Oleh Poppy S. Winanti (International
Relations - Faculty of Social and Political Sciences Universitas Gadjah Mada)
Neoliberalisme. Kata yang
kerap menjadi sumber kontroversi pada beberapa dasawarsa terakhir. Para
pengusungnya percaya bahwa neoliberalisme merupakan satu-satunya jalan menuju
kemakmuran dunia. Di sisi lain, neoliberalisme juga menjadi sasaran kritik dan
dituding sebagai sumber kehancuran dan degradasi berbagai aspek kehidupan. Oleh
karena itu, menarik untuk memahami asal usul, sejarah kelahiran, maupun
perdebatan di seputar keberadaannya.
Memahami Neoliberalisme
Secara sederhana,
neoliberalisme dapat didefinisikan sebagai “… an updated version of
classical political economy that was developed in the writings of free-market
economists…” (Heywood, 2002: p. 49). Definisi yang lebih lengkap dari
neoliberalisme dapat ditemukan pada pendapat Balaam dan Veseth (2005, p. 507)
yang memaknai neoliberalisme sebagai “a viewpoint that favors a return to the economic policies advocated by
classical liberals such as Adam Smith and David Ricardo. Neoliberalism
emphasizes market deregulation, privatization of government enterprises,
minimal government intervention, and open international markets. Unlike
classical liberalism, neoliberalism is primarily an agenda of economic policies
rather than a political economy perspective”.
Dari definisi tersebut, tampak bahwa neoliberalisme merupakan gagasan yang terkait dengan upaya untuk kembali pada kebijakan ekonomi liberal klasik yang diusung oleh Adam Smith dan David Ricardo. Neoliberalisme dengan demikian dicirikan dengan gagasan yang lebih menekankan pada deregulasi pasar, privatisasi badan usaha milik negara, campur tangan pemerintah yang terbatas, serta pasar internasional yang lebih terbuka. Namun, berbeda dengan liberalisme klasik yang diperkenalkan oleh Adam Smith dan David Ricardo, neoliberalisme lebih merupakan kebijakan ekonomi daripada sekedar sebuah perspektif ekonomi politik. Dengan definisi semacam itu, perlu kiranya dikaji kembali apa yang dimaksud dengan ”liberalisme klasik”. Di samping itu, penelusuran atas perkembangan liberalisme perlu dilakukan agar dapat memahami mengapa “upaya untuk kembali” kepada liberalisme klasik muncul.
Perkembangan Pemikiran Lineralisme
Dari definisi tersebut, tampak bahwa neoliberalisme merupakan gagasan yang terkait dengan upaya untuk kembali pada kebijakan ekonomi liberal klasik yang diusung oleh Adam Smith dan David Ricardo. Neoliberalisme dengan demikian dicirikan dengan gagasan yang lebih menekankan pada deregulasi pasar, privatisasi badan usaha milik negara, campur tangan pemerintah yang terbatas, serta pasar internasional yang lebih terbuka. Namun, berbeda dengan liberalisme klasik yang diperkenalkan oleh Adam Smith dan David Ricardo, neoliberalisme lebih merupakan kebijakan ekonomi daripada sekedar sebuah perspektif ekonomi politik. Dengan definisi semacam itu, perlu kiranya dikaji kembali apa yang dimaksud dengan ”liberalisme klasik”. Di samping itu, penelusuran atas perkembangan liberalisme perlu dilakukan agar dapat memahami mengapa “upaya untuk kembali” kepada liberalisme klasik muncul.
Perkembangan Pemikiran Lineralisme
Gagasan neoliberalisme
berakar pada tradisi pemikiran liberal yang menempatkan individualisme,
rasionalitas, kebebasan, dan equality sebagai nilai-nilai yang paling mendasar.
Asumsi-asumsi Dasar Liberalisme
Asumsi-asumsi Dasar Liberalisme
Individualisme: manusia
sebagai individu merupakan hal yang paling mendasar dalam pandangan kaum
liberal. Karena hakekat manusia merupakan makhluk yang penuh damai dan
mempunyai kemauan bekerja sama, kompetitif secara konstruktif, dan rasional.
Equality: setiap individu lahir setara. Namun setiap individu mempunyai kemampuan dan kemauan yang berbeda-beda. Karenanya kaum liberal percaya akan adanya ‘equality of opportunity’ yang memberikan setiap individu kesempatan yang sama untuk mewujudkan potensi mereka masing-masing.
Kebebasan: kebebasan
individu untuk mencapai apa yang terbaik bagi dirinya perlu mendapat jaminan.
Kebebasan individu tersebut dijamin melalui mekanisme pasar [invisible
hand-Adam Smith]
Peran negara minimalis: peran
negara yang kuat dan aktif dapat mengancam kebebasan individu karenanya campur
tangan negara dalam pasar akan merugikan masyarakat. Kaum Liberal memandang
ketegangan laten antara negara dan pasar merupakan konflik antara penindasan
dan kebebasan, kekuasaan dan hak individu, dogma otokratik dan logika rasional.
(Sumber: Heywood, 2002 dan Mas’oed, 1998).
Tradisi liberal bisa ditelusuri dari pemikiran Adam Smith (1723 – 90) ketika ia menerbitkan bukunya yang berjudul The Wealth of Nations pada tahun 1776. Kelahiran gagasan liberalisme Adam Smith tersebut muncul sebagai respon terhadap praktek-praktek merkantilisme di Inggris pada masa itu yang dicirikan dengan kentalnya peran negara. Praktek semacam ini dalam pandangan Adam Smith dianggap hanya menguntungkan segelintir kelompok tertentu dan telah membawa kesengsaraan bagi sebagian besar masyarakat. Tradisi liberal berangkat dari pemahaman bahwa kebebasan individu adalah hal yang paling mendasar dan kekuasaan negara yang berlebihan akan mempunyai potensi merusak tatanan dalam masyarakat. Dalam konteks ini, tradisi pemikiran liberal pada hakekatnya tidak berarti pemikiran yang anti terhadap negara. Tradisi pemikiran liberal sekedar memagari kekuasaan negara yang cenderung mempunyai potensi merusak. Meskipun tidak serta merta dapat dimaknai sebagai gagasan yang anti negara, liberalisme klasik ala Adam Smith ini percaya pada peran negara yang minimalis. Tradisi liberal yang berangkat dari tradisi Adam Smith ini kemudian diberi label 'liberalisme klasik'.
Dalam pandangan liberalisme klasik, negara dianggap—meminjam istilah Tom Paine—sebagai ’necessary evil’ (Heywood, 2002). Negara dianggap sebagai ’necessary’ karena negara dibutuhkan untuk membentuk tatanan, menjaga keamanan, dan menjamin tegaknya aturan hukum. Sementara pada saat yang bersamaan, negara juga dapat muncul sebagai ‘evil’ mengingat negara bisa memaksakan kehendak kolektif yang dapat membatasi kebebasan individu. Karenanya, negara yang dibutuhkan adalah negara yang minimal, sekedar merupakan penjaga malam (nightwatchman state).
Pemahaman atas peran negara minimalis ini kemudian mengalami perkembangan dan memunculkan varian yang berbeda dalam tradisi pemikiran liberal. Kemunculan tokoh-tokoh seperti John Stuart Mill (1806 – 73) dan John Maynard Keynes (1883 – 1946) yang menghendaki peran negara yang lebih aktif menandai perubahan yang cukup mendasar dalam tradisi pemikiran liberal. Meskipun Mill dan Keynes menyepakati pentingnya kebebasan individu yang merupakan inti dari ajaran liberalisme namun keduanya mengambil posisi yang berbeda dengan liberalisme klasik terutama dalam menyikapi prinsip self-regulating market.
Mill melalui Principles of Political Economy with Some of Their Applications to Social Philosophy (1848) telah meletakkan dasar-dasar bagi pengembangan gagasan welfare liberalism. Dalam pandangan Mill, liberalisme yang telah melemahkan wewenang kekuasaan negara dan memperkuat kebebasan individu memang bisa dipandang sebagai sebuah capaian yang berarti. Namun bagi Mill kemajuan sosial perlu dipahami sebagai kemajuan moral dan spiritual dan bukan hanya penumpukan kekayaan (Balaam dan Veseth, 2005). Oleh karena itu, negara perlu melakukan tindakan terbatas dan selektif untuk mengoreksi kegagalan dan kelemahan pasar. Lebih jauh, meskipun negara harus “berlepas tangan” dalam sebagian besar bidang kehidupan namun negara perlu campur tangan dalam bidang pendidikan anak atau memberikan bantuan untuk orang miskin. Peran negara sangat diperlukan mengingat dalam kaca mata Mill, inisiatif individu tidak cukup memadai untuk meningkatkan kesejahteraan sosial.
Sementara itu Keynes melalui The General Theory of Employment, Interest, and Money (1936) menolak asumsi dasar self-regulating market liberalisme klasik yang memisahkan peran negara dalam ekonomi. Lepasnya peran negara dalam urusan ekonomi menurutnya justru menimbulkan instabilitas dan tingginya tingkat pengangguran sebagaimana tercermin pada masa Great Depression tahun 1930an (Heywood, 2002). Keynes meyakini bahwa salah satu prasyarat agar kapitalisme dapat terus berkembang adalah full employment yang hanya akan dapat dicapai jika pemerintah dan bank sentral melakukan intervensi. Keynes karenanya percaya akan peran positif pemerintah dapat bermanfaat mengatasi persoalan yang tidak bisa ditangani oleh pasar seperti inflasi dan pengangguran. Ajaran Keynes yang lebih dikenal sebagai Keynesian Economics ini mendominasi kebijakan ekonomi politik pasca perang dunia kedua di bawah sistem Bretton Woods hingga akhir 1970-an.
Kelahiran Neoliberalisme
Tradisi liberal bisa ditelusuri dari pemikiran Adam Smith (1723 – 90) ketika ia menerbitkan bukunya yang berjudul The Wealth of Nations pada tahun 1776. Kelahiran gagasan liberalisme Adam Smith tersebut muncul sebagai respon terhadap praktek-praktek merkantilisme di Inggris pada masa itu yang dicirikan dengan kentalnya peran negara. Praktek semacam ini dalam pandangan Adam Smith dianggap hanya menguntungkan segelintir kelompok tertentu dan telah membawa kesengsaraan bagi sebagian besar masyarakat. Tradisi liberal berangkat dari pemahaman bahwa kebebasan individu adalah hal yang paling mendasar dan kekuasaan negara yang berlebihan akan mempunyai potensi merusak tatanan dalam masyarakat. Dalam konteks ini, tradisi pemikiran liberal pada hakekatnya tidak berarti pemikiran yang anti terhadap negara. Tradisi pemikiran liberal sekedar memagari kekuasaan negara yang cenderung mempunyai potensi merusak. Meskipun tidak serta merta dapat dimaknai sebagai gagasan yang anti negara, liberalisme klasik ala Adam Smith ini percaya pada peran negara yang minimalis. Tradisi liberal yang berangkat dari tradisi Adam Smith ini kemudian diberi label 'liberalisme klasik'.
Dalam pandangan liberalisme klasik, negara dianggap—meminjam istilah Tom Paine—sebagai ’necessary evil’ (Heywood, 2002). Negara dianggap sebagai ’necessary’ karena negara dibutuhkan untuk membentuk tatanan, menjaga keamanan, dan menjamin tegaknya aturan hukum. Sementara pada saat yang bersamaan, negara juga dapat muncul sebagai ‘evil’ mengingat negara bisa memaksakan kehendak kolektif yang dapat membatasi kebebasan individu. Karenanya, negara yang dibutuhkan adalah negara yang minimal, sekedar merupakan penjaga malam (nightwatchman state).
Pemahaman atas peran negara minimalis ini kemudian mengalami perkembangan dan memunculkan varian yang berbeda dalam tradisi pemikiran liberal. Kemunculan tokoh-tokoh seperti John Stuart Mill (1806 – 73) dan John Maynard Keynes (1883 – 1946) yang menghendaki peran negara yang lebih aktif menandai perubahan yang cukup mendasar dalam tradisi pemikiran liberal. Meskipun Mill dan Keynes menyepakati pentingnya kebebasan individu yang merupakan inti dari ajaran liberalisme namun keduanya mengambil posisi yang berbeda dengan liberalisme klasik terutama dalam menyikapi prinsip self-regulating market.
Mill melalui Principles of Political Economy with Some of Their Applications to Social Philosophy (1848) telah meletakkan dasar-dasar bagi pengembangan gagasan welfare liberalism. Dalam pandangan Mill, liberalisme yang telah melemahkan wewenang kekuasaan negara dan memperkuat kebebasan individu memang bisa dipandang sebagai sebuah capaian yang berarti. Namun bagi Mill kemajuan sosial perlu dipahami sebagai kemajuan moral dan spiritual dan bukan hanya penumpukan kekayaan (Balaam dan Veseth, 2005). Oleh karena itu, negara perlu melakukan tindakan terbatas dan selektif untuk mengoreksi kegagalan dan kelemahan pasar. Lebih jauh, meskipun negara harus “berlepas tangan” dalam sebagian besar bidang kehidupan namun negara perlu campur tangan dalam bidang pendidikan anak atau memberikan bantuan untuk orang miskin. Peran negara sangat diperlukan mengingat dalam kaca mata Mill, inisiatif individu tidak cukup memadai untuk meningkatkan kesejahteraan sosial.
Sementara itu Keynes melalui The General Theory of Employment, Interest, and Money (1936) menolak asumsi dasar self-regulating market liberalisme klasik yang memisahkan peran negara dalam ekonomi. Lepasnya peran negara dalam urusan ekonomi menurutnya justru menimbulkan instabilitas dan tingginya tingkat pengangguran sebagaimana tercermin pada masa Great Depression tahun 1930an (Heywood, 2002). Keynes meyakini bahwa salah satu prasyarat agar kapitalisme dapat terus berkembang adalah full employment yang hanya akan dapat dicapai jika pemerintah dan bank sentral melakukan intervensi. Keynes karenanya percaya akan peran positif pemerintah dapat bermanfaat mengatasi persoalan yang tidak bisa ditangani oleh pasar seperti inflasi dan pengangguran. Ajaran Keynes yang lebih dikenal sebagai Keynesian Economics ini mendominasi kebijakan ekonomi politik pasca perang dunia kedua di bawah sistem Bretton Woods hingga akhir 1970-an.
Kelahiran Neoliberalisme
Stagflasi yang melanda
dunia pada tahun 1970-an meruntuhkan asumsi-asumsi sosialisme demokrasi yang
diusung oleh Keynes. Krisis yang terjadi ditengarai muncul sebagai akibat dari
intervensi negara yang terlalu jauh dalam urusan ekonomi. Intervensi yang
sedianya ditujukan untuk menjamin kesejahteraan sosial justru telah menimbulkan
inefisiensi dan menyebabkan krisis. Dalam kondisi semacam ini, para pemikir
liberal berupaya mengembalikan doktrin liberalisme kepada liberalisme klasik
ala Adam Smith dan David Ricardo yang percaya unregulated market akan
meningkatkan efisiensi dan mendorong pertumbuhan dan menghasilkan kemakmuran
global. Meskipun demikian, kebangkitan pemikiran liberalisme klasik (neo-classical
economy) atau yang kemudian lebih dikenal sebagai neoliberalisme memiliki
sejumlah perbedaan mendasar dengan liberalisme klasik. Liberalisme klasik ala
Adam Smith klasik menentang bentuk-bentuk monopoli baik oleh negara maupun
kelompok bisnis. Namun dalam pandangan liberalisme klasik peran negara tetap
dibutuhkan terutama untuk menciptakan lingkungan yang dapat menjamin hak-hak
individu. Sementara neoliberal berada pada posisi yang lebih ’mencurigai’ peran
negara sehingga dari segi apa pun kekuasaan negara perlu tetap dikontrol.
Kebangkitan kembali liberalisme klasik dapat ditelusuri lewat pemikiran dua pemenang nobel Friedrich von Hayek (1899 – 1992) dan Milton Friedman (1912 - 2006). Upaya pengembalian pemikiran liberalisme klasik ini tidak hanya berhenti pada tataran ide. Gagasan tersebut kemudian tertuang dalam kebijakan-kebijakan ekonomi politik domestik di Inggris di bawah perdana menteri Margaret Thatcher dan pada saat yang hampir bersamaan diterapkan oleh Ronald Reagan di AS. Sehingga kemunculan neoliberalisme kerap disepadankan dengan neokonservatisme mengingat kebangkitannya di Inggris melekat pada Thatcher yang berasal dari partai konservatif. Tidak berhenti sampai disitu, dengan disponsori oleh Inggris dan AS, di tingkat global gagasan neoliberalisme juga menjadi landasan dalam diplomasi ekonomi internasional yang tercermin dari kebijakan-kebijakan yang diambil oleh lembaga-lembaga ekonomi internasional seperti IMF, WTO, dan Bank Dunia.
Gagasan-gagasan neoliberal sebagaimana dipraktekkan di Inggris dan AS serta yang diadopsi dalam sejumlah kebijakan lembaga ekonomi internasional tersebut dikemas dalam resep yang oleh John Williamson (1993) sebagai Washington Consensus seperti berikut ini:
Resep Kebijakan Washington Consensus
Kebangkitan kembali liberalisme klasik dapat ditelusuri lewat pemikiran dua pemenang nobel Friedrich von Hayek (1899 – 1992) dan Milton Friedman (1912 - 2006). Upaya pengembalian pemikiran liberalisme klasik ini tidak hanya berhenti pada tataran ide. Gagasan tersebut kemudian tertuang dalam kebijakan-kebijakan ekonomi politik domestik di Inggris di bawah perdana menteri Margaret Thatcher dan pada saat yang hampir bersamaan diterapkan oleh Ronald Reagan di AS. Sehingga kemunculan neoliberalisme kerap disepadankan dengan neokonservatisme mengingat kebangkitannya di Inggris melekat pada Thatcher yang berasal dari partai konservatif. Tidak berhenti sampai disitu, dengan disponsori oleh Inggris dan AS, di tingkat global gagasan neoliberalisme juga menjadi landasan dalam diplomasi ekonomi internasional yang tercermin dari kebijakan-kebijakan yang diambil oleh lembaga-lembaga ekonomi internasional seperti IMF, WTO, dan Bank Dunia.
Gagasan-gagasan neoliberal sebagaimana dipraktekkan di Inggris dan AS serta yang diadopsi dalam sejumlah kebijakan lembaga ekonomi internasional tersebut dikemas dalam resep yang oleh John Williamson (1993) sebagai Washington Consensus seperti berikut ini:
Resep Kebijakan Washington Consensus
Price Decontrol : Penghapusan kontrol atas harga komoditi, faktor
produksi, dan matauang.
Fiscal Discipline : Pengurangan defisit anggaran pemerintah atau bank
sentral ke tingkat yang
bisa dibiayai tanpa
memakai inflationary financing.
Public Expenditure
Priorities : Pengurangan belanja
pemerintah, dan pengalihan belanja dari bidang-bidang yang secara politis
sensitif, seperti administrasi pemerintahan, pertahanan, subsidi yang tidak
terarah, dan berbagai kegiatan yang boros ke pembiayan infrastruktur, kesehatan
primer masyarakat, dan pendidikan.
Tax Reform : Perluasan basis perpajakan, perbaikan administrasi
perpajakan, mempertajam insentif bagi pembayar pajak, pengurangan penghindaran
dan manipulasi aturan pajak, dan pengenaan pajak pada asset yang ditaruh di
luar negeri.
Financial
Liberalization : Tujuan
jangka-pendeknya adalah untuk menghapus pemberian tingkat bunga bank khusus
bagi peminjam istimewa dan mengenakan tingkat bunga nominal yang lebih tinggi
dari tingkat inflasi. Tujuan jangka-panjangnya adalah penciptaan tingkat bunga
bank berdasar pasar demi memperbaiki efisiensi alokasi kapital.
Exchange Rates : Untuk meningkatkan ekspor dengan cepat,
negara-negara berkembang memerlukan tingkat nilai tukar matauang yang tunggal
dan kompetitif.
Trade Liberalization : Pembatasan perdagangan luar negeri melalui kuota
(pembatasan secara kuantitatif) harus diganti tarif (bea cukai), dan secara
progresif mengurangi tarif sehingga mencapai tingkat yang rendah dan seragam
(kira-kira 10% sampai 20%).
Domestic Savings : Penerapan disiplin fiskal/APBN, pengurangan belanja
pemerintah, reformasi perpajakan, dan liberalisasi finansial sehingga
sumberdaya negara bisa dialihkan sektor-sektor privat dengan produktivitas
tinggi, dimana tingkat tabungannya tinggi. Model pertumbuhan neo-klasik sangat
menekankan pentingnya tabungan dan pembentukan kapital bagi pembangunan ekonomi
secara cepat.
Foreign Direct
Investment : Penghapusan hambatan
terhadap masuknya perusahaan asing. Perusahaan asing harus boleh bersaing
dengan perusahaan nasional secara setara; tidak boleh ada pilih-kasih.
Privatization : Perusahaan negara harus diswastakan.
Deregulation : Penghapusan peraturan yang menghalangi masuknya
perusahaan baru ke dalam suatu bidang bisnis dan yang membatasi persaingan;
kecuali kalau pertimbangan keselamatan atau perlindungan lingkungan hidup
mengharuskan pembatasan itu.
Property Rights : Sistem hukum yang berlaku harus bisa menjamin
perlindungan hak milik atas tanah, kapital, dan bangunan (Sumber: Mas’oed: 2002
p. 5 – 7)
Neoliberalisme Dalam Praktek
Ketika gagasan
neoliberalisme dituangkan dalam bentuk resep kebijakan inilah, ia kemudian
dianggap sebagai satu-satunya jalan menuju kemakmuran. Pada titik ini para
pengusungnya meyakini bahwa tidak ada jalan lain di luar neoliberalisme untuk
mencapai tujuan-tujuan tersebut. There is no alternative (TINA) jargon yang
diperkenalkan oleh Thatcher menandai nilai yang dianut the Iron Lady dari
Inggris tersebut terhadap kemanjuran resep neoliberal (George, 1999). Kegagalan
sosialisme seiring dengan runtuhnya Uni Sovyet pada awal tahun 1990-an seolah
meneguhkan pandangan tersebut. Kevakuman ideologi pasca runtuhnya Uni Sovyet
memberi ruang bagi para pengusung gagasan neoliberalisme untuk mengintensifkan
ide-ide pro pasar bebas mereka. Melalui berbagai lembaga-lembaga ekonomi
internasional gagasan-gagasan neoliberal dipaksakan penerapannya secara global.
Di sektor perdagangan, kelahiran World Trade Organization (WTO) pada tahun 1994 yang menggantikan rejim perdagangan sebelumnya di bawah GATT, secara gamblang meninggalkan prinsip embedded liberalism(1) yang sarat dengan ide Keynesian menuju penerapan neoliberalisme yang dilandasi semangat pro pasar dan pengkerdilan peran negara. Di sektor finansial, rejim finansial internasional di bawah IMF mengkampanyekan ide-ide neoliberal lewat penerapan Structural Adjustment Program (SAP)-nya yang mensyaratkan sejumlah perubahan-perubahan struktural ketika suatu negara membutuhkan pinjaman dari lembaga tersebut. Keberhasilan kampanye kebijakan neoliberal ditandai dengan kecenderungan negara-negara bekermbang yang mengadopsi resep-resep Washington Consensus sebagai landasan kebijakan ekonomi politik mereka. Krisis finansial yang melanda Asia Timur pada pertengahan tahun 1990-an kembali melegitimasi superioritas neoliberalisme. Krisis finansial tersebut seakan menunjukkan keberhasilan pembangunan ekonomi yang dicapai lewat kuatnya peran negara melalui kebijakan developmental state tidak mampu bertahan lama dan justru berakhir dengan krisis.
Namun, benarkah janji-janji neoliberalisme beserta perangkat kebijakannya mampu terwujud? Disinilah kontroversi terhadap neoliberalisme muncul. Sejumlah studi menunjukkan penerapan resep neoliberalisme justru memunculkan degradasi dalam segala aspek kehidupan. Kebijakan neoliberal dianggap tidak hanya menggerogoti kedaulatan negara namun pada saat bersamaan telah memberikan kekuasaan kepada perusahaan multinasional dengan kekuatan modal mereka. Lebih jauh, kebijakan neoliberal juga dituding memperlebar jurang kemiskinan baik di tingkat domestik maupun di tingkat global. Penurunan upah buruh 40 hingga 50% yang diiringi dengan peningkatan biaya hidup yang mencapai 80% pasca penerapan North America Free Trade Area (NAFTA) di Mexico menjadi salah satu bukti kegagalan janji neoliberal (Martinez dan Garcia: (no date)). Dari data yang berhasil dikumpulkan oleh Public Citizen, NGO asal AS yang getol mengkritisi WTO, menunjukkan bahwa sejak WTO diberlakukan jumlah orang miskin yang hidup di bawah 1 dollar AS per hari(2) meningkat tajam. Kondisi ini diperparah dengan semakin tingginya tingkat kesenjangan antara negara-negara kaya dan negara-negara miskin dalam kurun waktu 10 tahun terkahir. Pendapatan rata-rata orang yang tinggal di 10 negara paling kaya di dunia pada tahun 1980 adalah 77 kali lebih besar dibanding mereka yang tinggal di 10 negara termiskin di dunia, dan pada tahun 1999 angka tersebut melonjak menjadi 122 kali lebih besar (Wallach dan Woodall, 2004). Lebih jauh UNDP melaporkan bahwa pada tahun 1999, negara-negara maju dengan populasi 22,9% dari total populasi dunia menikmati 84.2% dari GNP dunia, sementara NSB dengan populasi 77,1% penduduk dunia hanya meraih 15,8% dari GNP dunia. Ketimpangan semacam inilah yang lebih populer disebut sebagai kondisi ”20 – 80 society” (3).
Penutup
Di sektor perdagangan, kelahiran World Trade Organization (WTO) pada tahun 1994 yang menggantikan rejim perdagangan sebelumnya di bawah GATT, secara gamblang meninggalkan prinsip embedded liberalism(1) yang sarat dengan ide Keynesian menuju penerapan neoliberalisme yang dilandasi semangat pro pasar dan pengkerdilan peran negara. Di sektor finansial, rejim finansial internasional di bawah IMF mengkampanyekan ide-ide neoliberal lewat penerapan Structural Adjustment Program (SAP)-nya yang mensyaratkan sejumlah perubahan-perubahan struktural ketika suatu negara membutuhkan pinjaman dari lembaga tersebut. Keberhasilan kampanye kebijakan neoliberal ditandai dengan kecenderungan negara-negara bekermbang yang mengadopsi resep-resep Washington Consensus sebagai landasan kebijakan ekonomi politik mereka. Krisis finansial yang melanda Asia Timur pada pertengahan tahun 1990-an kembali melegitimasi superioritas neoliberalisme. Krisis finansial tersebut seakan menunjukkan keberhasilan pembangunan ekonomi yang dicapai lewat kuatnya peran negara melalui kebijakan developmental state tidak mampu bertahan lama dan justru berakhir dengan krisis.
Namun, benarkah janji-janji neoliberalisme beserta perangkat kebijakannya mampu terwujud? Disinilah kontroversi terhadap neoliberalisme muncul. Sejumlah studi menunjukkan penerapan resep neoliberalisme justru memunculkan degradasi dalam segala aspek kehidupan. Kebijakan neoliberal dianggap tidak hanya menggerogoti kedaulatan negara namun pada saat bersamaan telah memberikan kekuasaan kepada perusahaan multinasional dengan kekuatan modal mereka. Lebih jauh, kebijakan neoliberal juga dituding memperlebar jurang kemiskinan baik di tingkat domestik maupun di tingkat global. Penurunan upah buruh 40 hingga 50% yang diiringi dengan peningkatan biaya hidup yang mencapai 80% pasca penerapan North America Free Trade Area (NAFTA) di Mexico menjadi salah satu bukti kegagalan janji neoliberal (Martinez dan Garcia: (no date)). Dari data yang berhasil dikumpulkan oleh Public Citizen, NGO asal AS yang getol mengkritisi WTO, menunjukkan bahwa sejak WTO diberlakukan jumlah orang miskin yang hidup di bawah 1 dollar AS per hari(2) meningkat tajam. Kondisi ini diperparah dengan semakin tingginya tingkat kesenjangan antara negara-negara kaya dan negara-negara miskin dalam kurun waktu 10 tahun terkahir. Pendapatan rata-rata orang yang tinggal di 10 negara paling kaya di dunia pada tahun 1980 adalah 77 kali lebih besar dibanding mereka yang tinggal di 10 negara termiskin di dunia, dan pada tahun 1999 angka tersebut melonjak menjadi 122 kali lebih besar (Wallach dan Woodall, 2004). Lebih jauh UNDP melaporkan bahwa pada tahun 1999, negara-negara maju dengan populasi 22,9% dari total populasi dunia menikmati 84.2% dari GNP dunia, sementara NSB dengan populasi 77,1% penduduk dunia hanya meraih 15,8% dari GNP dunia. Ketimpangan semacam inilah yang lebih populer disebut sebagai kondisi ”20 – 80 society” (3).
Penutup
Janji-janji yang tidak
juga terwujud telah memunculkan kritik dan mendorong munculnya gerakan
resistensi global terhadap praktik-praktik neoliberal. Terlebih, pemaksaan
penerapannya melalui lembaga-lembaga ekonomi internasional mendorong munculnya
perlawanan atas nama kedaulatan negara. Kemunculan tokoh-tokoh politik seperti
Evo Morales dari Bolivia, Hugo Chavez dari Venezuela yang menerapkan kebijakan
ekonomi politik yang keluar dari pakem rejim neoliberal menambah daftar gerakan
anti neoliberal. Fenomena gerakan anti neoliberal di Amerika Latin tersebut
menunjukkan keberanian dan keteguhan para pemimpin politiknya yang berbeda
dengan kebanyakan pemimpin politik lain di berbagai belahan bumi yang cenderung
sekedar mengekor dan menghamba demi bantuan asing. Keberhasilan dari keberanian
yang ditunjukkan para pemimpin politik di negara-negara Amerika Latin tersebut
memang masih perlu pembuktian. Adakah ini dapat mendorong gerakan yang lebih
mengglobal atau sekedar gerakan khas Amerika Latin yang memang memiliki sejarah
resistensi yang cukup panjang, hanya waktu yang akan membuktikan. Namun
setidaknya apa yang terjadi di Amerika Latin belakangan ini seolah menyentakkan
dunia bahwa sesungguhnya ada jalan lain di luar resep neoliberalisme yang bisa
diambil. Sehingga tidak berlebihan kiranya jika tulisan ini akan ditutup dengan
mengutip apa yang disampaikan oleh Susan George (1999) bahwa “neo-liberalism
is not the natural human condition, it is not supernatural, it can be
challenged and replaced because its own failures will require this”.
Endnotes:
Endnotes:
(1) Embedded liberalism
merupakan istilah yang diperkenalkan oleh Ruggie (1982) yang merujuk pada
bentuk kompromi antara liberalisme dan kebijakan intervensionis untuk menjamin
kesejahteraan domestik
(2) 1 Dollar AS per hari merupakan batasan yang ditetapkan oleh Bank Dunia untuk mengukur batas kemiskinan yang ekstrim.
(3) Diskusi lebih jauh tentang dampak pasar bebas lihat Poppy S. Winanti ”Fair Trade dan Peluang bagi Industri Kecil dan Menengah Indonesia untuk Menembus Pasar Global”. Laporan penelitian, jurusan Ilmu Hubungan Internasional Fisipol UGM, 2006
(2) 1 Dollar AS per hari merupakan batasan yang ditetapkan oleh Bank Dunia untuk mengukur batas kemiskinan yang ekstrim.
(3) Diskusi lebih jauh tentang dampak pasar bebas lihat Poppy S. Winanti ”Fair Trade dan Peluang bagi Industri Kecil dan Menengah Indonesia untuk Menembus Pasar Global”. Laporan penelitian, jurusan Ilmu Hubungan Internasional Fisipol UGM, 2006
Daftar Pustaka
Axford, Barrie, et.al.
(1997). Politics an Introduction. London: Routledge.
Balaam, David N. dan Michael Veseth. (2005). Introduction to International Political Economy 3rd edtion. New Jersey: Pearson Education Inc.
George, Susan. (1999). “A Short History of Neoliberalism” dalam http://www.globalpolicy.org/globaliz/econ/histneol.htm diakses tanggal 11 April 2007.
Heywood, Andrew. (2002). Politics 2nd edition. New York: Palgrave.
Kegley, Charles W and Eugene R. Wittkopf. (2006). World Politics Trends and Transformation 10th edition. Belmont: Thomson and Wadsworth.
Martinez, Elizabeth dan Arnoldo Garcia. (no date), “What is Neoliberalism? A Brief Definition for Activists” dalam http://www.corpwatch.org/article.php?id=376&printsafe=1 diakses tanggal 11 April 2007.
Mas’oed, Mohtar. (1998). “Liberalisme dalam Ekonomi Politik Internasional”. Bahan Kuliah Ekonomi Politik Internasional, Jurusan Ilmu Hubungan Internasional FISIPOL UGM. Yogyakarta.
Mas’oed, Mohtar. (2002). “Tantangan Internasional dan Keterbatasan Nasional: Analisis Ekonomi-Politik tentang Globalisasi Neo-liberal”. Pidato Pengukuhan Guru Besar UGM. Yogyakarta.
Ravenhill, John (ed). (2005). Global Political Economy. Oxford: Oxford University Press.
Wallach, Lori dan Patrick Woodall. (2004). Whose Trade Organization. New York: The New Press.
Winanti, Poppy S. (2006). ”Fair Trade dan Peluang bagi Industri Kecil dan Menengah Indonesia untuk Menembus Pasar Global”. Laporan penelitian. Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Fisipol UGM.
Balaam, David N. dan Michael Veseth. (2005). Introduction to International Political Economy 3rd edtion. New Jersey: Pearson Education Inc.
George, Susan. (1999). “A Short History of Neoliberalism” dalam http://www.globalpolicy.org/globaliz/econ/histneol.htm diakses tanggal 11 April 2007.
Heywood, Andrew. (2002). Politics 2nd edition. New York: Palgrave.
Kegley, Charles W and Eugene R. Wittkopf. (2006). World Politics Trends and Transformation 10th edition. Belmont: Thomson and Wadsworth.
Martinez, Elizabeth dan Arnoldo Garcia. (no date), “What is Neoliberalism? A Brief Definition for Activists” dalam http://www.corpwatch.org/article.php?id=376&printsafe=1 diakses tanggal 11 April 2007.
Mas’oed, Mohtar. (1998). “Liberalisme dalam Ekonomi Politik Internasional”. Bahan Kuliah Ekonomi Politik Internasional, Jurusan Ilmu Hubungan Internasional FISIPOL UGM. Yogyakarta.
Mas’oed, Mohtar. (2002). “Tantangan Internasional dan Keterbatasan Nasional: Analisis Ekonomi-Politik tentang Globalisasi Neo-liberal”. Pidato Pengukuhan Guru Besar UGM. Yogyakarta.
Ravenhill, John (ed). (2005). Global Political Economy. Oxford: Oxford University Press.
Wallach, Lori dan Patrick Woodall. (2004). Whose Trade Organization. New York: The New Press.
Winanti, Poppy S. (2006). ”Fair Trade dan Peluang bagi Industri Kecil dan Menengah Indonesia untuk Menembus Pasar Global”. Laporan penelitian. Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Fisipol UGM.
(Disampaikan pada Latihan
Kader II [Intermediate Training] Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Bulaksumur
Sleman, 17 April 2007)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar