ayam?” “Telur.” jawab peserta pertama. “Apa alasannya?” tanya raja. “Bila ayam
lebih dulu itu tidak mungkin karena ayam berasal dari telur.” kata peserta
pertama menjelaskan. “Kalau begitu siapa yang mengerami telur itu?” sanggah
raja.
Peserta
pertama pucat pasi. Wajahnya mendadak berubah putih seperti kertas. Ia tidak
bisa menjawab. Tanpa ampun ia dimasukkan ke dalam penjara. Kemudian peserta
kedua maju. Ia berkata, “Paduka yang mulia, sebenamya telur dan ayam tercipta
dalam waktu yang bersamaan.” “Bagaimana bisa bersamaan?” tanya raja. “Bila ayam
lebih dahulu itu tidak mungkin karena ayam berasal dari telur. Bila telur lebih
dahulu itu juga tidak mungkin karena telur tidak bisa menetas tanpa dierami.”
kata peserta kedua dengan mantap.
“Bukankah
ayam betina bisa bertelur tanpa ayam jantan?” sanggah raja memojokkan. Peserta
kedua bingung. Ia pun dijebloskan ke dalam penjara. Lalu giliran peserta
ketiga. Ia berkata, “Tuanku yang mulia, sebenarnya ayam tercipta lebih dahulu
daripada telur.” “Sebutkan alasanmu.” kata raja. “Menurut hamba, yang pertama
tercipta adalah ayam betina.” kata peserta ketiga meyakinkan. “Lalu bagaimana
ayam betina bisa beranak-pinak seperti sekarang. Sedangkan ayam jantan tidak
ada.” kata raja memancing. “Ayam betina bisa bertelur tanpa ayam jantan. Telur
dierami sendiri. Lalu menetas dan menurunkan anak ayam jantan. Kemudian menjadi
ayam jantan dewasa dan mengawini induknya sendiri.” peserta ketiga berusaha
menjelaskan.
“Bagaimana
bila ayam betina mati sebelum ayam jantan yang sudah dewasa sempat
mengawininya?” Peserta ketiga pun tidak bisa menjawab sanggahan raja. Ia pun
dimasukkan ke penjara. Kini tibalah giliran Abu Nawas. Ia berkata, “Yang pasti
adalah telur dulu, baru ayam.” “Coba terangkan secara logis.” kata raja dengan
sigap karena ingin tahu argumen Abu Nawas. “Ayam bisa mengenal telur,
sebaliknya telur tidak mengenal ayam!” kata Abu Nawas singkat, namun meyakinkan
dan cemerlang. Agak lama Raja merenung. Kali ini raja tidak bisa menyanggah
alasan Abu Nawas dan terpaksa harus memberi uang dalam jumlah besar sebagai
hadiah untuk Abu Nawas. Dan hadirin bertepuk gembira.
Filsafat Indonesia
Di sebuah universitas, seorang mahasiswa
menemui seorang Profesor filsafat. Ia kemukakan tentang ketertarikannya
mempelajari pemikiran filsafat Barat. “Bagus sekali,” jawab Profesor itu. “Tapi
kenapa Anda tidak mempelajari filsafat Indonesia? Bukankah itu lebih menarik
dan sesuai dengan konteks kehidupan kalian sendiri?” “Itu dia masalahnya, Prof,
” mahasiswa kita menjawab. “Bangsa kami semula tidak
punya masalah genting. Tapi dari Barat-lah bangsa kami mendapat banyak masalah:
liberalisasi (yang ternyata kolonialisme dalam ranah ekonomi), sekularisasi
(yang ternyata juga dehumanisasi baru), dan lain-lain. Maka saya harus
mempelajari filsafat Barat untuk mengatasi masalah-masalah brengsek dari bangsa
Anda itu, Prof.” Demikian jawab si mahasisiwa dengan sinis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar