Oleh William
A. Dembski (Baylor University, 16
Maret 2000)
Kita diajarkan bahwa sains
bersifat sementara atau tentatif. Dan dengan melihat sejarah sains,
alasannya berlimpah untuk [percaya bahwa] sains bersifat tentatif. Tidak ada
teori ilmiah yang tahan terhadap revisi dalam waktu lama, dan banyak teori yang
secara perlahan – lahan dilampaui oleh teori – teori yang bertentangan secara
tajam dengannya. Revolusi ilmiah adalah sesuatu yang biasa, menyakitkan dan
nyata. Teori – teori baru secara reguler meruntuhkan teori – teori lama, dan
tidak ada teori ilmiah yang menyatakan kebenaran mutlak.
Tetapi walaupun sains itu
tentatif, para ilmuwan tidaklah tentatif. Sebagai seorang filsuf sains Thomas
Kuhn dengan tepat mencatat bahwa, diperlukan revolusi untuk merubah teori –
teori sains karena para ilmuwan tidak berpegang pada teori mereka secara
tentatif. Karena itu, dalam bukunya Structure of Scientific
Revolutions, Kuhn mengutip dan setuju dengan Max Planck, yang
menulis: “Kebenaran ilmiah tidak mengukuhkan dirinya dengan cara meyakinkan
lawannya dan membuat mereka menyadari kebenaran, namun karena lawannya secara
bertahap meninggal, dan [kemudian muncul] sebuah generasi [ilmuwan] baru yang
paham / familiar dengan teori yang baru.”
Tidak ada ilmuwan yang
kariernya diinvestasikan dalam sebuah teori ilmiah tertentu yang akan dengan
mudah menyerah. Memang satu hal yang baik! Satu – satunya cara untuk maju
dengan sebuah teori adalah sepenuhnya berinvestasi pada teori tersebut. Teori –
teori ilmiah merupakan kerangka untuk menyelesaikan masalah. Ilmuwan
mempertaruhkan karier dan hidupnya dengan menyusun teori yang diharapkan akan
menyelesaikan masalah yang menarik. Karena itu, para ilmuwan perlu yakin bahwa
teorinya tidak hanya memberikan pemahaman yang mendasar dan mendalam, namun
juga membuka jalan bagi riset – riset yang akan berbuah untuk memperluas
wawasan ilmiah secara menyeluruh (biasanya dalam jangka waktu empat puluh-an
tahun).
Kenyataan bahwa ilmuwan
tidak menganggap teorinya bersifat sementara, tidaklah berbahaya untuk sains.
Hanya akan menjadi sebuah bahaya kalau hal itu berubah menjadi dogmatisme.
Biasanya, kecenderungan ilmuwan untuk tidak menganggap teori ilmiah tentatif
hanya berarti bahwa ilmuwan tersebut yakin bahwa teorinya secara substansial
benar. Para ilmuwan berhak memiliki keyakinan yang demikian. Sebaliknya, para
ilmuwan yang memegang teorinya secara dogmatis terus – menerus menyatakan bahwa
teori mereka tidak dapat tidak
benar. Bagaimana seorang ilmuwan bisa terhindar dari kejatuhan ke dalam
dogmatisme? Satu – satunya cara adalah dengan berdiri di depan cermin dan
berkata kepada diri sendiri terus – menerus: Aku
mungkin salah. . . Aku mungkin salah besar
. . . Aku mungkin tidak ketulungan dan permanen
salahnya — dan kemudian meyakini apa yang diucapkan! Tidak cukup
untuk berkata – kata dengan mulut. Kita perlu memandangnya secara serius dan
mengakui bahwa hal ini berlaku bahkan untuk kepercayaan ilmiah yang paling kita
banggakan.
Induksi sederhana tentang
kegagalan ilmiah di masa lampau seharusnya cukup untuk meyakinkan bahwa satu –
satunya hal dimana kita tidak mungkin salah adalah kemungkinan bahwa kita
salah. Skeptisisme radikal seperti ini jauh lebih mendalam daripada skeptisisme
Cartesian, yang selalu mengakui bahwa ada domain pengetahuan yang imun terhadap
keraguan (bagi Descartes matematika dan teologi adalah domain yang demikian).
Pada saat yang sama, skeptisisme radikal seperti ini sesuai dengan iman yang
tidak luntur pada pencarian manusia [akan kebenaran] dan kemampuannya
untuk untuk membuat dunia ini dapat dipahami. Memang, keyakinan yang dimiliki
para ilmuwan dalam memegang teorinya, sejauh masih bebas dari dogmatisme,
hanyalah kata lain untuk iman. Iman ini melihat dunia ilmiah sebagai pada
dasarnya berharga walaupun klaimnya bisa runtuhan.
Sebagai ganti iman kepada
dunia ilmiah, Dogmatisme menggantinya dengan keyakinan yang tidak beralasan
terhadap klaim dan teori sains tertentu. Masalahnya dengan dogmatisme adalah
bahwa dogmatisme selalu merupakan satu bentuk penipuan terhadap diri sendiri.
Andaikata kita akui bahwa Socrates mengajarkan sesuatu kepada kita, yang
diajarkannya adalah bahwa kita selalu mengetahui jauh lebih sedikit daripada yang
kita pikir kita tahu. Dogmatisme menipu kita untuk berpikir bahwa kita telah
mendapatkan pemahaman yang mutlak dan bahwa perbedaan pendapat adalah sia –
sia. Penipuan diri adalah dosa asal. Richard Feynman merumuskan demikian:
“Prinsip pertama adalah bahwa anda tidak boleh membodohi diri sendiri, dan anda
adalah orang yang paling mudah dibodohi.” Lebih lanjut, Feynman secara khusus
memikirkan untuk menerapkan prinsip ini dalam pemahaman umum terhadap sains:
“Anda tidak boleh membodohi orang awam pada saat anda berbicara sebagai seorang
ilmuwan…. Aku berbicara tentang integritas spesifik, jenis [integritas] ekstra
yang [lebih dari sekedar] tidak berdusta, namun juga menoleh ke belakang untuk
menunjukkan bagaimana anda kemungkinan salah.”
Saya membuka pembahasan
umum tentang kesementaraan dan dogmatisme dalam sains karena hal ini sering
diabaikan dalam diskusi tentang evolusi biologis. Hampir tidak bisa ada
pertukaran gagasan yang terbuka dan bebas pada saat ahli biologi Richard
Dawkins menyatakan, “Adalah mutlak aman jika anda bertemu dengan seseorang
yang mengklaim diri tidak percaya evolusi untuk mengatakan bahwa, orang
tersebut tidak tahu [apa – apa], bodoh, atau gila (atau jahat, namun aku tidak
[memilih untuk menggunakan] yang satu ini).” Demikian juga pada saat filsuf
Michael Ruse ketika dia berkoar – koar, “Evolusi adalah sebuah fakta, fakta, FAKTA!” Demikian juga pada saat
pelindung Stephen Jay Gould yaitu Michael Shermer ketika dia menyatakan, “Tidak
ada seorangpun, dan aku [benar – benar] maksudkan tidak ada seorang pun, yang bekerja di
lapangan yang memperdebatkan apakah seleksi alam merupakan daya pendorong di
balik evolusi, apalagi mempertanyakan apakah evolusi terjadi atau tidak.”
Ucapan seperti itu serta
khususnya sikap yang berada di baliknya, tidak membawa apa – apa dalam
menyelesaikan kontroversi yang berkelanjutan tentang evolusi. Pengumpulan
pendapat Gallup secara konsisten mengindikasikan bahwa hanya sekitar sepuluh
persen penduduk USA yang menerima evolusi yang diajarkan oleh Dawkins, Ruse,
dan Shermer, yaitu evolusi dimana daya pendorongnya adalah mekanisme seleksi
Darwin. Sisa dari penduduk berkomitmen terhadap sejenis intelligent design
(perancangan yang cerdas). Memang benar sains tidak diputuskan lewat jajak
pendapat. Namun demikian, penolakan yang besar terhadap evolusi Darwin dalam
masyarakat secara keseluruhan adalah sesuatu yang patut direnungkan. Walaupun
Michael Shermer [bersikap] berlebih – lebihan pada saat dia mengklaim bahwa
tidak ada ahli biologi [yang melakukan] riset yang meragukan kekuatan seleksi
alam, dia tentunya benar bahwa inilah posisi mayoritas di antara ahli biologi.
Mengapa masyarakat biologi
gagal untuk meyakinkan [masyarakat] umum bahwa seleksi alam merupakan daya
pendorong di balik evolusi dan bahwa evolusi yang demikian (yaitu, evolusi
Darwinian) dapat secara sukses menjelaskan keberagaman kehidupan? Pertanyaan
ini patut direnungkan karena dalam kebanyakan bidang sains masyarakat tunduk
kepada penghakiman masyarakat ilmiah. Mengapa tidak demikian halnya dengan
evolusi? Mengingat masyarakat kita yang sangat terbiasa dengan kontroversi
fundamentalis-modernis, jawaban yang biasa muncul adalah bahwa kaum
fundamentalis religius yang dibutakan oleh bias dogmatis mereka secara sengaja
menolak mengakui bukti yang berlimpah akan evolusi Darwin.
Walaupun mungkin ada
benarnya, hal ini bukanlah satu – satunya faktor yang bertanggung jawab
terhadap penolakan yang besar terhadap evolusi Darwin oleh masyarakat.
Fundamentalisme dalam pengertian literalisme alkitabiah adalah posisi minoritas
di antara penganut agama. Kebanyakan tradisi religius tidak menganggap bernilai
untuk memisahkan diri dari budaya. Walaupun postmodernisme sudah masuk, sains
masih mempertahankan prestise budayanya yang besar. Dunia religius pada umumnya
hidup selaras dengan dunia ilmiah. Kebanyakan penganut agama menerima bahwa
spesies telah mengalami perubahan signifikan seiring dengan sejarah alam dan
karena itu dalam pengertian tertentu evolusi memang terjadi (sebagai contoh,
dukungan Paus Yohanes Paulus II terhadap evolusi). Pertanyaan [yang
dikemukakan] oleh penganut agama dan masyarakat pada umumnya bukanlah fakta
akan adanya evolusi namun mekanisme perubahan evolusioner tersebut—bahwa kesempatan
dan hukum sendiri tidak cukup untuk menjelaskan kehidupan.
Saya yakin bahwa alasan sebenarnya bagi masyarakat
umum untuk terus menerus menolak evolusi Darwin adalah karena mekanisme
[evolusi] Darwin berupa variasi yang acak dan seleksi alam tampaknya tidak
mampu untuk menjelaskan keberagaman kehidupan sepenuhnya. Pada saat orang membaca tulisan National Academy of
Science, National Center for Science Education, dan National Association of
Biology Teachers, orang berpikir bahwa kegagalan masyarakat untuk menerima
evolusi Darwin adalah kegagalan pendidikan. Kita diberitahu bahwa andaikata
saja orang dapat diberi pemahaman yang tepat tentang teori Darwin, mereka akan
dengan mudah menerimanya.
Anggapan ini—bahwa
kegagalan Darwinisme untuk diterima adalah karena kegagalan pendidikan—dengan
mudah mengarahkan kepada tuduhan [akan pengaruh] fundamentalisme apabila
pendidikan telah dicoba dan masih gagal. Karena apa lagi yang bisa menghalangi
penerimaan yang spontan dan penuh sukacita terhadap Darwinisme kalau bukan
prasangka religius? Bagi penganut Darwin yang benar – benar yakin, tampaknya
sesuatu yang tidak masuk akal kalau ada kemungkinan kesalahan pada teorinya dan
kalau masyarakat [umum] sementara melihat kekurangan yang melekat pada teori
mereka. Namun sebenarnya inilah yang terjadi.
Masyarakat [umum] tidak
perlu merasa malu kalau tidak mempercayai dan secara terbuka mengkritik
Darwinisme. Kebanyakan teori ilmiah dewasa ini pada awalnya diterbitkan di
jurnal atau monograf spesial, dan ditujukan kepada para ahli yang dianggap
memiliki latar belakang teknis yang memadai. Tidak demikian halnya dengan teori
Darwin. Locus classicus untuk teori Darwin adalah bukunya Origin of Species. Di dalam bukunya
Darwin membawa gagasannya ke masyarakat [umum]. Darwinis kontemporer [seperti
halnya Darwin] terus membawa gagasannya ke masyarakat [umum]. Buku Richard
Dawkins, Daniel Dennett, Stephen Jay Gould, E. O. Wilson, dan sejumlah ahli
biologi dan filsuf lain berusaha untuk meyakinkan masyarakat [umum] yang
skeptis tentang kebenaran teori Darwin. Penulis – penulis yang sama memuji
masyarakat [umum] apabila masyarakat berpikir bahwa argumen mereka meyakinkan.
Namun kalau masyarakat tidak dapat diyakinkan, mereka dikutuk. Daniel Dennett
bahkan merekomendasikan untuk “mengkarantina” orang tua yang mengajar anak –
anak mereka untuk meragukan Darwinisme (lihat bagian akhir dari bukunya Darwin’s Dangerous Idea).
Bagaimana sampai terjadi
bahwa masyarakat umum dipuji kemampuan ilmiahnya kalau menerima teori Darwin,
namun dikutuk apabila mereka meragukan teori tersebut? Tanda dari dogmatisme adalah memberikan penghargaan apabila setuju dan
menghukum apabila bertentangan. Bila sains kontemporer memang adalah bagian
dari kultur wacana rasional, maka kita harus menolak dogmatisme dan authoritarianisme
dalam semua manifestasinya. Jika masyarakat dapat dipercaya untuk
mengevaluasi bukti – bukti yang mendukung Darwinisme–dan inilah yang secara
diam – diam diasumsikan oleh Darwinis apabila mereka menerbitkan buku tentang
Darwinisme untuk masyarakat–maka tidak adil untuk melawan masyarakat apabila
mereka memutuskan bahwa bukti untuk Darwinisme tidak meyakinkan.
Mengapa masyarakat [umum]
mendapati bahwa bukti untuk Darwinisme tidak meyakinkan? Kalau fundamentalisme
dikesampingkan sebentar, maka klaim bahwa mekanisme Darwin berupa variasi acak
dan seleksi alam dapat membangkitkan keberagaman biologis, dipandang masyarakat
sebagai ekstrapolasi yang tidak sah dari perubahan terbatas yang secara praktis
diakibatkan mekanisme tersebut. Bukti empiris akan kemampuan mekanisme Darwin
terbukti terbatas (misalnya, variasi dalam paruh burung, perubahan warna kupu –
kupu, dan perkembangan resistensi bakteri terhadap antibiotik). Sebagai contoh,
ukuran paruh burung pipit bervariasi tergantung pada tekanan lingkungan.
Mekanisme Darwin memang beroperasi di sini dan bertanggung jawab terhadap
perubahan yang kita amati. Namun pada saat yang sama mekanisme Darwin
diasumsikan bertanggung jawab atas munculnya pipit. Ini adalah ekstrapolasi.
Darwinis yang ketat memandangnya sebagai sesuatu yang sepenuhnya masuk akal.
Masyarakat [umum] tetap tidak yakin.
Namun tidakkah seharusnya
masyarakat [umum] tunduk kepada para ilmuwan –bukankah, mereka ahlinya? Namun
ahli yang mana? Memang benar bahwa mayoritas masyarakat ilmiah menerima
Darwinisme. Namun [kebenaran] sains tidak diputuskan dalam kotak suara, dan
penerimaan terhadap Darwinisme di antara para ahli hampir tidak universal.
Sebuah gerakan para ilmuwan yang sementara berkembang yang dikenal sebagai
“para ahli teori design” sementara mengajukan sebuah teori yang dikenal sebagai
“intelligent design.” Intelligent design berargumen bahwa struktur biologi yang
komplex, dan kaya informasi tidak dapat timbul dari gaya – gaya alam namun
membutuhkan inteligensia untuk mengaturnya. Para ilmuwan bereputasi ini
berargumen tentang bukti [kebenaran teorinya] murni berdasarkan sains dan
mempublikasikan hasil pekerjaannya di penerbit akademis (mis tulisan saya,
Jonathan Wells, Siegfried Scherer, dll; juga http://www.baylor.edu/~polanyi).
Yang menjadi isu di sini bukanlah apakah intelligent
design merupakan teori yang pada akhirnya akan meruntuhkan Darwinisme. Yang
menjadi isu adalah apakah masyarakat ilmuwan bersedia menghindari dogmatisme
dan mengakui bahwa ada kemungkinan realistis pandangan yang paling dijunjungnya
salah. Para ilmuwan telah salah di
masa lalu dan akan terus salah, baik dalam detail maupun dalam masalah
konseptual yang lebih luas. Darwinisme merupakan satu teori ilmiah yang mencoba
menjelaskan sejarah kehidupan; namun bukanlah teori ilmiah yang bertanggung
jawab atas kehidupan. Darwinisme adalah teori yang secara luas diperdebatkan,
teori yang menghadapi semakin banyak kritik tajam, dan seperti teori ilmiah
lainnya memerlukan pengujian realitas yang periodis. [Diterjemahkan oleh Ma Kuru]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar