Rabu, 13 Agustus 2014

Dagelan Itu Bernama al Qaida

John McCain [Senator AS: Kedua dari Kanan] kumpul bersama pemberontak Suriah di perbatasan Turki pada Mei 2013. Tampak berbaju hitam Abu Bakar al-Baghdadi alias Simon Elliot [Agen Mossad dan Pemimpin ISIS]. Merancang proyek Genosida di Suriah dan Irak. 

“Kami memberi waktu dua bulan kepada orang-orang Persia, dan terutama penguasa Iran, untuk menghentikan segala bentuk bantuan bagi pemerintah Syiah Irak dan untuk tidak melakukan intervensi, baik langsung maupun tidak langsung…jika tidak, maka sebuah perang yang brutal sedang menanti anda…”

(Abu Omar al-Baghdadi, pemimpin al-Qaida di Irak)

Jika anda pernah membaca berita di atas, berhenti dulu membuat kesimpulan. Anda disarankan membaca berita-berita berikut ini.

Pertama, pernyataan kebencian terhadap Syiah yang dinisbatkan kepada al-Qaida, seperti di atas, bukanlah satu-satunya. Sebagai contoh, CNN pernah merilis rekaman dimana Osama bin Laden, pemimpin tertinggi al-Qaida, menyerukan kepada kaum Sunni di Irak untuk menyerang Syiah, yang disebutnya sebagai “pengkhianat”, “rejeksionis”, “agen AS”.

Kedua, Komisi 9/11 yang dibentuk Washington untuk “menyembunyikan kebenaran”—alih-alih mengungkapkannya—menyimpulkan bahwa jaringan teroris al-Qaida sejak lama telah menjalin hubungan dengan Iran. Komisi itu juga mengatakan, “Laporan intelijen menunjukkan adanya potensi sangat besar tentang kolaborasi antara al-Qaida dengan Hizbullah daripada yang pernah dibayangkan sebelumnya.” Karena Hizbullah adalah kelompok yang didukung Iran, maka komisi itu menempatkan al-Qaida, Hizbullah, dan Iran dalam satu jaringan gerombolan teroris.

Ketiga, newsroomamerica, mengutip pernyataan para pejabat Barat yang anonim, menulis bahwa al-Qaida menggunakan Iran untuk mengorganisasi dan melancarkan operasi melawan AS dan pasukan koalisi di Irak serta di manapun. Sementara The Financial Times melaporkan bahwa operasi al-Qaida dilakukan dengan persetujuan langsung pemerintahan Islam garis keras di Iran.

Keempat, Brigadir Jenderal Kevin Bergner, jurubicara “Camp Victory” di Irak, menuduh Brigade al-Quds Iran terlibat dalam mendukung milisi anti-AS di Irak. Lebih spesifik lagi Bergner menyebutkan bahwa Brigade al-Quds bertanggung jawab atas tewasnya 5 serdadu AS di Karbala, yang digambarkannya diserang dengan persenjataan canggih itu.

Mari kita petakan: al-Qaida menuduh Iran mengintervensi Irak, dan menuduh Syiah sebagai kolaborator AS; Amerika menuduh Iran mendukung milisi anti-AS di Irak, dan menjadi basis perencanaan dan operasi al-Qaida.

Luar biasa, sepertinya kita harus menyanyikan lagu lawas milik Vina Panduwinata, ‘Logika’, “Di mana logika…?”

Namun, kita tidak tahu kebenaran dan keakuratan berita-berita itu karena kita setiap harinya terbiasa menjadi keranjang sampah berita-berita semacam itu.

Bisa jadi akan hadir dalam pikiran kita dua kemungkinan: jika berita itu benar, maka al-Qaida tampaknya lebih kompeten dalam berperan sebagai biro humas Gedung Putih ketimbang “pahlawan” Islam, sebagaimana yang diyakini para pendukungnya: melontarkan ancaman kepada sesama Muslim; menyerang orang-orang tidak berdosa; dan memberi citra negatif bagi Islam dan para pejuang Muslim sejati. Dan, jika berita itu tidak benar, maka hantu bernama “al-Qaida” ini benar-benar menjadi epidemi global para neokon AS untuk menggelar perangnya di seantero dunia.

Namun bagaimanapun, dua kemungkinan tersebut menyajikan kepada kita satu kesimpulan: bahwa yang namanya AS dan al-Qaida (apa dan siapa pun ia) tampaknya sama-sama membenci Iran, dan Syiah pada umumnya. Jika begitu, apa yang disebut jurnalis kampiun Seymour Myron Hersh (The New Yorker, 25/02/07) sebagai “perubahan arah” (redirection) kebijakan strategis AS untuk menempatkan Iran dan Syiah sebagai “musuh nomor wahid”—di antaranya dengan mempersenjatai kelompok-kelompok anti-Syiah—benar adanya.

Tapi nanti dulu! Al-Qaida tidak hanya meracau soal Syiah. Ayman az-Zawahiri, deputi Osama yang digadang-gadangkan sebagai ‘inkarnasi’ Nabi Harun itu (dan tentu saja Osama adalah Nabi Musa-nya), pernah menyebut Hamas yang Sunni itu sebagai pengkhianat Allah, karena memilih ikut dalam proses demokrasi, yang dipandang az-Zawahiri sebagai tindakan berdamai dengan Israel.

Jadi, ini bukan soal Syiah. Ini soal para nihilis, seperti neokon di AS dan al-Qaida, yang membenci kekuatan anti-imperialisme di mana pun, siapa pun, dan kapan pun. Apa bedanya jika “pan-Amerikanisme” neokon dan “pan-Wahabisme” gaya al-Qaida sama-sama hendak menghadirkan ‘peradaban’ baru dengan menghancurkan peradaban lama tanpa reserve. Bukankah keduanya sama-sama imperialis-nihilistik?

Iran vs AS plus Al-Qaida di Irak

Sebagian pengamat Barat, seperti Robert Dreyfuss, kerap keliru ketika menyimpulkan bahwa Iran dan AS sama-sama ‘mendukung’ pemerintahan al-Maliki, yang Syiah itu, di Irak. Kesalahan yang sama terjadi ketika mereka menganggap bahwa Iran dan kaum Syiah di Irak sama-sama berkepentingan terhadap keberadaan pasukan koalisi pimpinan AS di Irak.

Sejatinya, AS, sebagaimana pernah diungkapkan mantan menlu Collin Powell, tidak menginginkan Syiah tampil ke pentas politik Irak pasca-Saddam. Mereka telah menyiapkan figur sekuler seperti Achmad Halabi, yang mereka pelihara selama ini—sebagaimana juga mereka memelihara orang-orang Iran anti-pemerintahan Islam. AS terpaksa menerima konfigurasi politik Irak seperti saat ini, di mana mayoritas Syiah berkuasa, karena tuntutan keras Ayatullah Ali Sistani, figur terpopuler di kalangan Syiah Irak, agar segera dilaksanakan pemilu yang langsung dan bebas di Irak pasca-Saddam. Dengan kata lain, AS tidak mempunyai pilihan lain kecuali menempatkan mayoritas Syiah di pusat kekuasaan melalui pemilu.

Maka, berbagai upaya pun dilakukan AS untuk memperlemah, bahkan mengkudeta pemerintahan al-Maliki, dan sekaligus menjustifikasi keberadaan lebih lama pasukannya di Irak. Upaya-upaya memicu konflik sektarian, baik melalui militernya maupun para kontraktor keamanan partikelirnya, terus dilakukan. Sebagai contoh, banyak laporan dan analisis mengindikasikan keterlibatan unsur-unsur AS dan pasukan koalisi dalam pemboman pertama dan kedua terhadap Haram Imam Hasan Asykari di Samara.

Pernyataan terakhir George W. Bush bahwa pasukan koalisi masih akan berada di Irak karena pemerintahan al-Maliki tidak mampu menjamin keamanan di sana adalah indikasi lain, bagaimana Gedung Putih berupaya untuk terus mendelegitimasi pemerintahan terpilih di Irak. Padahal, bukankah ‘kegagalan’ al-Maliki juga merupakan bukti kegagalan Bush di Irak? Pemerintahan al-Maliki sebenarnya nyaris mirip dengan pemerintahan Hamas di Palestina yang tidak mempunyai wewenang untuk mengorganisasikan keamanan wilayahnya secara independen karena keberadaan pasukan pendudukan di wilayah mereka masing-masing.

Sementara itu, Iran, dalam hal ini, mendukung pemerintahan al-Maliki sekaligus menginginkan AS segera hengkang dari Irak. Dukungan Iran terhadap al-Maliki tidak bisa secara absolut ditafsirkan sebagai dukungan terhadap kolega Syiah-nya. Iran mendukung pemerintahan Irak karena memang pemerintahan inilah yang dipilih mayoritas rakyat Irak dalam pemilu, dan karena memang demikianlah pergaulan dan hubungan internasional semestinya dilakukan. Pada saat yang sama, Iran berkepentingan dengan stabilitas kawasan. Sebab, instabilitas di sana telah banyak menimbulkan kerugian bagi Iran, terutama di wilayah perbatasan: maraknya perdagangan narkoba, penyelundupan senjata, dan aksi-aksi terorisme dari kelompok-kelompok anti-Iran. Bagi Iran, hengkangnya AS beserta para pasukan swastanya dari Irak, secara damai, akan memberikan otoritas lebih kepada pemerintahan al-Maliki, atau siapa pun, untuk menghadirkan keadaan yang relatif lebih aman. Bagi Iran, preseden Vietnam yang lebih aman setelah ditinggal AS adalah sebuah pelajaran bahwa perginya AS tidak lantas berkorelasi dengan jatuhnya Irak ke dalam konflik saudara yang berdarah-darah (justru sekarang terbukti bahwa keberadaan AS justru memicu konflik sektarian yang tak pernah terjadi sebelumnya).

Karena alasan-alasan tersebut dan didukung dengan ketiadaan bukti, sebuah lembaga think tank transatlantik terkemuka, British American Security Information Council (BASIC), dalam laporannya, menyimpulkan bahwa Iran hanyalah “kambing hitam” bagi kegagalan AS di Irak.

Dan, tampaknya tidak hanya AS yang menjadikan Iran sebagai “kambing hitam” di Irak. Al-Qaida di Irak juga punya gawe yang nyaris sama. Pernyataan kebencian terhadap Iran yang dilontarkan petinggi-petinggi al-Qaida, seperti dikutip pada awal tulisan, tidak bisa dipisahkan dari kenyataan bahwa al-Qaida tidak mendapatkan sambutan dan popularitas dari publik Irak, bahkan dari milisi-milisi Sunni sekalipun.

Karakter al-Qaida yang nihilistik, misterius, dan berperang menghadapi musuh yang sumir jelas telah membuat banyak orang Irak “jijik” mendengar nama ini. Beberapa waktu lalu, para syekh Sunni di Propinsi Anbar mendeklarasikan perang melawan al-Qaida. Tak lama kemudian, teror bom pun terjadi di Anbar, yang sebagian menewaskan para syekh itu. Ditambah lagi, sebagian besar operator al-Qaida adalah orang-orang non-Irak, yang ujug-ujug datang ke Irak dan mengklaim ingin membebaskan Irak dari AS, sementara justru sebagian besar korban mereka adalah Muslim Irak sendiri.

Eureka! AS membutuhkan instabilitas, untuk menjustifikasi keberadaan mereka di Irak, sementara al-Qaida menyajikan berbagai menu instabilitas: kekerasan, konflik, dan perpecahan, dalam petualangan keji mereka. Bukankah kedua hal ini terlihat naif jika dipandang sebagai sebuah kebetulan belaka?

Hamas vs AS plus Al-Qaida di Palestina

Seperti ditulis sebelumnya, az-Zawahiri, pernah menyebut Hamas sebagai “pengkhianat Tuhan” karena memilih ikut dalam pemilu Palestina 2006. Selain itu, petinggi nomor dua al-Qaida itu juga menasehati Brigade al-Qassam, sayap militer Hamas, untuk kembali angkat senjata. Namun, Khaled Mishaal, Ketua Biro Politik Hamas, menegaskan bahwa Hamas tidak membutuhkan nasehat siapa pun, terutama al-Qaida, dalam menentukan jalan perjuangannya.

Jelaslah sudah, bahwa Hamas bukan al-Qaida, dan al-Qaida tak seujung kuku pun mirip dengan Hamas. Namun, seperti halnya gaya propaganda AS dan sekutunya terhadap Iran, beberapa waktu lalu pemimpin Fatah, Mahmoud Abbas, tiba-tiba saja menuduh Hamas melindungi al-Qaida di Jalur Gaza. Para Abbastan pun kerap meracau bahwa Gaza kini adalah sarang para teroris al-Qaida.

Keberhasilan Hamas membebaskan Alan Johsnton, reporter BBC, dari tangan kelompok franchise al-Qaida, “Jays al-Islam” (tuntutan para penculik adalah pembebasan para tahanan al-Qaida di Inggris), hanyalah salah satu bukti bahwa Hamas menentang praktik-praktik ilegal gaya kaum “jihadis-nihilis”. Hamas tidak melakukan deal dengan para penculik Johnston. Sebaliknya, personil keamanan Hamas mengepung tempat dimana Johnston ditawan, membebaskannya, dan menahan beberapa pengikut Momtaz Deghmesh, pemimpin “Jays al-Islam”.

Lalu apa yang diinginkan Abbas dengan tuduhan terhadap Hamas tersebut? Tidak terlalu sulit untuk mengatakan bahwa Abbas sedang menjalankan perannya sebagai proksi AS dan Israel guna “meng-iblis-isasi” Hamas dan Jalur Gaza lewat, sekali lagi, dagelan bernama al-Qaida. Dengan propaganda tersebut, AS berharap dunia bisa menerima jika Gaza diisolasi dari segala arah dan pasukan Zionis melumat wilayah kecil itu beserta para penghuninya. Bukankah mereka semua teroris?

Dan, al-Qaida—entah disadari atau tidak—sekali lagi punya peran sentral dalam rencana tersebut.

Al-Qaida memainkan peran kunci dalam kepentingan strategis kaum neokon AS, sebagian besarnya, karena al-Qaida berbeda dengan Hizbullah dan Hamas. Pertama, al-Qaida dilahirkan dari rahim imperialisme. Pembentukan embrio al-Qaida terjadi melalui kolaborasi antara CIA (intelijen AS) dan ISI (Intelijen Pakistan), saat AS berupaya mengusir mendiang Soviet dari Afghanistan. Sedangkan Hizbullah lahir dari rahim perjuangan rakyat Lebanon mengusir Israel ketika invasi pasukan Zionis menyerang negeri itu pada 1982. Dan, Hamas pun lahir dari rahim intifada jilid II pada sekitar 1980-an. Kedua, Hizbullah dan Hamas sama-sama menghadapi musuh yang jelas, imperium Judea-Amerika, sementara al-Qaida, bak seekor banteng aduan yang gelap mata, menghantam dan menyerang siapa pun: memenggal para turis dalam rekaman video; memicu konflik sektarian; membom tempat-tempat ibadah dan membantai para peziarah. Ketiga, al-Qaida adalah hantu (atau mungkin lebih tepatnya sekumpulan pengecut) yang tak pernah nyata di hadapan umat, sementara Hamas dan Hizbullah hadir riil di tengah-tengah umat dengan serenteng aktivitas sosial-keumatan. Bagi Hamas dan Hizbullah, persatuan dan pembedayaan rakyat di negeri masing-masing adalah senjata paling ampuh dalam menghadapi imperialisme, sementara al-Qaida hanya peduli pada tiga kata: hancurkan, hancurkan, dan hancurkan.

Jika demikian, tampaknya al-Qaida layak menerima cinta dan kekaguman sejati (dan tentu saja rahasia) dari Bush dan para “bushes”. “Bravo” al-Qaida! (Irman Abdurrahman)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar