Senin, 11 Agustus 2014

Humor Abu Nawas




Fragmen-fragmen ini hanya sekedar fiksi (yang berusaha filosofis) yang mencoba menciptakan kecerdasan dan kepekaan, sekaligus memberikan hiburan. Singkatnya, humor adalah sebentuk berpikir dan berwacana dengan cara dan metode alternatif. Berikut beberapa di antaranya:

Seorang Filsuf dan Tukang Sepatu

Hari itu seorang filsuf yang hanya mempunyai sepasang sepatu minta tolong kepada seorang tukang sepatu untuk memperbaiki sepatunya, dan ia rela untuk menunggu. "Sekarang sudah waktunya tutup" ujar si tukang sepatu, "oleh karena itu saya tidak dapat memperbaikinya sekarang. Mengapa engkau tidak datang besok pagi saja?" kata si tukang sepatu. "Saya hanya mempunyai sepasang sepatu ini, dan saya tidak dapat berjalan tanpa sepatu." "Baiklah,” kata si tukang sepatu, “untuk sementara engkau saya pinjami sepatu." "Apa! Memakai sepatu orang lain? Kauanggap apa saya ini?" jawab sang filsuf. Mendengar tanggapan emosional sang filsuf tersebut, si tukang sepatu itu pun membela diri: "Mengapa engkau menolak menggunakan sepatu orang lain di kakimu kalau engkau begitu saja membawa pikiran-pikiran orang lain di kepalamu?"

Telat Ujian

Ada empat orang mahasiswa yang kebetulan telat ikut ujian semester karena bangun kesiangan. Mereka lantas menyusun strategi untuk kompak menuturkan alasan yang sama agar dosen mereka berbaik hati memberi ujian susulan. Mahasiswa A: “Pak, maaf kami telat ikut ujian semester”. Mahasiswa B: “Iya pak. Kami berempat naik angkot yang sama dan ban angkotnya meletus”. Mahasiswa C: “Iya kami kasihan sama supirnya. Jadinya kami bantu dia pasang ban baru”. Mahasiswa D: “Oleh karena itu kami mohon kebaikan hati bapak untuk kami mengikuti ujian susulan”. Sang dosen pun berpikir sejenak dan akhirnya memperbolehkan mereka ikut ujian susulan. Keesokan harinya ujian susulan dilaksanakan, namun keempat mahasiswa tersebut diminta mengerjakan ujian di empat ruangan yang berbeda dan tidak diperkenankan membawa handphone. Dan ternyata ujiannya cuma ada dua soal dan dengan ketentuan mereka baru diperbolehkan melihat dan mengerjakan soal kedua setelah selesai mengerjakan soal pertama. Soal pertama sangat mudah dengan bobot nilai 10. Keempat mahasiswa tersebut mengerjakan dengan tersenyum-senyum. Namun, ketika tiba giliran membaca soal kedua dengan bobot nilai 90, keringat dingin pun mulai bercucuran. Di soal kedua itu tertulis: “Kemarin, ban angkot sebelah mana yang meletus?”

Nelayan dan Ilmuwan

Di sebuah perahu di lautan, berbincang lah nelayan dan cendekiawan. “Apa bapak pernah belajar ilmu fisika?” Tanya ilmuwan. “Tidak” jawab nelayan singkat. Cendekiawan melanjutkan ”Ah, jika demikian bapak telah kehilangan SEPEREMPAT peluang kehidupan Bapak” si Nelayan cuma membisu. “Apa bapak pernah belajar sejarah filsafat?” tanya cendikiawan. “Belum pernah,” jawab nelayan itu singkat. Cendekiawan melanjutkan, ”Ah, jika demikian bapak telah kehilangan SEPEREMPAT lagi peluang kehidupan Bapak”. Si Nelayan hanya bisa membisu. “Apa bapak pernah belajar dan bisa berkomunikasi dengan bahasa asing?” tanya cendikiawan. “Tidak bias,” jawab nelayan. “Aduh, jika demikian bapak total telah kehilangan TIGA PEREMPAT peluang kehidupan Bapak”. Tiba-tiba angin kencang datang dari tengah laut dan perahu yang mereka tumpangi pun oleng hingga hampir terbalik, dan si cendekiawan itu pun tercebur. Dengan agak berteriak, si nelayan bertanya kepada si cendekiawan yang tengah berjuang tersebut: “Apa bapak bisa berenang?” Dengan suara gemetar dan muka pucat ketakutan, sang cendekiawan menjawab “Tidak bisa!”. “Aduh, jika demikian, bapak telah kehilangan SEMUA peluang hidup bapak!” ujar si nelayan.

Abu Nawas Jadi Filsuf

Melihat ayam betinanya bertelur, sang raja tersenyum. Ia memanggil pengawal agar mengumumkan kepada rakyat bahwa kerajaan mengadakan sayembara untuk umum. Sayembara itu berupa pertanyaan yang mudah tetapi memerlukan jawaban yang tepat dan masuk akal. Barang siapa yang bisa menjawab pertanyaan itu akan mendapat imbalan yang amat menggiurkan. Satu pundi penuh uang emas: Tetapi bila tidak bisa menjawab maka hukuman yang menjadi akibatnya.

Banyak rakyat yang ingin mengikuti sayembara itu terutama orang-orang miskin. Beberapa dari mereka sampai meneteskan air liur. Mengingat beratnya hukuman yang akan dijatuhkan maka tak mengherankan bila pesertanya hanya empat orang. Dan salah satu dari para peserta yang amat sedikit itu adalah Abu Nawas. Aturan main sayembara itu ada dua. Pertama, jawaban harus masuk akal. Kedua, peserta harus mampu menjawab sanggahan dari raja sendiri.

Pada hari yang telah ditetapkan, para peserta sudah siap di depan panggung. Raja duduk di atas panggung. Ia memanggil peserta pertama. Peserta pertama maju dengan tubuh gemetar. Raja bertanya, “Manakah yang lebih dahulu, telur atau ayam?” “Telur.” jawab peserta pertama. “Apa alasannya?” tanya raja. “Bila ayam lebih dulu itu tidak mungkin karena ayam berasal dari telur.” kata peserta pertama menjelaskan. “Kalau begitu siapa yang mengerami telur itu?” sanggah raja.

Peserta pertama pucat pasi. Wajahnya mendadak berubah putih seperti kertas. Ia tidak bisa menjawab. Tanpa ampun ia dimasukkan ke dalam penjara. Kemudian peserta kedua maju. Ia berkata, “Paduka yang mulia, sebenamya telur dan ayam tercipta dalam waktu yang bersamaan.” “Bagaimana bisa bersamaan?” tanya raja. “Bila ayam lebih dahulu itu tidak mungkin karena ayam berasal dari telur. Bila telur lebih dahulu itu juga tidak mungkin karena telur tidak bisa menetas tanpa dierami.” kata peserta kedua dengan mantap.

“Bukankah ayam betina bisa bertelur tanpa ayam jantan?” sanggah raja memojokkan. Peserta kedua bingung. Ia pun dijebloskan ke dalam penjara. Lalu giliran peserta ketiga. Ia berkata, “Tuanku yang mulia, sebenarnya ayam tercipta lebih dahulu daripada telur.” “Sebutkan alasanmu.” kata raja. “Menurut hamba, yang pertama tercipta adalah ayam betina.” kata peserta ketiga meyakinkan. “Lalu bagaimana ayam betina bisa beranak-pinak seperti sekarang. Sedangkan ayam jantan tidak ada.” kata raja memancing. “Ayam betina bisa bertelur tanpa ayam jantan. Telur dierami sendiri. Lalu menetas dan menurunkan anak ayam jantan. Kemudian menjadi ayam jantan dewasa dan mengawini induknya sendiri.” peserta ketiga berusaha menjelaskan.

“Bagaimana bila ayam betina mati sebelum ayam jantan yang sudah dewasa sempat mengawininya?” Peserta ketiga pun tidak bisa menjawab sanggahan raja. Ia pun dimasukkan ke penjara. Kini tibalah giliran Abu Nawas. Ia berkata, “Yang pasti adalah telur dulu, baru ayam.” “Coba terangkan secara logis.” kata raja dengan sigap karena ingin tahu argumen Abu Nawas. “Ayam bisa mengenal telur, sebaliknya telur tidak mengenal ayam!” kata Abu Nawas singkat, namun meyakinkan dan cemerlang. Agak lama Raja merenung. Kali ini raja tidak bisa menyanggah alasan Abu Nawas dan terpaksa harus memberi uang dalam jumlah besar sebagai hadiah untuk Abu Nawas. Dan hadirin bertepuk gembira.

Filsafat Indonesia

Di sebuah universitas, seorang mahasiswa menemui seorang Profesor filsafat. Ia kemukakan tentang ketertarikannya mempelajari pemikiran filsafat Barat. “Bagus sekali,” jawab Profesor itu. “Tapi kenapa Anda tidak mempelajari filsafat Indonesia? Bukankah itu lebih menarik dan sesuai dengan konteks kehidupan kalian sendiri?” “Itu dia masalahnya, Prof, ” mahasiswa kita menjawab. “Bangsa kami semula tidak punya masalah genting. Tapi dari Barat-lah bangsa kami mendapat banyak masalah: liberalisasi (yang ternyata kolonialisme dalam ranah ekonomi), sekularisasi (yang ternyata juga dehumanisasi baru), dan lain-lain. Maka saya harus mempelajari filsafat Barat untuk mengatasi masalah-masalah brengsek dari bangsa Anda itu, Prof.” Demikian jawab si mahasisiwa dengan sinis. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar