John McCain [Senator AS: Kedua dari Kanan] kumpul bersama pemberontak Suriah di perbatasan Turki pada Mei 2013. Tampak berbaju hitam Abu Bakar al-Baghdadi alias Simon Elliot [Agen Mossad dan Pemimpin ISIS]. Merancang proyek Genosida di Suriah dan Irak.
“Kami memberi
waktu dua bulan kepada orang-orang Persia, dan terutama penguasa Iran, untuk
menghentikan segala bentuk bantuan bagi pemerintah Syiah Irak dan untuk tidak
melakukan intervensi, baik langsung maupun tidak langsung…jika tidak, maka
sebuah perang yang brutal sedang menanti anda…”
(Abu
Omar al-Baghdadi, pemimpin al-Qaida di Irak)
Jika
anda pernah membaca berita di atas, berhenti dulu membuat kesimpulan. Anda
disarankan membaca berita-berita berikut ini.
Pertama, pernyataan kebencian terhadap
Syiah yang dinisbatkan kepada al-Qaida, seperti di atas, bukanlah satu-satunya.
Sebagai contoh, CNN pernah merilis rekaman dimana Osama bin Laden, pemimpin
tertinggi al-Qaida, menyerukan kepada kaum Sunni di Irak untuk menyerang Syiah,
yang disebutnya sebagai “pengkhianat”, “rejeksionis”, “agen AS”.
Kedua,
Komisi 9/11 yang dibentuk Washington untuk “menyembunyikan kebenaran”—alih-alih
mengungkapkannya—menyimpulkan bahwa jaringan teroris al-Qaida sejak lama telah
menjalin hubungan dengan Iran. Komisi itu juga mengatakan, “Laporan intelijen
menunjukkan adanya potensi sangat besar tentang kolaborasi antara al-Qaida
dengan Hizbullah daripada yang pernah dibayangkan sebelumnya.” Karena Hizbullah
adalah kelompok yang didukung Iran, maka komisi itu menempatkan al-Qaida,
Hizbullah, dan Iran dalam satu jaringan gerombolan teroris.
Ketiga, newsroomamerica, mengutip pernyataan
para pejabat Barat yang anonim, menulis bahwa al-Qaida menggunakan Iran untuk
mengorganisasi dan melancarkan operasi melawan AS dan pasukan koalisi di Irak
serta di manapun. Sementara The
Financial Times melaporkan
bahwa operasi al-Qaida dilakukan dengan persetujuan langsung pemerintahan Islam
garis keras di Iran.
Keempat,
Brigadir Jenderal Kevin Bergner, jurubicara “Camp Victory” di Irak, menuduh
Brigade al-Quds Iran terlibat dalam mendukung milisi anti-AS di Irak. Lebih
spesifik lagi Bergner menyebutkan bahwa Brigade al-Quds bertanggung jawab atas
tewasnya 5 serdadu AS di Karbala, yang digambarkannya diserang dengan persenjataan
canggih itu.
Mari
kita petakan: al-Qaida menuduh Iran mengintervensi Irak, dan menuduh Syiah
sebagai kolaborator AS; Amerika menuduh Iran mendukung milisi anti-AS di Irak,
dan menjadi basis perencanaan dan operasi al-Qaida.
Luar
biasa, sepertinya kita harus menyanyikan lagu lawas milik Vina Panduwinata,
‘Logika’, “Di mana logika…?”
Namun,
kita tidak tahu kebenaran dan keakuratan berita-berita itu karena kita setiap
harinya terbiasa menjadi keranjang sampah berita-berita semacam itu.
Bisa
jadi akan hadir dalam pikiran kita dua kemungkinan: jika berita itu benar, maka
al-Qaida tampaknya lebih kompeten dalam berperan sebagai biro humas Gedung
Putih ketimbang “pahlawan” Islam, sebagaimana yang diyakini para pendukungnya:
melontarkan ancaman kepada sesama Muslim; menyerang orang-orang tidak berdosa;
dan memberi citra negatif bagi Islam dan para pejuang Muslim sejati. Dan, jika
berita itu tidak benar, maka hantu bernama “al-Qaida” ini benar-benar menjadi
epidemi global para neokon AS untuk menggelar perangnya di seantero dunia.
Namun
bagaimanapun, dua kemungkinan tersebut menyajikan kepada kita satu kesimpulan:
bahwa yang namanya AS dan al-Qaida (apa dan siapa pun ia) tampaknya sama-sama
membenci Iran, dan Syiah pada umumnya. Jika begitu, apa yang disebut jurnalis
kampiun Seymour Myron Hersh (The New Yorker, 25/02/07) sebagai
“perubahan arah” (redirection) kebijakan strategis AS untuk
menempatkan Iran dan Syiah sebagai “musuh nomor wahid”—di antaranya dengan
mempersenjatai kelompok-kelompok anti-Syiah—benar adanya.
Tapi
nanti dulu! Al-Qaida tidak hanya meracau soal Syiah. Ayman az-Zawahiri, deputi
Osama yang digadang-gadangkan sebagai ‘inkarnasi’ Nabi Harun itu (dan tentu
saja Osama adalah Nabi Musa-nya), pernah menyebut Hamas yang Sunni itu sebagai
pengkhianat Allah, karena memilih ikut dalam proses demokrasi, yang dipandang
az-Zawahiri sebagai tindakan berdamai dengan Israel.
Jadi,
ini bukan soal Syiah. Ini soal para nihilis, seperti neokon di AS dan al-Qaida,
yang membenci kekuatan anti-imperialisme di mana pun, siapa pun, dan kapan pun.
Apa bedanya jika “pan-Amerikanisme” neokon dan “pan-Wahabisme” gaya al-Qaida
sama-sama hendak menghadirkan ‘peradaban’ baru dengan menghancurkan peradaban
lama tanpa reserve.
Bukankah keduanya sama-sama imperialis-nihilistik?
Iran vs AS plus
Al-Qaida di Irak
Sebagian
pengamat Barat, seperti Robert Dreyfuss, kerap keliru ketika menyimpulkan bahwa
Iran dan AS sama-sama ‘mendukung’ pemerintahan al-Maliki, yang Syiah itu, di
Irak. Kesalahan yang sama terjadi ketika mereka menganggap bahwa Iran dan kaum
Syiah di Irak sama-sama berkepentingan terhadap keberadaan pasukan koalisi
pimpinan AS di Irak.
Sejatinya,
AS, sebagaimana pernah diungkapkan mantan menlu Collin Powell, tidak
menginginkan Syiah tampil ke pentas politik Irak pasca-Saddam. Mereka telah
menyiapkan figur sekuler seperti Achmad Halabi, yang mereka pelihara selama
ini—sebagaimana juga mereka memelihara orang-orang Iran anti-pemerintahan
Islam. AS terpaksa menerima konfigurasi politik Irak seperti saat ini, di mana
mayoritas Syiah berkuasa, karena tuntutan keras Ayatullah Ali Sistani, figur
terpopuler di kalangan Syiah Irak, agar segera dilaksanakan pemilu yang
langsung dan bebas di Irak pasca-Saddam. Dengan kata lain, AS tidak mempunyai
pilihan lain kecuali menempatkan mayoritas Syiah di pusat kekuasaan melalui
pemilu.
Maka,
berbagai upaya pun dilakukan AS untuk memperlemah, bahkan mengkudeta
pemerintahan al-Maliki, dan sekaligus menjustifikasi keberadaan lebih lama
pasukannya di Irak. Upaya-upaya memicu konflik sektarian, baik melalui
militernya maupun para kontraktor keamanan partikelirnya, terus dilakukan.
Sebagai contoh, banyak laporan dan analisis mengindikasikan keterlibatan
unsur-unsur AS dan pasukan koalisi dalam pemboman pertama dan kedua terhadap
Haram Imam Hasan Asykari di Samara.
Pernyataan
terakhir George W. Bush bahwa pasukan koalisi masih akan berada di Irak karena
pemerintahan al-Maliki tidak mampu menjamin keamanan di sana adalah indikasi
lain, bagaimana Gedung Putih berupaya untuk terus mendelegitimasi pemerintahan
terpilih di Irak. Padahal, bukankah ‘kegagalan’ al-Maliki juga merupakan bukti
kegagalan Bush di Irak? Pemerintahan al-Maliki sebenarnya nyaris mirip dengan
pemerintahan Hamas di Palestina yang tidak mempunyai wewenang untuk
mengorganisasikan keamanan wilayahnya secara independen karena keberadaan
pasukan pendudukan di wilayah mereka masing-masing.
Sementara
itu, Iran, dalam hal ini, mendukung pemerintahan al-Maliki sekaligus
menginginkan AS segera hengkang dari Irak. Dukungan Iran terhadap al-Maliki
tidak bisa secara absolut ditafsirkan sebagai dukungan terhadap kolega
Syiah-nya. Iran mendukung pemerintahan Irak karena memang pemerintahan inilah
yang dipilih mayoritas rakyat Irak dalam pemilu, dan karena memang demikianlah
pergaulan dan hubungan internasional semestinya dilakukan. Pada
saat yang sama, Iran berkepentingan dengan stabilitas kawasan. Sebab,
instabilitas di sana telah banyak menimbulkan kerugian bagi Iran, terutama di
wilayah perbatasan: maraknya perdagangan narkoba, penyelundupan senjata, dan
aksi-aksi terorisme dari kelompok-kelompok anti-Iran. Bagi Iran, hengkangnya AS
beserta para pasukan swastanya dari Irak, secara damai, akan memberikan
otoritas lebih kepada pemerintahan al-Maliki, atau siapa pun, untuk
menghadirkan keadaan yang relatif lebih aman. Bagi Iran, preseden Vietnam yang
lebih aman setelah ditinggal AS adalah sebuah pelajaran bahwa perginya AS tidak
lantas berkorelasi dengan jatuhnya Irak ke dalam konflik saudara yang
berdarah-darah (justru sekarang terbukti bahwa keberadaan AS justru memicu konflik
sektarian yang tak pernah terjadi sebelumnya).
Karena
alasan-alasan tersebut dan didukung dengan ketiadaan bukti, sebuah lembaga think tank transatlantik terkemuka,
British American Security Information Council (BASIC), dalam laporannya,
menyimpulkan bahwa Iran hanyalah “kambing hitam” bagi kegagalan AS di Irak.
Dan,
tampaknya tidak hanya AS yang menjadikan Iran sebagai “kambing hitam” di Irak.
Al-Qaida di Irak juga punya gawe yang nyaris sama. Pernyataan kebencian
terhadap Iran yang dilontarkan petinggi-petinggi al-Qaida, seperti dikutip pada
awal tulisan, tidak bisa dipisahkan dari kenyataan bahwa al-Qaida tidak
mendapatkan sambutan dan popularitas dari publik Irak, bahkan dari
milisi-milisi Sunni sekalipun.
Karakter
al-Qaida yang nihilistik, misterius, dan berperang menghadapi musuh yang sumir
jelas telah membuat banyak orang Irak “jijik” mendengar nama ini. Beberapa
waktu lalu, para syekh Sunni di Propinsi Anbar mendeklarasikan perang melawan
al-Qaida. Tak lama kemudian, teror bom pun terjadi di Anbar, yang sebagian
menewaskan para syekh itu. Ditambah lagi, sebagian besar operator al-Qaida
adalah orang-orang non-Irak, yang ujug-ujug datang ke Irak dan mengklaim ingin
membebaskan Irak dari AS, sementara justru sebagian besar korban mereka adalah
Muslim Irak sendiri.
Eureka! AS membutuhkan
instabilitas, untuk menjustifikasi keberadaan mereka di Irak, sementara
al-Qaida menyajikan berbagai menu instabilitas: kekerasan, konflik, dan
perpecahan, dalam petualangan keji mereka. Bukankah kedua hal ini terlihat naif
jika dipandang sebagai sebuah kebetulan belaka?
Hamas vs AS plus
Al-Qaida di Palestina
Seperti
ditulis sebelumnya, az-Zawahiri, pernah menyebut Hamas sebagai “pengkhianat
Tuhan” karena memilih ikut dalam pemilu Palestina 2006. Selain itu, petinggi
nomor dua al-Qaida itu juga menasehati Brigade al-Qassam, sayap militer Hamas,
untuk kembali angkat senjata. Namun, Khaled Mishaal, Ketua Biro Politik Hamas,
menegaskan bahwa Hamas tidak membutuhkan nasehat siapa pun, terutama al-Qaida,
dalam menentukan jalan perjuangannya.
Jelaslah
sudah, bahwa Hamas bukan al-Qaida, dan al-Qaida tak seujung kuku pun mirip
dengan Hamas. Namun, seperti halnya gaya propaganda AS dan sekutunya terhadap
Iran, beberapa waktu lalu pemimpin Fatah, Mahmoud Abbas, tiba-tiba saja menuduh
Hamas melindungi al-Qaida di Jalur Gaza. Para Abbastan pun kerap meracau bahwa
Gaza kini adalah sarang para teroris al-Qaida.
Keberhasilan
Hamas membebaskan Alan Johsnton, reporter BBC, dari tangan kelompok franchise al-Qaida, “Jays al-Islam” (tuntutan
para penculik adalah pembebasan para tahanan al-Qaida di Inggris), hanyalah
salah satu bukti bahwa Hamas menentang praktik-praktik ilegal gaya kaum
“jihadis-nihilis”. Hamas tidak melakukan deal dengan para penculik Johnston.
Sebaliknya, personil keamanan Hamas mengepung tempat dimana Johnston ditawan,
membebaskannya, dan menahan beberapa pengikut Momtaz Deghmesh, pemimpin “Jays
al-Islam”.
Lalu
apa yang diinginkan Abbas dengan tuduhan terhadap Hamas tersebut? Tidak terlalu
sulit untuk mengatakan bahwa Abbas sedang menjalankan perannya sebagai proksi
AS dan Israel guna “meng-iblis-isasi” Hamas dan Jalur Gaza lewat, sekali lagi,
dagelan bernama al-Qaida. Dengan propaganda tersebut, AS berharap dunia bisa
menerima jika Gaza diisolasi dari segala arah dan pasukan Zionis melumat
wilayah kecil itu beserta para penghuninya. Bukankah mereka semua teroris?
Dan,
al-Qaida—entah disadari atau tidak—sekali lagi punya peran sentral dalam
rencana tersebut.
Al-Qaida
memainkan peran kunci dalam kepentingan strategis kaum neokon AS, sebagian
besarnya, karena al-Qaida berbeda dengan Hizbullah dan Hamas. Pertama,
al-Qaida dilahirkan dari rahim imperialisme. Pembentukan embrio al-Qaida
terjadi melalui kolaborasi antara CIA (intelijen AS) dan ISI (Intelijen
Pakistan), saat AS berupaya mengusir mendiang Soviet dari Afghanistan.
Sedangkan Hizbullah lahir dari rahim perjuangan rakyat Lebanon mengusir Israel
ketika invasi pasukan Zionis menyerang negeri itu pada 1982. Dan, Hamas pun
lahir dari rahim intifada jilid II pada sekitar 1980-an. Kedua, Hizbullah dan Hamas
sama-sama menghadapi musuh yang jelas, imperium Judea-Amerika, sementara
al-Qaida, bak seekor banteng aduan yang gelap mata, menghantam dan menyerang
siapa pun: memenggal para turis dalam rekaman video; memicu konflik sektarian;
membom tempat-tempat ibadah dan membantai para peziarah. Ketiga, al-Qaida adalah hantu
(atau mungkin lebih tepatnya sekumpulan pengecut) yang tak pernah nyata di
hadapan umat, sementara Hamas dan Hizbullah hadir riil di tengah-tengah umat
dengan serenteng aktivitas sosial-keumatan. Bagi Hamas dan Hizbullah, persatuan
dan pembedayaan rakyat di negeri masing-masing adalah senjata paling ampuh
dalam menghadapi imperialisme, sementara al-Qaida hanya peduli pada tiga kata:
hancurkan, hancurkan, dan hancurkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar