Oleh Armahedi Mahzar
Orang yang seagama,
filsafatnya bisa saja berbeda. Begitu pula sebaliknya, orang yang berbeda
agama, bisa saja filsafatnya sama. Namun kesamaan filosofis itu, biasanya,
hanyalah pada garis besar saja. Pada uraian rinci biasanya terdapat perbedaan
yang mencolok. Perbedaan itu terletak pada tambahan terhadap pandangan pokok
yang berbeda. Itulah kita jumpai pada eksistensialime Islam di abad pertengahan
dan eksistensialisme Barat di awal abad-20. Kedua bentuk eksistensialisme itu
sama-sama mengatakan bahwa eksistensi mendahului esensi. Atau, dengan perkataan
lain, wujud lebih pokok daripada hakekat. Walaupun begitu yang dipersoalkan
berbeda. Eksistensialisme Prancis abad 20 mempersoalkan eksistensi dan esensi
manusia, sedangkan eksistensialisme Iran abad pertengahan mempersoalkan
eksistensi dan esensi realitas secara umum terutama Tuhan. Eksistensialisme
sendiri telah digantikan secara berturut-turut oleh strukturalisme dan
pasca-strukturalisme. Pasca-strukturalisme sebagai varian dari filsafat
posmodern yang pluralistik, relativistik dan anarkhis itu telah membuang semua
bentuk esensialisme dari metafisika, bukan sekedar merendahkannya seperti yang
dilakukan oleh eksistensialisme modern. Post-modernisme telah membuang semua
esensi sehingga yang tinggal adalah eksistensi-eksistensi yang banyak yang tak
lain dari benda-benda material di luar dan dalam tubuh kita. Tentu saja pandangan
materialisme pasca-modernis itu sangat kontroversial, karena benda-benda itu
tanpa esensinya, yaitu gerak dan interaksi antar sesamanya seperti yang
dipahami oleh sains, tak mungkin melahirkan kehidupan, manusia dan bahkan
pemikir-pemikir posmodernis itu sendiri.
Tampaknya kaum
pasca-modernis telah terlena oleh permainan bit-bit imaji elektronik yang menari-nari
di layar kaca dari game-watch anak-anak, di layar video-game Playstation ketika
anak lebih besar, di monitor komputer ketika dia dewasa dan di layar televisi
selama hidupnya sehingga tak sanggup berpikir mendalam dan mendasar, terpesona
dengan permainan bahasa dan kata-kata, melupakan makna hakiki dari apa yang
direpresentasikan oleh kata-kata itu, yaitu benda-benda di luar kita dan
pikiran-pikiran dalam diri kita yang merupakan misteri abadi yang ingin
dipecahkan para filosof dari masa ke masa. Yang manakah dari kedua realitas itu
yang fundamental, yang sebenar-benarnya ada.
Apakah yang Sebenarnya ADA: Materi atau Ide?
Jika kita ditanya “apa yang
sebenarnya ada?”, maka kita pasti tahu bahwa itu pasti pertanyaan filosofis.
Apapun jawaban kita, dia akan mencerminkan keyakinan kita tentang realitas.
Maksudnya begini. Realitas adalah suatu kenyataan yang sebenarnya ada bukan
hanya ada dalam khayalan atau pikiran sesorang. Nah, kalau kita perhatikan
definisi ini, maka tampak bahwa kata ‘yang sebenarnya’ merupakan embel-embel
filosofis yang jelas memusingkan seorang awam. Sebaliknya, bagi seseorang yang
mempunyai kecendrungan filosofis, justru akan timbul keresahan jika pertanyaan
ini tidak terjawab. Untuk jelasnya marilah kita ikuti perdebatan filosofis
berikut ini.
Jawaban Pertama: Materialisme Ilmiah
Apakah realitas yang
sebenarnya ada? Berikut ini adalah salah satu jawaban ilmiah yang umum. Yang
sebenarnya ada adalah benda-benda. Tetapi para filosof akan terus bertanya, apa
sebenarnya benda-benda seperti kursi, sepatu, batu, udara dan lain sebagainya
itu? Jawaban ilmiah akan mengatakan bahwa semua benda-benda itu terdiri dari
atom-atom yaitu bagian benda terkecil yang tak dapat dipisahkan lagi. Jawaban
ini mirip dengan jawaban Demokritus di zaman dahulu kala. Belasan abad setelah
Demokritus, nama atom pun diberikan Dalton pada zat terkecil yang ditemukan
oleh para ahli kimia. Namun sejarah sains menemukan bahwa atomnya Dalton,
bukanlah atomos seperti yang dipahami oleh Demokritus. Jika atomos adalah
bagian benda terkecil yang tak mempunyai bagian lebih kecil lagi, tidak
demikianlah atom dalam kimia modern. Soalnya, di awal abad lalu, para fisikawan
menemukan bahwa setiap atom zat kimia itu terdiri dari bagian-bagian yang lebih
kecil lagi yaitu inti dan elektron. Masih di paruh pertama abad yang lalu para
fisikawan pun menemukan kenyataan bahwa inti atom itu pun terdiri dari dua
jenis partikel atau butiran yang lebih kecil lagi yaitu dua jenis nukleon yaitu
proton dan netron.
Paruh kedua abad 20 yang
lalu, para fisikawan menemukan lebih dari seratus partikel elementer yang
setara tapi lebih berat dari nukleon sehingga orang mulai curiga bahwa partikel
elementer bukanlah bagian terkecil semua benda. Memang begitulah keadaanya
ketika ditemukan bahwa proton, neutron dan partikel-partikel elementer lainnya
yang lebih berat daripada itu ternyata terdiri dari partikel-partikel yang
lebih kecil lagi yaitu partikel-partikel quark. Walaupun begitu, sampai
sekarang secara eksperimental belum pernah ditemukan tanda-tanda tentang adanya
sub-partikel yang lebih kecil dari quark, kendati secara matematis sub-partikel
itu tersebut sudah patut dapat diduga. Dengan demikian inilah jawaban terakhir
para ilmuwan modern jika ditanya apa yang sebenarnya ada. Tapi marilah kita
lihat apakah jawaban itu memuaskan kaum filosof.
Untuk sebagian orang
jawaban itu memang memuaskan, yaitu bagi kaum materialis. Tapi buat sebagian
lagi, yaitu kaum idealis, hal itu sangat tidak memuaskan. Soalnya, sebagai
filsuf sejati mereka terus bertanya. Apa sebenarnya quark dan lepton itu?
Soalnya, mana buktinya bahwa partikel-partikel itu benar-benar ada. Bukankah
kita tak bisa melihatnya. Bukankah kaum materialis adalah seorang empiris yang
mengaku semua pengetahuan dapat diperoleh hanya melalui indra? “ “Ah, Anda
salah mengerti” jawab kaum materialis. “Kata ‘melalui’ bukan berarti langsung
saja, tetapi bisa tidak langsung”, begitu lanjut mereka. “Eksistensi
partikel-partikel fundamental”, kata mereka, “bukan hanya bisa diduga di dalam
pikiran. Dia hanyalah konsep yang ada di pikiran manusia. Dia adalah konsep
yang paling ringkas yang bisa digunakan untuk mereka-reka semua pengalaman
empiris manusia.”
Jawaban Kedua: Idealisme Religius
Begitulah jawab kaum
materialis. Maka para filosof idealis-pun tersenyum-senyum mendengarkannya.
“Wah-wah, bagaimana Anda ini. Jadi sesuatu yang hanya ada di pikiran manusia
merupakan bagian terkecil dari semua yang ada di alam semesta ini. Kalau
begitu, kamilah yang benar. Semua realitas sebenarnya terdiri dari pikiran atau
ide bukan benda-benda. Hidup idealisme.” Begitulah kira-kira argumentasi
mutakhir penganut idealisme. Maka kita kaum awam yang religious-pun senang atas
kemenangan kaum idealis ini. Soalnya, dengan demikian sederetan realitas
religius, yang hanya bisa diyakini melalui iman dan tak dapat dibuktikan secara
empiris atau ilmiah, sekarang memperoleh legitimasinya. Semua yang ada, ada
dalam pikiran, yaitu “pikiran semesta yang memikirkan dirinya sendiri” seperti
kata Hegel yang seorang idealime absolut di abad ke-19 yang justru diperkuat
oleh pernyataan Stephen Hawking di abad 20 yang mengatakan hukum-hukum alam tak
lain dari pada pikiran Tuhan [1]
Tentu saja menjadi seorang
idealis tak perlu harus menjadi seorang hegelian dengan logika dialektiknya
yang non-ilmiah itu. Nyatanya, idealisme monistik absolut itu kini ternyata
merupakan ideologi yang populer di kalangan para anti-sains Zaman Baru di dunia
Barat yang muncul semenjak tahun 70-an yang bereksperimen dengan teknik-teknik
meditasi untuk mencapai kebenaran mutlak. Mereka mencari kebenaran tidak
dengan menjelajah alam luar, tetapi dengan menukik langsung ke alam batin
jiwanya. Sebagian dari mereka merasa memperolehnya, dan merekapun menyampaikan
penemuannya sebagai nabi-nabi baru di akhir zaman. Berbagai agama dan aliran
kebatinan baru di Barat banyak mengklaim hal seperti itu. Mereka menyebut
dirinya sebagai bagian dari gerakan Zaman Baru. Akan tetapi, mereka ini
minoritas di negerinya sendiri. Sebagian lagi justru bertanya lebih lanjut.
“Apa sebenarnya itu pikiran?”. Pikiran bagi kaum materialis tak lain dari
pola-pola dalam otak manusia. Bukan hanya pada otak manusia tetapi juga di luar
otak manusia yaitu di benda-benda penyimpan informasi seperti misalnya
buku-buku, pita kaset audio dan video, piringan laser, CD dan lain
sebagainya.
“Wah-wah,” ujar pengikut
idealisme, “banyak sekali pola yang ada di sana tapi tak semuanya mempunyai
makna.” Ah tentu saja hanya pola yang mempunyai makna. Makna itu diberikan oleh
manusia melalui komunikasi yang juga terpola antar sesama. Jadi pikiran itu tak
lain dari “kumpulan pola bermakna yang saling memaknai”. Pola bermakna itulah
yang disebut “tanda”. Nah, sebagian tanda itu dibuat manusia, sebagian lagi
bersifat alamiah. Sains itu membaca tanda-tanda alamiah. Para strukturalis
menganggap tanda-tanda itu membentuk struktur-struktur non-material statik yang
ada di alam pikitran yang lepas dari otak-otak manusia dan media informasi di
luar otak manusia. Sedangkan kaum pasca-strukturalis justru melihat proses
tanda menandai itu tak dapat dilepaskan dari otak manusia dan media teknologi
yang ada sebagai perpanjangannya dan kedua yang disebut terakhir ini tak lain
dari materi. Tanda-tanda itu bukan statis tetapi dinamis yang terus berkembang
dengan evolusi perkembangan materi.
Jawaban Sintesis: Proses Kreatif
Dengan demikian, marilah
kita simak lebih jauh, tibalah kita pada suatu pandangan berputar yang
mengatakan bahwa Realitas pada hakekatnya adalah materi yang terdiri dari tanda-tanda
yang ada pada materi. Atau bisa juga kita katakan bahwa realitas adalah proses
tanda-menanda yang bermain di atas kumpulan tanda-tanda. Lebih pendek, lagi
realitas adalah proses yang menafsir-dirinya sendiri. Atau, dengan perkataan
lain, realitas adalah proses interpretasi diri. Kreasi dan kognisi, alias cipta
dan cita, tak lain dari pada dua modus yang berbeda dari interpretasi. Yang
satu disebut kreasi, yang lain disebut refleksi. Jika penekanannya pada proses
menulis, yaitu melahirkan tanda-tanda, maka proses itu mengarang diri atau
kreasi diri. Jika proses itu bersifat memasukkan tanda-tanda, maka proses itu
adalah proses membaca dan memahami yang bersifat refleksif. Proses selalu
mempunyai dua sisi: menulis dan membaca; kreatif dan kognitif; berbuat dan
mengetahui. Dengan demikian tibalah kita pada filsafat proses. Filsafat proses
non-dialektik modern, yang dikembangkan oleh Alfred North Whitehead [2] di awal abad ke-20, mempunyai
jawaban mengenai apa itu realitas. Realitas itu bukan benda-benda ataupun
pikiran yang abadi. Realitas adalah proses yang terdiri dari rangkaian
peristiwa-peristiwa yang bersifat sementara. Rekannya di Prancis, Henry Bergson
[3], berpendapat bahwa hakekat
proses itu adalah evolusi kreatif yang digerakkan oleh semangat hidup atau elan
vital.
Jadi, menurut filsafat
proses yang benar-benar ada adalah peristiwa-peristiwa dan hakekat proses itu
adalah kreativitas. Tampaknya, dengan ini, semua terjelaskan dan bisa memuaskan
semua orang. Yang ideal dan yang material tak lain dari aspek-aspek saja dari
setiap proses. Bagi orang yang beragama jika proses itu adalah semesta maka
keseluruhan hukum-hukum alam merupakan aspek ideal bagi alam semesta. Dan ini,
menurut ilmuwan atheis, Stephen Hawking, dapat diibaratkan sebagai pikiran
Tuhan. Bagi yang atheis, kedua aspek itu ada bagaikan Yin dan Yang dalam
Taoisme. Itulah sebabnya pada dasawarsa-dasawarsa terakhir ini buku-buku dengan
judul “The Tao of …” berlimpah setelah diterbitkannya “The Tao of Physics” [4] , karangan Fritjof Capra, laku
keras. Dengan pandangan ini maka pasangan Tuhan dan Alam adalah pasangan aspek
Realitas yang dinamis kreatif. Dan inilah ajaran oleh mistikus-mistikus agama
Zaman Baru yang mendapat angin dengan buku Fritjof Capra, Gary Zukav dan
lain-lainnya. Pandangan yang mirip wahdatul wujud ini mendapat legitimasinya
dalam arsitektur komputer alias mesin komputasi elektronik yang mulai
mendominasi dunia di dasawarsa-dasawarsa akhir abad yang baru silam. Setiap
komputer terdiri dari piranti lunak, alias software, berupa program dan piranti
keras, alias hardware, berupa rangkaian elektronik yang semakin lama semakin
kompleks, kecil dan canggih. Maka, orang pun mengidentifikasi alam sebagai
komputer dan hukum-hukum alam sebagai program komputer semesta.
Jika alam itu sebuah
komputer, maka bagian terkecil alam semesta yaitu partikel-partikel fundamental
dapat dianggap sebagi prosesor. Teori kuantum mengatakan sebuah partikel juga
merupakan gelombang materi yang mengikuti persamaan matematis yang disebut
persamaan gelombang Schrodinger. Bagi sejumlah pemikir filosofis kuantum,
fungsi gelombang yang memenuhi persamaan tersebut diidentikkan dengan
modul-modul program bagi prosesor partikel. Sebenarnya, secara teoritis,
bukan hanya partikel yang mempunyai persamaan gelombang. Atom, molekul, batu,
bumi dan benda-benda besar lainnya pun, termasuk makhluk hidup, juga mempunyai
persamaan gelombang. Oleh karena itu tak mengherankan jika sejumlah penganut
agama Zaman Baru mengidentifikasi ruh manusia dengan fungsi gelombang
kuantumnya. Soalnya seperti halnya ruh manusia yang bebas mengendalikan
tubuhnya, begitu juga fungsi gelombang suatu sistem dianggap mengendalikan
perilaku sistem tersebut.
Hal ini tentu sangat
menggelikan buat kaum materialis. Soalnya buat mereka, fungsi gelombang dalam
fisika kuantum hanyalah merupakan peralatan matematis untuk menghitung peluang
keadaan suatu sistem. Jadi sebagai perangkat matematis, fungsi gelombang itu
hanya ada di pikiran manusia. Artinya begini: Konsep fungsi gelombang dan
konsep-konsep abstrak lainnya tak lain dari pola-pola keadaan otak manusia.
Dengan sendirinya, bagi kaum materialis, pikiran manusia tak lain dari
sifat-sifat dari proses dan keadaan yang dimiliki oleh otak manusia sebagai
sistem materi biologis yang sangat kompleks. Jadi bagi kaum materialis, yang
benar-benar ada adalah materi dan pikiran, jiwa dan lain sebagainya yang non-material
tak lain dari karakteristik yang dimiliki oleh sistem-sistem material.
Maksudnya pikiran itu tak lain dari pada pola-pola dalam proses elektrokimiawi
di otak. Sebaliknya, kaum idealis menganggap yang benar-menar ada adalah
pikiran dan keseluruhan ide-ide yang ada di dalamnya, sedangkan sistem-sistem
material seperti partikel elementer tak lain tak bukan adalah konstruksi
pikiran manusia. Dua-duanya menganggap bahwa salah satu, materi atau ide,
benar-benar “Ada” sedangkan yang lain “ada” relatif terhadapnya. Tetapi apa
sebenarnya “Ada” itu? (Bersambung….)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar