Jumat, 22 Agustus 2014

Sains dan Teosofi dalam Nahjul Balaghah



Einstein dan Agama

Ilmu Pengetahuan Tanpa Agama Akan Lumpuh Dan Agama Tanpa Ilmu Pengetahuan Akan Buta (Science Without Religion Is Lame But Religion Without Science Is Blind) “Albert Einstein”

Berdasarkan laporan situs Mouood.org, Einstein pada tahun 1954 dalam suratnya kepada Ayatullah Al-Udzma Sayid Hossein Boroujerdi, marji besar Syi’ah Islam kala itu, menyatakan, “Setelah 40 kali menjalin kontak surat-menyurat dengan Anda (Ayatollah Boroujerdi), kini saya menerima agama Islam dan mazhab Syi’ah 12 Imam”.

Einstein dalam suratnya itu menjelaskan bahwa Islam lebih utama ketimbang seluruh agama-agama lain dan menyebutnya sebagai agama yang paling sempurna dan rasional. Ditegaskannya, “Jika seluruh dunia berusaha membuat saya kecewa terhadap keyakinan suci ini, niscaya mereka tidak akan mampu melakukannya walau hanya dengan membersitkan setitik keraguan kepada saya”.

Einstein dalam makalah terakhirnya bertajuk Die Erklarung (Deklarasi) yang ditulis pada tahun 1954 di Amerika Serikat dalam bahasa Jerman menelaah teori relativitas lewat ayat-ayat Al-Qur’an dan ucapan Imam Ali bin Abi Thalib as dalam kitab Nahjul Balaghah. Dalam makalahnya itu, Einstein menyebut penjelasan Imam Ali Bin Abi Thalib As tentang perjalanan miraj jasmani Rasulullah ke langit dan alam malakut yang hanya dilakukan dalam beberapa detik sebagai penjelasan Imam Ali Bin Abi Thalib As yang paling bernilai.

Salah satu hadis yang menjadi sandarannya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Allamah Majlisi tentang mikraj jasmani Rasulullah Saww.  Disebutkan, “Ketika terangkat dari tanah, pakaian atau kaki Nabi menyentuh sebuah bejana berisi air yang menyebabkan air tumpah. Setelah Nabi kembali dari mikraj jasmani, setelah melalui berbagai zaman, beliau melihat air masih dalam keadaan tumpah di atas tanah.”

Einstein melihat hadis ini sebagai khazanah keilmuan yang mahal harganya, karena menjelaskan kemampuan keilmuan para Imam Syi’ah Islam dalam relativitas waktu. Menurut Einstein, formula matematika kebangkitan jasmani berbanding terbalik dengan formula terkenal “relativitas materi dan energi”. E = M.C² >> M = E : C². Artinya, sekalipun badan kita berubah menjadi energi, ia dapat kembali berujud semula, hidup kembali. 

Sains dan Teosofi dalam Nahjul Balaghah

Salah satu bagian utama Nahjul Balaghah membahas tentang ketuhanan dan metafisika. Sekitar empat puluh kali kajian ini diulas dalam ceramah, surat, dan kata mutiara Nahjul Balaghah. Kendatipun sebagiannya hanya berupa kalimat pendek, tapi umumnya sampai mencapai beberapa baris, dan bahkan, sekian halaman. Ulasan tauhid Nahjul Balaghah terhitung bagian yang sangat menakjubkan.

Tidak berlebihan apabila pembahasan ini dikatakan setara dengan mukjizat. Tentunya hal itu dapat diterima jika situasi dan kondisi atau konteks kajian-kajian itu diperhatikan. Diskursus Nahjul Balaghah tentang ketuhanan dan metafisika sangat beragam. Ada yang berbentuk telaah ciptaan dan hikmah Ilahi, seperti sistem universal langit dan bumi, dan terkadang meneliti eksistensi tertentu, seperti kelelawar, merak, atau semut, dan memperhatikan managemen serta tujuan dari penciptaannya. Akan bisa lebih dimengerti jika kita mengambil satu contoh keterangan Amirul Mukminin Ali Bin Abi Thalib As tentang semut dalam ceramah ke-177 beliau berikut ini:

أَلاَ يَنْظُرُوْنَ إِلَى صَغِيْرِ مَا خَلَقَ، كَيْفَ أَحْكَمَ خَلْقَهَ وَ أَتْقَنَ تَرْكِيْبَهُ وَ فَلَقَ لَهُ السَّمْعَ وَ الْبَصَرَ، وَ سَوَّى لَهُ الْعَظْمَ وَ الْبَشَرَ، انْظُرُوْا إِلَى النَّمْلَةِ فِيْ صِغَرِ جُثَّتِهَا وَ لَطَافَةِ هَيْئَتِهَا لاَ تَكَادُ تُنَالُ بِلَحْظِ الْبَصَرِ وَلاَ بِمُسْتَدْرَكِ الْفِكَرِ، كَيْفَ دَبَّتْ عَلَى أَرْضِهَا وَ صَبَّتْ عَلَى رِزْقِهَا، تَنْقُلُ الْحَبَّةَ إِلَى جُحْرِهَا وَ تَعُدُّهَا فِيْ مُسْتَقَرِّهَا، تَجْمَعُ فِيْ حَرِّهَا لِبُرْدِهَا وَ فِيْ وَرْدِهَا لِصَدْرِهَا، مَكْفُوْلَةً بِرِزْقِهَا، مَرْزُوْقَةً بِوِفْقِهَا، لاَ يَغْفُلُهَا الْمَنَّانُ وَلاَ يَحْرُمُهَا الدَّيَّانُ وَلَوْ فِي الصَّفَا الْيَابِسِ وَ الْحَجَرِ الْجَامِسِ، وَلَوْ فَكَّرْتَ فِيْ مَجَارِيْ أَكْلِهَا فِيْ عُلُوِّهَا وَ سُفْلِهَا، وَمَا فِي الْجَوْفِ مِنْ شَرَاسِيْفِ بَطْنِهَا، وَمَا فِي الرَّأْسِ مِنْ عَيْنِهَا وَ أُذُنِهَا لَقَضَيْتَ مِنْ خَلْقِهَا عَجَبًا

“Apakah mereka tidak meneliti ciptaan-Nya yang kecil? Bagaimanakah Dia kuatkan ciptaannya dan tegakkan susunannya. Dia bekali pendengaran dan penglihatan, Dia isi tulang dan lapisi dengan kulit? Pikirkanlah semut dengan posturnya yang amat kecil dan bentuknya yang lembut. Begitu kecilnya sehingga hampir tak terlihat oleh mata dan tak tercerna oleh pemikiran. Bagaimana ia berjalan di atas bumi dan berusaha mengumpulkan rejeki? Ia angkut biji-bijian ke dalam lubang dan disimpannya di sarangnya. Dia kumpulkan makanan itu di musim panas untuk perbekalan di musim dingin nanti, dan di musim dingin dia sudah dapat memperkirakan saat keluar dan bebas. Dengan demikian rejeki makhluk kecil ini sudah terjamin secara rapih dan teratur. Allah Maha Pemberi tidak akan pernah melupakannya walau dia terletak di bawah batu yang keras. Apabila kalian teliti dan pikirkan jalur keluar dan masuknya makanan, struktur perut, telinga, dan mata yang terletak di kepalanya, niscaya kalian akan sangat terheran-heran oleh ciptaan ini”.

Namun demikian, puncak dominasi pembahasan Nahjul Balaghah terletak pada tauhid dan kajian rasional filosofis. Semua argumentasinya berakhir pada kemutlakan, ketidakterbatasan, cakupan, dan kemandirian Dzat Allah SWT. Di sini, Amirul Mukminin Ali Bin Abi Thalib As melantangkan pembicaraannya. Tiada seorang pun sebelum dan sesudah beliau mengucapkan hal ini, sebagaimana tidak seorang pun yang sampai pada tingkatan ini.

Hal berikutnya yang sering ditekankan adalah kesederhanaan tanpa batas dan negasi segala bentuk pluralitas, pembagian, analisa, dan kelainan sifat dari Dzat. Ada berbagai masalah pelik lainnya yang dipaparkan dalam Nahjul Balaghah seputar tema di atas, seperti kemulaan Allah sekaligus keakhiran-Nya, ke-lahiriah-an sekaligus kebatinan-Nya, kedahuluan-Nya atas waktu dan bilangan, kedahuluan-Nya bukan dalam kategori waktu dan keesaan-Nya bukan dalam kategori bilangan, ketinggian dan kerajaan, serta kekayaan Dzat Allah, kreatoritas-Nya (mubdi’) dan bahwa kaadaan tertentu tidak menyibukkan-Nya dari keadaan yang lain. FirmanNya adalah tindakan-Nya itu sendiri. Keterbatasan akal dalam mengenali-Nya dan bahwa makrifat terhadap-Nya terbilang pengejewantahan Dia pada akal-akal, bukan seperti cakupan benak atas makna dan konsep tertentu, negasi kebendaan, gerakan, kediaman, perubahan, ruang, waktu, serupa, lawan, sekutu, duplikat, bantuan alat tertentu, keterbatasan dan juga negasi keterbilangan.

Itulah tadi sekilas tema dan sub-tema yang dipaparkan Nahjul Balaghah berkisar tentang ketuhanan dan metafisika. Seorang filsuf yang pakar dalam ideologi dan pemikiran filsafat kuno dan modern akan tenggelam dan terheran-heran membacanya. Sebuah warisan Islam yang mestinya menjadi bahan berharga bagi setiap muslim, bahkan ummat manusia. 





Tidak ada komentar:

Posting Komentar