Jumat, 27 Februari 2015

Abu Dzar Sang Sufi Revolusioner



Oleh Ali Syari’ati


Sejak saat Muhammad Saw meninggalkan Makkah menuju Madinah, setelah tiga belas tahun kepedihan besar dan perjuangan yang panjang, beliau tahu bahwa masa penantian dan persembunyian Islam telah berakhir. Dengan pertolongan para sahabatnya yang setia dan berani, beliau harus membangun fondasi suatu bangunan organisasi Islam serta mendirikan basis pemerintahan politiknya pada jalan yang dikehendaki Allah.

Pada masa ini, di timur semenanjung itu, Raja Persia mempunyai suatu istana yang gemerlapan dan mahligai yang mewah. Di tempat itu ribuan budak wanita dan ribuan pelayan telah ditunjuk untuk melaksanakan tugas upacara perayaan. Hasil kerja rakyat yang sengsara membanting tulang dikerahkan untuk membiayai sistem itu.

Di utara Afrika pun, Heraklitus sedang mengintip dengan rezimnya yang menakutkan serta empirium yang megah. Dapatlah dikatakan bahwa yang tampak dirinya pada kedua negara yang luas itu adalah istana-istana yang menjulang ke angkasa, yang eksklusif bagi para pemerintah itu; kesenian, kesusasteraan, peperangan, pengumpulan pajak, selera dan penemuan, semuanya dilakukan supaya upacara-upacara kerajaan dan imperium dapat berlangsung cemerlang dan penuh dengan gemerlap.

Tetapi, Muhammad Saw, pada saat memasuki Madinah, langsung membangun sebuah masjid dan rumahnya yang sederhana di samping masjid itu. Pintu rumah itu menghadap ke dalam masjid. Sampai pada akhir hayatnya ketika pemerintahan Islam telah tegak dengan kukuh di seluruh Arabia, beliau tidak pernah mengubah gaya hidupnya. Sebagai pemimpin mutlak dalam negara pun, beliau makan sederhana. Beliau sering duduk bersama fakir miskin di atas tanah, bergaul dengan mereka, sebagaimana seorang budak yang terhina. Beliau biasa menunggangi keledai tanpa pelana, dan sangat sering membopong orang lain di atas punggungnya.

Metode pemimpin seperti ini menunjukkan perbedaan antara pemerintahannya dengan pemerintahan kerajaan Persia dan Empirium Roma. Rakyat dapat melihat dengan mata kepala mereka sendiri bahwa suatu pemerintahan dan sistem baru telah lahir di antara kedua dasar aristokratis. Tidak ada perbedaan antara sistem baru ini memandang yang memerintah dan yang diperintah, perwira dan prajurit, majikan dan budak; semuanya berdiri dalam satu barisan pada persada Tuhan dan keadilan.

Pendiri pemerintahan ini meninggal dunia, dan dengan melanggar hak-hak dan kedudukan politik Ali (yang mana imamah Ali dan hak kekhalifahannya berdasarkan wahyu al Qur’an yang turun saat Haji Wada’), baru pertama tembok kekhalifahan diletakkan dengan bengkok. Abu Bakar kemudian mengangkat Umar sebagai penggantinya, dan pukulan kedua pun menimpa pemerintahan Islam. Walaupun Umar dan Abu Bakar sendiri adalah penyebab dari penyimpangan ini, namun organisasi politik Islam ditegakkan pada dasar-dasar yang telah dibangun Nabi sendiri: kesederhanaan, persamaan, distribusi kekayaan yang adil, dan pencegahan sentralisasi.

Umar pun pergi dan diganti oleh Utsman; orang tua yang mengambil alih kendali pemerintahan. Ketidakstabilan yang telah terjadi pada dasar pemerintahan Islam, telah menjadi demikian besarnya, sehingga bangunan Muhammad Saw serta merta diruntuhkan. Dalam masa pemerintahan Utsman, kekhalifahan itu berubah menjadi kerajaan, rumah-rumah lempung para pemimpin Islam berubah menjadi istana-istana, kesederhanaan berubah menjadi upacara megah.

Abu Dzar, orang yang keempat atau kelima masuk Islam dan yang pedangnya paling efektif dalam kemajuan gerakan Islam, melihat penyimpangan ini. Ali, cermin ketakwaan dan kebenaran, terkucil. Musuh-musuh Islam telah mendapatkan jalannya memasuki organisasi kekhalifahan, dan, bagaikan anai-anai, menggerogoti Islam. Para pencari kebenaran yang telah terbebas, seorang demi seorang, diusir keluar dan dibungkam.

Ketika Abu Bakar menyisihkan Ali dari gelanggang politik dan mengambil sendiri kedudukan khalifah, Abu Dzar menjadi cemas. Masa depan Islam menjadi gelap dalam pikirannya, dan tampak menakutkan; namun ia masih melihat, betapapun juga, kafilah Islam masih bergerak maju pada jalan utamanya, dan sekalipun suatu hak yang besar telah diabaikan, sistem Islam tidak cerai-berai. Walaupun ia menjadi berang dan mendidih dengan kemarahan, ia mematrikan materai pembungkam pada bibimya. Ketika pemerintahan Utsman mendominasi Islam, rakyat jelata, kaum pekerja dan orang-orang yang tidak berdaya, tertindas di bawah langkah-langkah para penyerobot, para pedagang budak, orang-orang kaya dan para aristokrat yang masuk keluar istana Utsman dan Mu’awiyah. Perbedaan-perbedaan golongan dan konsentrasi kekayaan, dihidupkan kembali; Islam terancam bahaya besar, berubah dari sikap Nabi dan kesederhanaan serta kecermatan Abu Bakar dan Umar, yang hidup sebagai rakyat kebanyakan, bahkan miskin dan papa.

Ribuan dinar diboroskan untuk membangun sebuah Istana Hijau, seorang gubemur Islam (Mu’awiyah) dan suatu rezim ditegakkan sebagai tahta kerajaan. Abu Bakar, untuk mendapatkan nafkahnya, memerah susu kambing seorang wanita Yahudi; namun, sekarang, seuntai kalung istri Utsman, khalifah Nabi bernilai sepertiga dari jumlah pajak Afrika! Umar, hanya karena seekor kuda, membawa seorang pemuda yang menyalahgunakan jabatan ayahnya ―seorang komandannya yang terkemuka― ke pengadilan, karena mereka hendak mengambil seekor kuda secara curang, sedang Utsman mengangkat Marwan bin Hakam ―yakni orang yang telah diasingkan oleh Nabi― menjadi penasihatnya dan memberikan kepadanya Khaibar serta pajak-pajak (kharaj) dari Afrika Utara, sebagai pemberian yang tidak boleh diganggu gugat.

Abu Dzar menyaksikan seluruh tontonan yang memalukan ini. Ketika ia tidak sanggup lagi menanggungnya, ia bicara, bangkit, suatu kebangkitan yang jantan dan mengagumkan; suatu kebangkitan yang menyebabkan pemberontakan di seluruh negeri-negeri Islam melawan Utsman; suatu kebangkitan, yang gelombang semangatnya dapat dilihat bahkan sampai saat ini di gelanggang masyarakat-masyarakat manusia.

Abu Dzar berusaha mengembangkan kesatuan ekonomi dan politik Islam, sementara rezim Utsman sedang menghidupkan aristokrasi. Abu Dzar mempercayai Islam sebagai tempat perlindungan orang-orang yang tidak berdaya, orang-orang yang tertindas dan rakyat jelata, sedangkan Utsman hendak menjadikannya alat kapitalisme, benteng untuk memelihara kepentingan-kepentingan para penyerobot, orang-orang kaya dan kaum aristokrat.

Perjuangan antara Abu Dzar dan Utsman pun dimulai, dan Abu Dzar pada akhirnya kehilangan hidupnya di jalan ini. Abu Dzar memekik, “Modal, kekayaan, emas dan perak yang telah kau timbun harus dibagi-bagikan secara adil kepada seluruh kaum Muslimin. Setiap orang harus mendapatkan bagiannya dalam keberuntungan orang lain, dalam sistem ekonomi dan etika Islam, dalam segala rahmat kehidupan.” Tetapi Utsman melihat Islam dalam upacara-upacara, pertunjukkan lahiriah dan kepura-puraan pada kesalehan dan kesucian. Ia tidak percaya bahwa agama harus ‘turut campur’ dalam urusan kemiskinan golongan mayoritas dan kemewahan kalangan minoritas. Abu Dzar, yang telah memulai perjuangan untuk mengembangkan keadilan Islami, tidak dapat ditenangkan dan tidak pula hendak menenangkan musuh.

Setiap kali saya memikirkan kehidupan Abu Dzar dan melihat pengabdiannya kepada Tuhan, saya teringat kepada Pascal. Pascal mengatakan, “Hati mempunyai penalaran yang tidak dapat dicapai pikiran. Hati menyaksikan adanya Tuhan, bukan akal; iman datang melaluinya.” Abu Dzar mengatakan, “Dalam eksistensi yang tidak bertepian ini, saya telah mendapatkan tanda-tanda yang memandu saya menuju Tuhan. Tidak ada harapan bahwa pikiran akan mencapai Hakikat-Nya melalui diskusi dan analisa, karena Dia lebih besar dari semua ini, dan tidak ada kemungkinan untuk melampaui-Nya.”

Abu Dzar, sebagaimana Pascal, mempercayai Tuhan melalui hatinya; tiga tahun sebelum ia bertemu dengan Nabi, ia telah menyembah Allah.

Ketika ia sedang berbicara tentang kapitalisme dan penimbunan kekayaan, ketika ia sedang gigih membela orang-orang yang melarat, ketika ia sedang berpaling menghadapi para aristokrat dan para penghuni istana Damaskus dan Madinah, ia mengingatkan kita kepada Proudhon,[1] tetapi bagaimanapun, Abu Dzar tidak sama dengan Pascal dan Proudhon. Abu Dzar mengenal Tuhan; mulai hari itu ia tidak pernah surut pada Jalan-Nya; sejenak pun ia tidak melemah dalam pemikiran dan tinclakannya. Proudhon tidak mempunyai kemurnian, pengabdian dan peribadatan seperti Abu Dzar, tidak pula Pascal mempunyai kegiatan dan gairah sepertinya. Abu Dzar telah menjadi insan kamil, manusia sempurna, dalam akidah Islam. Ucapan- ucapannya cukup menunjukkan kebesarannya.

Bagi banyak orang yang mempelajari sejarah Islam, mungkin timbul pertanyaan ini: apakah hasil yang mulia dari gerakan ini, selain beberapa gerakan kecil tentara, kemenangan, dan terciptanya suatu empirium besar yang terserak-serak setelah beberapa abad? Apakah perbedaan antara gerakan Islam dan gerakan-gerakan politik dan militer lainnya dalam sejarah, yang mencapai kemenangan-kemenangan yang serupa dan bahkan kejayaan yang lebih besar, terutama apabila kita melihat bahwa gerakan Islam itu, dari sejak tahap pertamanya, menghadapi perbedaan-perbedaan politik, dibikin menyimpang dari garis utamanya dan bahkan para pemimpin Islam yang sesungguhnya juga menyadari hal ini?

Lalu, apakah yang telah dilakukan Islam? Apakah hasil yang telah dicapai dengan segala pengorbanan dan perjuangan Nabi dan para pengikutnya yang saleh beribadat dan pemberani? Apabila Islam mengalami masa gemilangnya, kejayaan-kejayaan ini dicapai melalui sultan-sultan Bani Umayyah dan Bani Abbas serta orang-orang seperti mereka yang tidak mempunyai hubungan riil dan langsung dengan kebenaran-kebenaran Islam.

Penilaian seperti ini, pada sisi ini, mengandung kebenaran; kita tidak boleh menerima bahwa ekspansionisme ini, kemenangan-kemenangan militer dan kekuatan empirium Islam, sebagai tujuan Islam; tidak boleh pula kita mempercayainya sebagai yang termasuk hasil-hasil besar dari gerakan ini. Apabila kita melihat Islam dengan kacamata agama, problema ini bukan saja akan terpecahkan, tetapi kita bahkan akan mengagumi pula hasil-hasil yang agung, kemajuan dan kejayaan-kejayaan Islam.

Agama adalah satu-satunya faktor yang mempunyai suatu kewajiban ke arah peningkatan universal dari penciptaan yang mengantar umat manusia kepada kemajuan dan ketinggian. Agama adalah ibarat ‘sebab’ yang membuat benda mati menjadi tumbuhan, tumbuhan menjadi hewan, hewan menjadi manusia, dan mendapatkan kesempurnaan. Agama juga adalah penyebab yang merupakan kelanjutan riwayat penciptaan yang mencengangkan, dan membawa manusia ke tujuan terakhir yang harus dicapainya; memperkenankan roh manusia membumbung ke puncak-puncak yang tertinggi dari keluhuran makrifat dan kemanusiaan, bahkan mengangkatnya melewati gurun dan menempatkannya mengatasi waktu dan ruang.

Dengan demikian maka orang dapat mengatakan bahwa agama adalah perangsang, stimulan dan pendorong manusia untuk bergerak ke atas tangga transformasi. Dengan kata lain, agama adalah suatu pabrik di mana makhluk manusia yang sesungguhnya dibangun, dan tidak patut kita mengharapkan dari agama sesuatu selain ini.

Sekarang, harus dilihat, apakah Islam telah mampu atau tidak, mencapai sukses pada jalan ini dan memberikan contoh-contoh dan model-model hasil produksinya ke pasaran kemanusiaan.
Untuk mempelajari masalah yang membingungkan ini, kita harus mencari, di sela-sela sejarah, beberapa orang dari kaum pria dan wanita yang tampil dari kalangan massa rakyat yang tidak dikenal, para budak yang tertindas dan yang kepayahan. Yakni, kita harus mencari di antara nama-nama dari kalangan rakyat itu sendiri, yang sejarah terlalu malu untuk mencatatnya.

Sejarah paling sering berlutut di hadapan istana-istana sultan yang megah, di medan-medan pertempuran, dan di ambang pintu dewa-dewa emas dan kekerasan. Tetapi, sekali ini, kita melihat bahwa sejarah pemuja aristokrasi ini sendiri sekarang pergi ke kemah-kemah tua, ke rumah-rumah lempung yang reot. Ke kediaman budak-budak Afrika, kepada orang yang tidak bernama, kepada orang-orang yang berkaki telanjang di gurun Arab, kepada orang yang tidak penting, seperti Abu Dzar, pria dari suku Ghifar, Salman dari Iran yang tunawisma dan Bilal, seorang budak yang murah. Sejarah, satu demi satu, mencatat kehidupan mereka dengan rakus dan penuh gairah. Dengan penghormatan-penghormatan tertinggi, sejarah menyuguhkan mereka kepada generasi-generasi umat manusia di masa depan. Dan haruslah dipelajari mengapa dan sejak kapan sejarah mencari Fir’aun, si pencari penghuni istana kerajaan ini, menjadi begitu merendah.

Jadi, untuk mendapatkan hasil-hasil yang telah dicapai gerakan Islam, kita tidak harus melihat kemenangan-kemenangan di Asia, di Afrika dan negeri-negeri di Eropa selatan. Bahkan, kita harus memperhatikan kemajuan yang dicapai gerakan ini dalam kedalaman pemikiran, otak, hati dan jiwa dari sekelompok para pengikutnya yang terbatas. Kejayaan-kejayaan yang dicapai Islam dalam perkisaran dan perputaran rohani manusia-manusia ini tampak lebih cemerlang, lebih luas dan lebih menakjubkan bagi orang-orang yang lebih memberikan penilaian kepada kebenaran dan perikemanusiaan, ketimbang pada kekuasan dan dominasi militer yang lahiriah.

Kejayaan-kejayaan Islam dalam sejarah negara-negara seperti Romawi dan Persia, dan pada nasib para ekspansionis seperti Jenghis Khan, Dara, Napoleon dan orang-orang lain yang seperti itu, orang ‘kenamaan yang tidak berotak’, tidaklah merupakan kekecualian, tetapi membangun seorang penghuni gurun pasir yang tak bernama dan setengah liar seperti Jundab ibn Junadah menjadi seorang Abu Dzar al-Ghifari adalah unik dalam setiap ideologi atau gerakan. Apabila basil Islam tidak lebih dari mendidik keempat atau lima orang manusia seperti Abu Dzar, Salman, Amar bin Yasir dan Bilal, telah cukuplah itu bagi pikiran manusia untuk mengagumi kejayaan- kejayaan Islam.

Tetapi sayang, hak-hak orang besar yang dipandang sebagai suatu kehormatan bagi sejarah Islam, telah disia-siakan: karena para pengikut agama itu sendiri, yang dihidangi kekuasaan akal dan pedang dari manusia-manusia duniawi ini, tidak mengenal mereka, tidak memahami tingkat-tingkat tertinggi yang telah dicapai para teladan kemanusiaan dalam rangkaian transformasi, dan bahkan tidak mengetahui biografi singkat dari orang-orang ini.

Dengan sikap tak acuh dan lalai kita menghancurkan hak dari para pionir yang sesungguhnya dan tokoh-tokoh takwa dan keberanian ini, kita telah memberikan pukulan-pukulan; dan seluruh kaum Muslimin turut mengambil bagian dalam kesalahan ini.

Lebih mencengangkan lagi ialah bahwa, pada umumnya, orang- orang yang dipandang sebagai para pemimpin revolusi Islam yang terus mendukung kebenaran dan bahkan mengorbankan dirinya untuk itu, selama masa pemerintahan Abu Bakar dan penggantinya, Ali (pemimpin para Syi’ah) malah direndahkan, dan haknya diabaikan. Dapatlah dikatakan dengan tegas bahwa karena perjuangan mereka dengan rezim itu, dan karena usaha-usaha mereka, Islam yang masih murni diserahkan ke dalam tangan sejarah. Mereka membantu kemanusiaan untuk mencapai sumber kebenaran dan kebijaksanaan, di tengah percokolan orang ambisius yang berpura-pura, dan karena perjuangan serta perlawanan mereka yang berani melawan perubahan-perubahan sistem pemerintahan Islam.

Abu Dzar adalah salah satu dari beberapa orang ini, salah satu dan para pemimpin dan para penyelamat yang telah dibebaskan, yang dihasratkan manusia masa kini. Sejak saat mesin-mesin menciptakan krisis yang parah dalam dunia ekonomi, membuat ekonomi menjadi masalah kehidupan yang paling peka dan menjadi dasar dari segala sesuatu, pandangan-pandangannya telah mendapatkan kedudukan yang lebih penting, dan sekarang, sekali lagi, mereka menciptakan kembali pemandangan-pemandangan di Damaskus dan Madinah itu.

Orang yang mengumpulkan para jelata dan yang berkekurangan di sekelilingnya, merangsang mereka melawan para penyerobot, pemuja uang, para pengumpul emas dan para aristokrat, sekarang telah menyebabkan kaum Muslimin sedunia mendengarkan kata-katanya, pandangan-pandangannya, sisinya yang berapi-api, yang menghangatkan hati. Seakan-akan mereka melihat dia, pada sejarah yang jauh, dengan mata mereka sendiri; ia yang mengumpulkan orang-orang yang tertindas dan sengsara, di masjid, dengan sesungguhnya merangsang mereka untuk menentang para penghuni Istana Hijau dan pemerintah Utsman, memekikkan, “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah...” (Q.S. 9:34)

“Hai Mu’awiyah! Apabila engkau membangun istana ini dengan uangmu sendiri, itu mubazir; dan apabila dengan uang rakyat, itu pengkhianatan.”

“Hai Utsman! Anda telah membuat orang miskin menjadi miskin, dan orang kaya menjadi kaya.” [2]

Catatan:

1. Proudhon seorang sosialis yang meletakkan dasar-dasar sosialisme, tetapi kemudian disingkirkan oleh Marx.
2. “Pengantar” ini ditulis Ali Syari’ati Mazinani pada tahun 1955, sedang bab-bab selanjutnya, tahun 1972.

Sumber:
·  ABU DZAR
·  Pengarang : Dr. Ali Syari’ati

·  Penerbit : Muthahhari Paperbacks
·  Tahun Penerbitan : April 2001 M/Muharram 1422 H.




Sabtu, 21 Februari 2015

Empat Kitab Hadis Utama Mazhab Ahlulbait




Oleh I.K.A Howard (Diterjemahkan oleh Arif Budiarso dari “al-Kafi by Al-Kulaini”, “Man la Yahduruh al-Faqih by Al-Saduq” dan “Tahdhib al-Ahkam and al-Istibsar by al-Tusi” dalam al-Serat, Vol. 2, No. 2, 1976)

TRADISI penulisan hadis sebenarnya telah berkembang sejak zaman Nabi Muhammad saw. Orang yang pertama yang melakukannya adalah Nabi Muhammad sendiri, yaitu melalui Ali bin Abi Thalib as. Sejarah mencatat bahwa Nabi saw memiliki sebuah shahifah, lembaran-lembaran kertas, yang selalu digantungkan di bahu pedangnya. Kemudian Rasulullah saw. mendiktekan hadis-hadisnya kepada ‘Ali untuk disalin ke dalam shahifahnya itu. Tatkala Rasulullah saw. meninggal dunia, Imam ‘Ali memeliharanya dengan baik. Shahifah Rasulullah itu kemudian lebih dikenal dengan nama “shahifah Ali”.

Selain shahifah, yang umumnya memuat tentang hukum diyat dan sedikit persoalan lainnya, Rasulullah saw. juga mendiktekan kepada ‘Ali hadis-hadis lain yang disalinnya ke dalam lembaran-lembaran yang jauh lebih besar, yang kemudian dikenal dengan nama al-Jami’ah. Imam Ja’far al-Shadiq menyebutkan: Al-Jami’ah adalah lembaran yang panjangnya sekitar 70 hasta, yang mencakup semua persoalan haram dan halal, ditulis oleh Imam ‘Ali dan didiktekan langsung oleh Rasulullah saw. kepada Imam ‘Ali.

Pada masa kegaiban Imam Mahdi as, para pengikut Ahlulbait berusaha membukukan kembali hadis-hadis yang tercecer itu. Mereka memulai dari kitab-kitab yang masih tersisa; melalui periwayatan langsung dari orang ke orang hingga sampai ke Rasulullah saw.; atau ke salah satu itu antara Imam Dua Belas. Hasilnya antara lain adalah empat kitab hadis utama, yang dikenal dengan al-Kutub al-Arba’ah, yakni: al-Kafi, Man la Yahduruh al-Faqih, Tahzib al-Ahkam dan al-Istibshar.  

Al-Kutub al-Arba’ah disusun oleh ahli-ahli hadis yang istiqamah dalam agama. Al-Kafi disusun oleh Syaikh al-Kulaini, Man la Yahduruh al-Faqih oleh Syaikh al-Shaduq, dan Tahzib al-Ahkam dan al-Istibshar oleh Syaikh al-Thusi.

Al-Kafi

Kitab al-Kafi ditulis oleh Tsiqat al-Islam, Abu Ja’far Muhammad bin Ya’qub bin Ishaq al-Kulaini al-Razi, meninggal pada 328/329H (939/ 940 M). Riwayat hidupnya sangat sedikit diketahui. Ada perbedaan pendapat mengenai dirinya, seperti apakah nama yang dinisbahkan kepadanya adalah al-Kulaini atau al-Kulini. Namun disepakati bahwa Kulain atau Kulin merujuk pada sebuah dusun di Iran.[1]

Beberapa karya al-Kulaini dipercaya ditulis dalam sufara’ Imam Mahdi. Pada masa ini beberapa orang bertindak mewakili Imam se!ama masa gaib kecil, al-ghaibah al-sughrah. Di antaranya adalah al-Kafi, sebuah kitab al-rijal, sebuah buku mengenai penilaian para perawi hadis, al-Radd ‘ala al-Qaramatah (Penyangkalan terhadap Karmatians), Rasa’il al-a’Immatah (Surat-surat para Imam) dan bunga rampai puisi mengenai para Imam. Di an tara kitab-kitab itu hanya al-Kafi yang nampaknya masih tetap lestari.[2]

Al-Kafi merupakan kumpulan hadis yang diajarkan Nabi saw serta para Imam dan diteruskan kepada kaum Muslim oleh murid-murid para Imam. Kata al-Kafi berarti “Yang Mencukupi”, sebuah buku yang dimaksudkan untuk menjadi koleksi lengkap hadis Syi’ah Imamiah. Hal ini dijelaskan oleh al-Kulaini dalam kata pengantar karyanya tersebut:

...Inilah sebuah buku yang akan mencukupi kebutuhan keagamaan Anda (kafin), yang mencakup semua aspek pengetahuan (‘ilm) agama, yang sesuai bagi para pelajar, dan guru dapat merujuk. Dengan demikian buku ini dapat digunakan siapapun yang menginginkan ilmu agama dan hukum praktis (‘amal) sesuai dengan hadis yang kuat (athar) dari yang sebenarnya (para Imam) ...

Untuk menyelesaikan kitab al-Kafi, al-Kulaini memerlukan waktu dua puluh tahun. Al-Kafi memang sebuah karya yang amat lengkap dan luas, yang dibagi menjadi tiga bagian: al-ushul, al-furu’ dan al-raudhah. Pada bagian ushul berisi hadis-hadis mengenai dasar-dasar agama dan prinsip-prinsip di mana hukum agama berpijak. Bagian furu’ membahas hadis yang memperinci detail hukum agama. Sedangkan rawdhah adalah kumpulan hadis yang menguraikan berbagai segi minat keagamaan dan termasuk beberapa surat dan khutbah para Imam.

Ciri utama karya ini adalah hadis-hadis tersebut disajikan secara sistematis dalam bab-bab yang sesuai dengan pokok persoalan. Sistem ini mulai digunakan ulama-ulama Islam pada abad kedua dan abad ketiga Hijriah. Dalam hal ini al-Kulaini bukan ulama Imamiah pertama yang menggunakan metode ini. Ada karya-karya kumpulan hadis lain yang menggunakan metode yang sama, patut dicatat misalnya kitab al-Mahasin karya Ahmad bin Muhammad bin Khalid al-Barqi (w. 274H/887M).[3] Namun demikian, al-Kafi adalah karya pertama yang memuat penelitian lengkap hadis Imamiah dengan cara ini.

Kumpulan hadis yang disebut ushul, adalah kumpulan hadis-hadis, yang didengar langsung dari para Imam atau dari tangan kedua. Jumlahnya ada sekitar empat ratus kumpulan.[4] Penyusunan bab hadis-hadis ini tidak diatur sesuai pokok permasalahannya melainkan berdasarkan urutan hadis tersebut didengar, tanpa memperhatikan materi subjek atau dari Imam yang mana hal itu didengar.[5] Ushul-ushul ini adalah dasar bagi kumpulan hadis al-Kulaini seperti yang dilakukan oleh ulama-ulama sebelumnya. Namun, dengan berkembangnya kumpulan-kumpulan hadis yang lengkap, ushul menjadi kurang penting, dan hanya ada beberapa manuskrip yang tetap bertahan.

Para pengumpul hadis baik sebelum maupun sesudah al-Kulaini menguji isnad (rantai para perawi) dengan ketelitian tinggi. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa semua pembawa hadis adalah orang yang mempunyai iman yang benar. Namun al-Kulaini tampaknya kurang menaruh perhatian pada isnad dibandingkan dengan matan atau isi dari hadis. Kadang al-Kulaini melaporkan hadis dengan sanad orang-orang yang bukan langsung murid para Imam, bahkan ada juga yang berasal dari kaum Zaidiyah, Ghulat dan orang-orang yang tidak ada hubungannya dengan keyakinan Syiah.[6]

Para ulama hadis telah mengembangkan sistem pengklasifikasian hadis-hadis yang sesuai dengan tingkat otentisitasnya dalam hubungannya dengan isnad dan materi subjek. Jumlah hadis dalam al-Kafi adalah 15.181,[7] sedangkan menurut perhitungan lain 15.176.[8] Jika hadis-hadis yang dilaporkan pada bagian-bagian yang berbeda juga dihitung, jumlahnya ditambah lebih dari 1.000 lagi. Di antara hadis dasar, ada 5.072 yang dianggap kuat (shahih) oleh para ulama, 144 dianggap bagus (hasan), 178 sebagai dapat dipercaya (muwaththaq), 302 dianggap kuat (qawi), dan 9.484 dianggap lemah (dha’if).[9]

Namun, jika sebuah hadis dinyatakan lemah tidak berarti ia tidak benar. Ini berarti ulama-ulama hadis telah menemukan beberapa kelemahan dalam hadis tersebut, biasanya salah seorang dalam isnad, yang memunculkan kemungkinan bahwa hadis tersebut boleh jadi tidak tersambung kepada Imam. Ilmu yang dikembangkan oleh para sarjana hadis Islam untuk menguji isnad, latar belakang individu perawi yang menyampaikan suatu hadis dan materi subjek hadis adalah ‘ilm al-Rijal.

Ushul al-Kafi dibagi menjadi delapan bab dan sebagian besar dibagi menjadi bagian (abwab). Kedelapan bab tersebut adalah:

1. Bab Akal dan Kebodohan (Kitab al-‘Aql wa al-Jahl), membahas perbedaan teologis antara akal dan kebodohan;
2. Bab Keutamaan Ilmu (Kitab Fadl al-‘Ilm), menguraikan metode pendekatan ilmu tradisional Islam; metode menilai kebenaran materi subjek hadis, sebuah gambaran hadis dari Imam dan alasan-alasan menentang penggunaan opini pribadi (ra’y) dan analogy (qiyas);
3. Bab Kesatuan (Kitab al-Tawhid), membicarakan teologi ketuhanan;
4. Bab Bukti-bukti (Kitab al-Hujjah), berhubungan dengan kebutuhan manusia dan dunia untuk mempunyai bukti (hujjah). Hujjah itu adalah para Imam, dan sebelumnya adalah para Nabi. Juga termasuk bagian sejarah para Imam;
5. Bab Keyakinan dan Kekufuran (Kitab al-lman wa al-Kufr), merupakan tinjauan lengkap atas unsur-unsur keyakinan dan kekafiran. Termasuk topik-topik penting seperti “pilar-pilar Islam”, dan perbedaan antara Iman dan Islam;
6. Bab Doa (kitab al-Du’a), membahas doa-doa pribadi yang berbeda dengan shalat yang dilakukan dengan cara tertentu pada waktu tertentu. Di sini dicatat doa-doa yang dianjurkan oleh para Imam pada berbagai situasi dan kesempatan;
7. Bab Keutamaan al-Quran (kitab al-fadl al-Quran). mengenai keuntungan-keuntungan yang didapat para penganut yang membaca al-Quran, dan menganjurkan metode-metode pembacaannya;
8. Bab Persahabatan (kitab al-‘Ishra), menegaskan bahwa hubungan dengan Tuhan juga mencakup hubungan manusia dengan sesama manusia. Hal ini memang agak mengejutkan menemukan bab seperti ini dimasukkan dalam ushul atau dasar-dasar agama. Sedangkan perhatian utama dalam ushul pada bab lainnya adalah mengenai hubungan manusia dengan Tuhan.

Furu’ al-Kafi adalah mengenai uraian rincian hukum Islam. Hukum Islam mencakup perilaku manusia terhadap Tuhan dan hubungan sesama manusia. Dalam Furu’ berisi lebih banyak hadis daripada ushul, ada 26 bab. Isinya diawali dengan Bab Kesucian (Kitab al-Thaharah), mengenai cara bersuci yang diperlukan sebelum shalat dan ketika batal dalam keadaan suci. Selanjutnya buku kedua adalah Bab Menstruasi (Kitab al-Haid), mengenai di mana keadaan suci batal karena menstruasi. Buku ketiga, Bab Pemakaman (Kitab al-Jana’iz) mengenai pemakaman dan hal lainnya yang berkaitan dengan upacara penguburan. Bab Shalat (Kitab al-Shalat), menguraikan cara-cara shalat, dan juga menguraikan tentang shalat sunnah.

Setelah kitab al-Shalat kemudian dibahas mengenai zakat (al-Zakat). Selanjutnya bab puasa (kitab al-Shiyam), berisi aturan-aturan puasa wajib Ramadhan dan juga puasa sunnah dan puasa yang dilakukan karena kafarat. Bab Haji (Kitab al-Hajj), berisi mengenai cara-cara ibadah haji. Al-Kulaini juga memasukkan pada bab ini sebuah bagian mengenai mengunjungi makam Nabi dan para Imam (al-Ziarat).

Bab berikutnya kitab al-Jihad menyajikan hadis-hadis peraturan perang suci. Ini diikuti kitab al-Ma’isyah mengenai cara-cara memperoleh penghidupan. Segala macam masalah perdagangan dibicarakan pada bab ini. Perkawinan adalah subjek pada buku berikutnya. Ada banyak rincian termasuk sebuah bagian yang sangat rinci tentang perkawinan sementara (mut’ah). Pernikahan umumnya diikuti dengan kelahiran anak-anak, dan buku selanjutnya, kitab al-Aqiqah membahas mengenai berbagai persoalan yang berhubungan dengan kelahiran dan membesarkan anak. Aqiqah sebenarnya adalah mengorbankan hewan yang dilakukan pada usia tujuh hari anak. Setelah itu rambut anak tersebut dipotong dan berat timbangannya diberikan sebagai sedekah dalam bentuk perak. Nabi saw melakukan penyembelihan hewan ini, atas nama al-Hasan dan al-Husain dan Fatimah memberikan sedekahnya. Setelah membahas masalah perkawinan dan anak-anak, selanjutnya tentang perceraian (al-Thalaq). Masalah perbedaan hukum mengenai perceraian diuraikan dalam haclis- hadis dari Nabi dan para Imam.

Sedangkan mengenai perbudakan didiskusikan dalam kitab al-‘Itq wa al-Tadbir wa al-Khatibah, misalnya tentang perbedaan jenis budak dan cara memerdekakannya. Dua bab berikut adalah mengenai berburu (said) dan penyembelihan (dhaba’ih). Dan dalam al-Furu’ ada tiga bab tentang kehidupan sehari-hari: pertama mengenai makanan (at’ima), kedua minuman (ashriba) dan yang ketiga mengenai pakaian, perhiasan dan kesopanan (al-ziq wa-‘l-tajammul wa-‘l-muru’a). Setelah itu bab mengenai hewan piaraan (dawajin). Dua bab lainnya berkaitan dengan harta warisan. Yang pertama berjudul al-Wasaya menguraikan warisan dan yang kedua al-Mawarith menguraikan hukum waris biasa. Sedangkan sisanya berkaitan dengan pelaksanaan hukum. Kitab al-Hudud menguraikan keadaan dan cara penghukuman, sedangkan al-Diyat mengenai hukum qishash dan rincian kompensasi yang harus diberikan jika seseorang melukai orang lain secara fisik.

Kitab al-Syahadat berisi syarat untuk kesaksian dalam kasus hukum, dan kitab al-Qada’ wa al-Ahkam menguraikan tentang undang-undang tingkah laku hakim dan syarat orangnya. Dalam furu’ ditutup dengan kitab al-Aiman wa al-Nuzhur wa al-Kaffarat, yakni mengenai sumpah, janji dan cara penebusan kesalahan ketika pihak kedua batal.

Dalam Rawdhah al-Kafi, al-Kulaini tidak mengikuti metode sistematika yang digunakan dalam ushul dan furu’. Hadis-hadis tersebut tersusun satu dengan yang lain dalam urutan yang tampaknya hampir tidak beraturan, sehingga tidak sistematis seperti yang disajikan pada dua bagian yang lain.

Dalam menyajikan hadis-hadis dalam al-Kafi, pendekatan al- Kulaini adalah membiarkan hadis-hadis tersebut berbicara untuk mereka sendiri. Campur tangan dirinya sendiri amat sedikit. Kadang al-Kulaini menjelaskan beberapa ketidaksesuaian atau yang kelihatan sebagai ketidakkonsistenan, tetapi ini amat jarang. Sumbangan utama al-Kulaini adalah pada pengumpulan dan penyuntingan besar-besaran.

Pentingnya al-Kafi sebagai sebuah karya kumpulan hadis sangat nyata. Al-Kafi dianggap sebagai satu di antara empat buku hadis utama Syi’ah. Ini membawa kepada sejumlah komentar yang ditulis oleh penulis- penulis berikutnya, seperti kitab Mir’at al-‘Uqul fi Syarh Akhbar al-Rasul oleh al-Majlisi (w. 1110/1698M). Komentator lain, termasuk Mulla Sadr al-Din al-Syirazi (w. 1050/1640M), al-Mazandarani (w. 1080/1699M), al-Qazwini (w. 1089/1678M) dan Muhammad Baqir bin Damad (w. 1040/1630).

Man la Yahduruh al-Faqih

Kitab ‘Man la yahduruh al-Faqih’ ditulis al-Syaikh al-Shaduq. Al-Syaikh al-Shaduq adalah gelar yang diberikan kepada Abu Ja’far Muhammad bin ‘Ali ibn Babawaih al-Qummi. Ia mendapatkan gelar al-Syaikh al-Shaduq karena keluasan pengetahuannya dan reputasinya untuk kebenaran. Gelar ini yang juga dipakai oleh ayahnya. Pada masanya (abad ke-4 H) ia adalah ulama hadis terpenting dan satu dari ulama hadis paling terkemuka dalam Islam Syi’ah.

Al-Syaikh ‘Ali, ayah penulis adalah seorang tokoh terkemuka di antara ulama-ulama Qum. Pada masa ayahnya itulah keluarganya mulai menjadi pengikut Syi’ah. Namun tak diketahui kapan keluarga tersebut masuk Islam.[11] Al-Syaikh al-Shaduq kadang dikenal sebagai Ibn Babawaih, yang merupakan ciri nama keluarga dari Persia. Babwaih adalah versi Arab dari bentuk kata Persia Babuyah.[12]

Kelahiran al-Syaikh al-Shaduq tidak diketahui dengan pasti. Namun ada sebuah cerita menarik waktu keadaan kelahirannya. Ketika ayahnya berada di Iraq, dia bertemu Abu al-Qasim al-Husain bin Rawh, wakil ke-3 Imam Gaib. Selama pertemuan mereka, ia bertanya beberapa pertanyaan. Kemudian dia menulis kepada al-Husain bin Rawh memintanya untuk menyampaikan sebuah surat kepada Imam Gaib. Dalam suratnya, dia meminta seorang anak. Al-Husain mengirim jawaban yang memberitahunya bahwa mereka (Imam Gaib dan al-Husain) telah berdoa kepada Tuhan agar mengabulkan permintaan tersebut dan dia akan dikaruniai dua anak. Versi lain dari kisah ini menyatakan tiga anak. Yang tertua dari anak-anak ini adalah Muhammad, yaitu al-Syaikh al-Shaduq.

Berdasar kisah ini, ulama-ulama Syi’ah awal memperkirakan kelahirannya setelah tahun 305 H, mungkin 306 H. Sedang al-Husain bin Rawh menjadi wakil Imam Gaib dari 305 H sampai meninggal pada 326 H. Al-Syaikh al-Shaduq lahir dan tumbuh besar di Qum. Dia diajar oleh ayahnya dan menjadi berhubungan dekat dengan semua ulama Islam terkemuka di Qum dan belajar kepada sebagian dari mereka.[13] Qum merupakan pusat pendidikan tradisional Syi’ah yang berpengaruh besar pada al-Syaikh al-Shaduq. Al-Syaikh al-Shaduq mengunjungi berbagai kota dalam mencari hadis dan ulama, yang dari mereka ia belajar hadis, tidak kurang ada 211 ulama tempat ia belajar.

Selama hidupnya karya yang dihasilkan al-Syaikh al-Shaduq cukup banyak.[14] Al-Thusi mengatakan bahwa jumlahnya lebih dari 300, dan dia mempunyai 43 karya al-Shaduq. Sedangkan al-Najasyi menyebutkan hanya 193 karya al-Shaduq. Anehnya bahwa al-Najasyi tidak menyebut karya penting Man la Yahduruh al-Faqih! Banyak karya al-Syaik al-Shaduq yang hilang tetapi sebagian tetap lestari dan telah dipublikasikan. Ada juga yang belum dipublikasikan tetapi masih ada dalam bentuk manuskrip. Selama hidupnya al-Shaduq membaktikan sebagian besar tenaganya untuk pengumpulan dan kompilasi hadis; dia juga guru besar hadis. Pada akhir kehidupannya, ia tinggal di Rayy dan meninggal pada 381 H. Al-Shaduq diundang ke sana oleh Buyid Rukn al-Dawlah.[15] Dia sangat dihormati oleh Rukn al-Dawlah dan mengambil tempat dalam diskusi dengannya. Walaupun kemudian dilarang oleh Buyid Wazir Ibn ‘Abbad.[16]

Pada banyak karyanya, al-Syaikh al-Shaduq mencerminkan ketertarikannya kepada hadis dan hampir semuanya berbentuk kompilasi hadis. Selain kitab hadis, dia juga menulis pernyataan keyakinannya terhadap Islam Syi’ah dalam al-I’tiqadat. Kemudian salah seorang muridnya, yaitu teolog terkenal al-Syaikh al-Mufid, menulis beberapa kritikan tentang buku itu dalam karyanya Tashih al-I’tiqad.

Karyanya Man la yahduruh al-Faqih ini termasuk dalam empat buku hadis utama Syi’ah. Meskipun banyak karya al-Shaduq yang penting, namun Man la Yahduruh al-Faqih merupakan karya terpentingnya. Beberapa penulis menyatakan ada lima buku hadis utama Syi’ah, dengan memasukkan karya al-Syaikh al-Shaduq yang lain Madinat al-‘Ilm, dalam deretan ini.[17] Al-Thusi menyebutkan bahwa karya tersebut lebih besar dari Man la Yahduruh al-Faqih.[18] Namun buku ini sekarang tidak lagi ada. Madinat al-‘Ilm sepertinya banyak menjelaskan masalah ushuluddin daripada furu’.

Kitab Man la Yahduruh al-Faqih menekankanpada masalah furu’, dan telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan baik oleh E.G. Brown, dengan judul “Every man his own lawyer”,[19] Dalam pengantarnya al-Shaduq menjelaskan susunannya dan alasan mengenai judulnya. Pada saat al-Shaduq di Ilaq dekat Balkh, bertemu dengan Syarif al-Din Abu ‘Abdullah yang nama lengkapnya Muhammad bin al-Husain bin al-Husain bin Ishaq bin Musa bin Ja’far bin ‘Ali bin al-Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib. Syarif al-Din sangat terpesona pada al-Shaduq dalam percakapannya, kelemahlembutannya, kebaikannya, martabatnya dan minat al-Shaduq pada agama. Syarif al-Din membawa sebuah buku karya Muhammad bin Zakharia al-Razi, berjudul “Dokter pribadi tiap orang” (Man la Yahduruh al-Thalib) agar menjadi perhatian al-Shaduq. Syarif al-Din kemudian meminta al-Shaduq untuk menyusun sebuah buku tentang yurisprudensi (fiqh), al-Halal wa al-Haram al-Syara-i’ wa al-Ahkam, yang kemudian ia susun pada subjek tersebut dengan judul Man la Yahduruh al-Faqih dan berfungsi sebagai sebuah karya rujukan.[20]

Kitab Man la Yahduruh al-Faqih berisi ringkasan semua hadis yang dikumpulkan oleh al-Syaikh al-Shaduq, dan termasuk dalam buku-buku pribadi pada subjek hukum. Dalam daftar buku-buku al-Syaikh al-Shaduq, karya-karyanya dihubungkan pada tiap subjek furu’, misalnya karya kitab al-Nikah atau kitab al-Hajj. Inilah perhatian keduanya yang ditekankan oleh penulis, ketika Syarif al-Din meminta menulis karya ini meskipun pada kenyataannya Syarif al-Din telah menyalin atau mendengar hadis dari 145 buku.[21]

Unsur lain dalam Man la Yahduruh al-Faqih, disusun sebagai sebuah buku rujukan untuk membantu orang awam Syi’ah, dalam praktik keperluan hukum Islam. Oleh karena itu buku ini tidak ditujukan untuk para sarjana, yang ingin untuk mengecek para perawi. Para ulama dapat mengecek isnad pada sejumlah kajian individu yang disusun oleh al-Syaikh al-Shaduq. Buku ini adalah ringkasan dari kajian hadis hukum dari seorang ulama besar hadis. Al-Syaikh al-Shaduq mengatakan bahwa dia menyusun dengan adanya permintaan padanya untuk menyusun buku tersebut:

Karena saya menemukan ini tepat untuk dilakukan. Saya menyusun buku tersebut tanpa sanad sehingga rantai perawi menjadi tidak terlalu panjang dan menjadi berlebihan. Saya tidak bermaksud untuk mengemukakan semua hat yang mereka kemukakan. Tetapi saya mengemukakan sesuatu pendapat hukum dan yang saya anggap benar.

Al-Syaikh al-Shaduq juga memberikan catatan tentang beberapa karya awal yang dia rujuk, seperti pada karya-karya Hariz bin ‘Abdullah al-Sijistani, yang meninggal pada masa Imam Ja’far al-Shadiq; buku ‘Ubaidillah bin ‘Ali al-Halabi, sezaman dengan Imam Ja’far; buku ‘Ali bin Mahziyar, yang menerima hadis dari Imam ‘Ali al-Ridha, Imam Muhammad al- Jawwad dan Imam al-Hadi; buku al-Husain bin Sa’id, yang juga mendengar hadis dari tiga Imam ini; Nawadir-nya Ahmad bin Muhammad bin ‘Isa (w. 297 H) yang mendengar juga hadis dari tiga Imam tersebut. Kitab Nawadir al-Hikmah-nya Muhammad bin Yahya bin ‘Imran al-Asy’ari, Kitab al-Rahmah-nya Sa’d bin ‘Abdullah (w. 299/301 H), Jami’-nya Muhammad bin al-Hasan (w. 343 H), salah seorang guru al-Syaikh. Juga Nawadir-nya Muhammad bin Abi ‘Umayr (w. 218 H), kitab al-Mahasin-nya Ahmad bin Abi ‘Abdullah al-Barqi (Ahmad bin Muhammad bin Khalid al-Barqi w. 274/280 H, dan buku ini telah diterbitkan di Teheran).

Al-Shaduq dalam pengantarnya sering merujuk kepada karyanya sendiri pada beberapa bagian buku tersebut. Misalnya pada akhir Bab Nawadir al-Hajj (Bab Hadis Luar Biasa tentang Haji), dia berkata:  Saya telah menerbitkan Nawadir ini dengan isnad dan lainnya dalam kitab Jami’, Nawadir al-Hajj.  

Ciri lain dari karya ini, penulis menggunakan metode dengan tidak membiarkan hadis-hadis berbicara bagi diri mereka sendiri tetapi menarik aturan-aturan dari hadis-hadis atau menjelaskan artinya. Dalam sebuah ringkasan hadis tentang haji, al-Shaduq memberikan uraian panjang mengenai semua ritual yang dilakukan kaum mukminin dengan hanya sedikit hadis dalam uraiannya.

Karya ini sebagian besar berkaiatan dengan masalah yurisprudensi fiqh (furu’), dan tidak diatur dalam bab-bab tetapi dalam bagian yang lebih kecil (abwab). Mencakup berbagai masalah seperti puasa dan haji secara berurutan. Dalam hal ini al-Syaikh al-Shaduq telah membuat sebuah ringkasan hukum yang berguna untuk umat Syi’ah awam masa itu.

Man la yahduruh al-Faqih, baru-baru ini telah diterbitkan dalam empat jilid di Teheran, sebagai lazimnya satu dan empat karya besar hadis, memiliki banyak komentar yang ditulis mengenainya. Di antaranya yang menulis komentar adalah al-Sayyid Ahmad bin lain al-'Abidin al-'Alawi al-'Amili (w. 1060 H) dan Muhammad Taqi al-Majlisi al-Awwal (w. 1070 H), yang merupakan penulis besar Syi’ah.

Tahzhib al-Ahkam dan al-Istibshar oleh Al-Thusi Dua karya ini, Tahzhib al-Ahkam dan al-Istibshar ditulis oleh Syaikh al-Ta’ifa (guru masyarakat) Abu Ja’far Muhammad bin al-Hasan bin ‘Ali bin al-Hasan al- Thusi, lahir di Thus, Iran, pada tahun 385 H. Karimya menandai puncak kejayaan pendidikan dan pengajaran Islam Syi’ah. Pada waktu itu ulama Syi’ah tak punya saingan di dunia Islam. Di antaranya adalah guru al-Syaikh al-Thusi, al-Syaikh al-Mufid dan dua bersaudara al-Syarif al-Murtadha dan al-Syarif al-Rhadi, yang merupakan pengikut Ahlulbait dan ulama terkemuka.

Masa kejayaan kependidikan masyarakat Islam Syi’ah diawali oleh al-Kulainy (w. 328/9 H), penulis kumpulan hadis al-Kafi.[22] Kemudian dilanjutkan oleh al-Syaikh al-Shaduq Ibn Babawaih (w. 381 H) dengan karya besamya Man La Yahduruh al-faqih.[23] Selanjutnya ialah kumpulan hadis yang disusun oleh al-Syaikh al-Thusi yaitu Tahzhib al-Ahkam fi Syarh al-Munqi’a[24] dan al-Istibshar fima ‘Khtalaf min al-Akbar.[25]

Al-Syaikh al-Thusi tumbuh di Thus dan memulai sekolahnya di sana. Pada 408 H dia meninggalkan Thus untuk belajar di Baghdad, di sana ia belajar di bawah bimbingan al-Syaikh al-Mufid (w. 413 H). Pada masa kepemimpinan al-Syarif al-Murtadha sampai meninggal pada tahun 436 H, al-Syaikh al-Thusi berhubungan dekat dengan al-Syarif al-Murtadha. Karena keluasan pengetahuan dan keulamaannya menjadikan al-Thusi penerus alamiah dari al-Syarif al-Murtadha sebagai pemuka Islam Syi’ah. Ceramahnya sangat menarik sehingga khalifah Abbasiah, al-Qadir billah, menghadiri kuliahnya dan menghormatinya.

Pada tahun-tahun terakhir kehidupan al-Syaikh al-Thusi, situasi politik di Baghdad dan daerah kekuasaan Abbasiah berada dalam kekacauan. Kaum Saljuq yang sangat anti-Syi’ah memperoleh tampuk kekuasaan di pusat Kerajaan Islam dengan mengorbankan Buyids yang selalu nampak toleran terhadap pandangan Syi’ah. Pada 447 H, Tughril, Bek pemimpin kaum Saljuq memasuki Baghdad. Pada saat itu banyak ulama Sunni dan Syi’ah yang dibunuh di Baghdad. Rumah al-Syaikh al-Thusi dibakar, demikian juga buku-buku dan karya-karyanya yang ditulis di Baghdad, bersama dengan perpustakaan penting buku-buku Syi’ah.

Al-Syaikh al-Thusi, setelah melihat bahayanya untuk tetap tinggal di Baghdad, meninggalkan Baghdad dan pergi ke al-Najaf. Al-Najaf, kota di mana ‘Ali bin Abi Thalib terbunuh, merupakan sebuah kota penting Muslim Syi’ah. Dengan kedatangan al-Syaikh al-Thusi mendorong kota ini menjadi pusat pendidikan Syi’ah terkemuka hingga kini.

Al-Syaikh al-Thusi meninggal di al-Najaf pada 460 H. Jenazahnya dikubur di dalam sebuah rumah, yang dibuat menjadi sebuah masjid seperti diperintahkan dalam surat wasiatnya. Hingga kini makamnya merupakan sebuah tempat ziarah di al-Najaf. Selanjutnya Al-Thusi digantikan oleh puteranya, al-Hasan, yang dikenal sebagai al-Mufid al-Tsani, juga ulama terkemuka.[26]

Al-Syaikh al-Thusi merupakan ahli hadis terpelajar yang telah menulis dua kitab hadis Tahzhib al-Ahkam dan Al-Istibshar. Al-Thusi bukan hanya seorang ahli hadis, ia juga seorang ahli hukum yang otoritatif, yang dapat menafsirkan hadis sesuai kebutuhan ilmu hukum. Dan banyak karyanya mengenai ilmu hukum dan dasar-dasar ilmu hukum tetap lestari, khususnya al-Mabsuth dan al-Nihayah. Dia juga adalah pemuka teolog pada jamannya. Disamping menulis tentang teologi umum, al-Thusi kadang memberi catatan mengenai isi karya-karya penulis Syi’ah awal.

Tahzhib al-Ahkam fi Syarh al-Muqni’a

Karya al-Thusi Tahzhib al-Ahkam fi Syarh al-Muqni’a ini dapat diartikan sebagai “Pemurnian Ilmu Hukum dalam Penjelasan yang Mencukupi”, pada maksud awalnya merupakan komentar untuk kitab “Yang Mencukupi” (al-Muqni’a) merupakan kumpulan hadis oleh al-Syaikh al-Mufid, guru al-Thusi. Dia menjelaskan hal ini pada pengantar karyanya dan hanya akan membahas furu’ hukum Islam, misalnya aturan praktis untuk melaksanakan syariat, hukum suci Islam. Dia berkata:

Pertama-tama, saya membahas bab yang berkaitan dengan bersuci (thaharah), dengan mengenyampingkan (bab) bagian sebelumnya yang membahas tentang Keesaan Tuhan (tawhid), Keadilan (‘adl), Kenabian (nubuwwah) dan Imamah (imamah), sebab penjelasan mengenai hal-hal tersebut akan terlalu panjang. Dan juga bukan maksud buku ini untuk menguraikan dasar-dasar agama (al-ushul).[27]

Dalam pengantarnya, al-Thusi menjelaskan alasan utama karya ini hanya membahas pada masalah furu’ saja, karena menurut al-Thusi ada perbedaan besar yang muncul pada hadis-hadis Syi’ah. Dia menyebutkan bahwa perbedaan-perbedaan masalah furu’digunakan lawan-lawan Syi’ah sebagai argumen dalam melawan keabsahan hakikat aqidah Syi’ah. Keadaan menjadi cukup genting, al-Thusi melaporkan catatan al-Mufid tentang seorang pengikut Syi’ah yang meninggalkan masyarakatnya karena kontradiksi hadis. Kemudian al-Thusi menetapkan untuk menganalisa hadis-hadis mengenai furu’, menjelaskan hadis mana yang kurang sempurna dan dan mendamaikan/mempertemukan kontradiksi yang terdapat pada hadis-hadis yang kuat. Dia menggunakan al-Maqni’a-nya al-Mufid sebagai dasar pekerjaan ini.[28] Bagaimanapun, dia tidak hanya menguraikan hadis-hadis yang digunakan dalam al-Muqni’a; dia menganalisa banyak lagi hadis lain yang dimasukkan pada akhir bagian.

Metode yang digunakan adalah dengan mengutip hadis-hadis tersebut dilanjutkan dengan komentar al-Mufid tentangnya, kemudian diikuti oleh penjelasan al-Thusi tentang komentar al-Mufid. Walaupun terkadang tidak selalu nyata apakah penjelasan tersebut dari al-Mufid atau al-Thusi. Al-Thusi jelas menyatakan bahwa yang dimaksud adalah al-Mufid ketika dia berkata “Al-Syaikh berkata...”. Tetapi kadang diskusi dimulai oleh pernyataan yang ambigu: “Dia berkata...”, ini dapat merujuk ke al-Mufid atau al-Thusi. Pada bagian appendiks al-Thusi membuat penjelasannya dengan mengatakan: “Muhammad bin al-Hasan berkata...” Diskusi hadis kadang sungguh panjang. Misalnya adalah diskusi mengenai cara bersuci. Ada kutipan-kutipan ayat berbahasa Arab untuk mendukung pendapat Syi’ah mengenai mengusap kaki daripada membasuhnya.[29]

Karya ini terbagi menjadi bab-bab, dan bab-bab terbagi menjadi bagian-bagian (abwab) dengan appendiks di belakangnya. Karya ini adalah kajian yang sangat luas tentang hadis-hadis Syi ah dan terdiri dan bab-bab berikut: Bersuci (al-Thaharah), Sholat (al-Shalat), Zakat (al-Zakat), Puasa (al-Shiyam), Haji (al-Hajj), Jihad (al-Jihad), Syarat Pengadilan dan Hukum (al-Qadaya wa-’l-Ahkam), Penghasilan/Pendapatan (al-Makasib), Perdagangan (al-Tijarat), Perkawinan (al-Nikah), Perceraian (al-Talaq), Pembebasan budak (al-‘Itq wa-’l-Tadbir wa-’l-Mukatba), Sumpah, Janji dan Penebusan kesalahan (al-Ayman wa-’l Nudhur wa-’l-Kaffarat), Berburu dan Penyembelihan Ritual (al-Said wa-’l-Dhaba’ih), Wakaf dan Sedekah (al-Wuquf wa-’l-Sadaqat), Warisan (al-Wasaya), Aturan formal harta warisan (al-Fara’id wa-’l-Mawarith), Hukuman yang Ditentukan Wahyu (Al-Hudud) , dan bab Ganti rugi untuk Luka-luka Tubuh (al-Diyat).

Al-Thusi memulai karyanya ketika al-Mufid masih hidup dan mencapai bab terakhir bersuci pada saat al-Mufid meninggal pada 413 H. Meski demikian karyanya sampai al-Thusi pindah ke al-Najaf pada 448 H. belum selesai.[30]  Satu ciri karya al-Thusi adalah pada penafsirannya terhadap apa itu hadis yang benar, sehingga turut memelihara hukum Syi’ah, hal ini membuat posisinya sejajar dengan al-Kulaini dan Ibn-Babawaih. Luasnya penyebaran bermacam-macam hadis-hadis Syi’ah selama masa itu, dari saat meninggalnya al-Kulaini sampai al-Thusi (328/9H-460 H.) karena pada periode ini kaum Buyid, yang amat bersimpati terhadap Syi’ah, memegang kekuasaan di Baghdad. Ini adalah suatu masa di mana kaum Syi’ah tidak dianiaya dan dapat mengakui aqidahnya tanpa telalu takut. Dalam keadaan seperti itu, ada banyak kesempatan bagi orang luar untuk membawa hadis lain ke dalam khazanah Syi’ah. Bagaimanapun al-Thusi memiliki karya-karya yang tersedia bagi para penyusun kumpulan hadis Syi’ah awal. Al- Thusi berkata mengenai karya ini:

Ketika rekan-rekan kami melihat hadis (akhbar) tentang apa-apa yang dihalalkan dan diharamkan (al-halal wa-’l-haram) terkumpul di dalamnya. Mereka melihat bahwa sebagian besar hadis dibahas di bagian ilmu hukum dengan yurisprudensi. Pada semua bagian-bagiannya dan bab-babnya, sangat sedikit hadis tentang ushul disusun dari rekan-rekan kami, di dalam buku-buku dan kumpulan hadis mereka.[31]

Al-Istibshar fima ‘Khtalaf al-Akhbar

Kitab Al-lstibshar adalah karya keempat dan terakhir dari karya utama hadis Islam Syi’ah. Isinya mencakup bidang yang sama dengan Tahzhib al-Ahkam tetapi lebih kecil. al-Thusi menyebutkan bahwa rekan- rekannya setelah melihat ukuran dan kitab Tahdhib al-Ahkam berpikir: Akan berguna jika ada sebuah buku rujukan (mazhkur) yang dapat digunakan oleh para pemula dalam mempelajari fiqh, atau seorang yang telah tamat untuk kembali mengingat-ingat, atau pelajar tingkat menengah untuk mengkaji lebih dalam. Dengan demikian mereka bisa mendapatkan apa yang dibutuhkan dan mencapai hasrat jiwa mereka. Apa yang berkaitan dengan hadis-hadis yang berbeda-beda akan dikumpulkan dengan cara diringkas...

Karena itu mereka meminta saya untuk mencurahkan perhatian untuk menyusun dan meringkas Tahzhib al-Ahkam. Memulai tiap bagiannya dengan sebuah pengantar mengenai putusan-putusan hukum dan hadis-hadis di dalamnya. Kemudian saya menyebutkan hadis-hadis yang tidak sepaham dan menjelaskan titik temu di antara keduanya. Saya mengikuti apa yang saya lakukan dalam buku yang lebih besar (misal, Tahzhib al-Ahkam). Pada permulaan buku, saya akan menjelaskan secara singkat bagaimana hadis-hadis ditimbang terhadap [32] yang lainnya.

Al-Thusi kemudian mengikuti pernyataan ini dengan uraian singkat namun luas dan jelas mengenai dasar-dasar yurisprudensi.[33] Seperti dilihat dari pengantar al-Thusi, al-Istibshar pada dasarnya adalah sebuah ringkasan dari Tahzhib al-Ahkam. Metodenya serupa tetapi lebih singkat. Tidak terdapat banyak hadis yang dipergunakan dalam karya ini dan penjelasannya lebih ringkas. Dalam beberapa hal mirip Man la Yahduruh al-Faqih, meski tidak memberikan sanad lengkap untuk hadis yang dikutip. Meski demikian mungkin dapat dikatakan bahwa al-Kafi dan Tahdhib al-Ahkam mewakili kumpulan-kumpulan hadis, sedangkan Man la Yahduruh al-Faqih dan al-Istibshar adalah buku yang dimaksudkan untuk digunakan sebagai rujukan singkat untuk pelajar dan ulama.

Kumpulan dan komentar hadis-hadis Syi’ah tidak berakhir pada al-Thusi. Tetapi karyanya menandai titik puncak dalam proses ini. Dimulai oleh al-Kulaini, dengan karyanya al-Kafi, yang meski bukan kumpulan hadis pertama, merupakan karya besar pertama kumpulan hadis. Proses ini kemudian dilanjutkan oleh Ibn Babawaih. Dalam pengantarnya pada Man la Yahduruh al-Faqih, Ibn Babawaih menjelaskan bahwa ia juga telah menggunakan Ushul al-Kafi tersebut. Al-Thusi, penulis dua karya besar hadis Syi’ah yang lain, juga mengakui kebergantungannya pada karya- karya awal tersebut. Seperti yang telah disebutkan, ketiga penulis ini dan keempat karya besarnya memberikan gambaran umum yang sesuai dengan pemikiran hukum Islam Syi’ah. Ini adalah gambaran yang luar biasa mengenai hadis dan menunjukkan bahwa, apapun tingkah laku pribadi yang mungkin terjadi, pemuka ulama Syi’ah mempunyai pandangan yang jelas dan konsisten mengenai hadis-hadis mereka.

Catatan:

1. Bandingkan dengan pengantar ‘Ali Akbar al-Ghaffari pada al-Kafi al-Kulaini edisi delapan volumenya (Teheran, edisi ke-3 1388-), I, 9-13.
2. Ibid. I, 14.
3. Ibid. I, 23-24, dikutip dari teks al-Kulaini pada halaman 8.
4. Karya ini telah disunting dalam dua volume oleh Jalal al-Din al-Husaini dan dipublikasikan di Teheran, 1370 AH.
5. Pada usul, lihat Agha Buzurg, al-Tihrani al-Dari’a ila Tasarif al-Syi’ah (Najaf dan Teheran, 1963-), II, 125-129.
6. Hashim Ma’ruf al-Hasani, Dirasat fi al-Kafi wa al-Shahih (Sur 1968) 137-8.
7. Berdasar pada perhitungan berbagai kategori hadis yang diberikan oleh Agha Buzurg al-Tihrani, op.cit. XVII 245.
8. Angka diberikan oleh ‘Ali Akbar al-Ghaffari dalam pengantar al-Kafi, juz I, hal. 28, catatan kaki 3.
9. Agha Buzurg al-Tihrani, op.cit., juz XVII, hal. 245.
10. F. Sezgin, Geshichte des arabischen Schrifttums, Leiden, 1967, juz I, hal. 541-542.
11. Tentang al-Kulaini dan al-Kafi, lihat Al-Serat, Vol. II, No. 1 (Maret, 1976), hal. 28-32.
12. Tentang Ibn Babawaih and Man la yahduruh al-Faqih, lihat al-Serat, No. 2 (Juni, 1976), hal. 19-22.
13. Edisi baru dalam sepuluh volume disunting oleh al-Sayyid Hasan al-Musawi al-Khurasan, diterbitkan di Teheran, edisi ke-3, 1390 H.
14. Uraian kehidupan al-Syaikh al-Thusi diambil dari pengantar al-Sayyid Bahr al-Ulum pada Talkhis al-Syafi-nya al-Thusi, edisi ke-3, Qumm, 1974, hal. 1-45.
15. Tahzhib al-Ahkam, op.cit., juz I, hal. 3.
16. Idem, hal. 2-3.
17. Idem, hal. 66- 74
18. al-Musawi, pengantar dalam Tahzhib al-Ahkam, I, hal. 46 mengutip al-Sayyid Bahr al-Ulum.
19. al-Istibshar, op.cit. juz I, hal. 2.
20. Idem, hal. 2-3.
21. Idem, hal. 3-5
22. Lihal pengantar al-Sayyid Hasan al-Musawi al-Khurasan dalam edisi Man la Yahduruh al-Faqih-nya, Teheran, 1390.
23. A. Fyzee, A Shi’ite Creed, Calcutta, 1942, hal. 8, catatan kaki 2.
24. Lihal al-Sayyid Hasan al-Musawi al-Khurasan, “Introduction”, op. cit., I, hal. z-t
25. W. Madelung, “Imamism and Mu’tazilite Theology”, dalam Le Shi’isme Imamite, Paris, 1970, hal. 21.
26. Al-Syaikh al- Thusi, al-Fihrist, Masyhad, 1351 A.H.S.), hal. 303.
27. Disebutkan oleh A. A. Fyzee, op. cit., hal. 11, 16.
28. Disebutkan oleh W. Madelung, op. cit., hal. 20.
29. Al-Sayyid Hasan al-Musawi al-Khurasan, op. cit.
30. Al-Syaikh al-Thusi, loc. cit.
31. Dikutip dari A. A. Fyzee, op. cit., hal. 6.
32. Man la Yahduruh al-Faqih, juz. I, hal. 2-3.
33. Ibid., juz I, hal. 3.