Einstein dan Agama
Ilmu Pengetahuan Tanpa Agama Akan
Lumpuh Dan Agama Tanpa Ilmu Pengetahuan Akan Buta (Science Without Religion Is
Lame But Religion Without Science Is Blind) “Albert Einstein”
Berdasarkan laporan
situs Mouood.org, Einstein pada tahun 1954 dalam suratnya kepada Ayatullah
Al-Udzma Sayid Hossein Boroujerdi, marji besar Syi’ah Islam kala itu,
menyatakan, “Setelah 40 kali menjalin kontak surat-menyurat dengan Anda
(Ayatollah Boroujerdi), kini saya menerima agama Islam dan mazhab Syi’ah 12
Imam”.
Einstein
dalam suratnya itu menjelaskan bahwa Islam lebih utama ketimbang seluruh
agama-agama lain dan menyebutnya sebagai agama yang paling sempurna dan
rasional. Ditegaskannya, “Jika seluruh
dunia berusaha membuat saya kecewa terhadap keyakinan suci ini, niscaya mereka
tidak akan mampu melakukannya walau hanya dengan membersitkan setitik keraguan
kepada saya”.
Einstein
dalam makalah terakhirnya bertajuk Die
Erklarung (Deklarasi) yang ditulis pada tahun 1954 di Amerika Serikat dalam
bahasa Jerman menelaah teori relativitas lewat ayat-ayat Al-Qur’an dan ucapan
Imam Ali bin Abi Thalib as dalam kitab Nahjul Balaghah. Dalam makalahnya itu,
Einstein menyebut penjelasan Imam Ali Bin Abi Thalib As tentang perjalanan
miraj jasmani Rasulullah ke langit dan alam malakut yang hanya dilakukan dalam
beberapa detik sebagai penjelasan Imam Ali Bin Abi Thalib As yang paling
bernilai.
Salah
satu hadis yang menjadi sandarannya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Allamah
Majlisi tentang mikraj jasmani Rasulullah Saww.
Disebutkan, “Ketika terangkat dari tanah, pakaian atau kaki Nabi
menyentuh sebuah bejana berisi air yang menyebabkan air tumpah. Setelah Nabi
kembali dari mikraj jasmani, setelah melalui berbagai zaman, beliau melihat air
masih dalam keadaan tumpah di atas tanah.”
Einstein
melihat hadis ini sebagai khazanah keilmuan yang mahal harganya, karena
menjelaskan kemampuan keilmuan para Imam Syi’ah Islam dalam relativitas waktu.
Menurut Einstein, formula matematika kebangkitan jasmani berbanding terbalik
dengan formula terkenal “relativitas materi dan energi”. E = M.C² >>
M = E : C². Artinya, sekalipun badan kita berubah menjadi energi, ia dapat
kembali berujud semula, hidup kembali.
Sains dan Teosofi dalam Nahjul Balaghah
Salah satu bagian utama
Nahjul Balaghah membahas tentang ketuhanan dan metafisika. Sekitar empat puluh
kali kajian ini diulas dalam ceramah, surat, dan kata mutiara Nahjul Balaghah.
Kendatipun sebagiannya hanya berupa kalimat pendek, tapi umumnya sampai
mencapai beberapa baris, dan bahkan, sekian halaman. Ulasan tauhid Nahjul
Balaghah terhitung bagian yang sangat menakjubkan.
Tidak berlebihan apabila
pembahasan ini dikatakan setara dengan mukjizat. Tentunya hal itu dapat
diterima jika situasi dan kondisi atau konteks kajian-kajian itu diperhatikan.
Diskursus Nahjul Balaghah tentang ketuhanan dan metafisika sangat beragam. Ada
yang berbentuk telaah ciptaan dan hikmah Ilahi, seperti sistem universal langit
dan bumi, dan terkadang meneliti eksistensi tertentu, seperti kelelawar, merak,
atau semut, dan memperhatikan managemen serta tujuan dari penciptaannya. Akan
bisa lebih dimengerti jika kita mengambil satu contoh keterangan Amirul
Mukminin Ali Bin Abi Thalib As tentang semut dalam ceramah ke-177 beliau
berikut ini:
أَلاَ
يَنْظُرُوْنَ إِلَى صَغِيْرِ مَا خَلَقَ، كَيْفَ أَحْكَمَ خَلْقَهَ وَ أَتْقَنَ
تَرْكِيْبَهُ وَ فَلَقَ لَهُ السَّمْعَ وَ الْبَصَرَ، وَ سَوَّى لَهُ الْعَظْمَ وَ
الْبَشَرَ، انْظُرُوْا إِلَى النَّمْلَةِ فِيْ صِغَرِ جُثَّتِهَا وَ لَطَافَةِ
هَيْئَتِهَا لاَ تَكَادُ تُنَالُ بِلَحْظِ الْبَصَرِ وَلاَ بِمُسْتَدْرَكِ
الْفِكَرِ، كَيْفَ دَبَّتْ عَلَى أَرْضِهَا وَ صَبَّتْ عَلَى رِزْقِهَا، تَنْقُلُ
الْحَبَّةَ إِلَى جُحْرِهَا وَ تَعُدُّهَا فِيْ مُسْتَقَرِّهَا، تَجْمَعُ فِيْ
حَرِّهَا لِبُرْدِهَا وَ فِيْ وَرْدِهَا لِصَدْرِهَا، مَكْفُوْلَةً بِرِزْقِهَا،
مَرْزُوْقَةً بِوِفْقِهَا، لاَ يَغْفُلُهَا الْمَنَّانُ وَلاَ يَحْرُمُهَا
الدَّيَّانُ وَلَوْ فِي الصَّفَا الْيَابِسِ وَ الْحَجَرِ الْجَامِسِ، وَلَوْ
فَكَّرْتَ فِيْ مَجَارِيْ أَكْلِهَا فِيْ عُلُوِّهَا وَ سُفْلِهَا، وَمَا فِي
الْجَوْفِ مِنْ شَرَاسِيْفِ بَطْنِهَا، وَمَا فِي الرَّأْسِ مِنْ عَيْنِهَا وَ
أُذُنِهَا لَقَضَيْتَ مِنْ خَلْقِهَا عَجَبًا …
“Apakah mereka tidak
meneliti ciptaan-Nya yang kecil? Bagaimanakah Dia kuatkan ciptaannya dan
tegakkan susunannya. Dia bekali pendengaran dan penglihatan, Dia isi tulang dan
lapisi dengan kulit? Pikirkanlah semut dengan posturnya yang amat kecil dan
bentuknya yang lembut. Begitu kecilnya sehingga hampir tak terlihat oleh mata
dan tak tercerna oleh pemikiran. Bagaimana ia berjalan di atas bumi dan
berusaha mengumpulkan rejeki? Ia angkut biji-bijian ke dalam lubang dan
disimpannya di sarangnya. Dia kumpulkan makanan itu di musim panas untuk
perbekalan di musim dingin nanti, dan di musim dingin dia sudah dapat
memperkirakan saat keluar dan bebas. Dengan demikian rejeki makhluk kecil ini
sudah terjamin secara rapih dan teratur. Allah Maha Pemberi tidak akan pernah
melupakannya walau dia terletak di bawah batu yang keras. Apabila kalian teliti
dan pikirkan jalur keluar dan masuknya makanan, struktur perut, telinga, dan
mata yang terletak di kepalanya, niscaya kalian akan sangat terheran-heran oleh
ciptaan ini”.
Namun demikian, puncak
dominasi pembahasan Nahjul Balaghah terletak pada tauhid dan kajian rasional
filosofis. Semua argumentasinya berakhir pada kemutlakan, ketidakterbatasan,
cakupan, dan kemandirian Dzat Allah SWT. Di sini, Amirul Mukminin Ali Bin Abi
Thalib As melantangkan pembicaraannya. Tiada seorang pun sebelum dan sesudah
beliau mengucapkan hal ini, sebagaimana tidak seorang pun yang sampai pada
tingkatan ini.
Hal berikutnya yang sering
ditekankan adalah kesederhanaan tanpa batas dan negasi segala bentuk
pluralitas, pembagian, analisa, dan kelainan sifat dari Dzat. Ada berbagai
masalah pelik lainnya yang dipaparkan dalam Nahjul Balaghah seputar tema di
atas, seperti kemulaan Allah sekaligus keakhiran-Nya, ke-lahiriah-an sekaligus
kebatinan-Nya, kedahuluan-Nya atas waktu dan bilangan, kedahuluan-Nya bukan
dalam kategori waktu dan keesaan-Nya bukan dalam kategori bilangan, ketinggian
dan kerajaan, serta kekayaan Dzat Allah, kreatoritas-Nya (mubdi’) dan bahwa kaadaan
tertentu tidak menyibukkan-Nya dari keadaan yang lain. FirmanNya adalah
tindakan-Nya itu sendiri. Keterbatasan akal dalam mengenali-Nya dan bahwa
makrifat terhadap-Nya terbilang pengejewantahan Dia pada akal-akal, bukan
seperti cakupan benak atas makna dan konsep tertentu, negasi kebendaan,
gerakan, kediaman, perubahan, ruang, waktu, serupa, lawan, sekutu, duplikat,
bantuan alat tertentu, keterbatasan dan juga negasi keterbilangan.
Itulah tadi sekilas tema
dan sub-tema yang dipaparkan Nahjul Balaghah berkisar tentang ketuhanan dan
metafisika. Seorang filsuf yang pakar dalam ideologi dan pemikiran filsafat
kuno dan modern akan tenggelam dan terheran-heran membacanya. Sebuah warisan
Islam yang mestinya menjadi bahan berharga bagi setiap muslim, bahkan ummat
manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar