Paper
ini dipublikasi di Harian Banten Raya
Edisi 20 Agustus 2014
Barangkali
selama ini banyak dari kita yang memahami atau menganggap Islam hanya sebagai
agama yang hanya berkenaan dengan hal-hal yang mahdhah (ritual ibadah) semata, yang
dianggap tidak integral dan meremehkan yang ghayru mahdhah (seperti mu’amalah
dan siyasah)? Tentu saja tidak. Islam adalah agama yang mencakup kesemua itu.
Dalam hal inilah, salah seorang ulama dan filsuf Islam, yaitu Sayid Muhammad
Baqir Shadr mengatakan:
“Sesungguhnya
syarat utama kebangkitan ummat –ummat manapun- adalah hendaklah mereka memiliki
ajaran atau prinsip yang benar yang menentukan baginya tujuan-tujuannya dan
meletakkan prinsip-prinsip kejayaannya serta menggambarkan orientasinya dalam
kehidupan. Sehingga ia berjalan dalam pelitanya dengan penuh optimisme dan
sangat tenang dalam melaluinya, menuju cita-citanya yang mulia, sehingga
tujuan-tujuan yang tercermin dalam ajaran tersebut melahirkan pemikiran yang
cerah dan suasana spiritual yang baik. Dan yang saya maksud dengan adanya
prinsip yang baik dalam ummat adalah: Pertama, adanya ajaran yang benar. Kedua,
pemahaman ummat kepadanya. Dan Ketiga, keimanan mereka terhadapnya”(Lihat Syahid
Muhammad Baqir Shadr, Syahadat Kedua,
Pustaka Zahra 2003, hal. 23).
Sedikit-banyaknya
curahan-curahan diaris yang sifatnya personal dan pribadi yang dituangkan oleh
Dzu Hanin dalam sejumlah catatan fragmentaris dalam bukunya yang berjudul
Seelok Kupu-kupu itu (Dar-insyirah, Sidoarjo 2014) merupakan cerminan
kegelisahan pribadi seorang penulisnya sejauh menyangkut Islam yang dipahami
dan dihayatinya secara subjektif: “Pacaran?! Ya, orang-orang begitu dengan hal
itu terutama kaum muda-mudi yang sedang anget-angetnya menapaki masa
keremajaan. Tapi ada juga di antara mereka yang menahan diri untuk tidak
berkecimpung ke dalam hobi macam ini. Mereka ini sesuai dengan firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala, “Dan orang-orang yang belum menikah, hendaklah mereka
menjaga kesucian diri, sehingga Allah memampukan mereka dengan karuniaNya (an
Nuur: 33)” (Halaman 101).
Dengan
catatan diarisnya yang sifatnya personal tersebut, si penulis rupa-rupanya
berniat mengkritik dan menyindir kehidupan dan gaya hidup permissive generasi
muda saat ini, yang menurut si penulis buku Seelok Kupu-kupu tidak sejalan
dengan nilai dan ajaran Islam yang dipahami dan dihayatinya. Dalam konteks ini,
saya teringat tulisan-tulisannya Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari seputar
isu dan tema tersebut, semisal seputar Hijab,
di mana Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari mengkritik dan menganilisis secara
kritis kehidupan modern yang acapkali “menggerus” spirit Islam yang hanif,
sembari memberi solusi dengan perspektif yang Islami. Syahid Ayatullah Murtadha
Muthahhari pun menyatakan degan tegas:
“Tanpa
adanya batasan hubungan antara pria dan wanita atau dengan pergaulan bebas tak
terbatas, peningkatan serta tuntutan gairah dan rangsangan seksual menjadi tak
terpadamkan dan tak akan pernah terpuaskan. Naluri seksual manusia itu sangat
hebat, naluri yang mengakar begitu dalam, yang sama dengan kedalaman samudra
yang tak dapat diukur. Walaupun orang mengira bahwa dengan menuruti nalurinya,
dia akan mampu menjinakkannya, namun sifat pembangkannya akan terus berlanjut.
Seperti api, lebih banyak bahan bakar ditambahkan kepadanya, bertambah besar
kobarannya” (Lihat Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari, Hijab Citra Wanita Terhormat, Pustaka Zahra 2003, hal. 23).
Dapatlah
kita tangkap dan kita rasakan bersama, baik Syahid Ayatullah Murtadha
Muthahhari maupun penulis buku Seelok Kupu-kupu memiliki konsen dan fokus yang
sama, yaitu melakukan kritisisme terhadap budaya modern yang permissive,
semisal “pacaran” dan “pergaulan bebas” yang gandrung dilakukan oleh generasi
muda jaman ini. Secara pribadi pula, tentulah saya sengaja mengambil contoh dan
eksemplar seputar pacaran dan pergaulan bebas yang dikritik Syahid Ayatullah
Murtadha Muthahhari dan si penulis buku Seelok Kupu-kupu, karena menurut saya
soal ini yang sangat kontekstual dalam kehidupan dan fenomena pergaulan remaja
dan generasi muda/i kita saat ini, yang tak hanya di kota-kota, tapi juga sudah
jamak merambah dan dilakukan di desa-desa dan di kampung-kampung.
Catatan
diaris lain si penulis buku Seelok Kupu-kupu yang berhasil mengajak minat saya
adalah sajak diarisnya yang berjudul Ilmu (yang tentulah juga masih berkaitan
dengan fokus dan konsen orang-orang muda): “Ilmu
adalah teman di kala safar, adalah kekasih di kala sepi. Adalah penyelamat di
kala berbicara, adalah pengindah di kala bertingkah”(Halaman 160). Membaca
sajak diaris si penulis buku Seelok Kupu-kupu yang berjudul Ilmu tersebut, saya
teringat nasehat dan anjurannya Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah tentang
posisi penting ilmu (serta akal) dan menuntut ilmu itu. Ali bin Abi Thalib Karramallahu
Wajhah berkata:
“Ilmu
dan pengetahuan adalah akar segala kebaikan. Ilmu adalah warisaan Rasullulah,
sedang harta adalah warisan Firaun. Sebab itu ilmu lebih baik dari harta.
Engkau harus menjaga hartamu, sedang ilmu menjagamu. Jadi, ilmu lebih utama.
Seseorang yang berharta mempunyai banyak musuh, sedang orang yang berilmu
mempunyai banyak kawan. Karenanya ilmu lebih bernilai. Ilmu lebih mulia dari
harta, karena ilmu akan berkembang bila dibagi-bagikan, sedang harta akan susut
bila dibagi-bagikan. Ilmu lebih baik sebab orang yang berilmu cenderung untuk
menjadi dermawan, sedang orang berharta cenderung untuk menjadi kikir dan
pelit. Ilmu lebih aman karena dia tidak dapat dicuri, sedang harta dapat
dicuri. Ilmu lebih tahan lama karena tidak rusak oleh waktu atau sebab dipakai,
sedang harta bisa rusak. Ilmu lebih bernilai karena tanpa batas, sedang harta
terbatas dan bisa dihitung. Ilmu lebih bermutu karena dia dapat menerangi
pikiran, sedang harta cenderung untuk membuat pikiran tidak fokus. Ilmu lebih
utama karena dia mengajak manusia untuk mengabdi kepada Tuhan mengingat
makhluk-Nya yang lemah dan terbatas, sedang harta mendorong manusia menganggap
dirinya sebagai Tuhan dengan memandang rendah orang-orang yang lebih miskin
darinya. Kekayaan yang paling besar adalah akal. Akal (kecerdasan) tampak
melalui pergaulan, sedangkan kejahatan seseorang diketahui ketika dia berkuasa.
Akal adalah raja, sedangkan tabiat adalah rakyatnya. Jika akal lemah untuk
mengatur tabiat itu, maka akan timbul kecacatan padanya. Akal lebih diutamakan
daripada hawa nafsu karena akal menjadikanmu sebagai pemilik zaman, sedangkan
hawa nafsu memperbudakmu untuk zaman. Makanan pokok tubuh adalah makanan,
sedangkan makanan pokok akal adalah hikmah. Maka, kapan saja hilang salah satu
dari keduanya makanan pokoknya, binasalah ia dan lenyap. Duduklah bersama
orang-orang bijak, baik mereka itu musuh atau kawan. Sebab, akal bertemu dengan
akal. Tidak ada harta yang lebih berharga daripada akal” (Ghurar al Hikam dan Nahjul
Balaghah).
Juga
mengingatkan saya pada anjuran dan nasehatnya Imam Ja’far as Shadiq RA: “Ilmu
adalah landasan dari segala hal yang mulia, serta titik tumpu dari setiap maqam
(derajat) spiritual yang tinggi. Oleh karena itulah Rasulullah Sang Nabi suci
(semoga kedamaian tercurah atasnya dan atas keluarganya) bersabda, “Telah
menjadi kewajiban bagi seluruh Muslim, laki-laki dan perempuan, untuk menuntut
ilmu.” Ilmu yang dimaksud adalah ilmu yang menunjang ketaqwaan serta
memperkokoh keyakinan” (Shahifah as Shadiqiyyah). Serta mengingatkan saya
kepada nasehatnya Imam Muhammad al Jawad RA: “Hendaklah kamu menuntut ilmu.
Menuntut ilmu itu wajib. Mengkajinya adalah sunnah. Ilmu adalah tali
persaudaran antar sesama saudara. Adalah bukti atas keksatriaan. Adalah mutiara
di majelis-majelis. Teman dalam bepergian dan hiburan dalam keterasingan. Ilmu
dua macam: dicatat dan didengar. Tidak bermanfaat ilmu yang didengar jika tidak
dicatat. Siapa yang mengenal hikmah takkan sabar atas bertambahnya. Keindahan
terletak pada lisan dan kesempurnaan terletak pada akal. Sesungguhnya anak Adam
mirip sekali dengan timbangan, berat dengan ilmu—dengan akal—atau ringan karena
kebodohan. Seandainya orang bodoh diam, umat tidak akan berselisih”.
Akhir
kata, karena saya tak ingin menutup bagi para pembaca untuk membaca sendiri
buku Seelok Kupu-kupu yang ditulis Dzu Hanin ini, saya hanya ingin menyarankan
kepada generasi muda, terutama anak-anak sekolah menengah pertama dan menengah
atas, “Anda semua akan menemukan kawan dialog dan curhat ketika Anda membaca
dan membuka lembar-lembar buku ini”. Selamat membaca! Sulaiman Djaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar