Terjemahan dari Kitab Limadha
Akhtartu Madhhab Ahlul-Bait AS karya Syeikh Muhammad Mar’i al-Amin
al-Antaki [Edisi Pertama, Cetakan Halab,
Syiria, 1402 H]
Sejarah Ringkas Hidupku
Aku dilahirkan pada tahun
1344H/1894M di kampung Unsu di Wilayah Antakiyah. Sebuah kampung yang cantik, udaranya
nyaman dipenuhi oleh bermacam-macam tumbuhan seperti zaitun, anggur dan
lain-lain. Di sana terdapat seorang Syaikh yang mengajar membaca dan menulis
al-Qur'an kepada kanak-kanak. Bapakku meletakkanku di sisinya supaya aku
belajar membaca dan menulis al-Qur'an. Selepas aku selesai membaca dan menulis,
bapakku mengambilku supaya aku menolong sebahagian daripada
kerja-kerjanya.
Ketika umurku meningkat
remaja, aku mulai mencintai ilmu pengetahun dan para ulama. Karena itulah apabila aku melihat seorang ulama, aku dengan segera melakukan khidmatku
kepadanya menurut kemampuanku.
Kemudian terbenam di hatiku
perasaan cinta kepada ilmu dan makin memuncak. Pada masa itu seorang syaikh
bernama Syaikh Rajab adalah seorang alim yang tinggal berdekatan dengan kampung
kami. Maka di sanalah aku dan saudaraku, Ahmad, belajar darinya hampir tiga
tahun. Kemudian kami berpindah ke bandar Antakiyyah dan kami memasuki madrasah
melalui Syaikh Nazif. Kami belajar darinya dan bapaknya, Syaikh Ahmad Afandi
al-Tawil, hampir tujuh tahun. Pada masa itu juga datang seorang alim yang
dihormati bernama Syaikh Muhammad Sa'id al-'Urfiyy dari daerah Dair al-Zur. Dia
telah dibuang (diusir) oleh pihak kerajaan Perancis sepanjang penjajahan negara
Suriah selepas tamatnya peperangan dunia yang pertama pada tahun 1919 M. Kami
sempat belajar darinya semasa dia berada di Antakiyyah.
Di Universitas al-Azhar
Kemudian aku sampai juga
di Mesir sekalipun saudaraku, Ahmad, telah sampai lebih awal ketimbang aku.
Hampir sebulan kami belajar di Universitas al-Azhar, Syaikh Said al-'Urfiyy pun
datang. Dan kedatangannya ke Mesir banyak memberi faedah kepada kami. Dan di
Universitas al-Azhar-lah kami menuntut berbagai ilmu pengetahun dari syaikh-syaikh
al-Azhar yang termasyhur. Guru-guruku di Universitas al-Azhar adalah: 1. al-Allamah al-Akbar Syaikh Mustafa
al-Maraghi, Rektor Universiti al-Azhar dan Ketua Majlis Islam. 2.
al-Allamah al-Kabir Syaikh Muhammad Abu Taha al-Mihniyy. 3. al-Allamah al-Kabir
Syaikh Rahim dan syaikh-syaikh al-Azhar yang lain.
Ijazah dari Universitas al-Azhar
Ketika kami tamat
belajar, kami telah memperolehi beberapa ijazah yang tinggi dari Universitas
al-Azhar. Dan ketika kami ingin pulang ke tanah air, beberapa orang yang
terkemuka di Mesir meminta supaya kami menjadi pensyarah (penerang dan
pembahas) di Universitas al-Azhar. Tetapi disebabkan negara kami lebih
memerlukan kami, lagipula Mesir sebuah negara ilmu yang mempunyai para ulama
yang masyhur dan rasanya tidak begitu memerlukan kami, dibandingkan negara kami
yang hampir tidak mempunyai ulama yang berwibawa di dalam ilmu Fiqh, Tafsir dan
Hadith.
Kembalinya Kami Ke Tanah Air
Kami kembali ke negara
kami dan bertugas sebagai imam sembahyang jama'ah dan Jum'at, mengajar, memberi
fatwa dan menjadi pensyarah selama lima belas tahun.
Perselisihan Di Kalangan Mazhab Empat
Selama lima belas tahun
kami mengkaji tentang perselisihan (khilaf) di kalangan empat mazhab. Aku dan
saudaraku, Ahmad, merasakan suatu kepelikan karena kami mendapati perselisihan
berlaku di dalam satu masalah di dalam mazhab yang sama. Lebih-lebih lagi
perselisihan yang berlaku di antara satu mazhab dengan tiga mazhab yang lain.
Sehingga kami mendapati satu mazhab menghalalkan satu masalah sementara mazhab
yang lain pula mengharamkannya. Begitu juga satu mazhab mengatakan satu hal
adalah makruh, sementara mazhab yang lain pula mengatakannya sunnah. Begitulah
seterusnya. Sebagai contoh Syafi'i berpendapat bahwa menyentuh perempuan ajnabi
(dalam kondisi junub) membatalkan wudhu, sementara Hanafi berpendapat tidak
membatalkan wudhu.
Malik berpendapat pula bahwa
sentuhan jika dengan syahwat (atau sengaja) akan membatalkan wudhu, dan jika
tidak maka ia tidak membatalkan wudhu. Syafi'i mengharuskan seseorang mengawini
anak perempuan zinanya, sementara Abu Hanifah, Malik dan Ahmad bin Hanbal
mengharamkannya. Hanafi berpendapat bahawa sedikit darah yang keluar dari
tubuh (badan) adalah membatalkan wudhu, sementara yang tiga lagi berpendapat tidak
membatalkannya.
Hanafi berpendapat bahwa
wudhu harus dilakukan dengan Nabidh (air kurma umpamanya) dan susu yang
bercampur dengan air. Sementara tiga lagi berpendapat tidak harus. Malik
berpendapat bahwa memakan daging anjing adalah boleh. Sementara yang tiga lagi
berpendapat tidak boleh. Syafi'i berpendapat bahwa memakan daging
serigala (Tha'lab), daging musang (dhab'), dan daging belut (jar'y) adalah boleh.
Sementara Abu Hanifah berpendapat bahwa memakannya adalah haram. Syafi'i
berpendapat bahwa landak (qunfuz) adalah halal sementara yang tiga lagi
berpendapat haram. Dan banyak lagi perselisihan-perselisihan yang berlaku di
kalangan mereka bermula dari bab fiqh hingga ke selain fikih.
Subhanallah! Adakah
syariat Islam itu tidak lengkap sehingga mereka melengkapinya dengan
perselisihan di kalangan mereka? Satu mazhab menghalalkannya, dan satu lagi
mengharamkannya. Sementara yang lain pula mengharuskannya dan yang lain pula
berpendapat sebaliknya. Perhatikanlah bagaimana
Syafi'i telah menyusun mazhabnya yang lama (Qadim) dan menyebarkannnya di
kalangan kaum Muslimin di Iraq, Hijaz, Yaman, dan Syria. Kemudian dia berpindah
ke Mesir kerana sebab-sebab tertentu. Di sana dia bergaul dengan orang Maghribi
dan mengambil ilmu daripada mereka. Lalu dia berpindah dari mazhabnya yang lama
dengan menyusun mazhabnya yang dia menamakannya dengan mazhab Jadid (baru).
Sehingga beberapa masalah saja yang berlaku pada mazhabnya yang pertama (qaul
qadim).
Aku berkata: “Sekiranya
mazhab pertamanya betul kenapa dia mencipta mazhab yang kedua dan begitu pula
sebaliknya. Begitu juga kita perhatikan Abu Hanifah memberi pendapatnya di
dalam satu-satu masalah, murid-muridnya, Abu Yusuf, Muhammad dan Zufar
menyalahinya. Kadangkala seorang daripada mereka sependapat dengannya.
Sementara dua lagi menyalahinya. Atau ketiga-tiga menyalahinya, atau bersepakat
dengannya. Begitu juga Malik dan Ahmad bin Hanbal, perselisihan berlaku di
kalangan mereka dalam semua masalah, dan tentu sekali membuat kita berada
di dalam keraguan. (Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar