Oleh Armahedi Mahzar
Sadrianisme dan Wawasan Ontologis Kontemporer
Satu hal yang menarik pada
pandangan Mulla Sadra adalah pandangannya tentang gerak substantif atau
harakatul jawhariyah yang berbicara tentang terjadinya perubahan tingkat wujud
pada benda-benda di alam semesta. Berbeda dengan pemikiran filosofis
sebelumnya, yang menganggap spesies sebagai suatu yang tetap, dalam pandangan
Mulla Sadra batu dimungkinkan menjadi tanaman, tanaman menjadi hewan dan
seterusnya yang sekarang dikenal sebagai pandangan evolusionisme. Namun,
berbeda dengan evolusionisme materialistik biologi modern, gerak evolusioner
Mulla Sadra bukanlah perubahan-perubahan material bersifat acak yang diseleksi
alam seperti pandangan Darwinisme, namun merupakan perubahan substantif menuju
tingkat wujud yang lebih tinggi karena tarikan Wujud Tertinggi atau Tuhan
Pencipta Semesta. Dalam bahasa filosofis kontemporer, dapat dikatakan bahwa
pandangan evolusionis Sadra sebagai pandangan teleologis yang mengikuti asas
finalisme. Dalam hal ini, Mulla Sadra telah memberikan landasan filosofis yang
kokoh bagi evolusionisme spiritualistik Jalaluddin Rumi. Pertanyaannya kini:
Apakah pandangan evolusionisme spiritualistik ini konsisten dengan pandangan
keilmuan sekarang. Untuk menjawab pertanyaan ini, hendaknya diingat bahwa
evolusionisme spiritualistik adalah suatu pandangan falsafi yang bersifat umum
yang meliputi seluruh semesta sedangkan pandangan evolusionisme materialistik
hanya mencakup dunia kehidupan atau dunia biologis.
Pandangan evolusionisme
yang bersifat universal di dunia modern dipelopori oleh aliran vitalisme [5] buah pikiran Henry Bergson, filosof
Prancis yang hidup di awal abad 20. Berbeda dengan darwinisme, evolusionisme
Bergson melihat dinamika kehidupan pada elan vital atau ruh kehidupan yang
kreatif tersimpan dalam esensi setiap materi. Pandangan filosofis ini sangat
populer di kalangan seniman dan agamawan di awal abad 20, sebelum esensi
digusur oleh kaum eksitensialis di pertengahan abad dan digusur keluar wacana
filosofis oleh para pemikir pos-strukturalis. Sedangkan darwinisme ilmiah atau
neo-darwinisme tetap mendominasi intelektualitas para ilmuwan, bahkan
akhir-akhir ini diperluas untuk ranah sosial dan kultural oleh Richard Dawkins [6] dengan konsep meme sebagai padanan
bagi gene dalam ranah biologi.
Akan tetapi, akhir-akhir
ini pandangan evolusionisme neo-darwinisme materialistik telah dikembangkan
menjadi pandangan yang lebih holistik meliputi seluruh sejarah seluruh jagat-raya.
Salah seorang pemikir Inggris wanita, Donah Zohar [7] yang juga seorang murid fisikawan filsuf holisme terkemuka
David Bohm, punya wawasan yang disebutnya holisme relasional. Dalam holisme
kuantum versi Donah Zohar, evolusi biologis hanyalah merupakan satu fase saja
dalam evolusi semesta raya yang bermula pada riak kecil pada kehampaan kuantum
dan berakhir pada kehampaan kuantum yang sama. Karena itu dia mengidentifikasi
kehampaan kuantum itu dengan Sunyata di agama Budha dan Tuhan pada agama-agama
monotheistik. Metafisika kuantum Zohar ini sebenarnya lebih mirip dengan
mistisisme panteistik, karena vakum atau kehampaan kuantum itu ada di mana-mana
meliputi seluruh alam semesta. Pandangan yang lebih monotheistik adalah Omega
Point Theory [8] buah pikiran pakar
kosmologi matematis Frank Tippler tentang adanya titik singularitas kosmologis
di masa depan yang disebut titik Omega yang tak pernah dicapai oleh alam. Titik
omega yang ada di masa depan yang tak terhingga ini merupakan limit penciutan
alam semesta setelah pada suatu saat nanti, di masa depan yang jauh, akan
berbalik dari pengembangannya yang sekarang.
Uniknya, Titik Omega ini
diidentifikasi Frank Tipler sebagai Tuhan Maha-Pencipta alam semesta, karena
dia mempunyai sejumlah karakteristik-Nya yang fundamental. Titik Omega itu
“tunggal”, “transenden”, “pencipta” alam semesta, “menguasai” semua dan
“mengetahui” segalanya. Lalu, alam yang di”cipta” oleh Titik Omega itu
mengikuti prinsip antropik kosmologi. Prinsip antropik mengatakan bahwa
konstanta-konstanta fisika fundamental di awal kejadian alam terpilih
sedemikian rupa sehingga akan timbul kehidupan yang cerdas di salah satu
planet, yaitu bumi. Tipler berspekulasi bahwa kehidupan cerdas itu kemudian
akan terus menyebar ke seluruh penjuru alam. Penyebaran kehidupan dan
kecerdasan ini pun berlangsung terus, bahkan pada masa kontraksi sehingga pada
akhirnya alam dapat dikatakan menjadi semacam komputer biologis yang
sangat-teramat kecil, akan tetapi teramat-sangat canggih. Yang menarik adalah
pernyataan Frank Tippler bahwa alam akhirat itu identik dengan realitas virtual
dalam super-komputer biokosmik tersebut. Lebih menarik lagi adalah kenyataan
bahwa Mulla Sadra juga mengatakan bahwa hakekat alam akhirat adalah ‘alamul
mitsal.
Sementara itu fungsi
gelombang kuantum jagat-raya, yang dapat dianggap meta-program bagi super-komputer
biokosmos tersebut di atas, diidentifikasikan oleh Tipler sebagai Ruh Kudus di
kalangan Kristen atau ‘Aqlul Awwal di kalangan filsuf muslim tradisional. Bagi
kalangan tasawuf Akal Pertama itu disebut Nur Muhammad atau Haqiqat Muhammadiyah,
sedangkan bagi Mulla Sadra, Akal Pertama itu tak lain dari Ilmu Tuhan tentang
Diri-Nya sendiri. Eidos Plato atau morphe Aristoteles tak lain dari kandungan
dalam Ilmu Tuhan sebagai salah satu SifatNya. Yang menarik pula ialah
kenyataan bahwa dalam metafisika kuantum kontemporer, benda-benda terkecil
yaitu partikel-partikel fundamental dan gaya-gaya fundamental yang bekerja
antara mereka juga mempunyai sifat gelombang yang dapat dianggap sebagai
riak-riak kecil di lautan kehampaan kuantum yang terus membesar menjadi ombak
dan gelombang yang kita kenal sebagai alam semesta tempat kita semua berada.
Bagi sebagian dari
metafisikawan itu, riak-riak terkecil kuantum itu pada dasarnya tak lain dari
bit-bit informasi dalam komputer semesta yang terus berkembang menjadi cerdas
melalui proses yang disebutkan Tipler di atas. Bit-bit itu, serupa dengan
esensi-esensi dalam metafisika Shadrianisme, tidaklah mempunyai eksistensi.
Sedangkan konsep vakum kuantum mereka, mirip dengan prima materia yang diyakini
kaum perennialis. Dalam bahasa metafisika Sadra, prima materia adalah
bayang-bayang Ketunggalan Wujud Murni pada Ketiadaan Mutlak. Satu hal yang
perlu diperhatikan ialah kenyataan bahwa Mulla Sadra dan pemikir-pemikir klasik
lainnya bertolak dari refleksi murni logis terhadap pengalaman-pengalaman
langsung indrawi dan intuisi intelektual. Sedangkan apa yang dilakukan filsuf
evolusionisme modern adalah spekulasi filosofis terhadap pengamatan empiris operasional
ilmiah. Para shadrianis meyakini pandangan mereka sebagai puncak kebenaran
filosofis, sedangkan para filsuf evolusionisme kontemporer menganggap
pandangannya masih terbuka untuk disempurnakan dengan ditemukannya
penemuan-penemuan ilmiah yang lebih mutakhir.
Kesimpulan
Tampaknya, pandangan Mulla
Sadra sebagai varian dari filsafat perennial dapat digunakan sebagai penangkal
nihilisme posmodern yang bukan saja meniadakan esensi tetapi juga meniadakan
eksistensi melalui proses dekonstruksi destruktifnya. Pandangan Mulla Sadra
justru serasi dengan pandangan holisme, kutub lain dari intelektualisme
posmodern. Akan tetapi identifikasi Realitas dengan Kesadaran, dalam wacana
holitik posmodern, lebih cocok dengan perennialisme dengan varian Suhrawardianisme
di kalangan Islam dan Vedanta di kalangan Hinduisme. Varian Shadrianisme dengan
pasangan Ada/Tiada ini lebih mirip dengan varian Taoisme Cina yang dipandang
orientalis Jepang Isutzu sebagai padanan bagi Wihdatul Wujudnya Ibn Arabi.
Seorang mistikus tentunya
akan melihat varian-varian intelektual perennialisme sebagai
pandangan-pandangan tentang gajah yang dilihat oleh si melek (observator yang
buta) dari sudut yang berbeda-beda. Bagaimanapun berbedanya,
pandangan-pandangan ini lebih utuh dari bayangan gajah oleh empat orang buta
seperti yang dikisahkan Jalaluddin Rumi dalam Matsnawi-nya yang terkenal itu.
Yang perlu digaris-bawahi ialah kenyataan bahwa orang-orang buta dalam kisah
Rumi itu sebenarnya tak lain dari ilmuwan-ilmuwan yang melihat segala sesuatu
secara empiris positivistik. Dan orang melek itu tak lain dari simbolisme
filsuf yang melihat realitas lebih logis komprehensif. Namun, tak ada yang
mengetahui gajah kecuali gajah itu sendiri dan ini tak lain dari simbolisasi
Realitas Mutlak yang identik dengan Kesadaran Semesta dalam wacana agama-agama
pasca-modernis Zaman Baru.
Mudah-mudahan, pengantar
ini menjadi jembatan antara pikiran pasca-modernis yang pluralistik masyarakat
kontemporer dengan pikiran tradisionalis yang monistik seperti yang
direpresentasikan oleh pikiran filsuf Islam terbesar di kalangan Syi’ah yang
dipaparkan oleh Fazlur Rahman secara kritis. Walaupun kritik-kritiknya terasa
agak asing, karena kecenderungan modernistik almarhum Fazlur Rahman, beliau
berhasil menunjukkan dengan adil keluasan dan kedalaman wawasan Sadrianisme,
yang merupakan filsafat tinggi akademisi Iran Syi’ah, kepada kalangan Sunni
tanpa memberikan sikap a priori yang bersumber pada perbedaan keyakinan
teologis yang fundamental. Semoga ini menjadi jembatan menuju upaya pemahaman
kembali khazanah wawasan monistik tradisional Islam yang lebih menyeluruh
terutama sumbangan pemikiran ulama-ulama Nusantara di masa silam. Amin ya
Rabbal ‘alamin.
Catatan
[1] Stephen
Hawking, dalam bukunya A Brief History of Time (Bantam, London & New York
1988), menuliskan kalimat terakhirnya “If we find the anwer to that, it would
be the ultimate triumph of human reason --- for then we would truly know the
mind of God”
[2] Alfred
North Witehead, matematikawan Inggris penulis buku Process and Reality,
berbicara eternal objects yaitu universal essences yang terus menerus
menyelusup dan keluar apa yang disebutnya masyarakat organisme yang terdiri
dari kejadian-kejadian aktual alias particular existents. Dia adalah penerus
evolusionisme Bergson dengan cara menyempurnakannya dengan memasukkan
penemuan-penemuan fisika baru : teori relativitas dan teori kuantum.
[3] Henry
Bergson, Creative Evolution.
[4] Fritjof
Capra, The Tao of Physics (Bantam Books, NewYork 1980).
[5] Henry
Bergson, penulis Creative Evolution, mengajukan wawasan evolusionisme
anti-darwinian yang bersifat vitalistik bukan mekanistik. Rekan senegaranya
Pierre Teilhard deChardin juga mengembangkan wawasan evolusionisme
antidarwinian yang finalistik, bukan mekanistik maupun vitalistik.
[6] Richard
Dawkins, Selfless Gene.
[7] Danah
Zohar menulis tiga buku berkaitan dengan metafisika kuantum ini yaitu Quantum
Self (Flamingo, London1991 ), Quantum Society (bersama suaminya Ian Marshall
diterbitkan oleh Flamingo, London 1994 ) dan Connecting with our Spiritual
Intelligence (bersama suaminya diterbitkan Bloomsbury, NewYork 2000).
[8] Frank
Tipler, penulis Physics of Immortality (Doubleday, New York 1994), adalah salah
seorang pencetus Prinsip Antropik dalam kosmologi untuk menerangkan
besaran-besaran fisika di awal jagat-raya melalui eksistensi kehidupan manusia
di bumi masa kini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar