Kamis, 29 Januari 2015

Kodrat Alami Mementingkan Diri Menurut Dawkins



Salah-satu ilmuwan (biologi) mutakhir abad ini adalah Richard Dawkins –yang juga acapkali dinilai kontroversial oleh beberapa kalangan yang kontra dengan tulisan-tulisan dan buku-bukunya. Dan salah satu bukunya yang sangat populer adalah The Selfish Gene yang kira-kira semacam pemaparan argumentasi tentang sifat selfish (mementingkan diri sendiri) yang merupakan kodrat gen yang natural alias alami.

Buku ini juga seakan mengajak kita untuk bertanya: Apa artinya memahami teori evolusi? Apakah pemahaman akan teori tersebut dapat membuat kita lebih mengerti prilaku makhluk hidup, termasuk lingkungan sosial kita? Dalam Bab Satu, contohnya, penulis menyatakan bahwa teori evolusi mempengaruhi seluruh aspek kehidupan manusia. Mengapa demikian? Karena prilaku mementingkan diri sendiri (selfish) dan prilaku baik (altruism) memiliki akar dalam biologi, lebih tepatnya dalam gen.

Sifat-sifat tersebut akan sangat mempengaruhi relasi (hubungan) antar makhluk hidup dan selanjutnya tentu saja berpengaruh dalam skala kehidupan sosial yang lebih luas, semisal dalam eknomi dan politik. Contoh dari sifat mementingkan diri sendiri antara lain prilaku menolak membagi sumber-daya yang berharga seperti makanan, daerah atau pasangan, yang mencapai titik ekstrim pada kanibalisme atau mengorbankan orang lain untuk kepentingan sendiri. Sedangkan sifat altruisme, misalnya, tampak pada lebah yang mengorbankan nyawanya demi membela sarangnya, karena sesudah menyengat musuh, lebah akan mati.

Menurut Dawkins, adanya sifat-sifat di atas dapat diterangkan dengan hukum dasar yang disebut “gene selfishness”, atau sifat mementingkan diri sendiri gen.

Sifat mementingkan diri sendiri timbul karena evolusi bekerja melalui seleksi alam. Hal ini berarti hanya yang paling fit yang akan dapat bertahan hidup. Namun apa yang menjadi dasar seleksi ? Untuk menjelaskan hal ini penulis mengajak kembali ke asal mula terciptanya kehidupan di bumi. Bumi memiliki bahan mentah kimia yang melimpah, antara lain air, karbondioksida, metana, amonia, dan energi, namun melalui seleksi alam akhirnya tercipta sejumlah molekul yang lebih kompleks dan lebih stabil dibandingkan lainnya, dalam bentuk sup yang berisi asam amino, yaitu blok pembangun protein.

Lalu, secara kebetulan tercipta replicator (penyalin), yang dapat menyalin dirinya sendiri. Ini adalah gen (DNA). Kemudian gen mencari wadah untuk memperbanyak dirinya. Wadah tersebut bisa bermacam bentuk, baik berupa tanaman, binatang, maupun manusia, asalkan bisa memenuhi tujuan gen, yaitu membuat salinan diri sebanyak-banyaknya (replikasi secara besar-besaran).

Molekul DNA adalah rantai panjang dari blok pembangun, sedangkan molekul kecil disebut nucleotides, sementara itu molekul protein adalah asam amino. Molekul DNA terdiri dari sepasang rantai nucleotides yang bertautan dalam bentuk spiral, double helix. Blok pembangun nucleotides hanya terdiri dari 4 jenis, yang namanya disingkat A, T, C dan G. Semua ini sama baik dalam binatang maupun tanaman –yang berbeda hanyalah susunan atau urutan pertautan mereka. Sebuah blok pembangun G dalam seekor siput sama dengan yang terdapat dalam manusia, yang berbeda hanya urutannya (sekuens).

Itulah sebabnya menurut Dawkins, semua makhluk hidup hanyalah alat bagi gen untuk terus hidup. Bahwa makhluk hidup hanya merupakan “mesin survival”, “robot yang diprogram secara buta untuk mempertahankan gen” terlihat dari struktur dasar kimiawi yang hampir sama pada seluruh makhluk hidup. Betapapun berbedanya bentuk antara satu makhluk hidup dengan lainnya, antara tanaman dan binatang dan manusia, namun mereka semua memiliki strukur kimiawi yang hampir sama, dan gen, atau DNA, pada dasarnya adalah sejenis molekul yang sama pada semua makhluk hidup. DNA dapat dianggap sebagai “sekumpulan instruksi tentang bagaimana membuat sebuah tubuh”, sebuah resep, blueprint.

Lalu pertanyaan selanjutnya adalah: Apa yang dilakukan DNA? Menurut Dawkins, yang dilakukan DNA adalah memperbanyak diri dan mengawasi pembuatan bermacam molekul protein secara tidak langsung, dengan cara menerjemahkan DNA tersebut dalam abjad asam amino yang menentukan molekul protein. Oleh karena tujuan utama gen adalah untuk hidup terus dan memperbanyak diri sebanyak-banyaknya (replikasi besar-besaran), maka gen akan berupaya agar tubuh (makhluk hidup) yang didiaminya cukup efisien guna mencapai tujuan tersebut.

Kemudian akan timbul pertanyaan lanjutannya: Bagaimana mendapatkan efisiensi? Seperti halnya dengan ilmu ekonomi, dimana efisiensi tercapai melalui kompetisi dan selfishness, maka demikian pula di dalam alam, sehingga penulis menyebut gen sebagai “the selfish gene”. Inilah argumen seleksi alam teori evolusi.  

Berdasarkan argumen dasar di atas, maka menurut penulis setiap prilaku makhluk hidup pada dasarnya adalah mementingkan diri sendiri, bahkan sifat altruism (perbuatan baik, pengorbanan diri untuk kepentingan keluarga, masyarakat) sebenarnya juga mementingkan diri sendiri.

Sebagai contoh, mengapa makhluk hidup bersedia mengorbankan diri untuk kelangsungan hidup anak atau kerabat dekatnya? Karena mereka berbagi gen yang sama. Mengapa laki-laki selalu mencari perempuan yang jauh lebih muda? Mengapa laki-laki bersifat agresif? Semua itu bisa dikembalikan kepada hukum dasar di atas. Namun hal ini tidak berarti pembenaran terhadap perilaku mementingkan diri sendiri. Sebaliknya, apabila kita mengetahui sifat atau perilaku buruk yang disebabkan oleh gen, maka kita dapat melawannya, antara lain dengan berbuat baik atau dengan memutuskan untuk tidak memiliki keturunan.

Seperti biasanya, pendapat Richard Dawkins disebut sebagai pendapat reductionist, termasuk dalam konteks ini, menurut sejumlah kalangan, Dawkins mereduksi proses evolusi pada tingkat gen dan mengabaikan faktor-faktor lainnya yang justru memiliki bukti dan argumen yang lebih melimpah. Jadi, Dawkins memiliki kemungkinan yang sangat besar untuk keliru –sebagaimana sains secara umum juga tak imun dari kekeliruan. 


Senin, 26 Januari 2015

Muslim Syi'ah, Sains, dan Tradisi Filsafat





Bertrand Russell menulis: “Bangsa Persia sejak dulu sangat religius dan menyukai pemikiran spekulatif. Sesudah mereka memeluk Islam dan menjatuhkan pilihan pada Syi’ah (dan bukan pada Sunni), mereka menjadikan ajaran Islam lebih menarik dan lebih filosofis”.

Dengan nalar filsafat-lah, umat Islam dituntut untuk tidak melakukan sikap-sikap apologetik dengan kepura-puraan ganda, yakni kebanggaan menyebutkan Islam sebagai agama yang rasional dan menghargai ilmu pengetahuan, namun di sisi lain sangat takut atau bahkan marah saat keyakinan agamanya yang doktriner bertentangan dengan hasil-hasil sains yang faktual. Dan sebagaimana dikemukakan Bertrand Russell (1999: 297) dalam ulasan sejarah filsafat yang ditulisnya, menyatakan bahwa penyumbang terbesar nalar filsafat dan saintis kaum muslim ini adalah Bangsa Persia.

Dan memang, telah menjadi Ittifaq para ahli bahwa filsafat dengan nalar burhani-nya merupakan salah satu warisan berharga nalar Islami, selain bayani (fiqih), dan irfani (tasauf).[1] Bagi Hasan Hanafi, contohnya, ini merupakan turats (peradaban) berharga yang sangat sukses mempertahankan eksistensi ajaran Islam, disamping Ilmu Kalam, Ushul Fiqh, dan Tasauf.[2] Lebih lanjut, menurut Hasan Hanafi, meskipun Ilmu Kalam mirip dengan filsafat dan merupakan tradisi berpikir warisan Islam yang agung, namun filsafat memiliki kelebihan sendiri, yang diantara kelebihan tersebut –dengan bahasa yang dipersingkat—adalah:

[1] Merubah teologi menjadi ontologi. Di sini filsafat tidak hanya berbicara tentang Tuhan semata, tetapi juga tentang wujud secara umum (kosmologis).

[2] Tidak membutuhkan metode nash yang dominan dalam  Ilmu kalam. Filsafat telah menancapkan rasionalisme Islam yang independen alias mandiri disamping Kalam yang menujudkan kebenarannya dari formulasi makna-makna wahyu. 

[3] Filsafat telah mengungkapkan dimensi misteri dalam nash agama, style-style imajiner dan bentuk-bentuk seni –yang kemudian melompat menuju meta-imajinasi yang membebaskan dirinya dari bentuk-bentuk seni dan menghancurkan keharfiahan makna. Melepaskan diri dari bahasa teologi yang tertutup dan tunduk pada rumus keagamaan, menuju jalan rasional, terbuka, dan humanis.

[4] Filsafat mampu menggabungkan teori-teori yang berserakan yang ditinggalkan Ilmu Kalam.

[5] Filsafat telah menghapuskan keterpecah-belahan firqah-firqah menjadi semangat yang tunggal dominan.

[6] Filsafat mencerminkan ufuk (cakrawala atau lanskap) yang lebih luas, lebih sempurna dan universal ketimbang Ilmu Kalam.

[7] Secara prinsipil, filsafat berlandaskan pada pembuktian dan membahas kepastian internal, rasional, dan natural, sementara Ilmu Kalam selalu bertumpu pada polemik dan jadaliyah (debat) yang lebih bertujuan membungkam lawan daripada mencari kebenaran.[3]

Dengan nalar filsafat inilah, umat Islam dituntut untuk tidak melakukan sikap-sikap apologetik dengan kepura-puraan ganda, yakni kebanggaan menyebutkan Islam sebagai agama yang rasional dan menghargai ilmu pengetahuan, namun di sisi lain sangat takut atau bahkan marah saat keyakinan agamanya yang doktriner bertentangan dengan hasil-hasil sains yang faktual.

Meskipun demikian, filsafat bukanlah alat untuk menjustifikasi kebenaran atau kesalahan agama, tetapi lebih sebagai alat bantu yang dipertimbangkan untuk dapat menafsirkan agama dengan benar, aktual, dan fungsional. Ini bukanlah usaha apologetis tetapi ijtihadis. Dengan cara ini, filsafat akan memberikan ketelitian manusia dalam berpikir, sehingga berimplikasi memperkuat keyakinan agama dan kebenaran ajaran yang dianutnya.

Salah satu yang menyebabkan tertancapnya akar keyakinan beragama secara kuat adalah paradigma dan ideologi yang dianut. Ideologi pada dasarnya merupakan tumpuan agama yang diperoleh dari pandangan dunia (al-ru’yah al-kauniyah alias world view) sebagai poros manusia dalam menafsirkan secara universal keberadaan hirarki wujud semesta. Al-ru’yah al-kauniyah ini sebagai hasil kajian dan penalaran yang memberikan kesimpulan tentang alam jagat-raya (makrokosmos), tentang manusia (mikrokosmos), masyarakat dan sejarahnya, yang diperoleh dari analisis filosofis yang matang dan berasaskan pada Epistemologi Islami.[4] Ciri-ciri Pandangan Dunia yang baik, sebagaimana yang dipaparkan Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari, adalah:

[1] Pandangan dunia yang berlandaskan pada berbagai argumentasi akal (logis dan rasional).

[2] Pandangan atau proses penafsirannya harus sesuai dengan fitrah penciptaan alam.

[3] Selain memiliki nilai, pandangan dunia tersebut juga mengobarkan semangat, harapan, serta rasa bertanggungjawab.[5]

Dengan demikian, jelaslah bahwa nalar filsafat membantu manusia membangun paradigma dan ideologinya. Paradigma adalah asumsi-asumsi filosofis yang mendasari suatu bidang peradaban seperti misalnya sains dan teknologi. Dalam sains, paradigma berarti asumsi-asumsi filosofis yang diyakini ilmuwan secara umum dalam usaha mengkaji sesuatu. Dan karena dikatakan sebagai asumsi-asumsi filosofis, maka ia mengandung asumsi metafisis, ontologis, epistemologis, aksiologis, visi, bahkan sistem nilai.

Dan sebagaimana kita tahu, paradigm ini menjadi populer ketika didengungkan oleh Thomas S. Kuhn pada tahun 1970 melalui karyanya yang cemerlang, The Structure of Scientific Revolutions. Dalam karyanya ini Kuhn telah mendeskripsikan berbagai makna paradigma. Yang menarik adalah temuannya yang mengemukakan bahwa analisis sains mendasarkan diri pada paradigma yang dianut seorang saintis, sehingga dapat terjadi perbedaan para saintis dalam kajian risetnya dikarenakan perbedaan paradigma yang dianut tersebut.[6]

Sementara itu, di jurusan lain, jika kita menelusuri ayat-ayat al-Quran suci yang tersurat, yang tersirat, maka, walaupun al-Quran bukanlah kitab filsafat yang diilhami melalui refleksi filosofis, namun tak mungkin pula kita pungkiri bahwa al-Quran memuat unsur-unsur yang filosofis, rasional, dan memancing nalar untuk melakukan fikr yang argumentatif dan rasional.  

Catatan:

[1] Tentang trilogi Nalar Islami ini lihat pembahasan komprehensifnya pada karya Muhammad Abid al-Jabiri: Bunyah al-Aql al- Araby: Dirasah Tahliliyah Naqdiyyah Li al-Nudzumi al- Ma’rifah fi al-Tsaqafah al-Arabiyyah (Beirut: Markaz Dirasah al-Wihdah al-Arabiyyah, 1990).
[2] Hasan Hanafi, Turas dan Tajdid (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2001), h. 225-234.
[3] Hasan Hanafi, Turas, h. 229-231.
[4] Murtadha Muthahhari, Mengenal Epistemologi (Jakarta: Lentera, 2001), h. 18.
[5] Muhsin Qiraati, Membangun Agama (Bogor: Cahaya, 2004), h. 4.
[6] Thomas S. Kuhn, Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains. (Bandung: Rosda, 1989), h. 108-109.

Sabtu, 17 Januari 2015

Atlantis –Dunia Purba




Oleh Ignatius Donnelly (Sumber: “ATLANTIS – The Antediluvian World”, New York: Harper & Brothers, 1882)

Tidak ada yang improbabel dalam cerita ini, sepanjang melukiskan bangsa hebat, kaya, beradab, dan berpendidikan. Hampir setiap bagian dalam kisah Plato bisa disejajarkan lewat deskripsi bangsa Mesir atau Peru; padahal, dalam beberapa hal, keterangan Plato tentang Atlantis tidak menyamai deskripsi Herodotus tentang keagungan Mesir, atau gambaran Prescott tentang kemakmuran dan peradaban Peru. Contoh, Prescott, dalam Conquest of Peru-nya (vol. I hal. 95), mengatakan:

“Yang paling mahsyur dari kuil-kuil Peru, kebanggaan ibukota dan keajaiban kerajaan, berada di Cuzco, di mana, di bawah kemurahan hati penguasa yang berturut-turut, ia telah menjadi begitu kaya sehingga mendapat nama Coricancha, atau ‘Place of Gold’. ….Interior kuil itu betul-betul tambang emas. Di dinding barat dihiasi lambang Dewa, terdiri dari sebuah wajah manusia yang menatap ke depan dari tengah-tengah sorot cahaya yang tak terkira banyaknya, yang memancar darinya ke setiap arah. Seperti matahari yang sering dipersonifikasikan dengan kita. Sosok itu terukir pada pelat emas raksasa, berdimensi besar, bertaburkan zamrud dan batu mulia… Dinding dan atap di mana-mana dilapisi ornamen emas; setiap bagian interior kuil penuh dengan pelat yang dipelitur dan tiang logam mulia; perhiasan temboknya juga terbuat dari material yang sama.”

Dalam cerita Plato tak ada keajaiban, tak ada mitos, tak ada kisah dewa, gorgon (tiga bersaudari berambut ular yang mempunyai kemampuan mengubah seseorang yang memandang mereka menjadi batu—penj), goblin nakal, atau raksasa. Ini adalah sejarah sederhana dan masuk akal tentang sebuah bangsa yang membangun kuil, kapal, dan kanal; yang hidup lewat pertanian dan perdagangan; yang, dalam mengejar perdagangan, menjangkau semua negeri di sekeliling mereka. Sejarah awal kebanyakan bangsa dimulai dengan dewa dan setan, sementara di sini kita tidak menemukan yang seperti itu; kita melihat seorang imigran memasuki negeri tersebut, menikahi wanita pribumi, lalu menetap; perlahan-lahan sebuah bangsa besar tumbuh di sekeliling dia. Itu mengingatkan kita pada informasi yang diberikan oleh para pendeta Mesir kepada Herodotus. “Selama jangka waktu 11.340 tahun, tegas mereka,” kata Herodotus, “tidak ada dewa yang muncul dalam bentuk manusia,…mereka sama sekali menolak kemungkinan seorang manusia adalah keturunan dewa.” Jika Plato berupaya menarik sebuah kisah ajaib dan menyenangkan dari imajinasinya sendiri, kita semestinya tidak mendapatkan kisah yang begitu sederhana dan masuk akal. Dia bisa memberi kita sebuah sejarah seperti legenda mitologi Yunani, penuh dengan petualangan para dewa dan dewi, peri, faun (dewa pedesaan yang memiliki tanduk, kaki, dan ekor kambing—penj), dan satyr (dewa hutan yang sebagian wajahnya mirip kambing atau kuda—penj).

Juga tidak ada bukti dalam sejarah ini bahwa Plato berupaya menyampaikan pelajaran moral atau politik di dalamnya, dalam samaran fabel, sebagaimana dilakukan Bacon dalam New Atlantis dan More dalam Kingdom of Nowhere. Tak ada cita-cita republik yang dilukiskan di sini. Ini adalah sejarah terus-terang dan masuk akal tentang sebuah bangsa yang diatur oleh raja-raja mereka, hidup dan berkembang sebagaimana bangsa-bangsa lain.

Plato mengatakan bahwa di Atlantis terdapat “kerajaan besar dan menakjubkan”, yang “mengagresi seluruh Eropa dan Asia tanpa alasan”, menjadi saksi luasnya kekuasaannya. Ia tak hanya menundukkan Afrika sampai Mesir, dan Eropa sampai Italia, tapi “juga menguasai bagian-bagian benua itu”, yakni “benua sebrang”, Amerika, “yang mengelilingi samudera sungguhan”. Bagian-bagian Amerika yang dikuasainya adalah, sebagaimana akan kami tunjukkan nanti, Amerika Tengah, Peru, dan Lembah Mississippi, yang ditempati oleh “Mound Builder” (Pembangun Gundukan).

Lebih jauh, dia memberitahu kita bahwa “kekuasaan luas ini terhimpun menjadi satu”; yakni, dari Mesir sampai Peru merupakan satu kerajaan gabungan. Kita akan menyimak nanti bahwa legenda Hindu mengenai Deva Nahusha dengan jelas merujuk pada kerajaan luas ini, yang meliputi seluruh dunia yang dikenal.

Bukti kuat lain soal kebenaran cerita Plato ditemukan dalam fakta bahwa di atas Azores kini ditemukan bebatuan lava hitam, dan bebatuan berwarna merah dan putih. Dia mengatakan bahwa mereka membangun dengan batu putih, merah, dan hitam. Sir C. Wyville Thomson menggambarkan leher sempit tanah di antara Fayal dan Monte da Guia, disebut “Monte Queimada” (gunung yang terbakar), sebagai berikut: “Sebagiannya terbentuk dari tufa bertingkat-tingkat yang berwarna cokelat gelap, dan sebagiannya dari bongkahan lava hitam, berpori, dan masing-masing memiliki rongga besar di tengahnya, yang pasti disemburkan sebagai bom vulkanis dalam pertunjukan kembang api meriah pada suatu periode melebihi catatan sejarah Acorea, tapi di akhir tarikh geologis pulau itu.” (Voyage of the Challenger, vol. II, hal. 24). Dia juga menggambarkan dinding amat besar dari batu vulkanis hitam di pulau tersebut.

Daratan Atlantis, cerita Plato, “diolah selama berabad-abad oleh bergenerasi-generasi raja.” Jika, sebagaimana kita yakini, pertanian, penjinakan kuda, lembu jantan, domba, kambing, dan babi, dan penemuan atau pengembangan terigu, gandum, gandum hitam, dan gerst (gandum untuk membuat bir—penj) bermula di kawasan ini, maka bahasa Plato berkenaan dengan “berabad-abad, dan generasi raja berturut-turut” selaras dengan periode panjang yang diperlukan untuk membawa manusia dari kondisi biadab menuju beradab.

Di parit besar yang mengelilingi seluruh daratan seperti lingkaran, dan yang menjadi tujuan aliran dari pegunungan, barangkali kita melihat asal-usul empat sungai Firdaus, dan emblem salib yang dikelilingi oleh lingkaran, yang, sebagaimana akan kami tunjukkan nanti, sejak zaman terdahulu pra-Kristen, diakui sebagai emblem Taman Eden.

Kita tahu bahwa Plato bukan penemu nama Poseidon, sebab penyembahan Poseidon adalah lazim di zaman terdahulu Eropa; “Penyembahan Poseidon tampaknya menjadi istimewa di semua koloni sebelum zaman Solon.” (Prehistoric Nations, hal. 148). Penyembahan ini “dibawa ke Spanyol, dan ke Afrika Utara, tapi paling melimpah ke Italia, ke banyak pulau, dan ke kawasan-kawasan sekitar Laut Aegea; juga ke Thrace.” (Ibid, hal. 155).

Poseidon, atau Neptunus, dilambangkan dalam mitologi Yunani sebagai dewa laut; tapi dia difigurkan berdiri di kereta perang yang ditarik oleh kuda. Pengaitan kuda (hewan darat) dengan dewa laut tidak bisa dipahami, kecuali dengan keterangan yang diberikan oleh Plato. Poseidon adalah dewa laut lantaran dia memerintah daratan besar di laut, dan dia adalah dewa nasional sebuah bangsa maritim; dia dikaitkan dengan kuda, sebab di Atlantis kuda merupakan hewan pertama yang dijinakkan; dan, sebagaimana ditunjukkan Plato, penduduk Atlantis memiliki gelanggang pacuan kuda besar untuk peningkatan kecepatan kuda; dan Poseidon dilambangkan berdiri di kereta perang, pasti karena kendaraan beroda ditemukan pertama kali oleh orang yang menjinakkan kuda; dan mereka mewariskan kereta perang ini kepada keturunan mereka dari Mesir sampai Inggris. Kita tahu bahwa kuda merupakan objek favorit untuk pengorbanan kepada Poseidon oleh bangsa-bangsa purba dalam Periode Sejarah; kuda dibunuh, lalu dilemparkan ke laut dari tebing tinggi. Pesta kuda keagamaan pada masyarakat pagan Skandinavia merupakan sisa tradisi penyembahan Poseidon, yang dahulu berlaku di sepanjang seluruh pantai Eropa; itu berlanjut sampai masuknya masyarakat ke dalam agama Kristen, dan kemudian diberangus dengan banyak kesulitan.

Kita menemukan dalam cerita Plato nama-nama beberapa dewa Pheonician di antara raja-raja Atlantis. Dari mana Plato, seorang Yunani, mendapatkan nama-nama ini kalau kisah tersebut fabel?

Apakah Plato, saat menyatakan “buah-buahan yang berkulit keras, menghasilkan minuman, daging, dan urap”, merujuk pada kelapa?

Sekali lagi: Plato menceritakan kepada kita bahwa Atlantis berlimpahkan mata air dingin dan panas. Bagaimana dia bisa sampai mendapatkan ide mata air panas sekiranya dia menarik gambaran dari imajinasinya sendiri? Ada satu konfirmasi atas ceritanya, yaitu bahwa mata air panas sangat berlimpah di Azores, yang merupakan potongan Atlantis yang masih bertahan; dan pengalaman yang lebih luas daripada milik Plato telah mengajarkan orang ilmiah bahwa mata air panas merupakan fitur lazim kawasan yang terkena ledakan vulkanis.

Plato memberitahu kita, “Seluruh negeri sangat tinggi dan terjal di sisi laut, tapi negeri itu sendiri, di sekitar dan sekeliling kota adalah tanah datar, dikelilingi oleh pegunungan yang menurun ke arah laut.” Kita mau tak mau harus memperhatikan profil “Bubungan Dolphin” (Dolphin’s Ridge), sebagaimana terungkap lewat pengukuran dalam laut oleh Challenger, yang ditampilkan sebagai gambar muka di pendahuluan buku ini, untuk melihat bahwa ini merupakan deskripsi tepat atas ketinggian yang terjal tersebut. “Gunung sekeliling,” yang melindungi daratan dari utara, terlambangkan dengan puncak Azores yang menjulang hari ini.

Plato memberitahu kita bahwa kehancuran Atlantis memenuhi laut dengan lumpur, dan mengganggu navigasi. Selama ribuan tahun orang zaman kuno percaya bahwa Samudra Atlantis adalah “laut berlumpur, dangkal, gelap, dan berkabut, Mare tenebrosum”. (Cosmos, vol. II, hal. 151).

Tongkat bercabang tiga Poseidon, atau trident, terus berulang-kali muncul dalam sejarah kuno. Kita menemukannya di tangan dewa-dewa Hindu dan dasar semua keyakinan agama purba.

“Di antara angka-angka, angka tiga sakral dianggap sebagai lambang kesempurnaan, dan karenanya secara eksklusif diatributkan pada Dewa Tertinggi, atau pada perwakilannya di dunia—raja, kaisar, atau penguasa manapun. Untuk alasan ini emblem lipat-tiga berbagai bentuk ditemukan pada sabuk, dasi, atau perlengkapan melingkar, sebagaimana bisa dilihat pada karya-karya seni kuno di Yucatan, Guatemala, Chiapas, Meksiko, dan lain-lain, setiap kali objek tersebut merujuk pada supremasi ilahi.” (Dr. Arthur Schott, Smith. Rep., 1869, hal. 391).

Kita teringat pada “tiara” dan “tiga bundar kedaulatan”.

Dengan cara yang sama, sepuluh kerajaan Atlantis terlestarikan dalam semua tradisi kuno.

“Dalam angka yang diberikan oleh Bibel untuk patriark Purba, kita mendapatkan contoh pertama persesuaian dengan tradisi berbagai bangsa. Sepuluh disebutkan dalam Kitab Genesis. Bangsa-bangsa lain, ke masa apapun mereka menelusuri leluhur mereka, entah sebelum atau sesudah Bah, entah karakter mitos atau historis, mereka tetap pada angka sepuluh yang sakral ini, yang telah diupayakan, dengan kegagalan, oleh beberapa pihak untuk dihubungkan dengan spekulasi para filsuf keagamaan terkemudian mengenai nilai mistis angka-angka. Di Chaldea, Berosus menyebutkan satu persatu sepuluh raja Purba yang kekuasaan besarnya mencapai ribuan tahun. Legenda ras Iran memulai dengan kekuasaan sepuluh raja Peisdaiden (Poseidon?), ‘orang-orang berhukum kuno, yang hidup di Homa murni (air kehidupan)’ (nektar?), ‘dan yang memelihara kesucian mereka’. Di India kita bertemu dengan sembilan Brahmadikas, yang, ditambah Brahma (pendiri mereka), berjumlah sepuluh, dan yang disebut Sepuluh Petris, atau Ayah. China menghitung sepuluh kaisar, pemikul-serta sifat ilahi, sebelum permulaan masa sejarah. Jerman meyakini sepuluh leluhur Odin, dan Arab meyakini sepuluh raja mitos Adites.” (Lenormant dan Chevallier, Ancient History of the East, vol. I, hal. 13).

Kisah Plato mendapat konfirmasi dari sumber lain.

Sebuah kutipan yang terlestarikan di Proclus, diambil dari sebuah karya yang sudah hilang, yang dikutip oleh Boeckh dalam komentarnya tentang Plato, menyebutkan pulau-pulau di laut sebelah luar, di luar Pillars of Hercules, dan mengatakan diketahui bahwa di salah satu pulau ini “penghuninya melestarikan dari leluhur mereka kenangan Atlantis, pulau amat besar, yang memegang kekuasaan atas semua pulau di Samudera Atlantik untuk waktu lama”.

Aelian, dalam Varia Historia-nya (kitab III, bab XVIII), memberitahu kita bahwa Theopompus (400 SM) menceritakan keterangan-keterangan sebuah wawancara antara Midas (Raja Phrygia) dan Silenus, di mana Silenus mengabarkan keberadaan sebuah benua besar di luar Atlantik, “lebih besar dari gabungan Asia, Eropa, dan Libya”. Dia menyatakan bahwa sebuah ras manusia bernama Meropes tinggal di sana, dan memiliki kota-kota yang besar. Mereka yakin bahwa negeri mereka adalah sebuah benua. Karena penasaran, beberapa dari mereka menyebrangi samudera dan mengunjungi Hyperborean.

“Penduduk Gaul mempunyai tradisi mengenai subjek Atlantis yang dikumpulkan oleh sejarawan Romawi, Timagenes, yang hidup di abad pertama sebelum Masehi. Dia menggambarkan bahwa tiga bangsa berbeda tinggal di Gaul: 1. Penduduk pribumi, yang saya duga adalah Mongoloid, yang sudah lama tinggal di Eropa; 2. Penyerbu dari sebuah pulau jauh, yang menurut pemahaman saya adalah Atlantis; 3. Gaul Arya.” (Preadamites, hal. 380).

Marcellus, dalam sebuah karya tentang bangsa Ethiopia, membicarakan tujuh pulau yang terdapat di Samudera Atlantik—barangkali Kepulauan Canary—dan penghuni pulau-pulau ini, kata dia, melestarikan kenangan tentang sebuah pulau yang jauh lebih besar, Atlatis, “yang menguasai pulau-pulau kecil tersebut untuk waktu lama”. (Didot Muller, Fragmenta Historicorum Graecorum, vol IV, hal. 443).

Diodorus Siculus menceritakan bahwa bangsa Phoenician menemukan “sebuah pulau besar di Samudera Atlantik, di luar Pillars of Hercules, beberapa hari pelayaran dari pantai Afrika. Pulau ini berlimpah semua jenis kekayaan. Tanahnya sangat subur; pemandangannya dipenuhi beraneka-ragam sungai, gunung, dan hutan. Penghuninya mempunyai kebiasaan mengasingkan diri selama musim panas ke rumah-rumah bagus di pedalaman, yang berdiri di tengah-tengah taman yang indah. Ikan dan binatang buruan ditemukan melimpah-ruah; iklimnya nyaman, dan pepohonannya berbuah sepanjang tahun”. Homer, Plutarch, dan penulis kuno lainnya menyebutkan pulau-pulau yang terletak di Atlantik, “beberapa ribu stadium dari Pillars of Hercules”. Sileus memberitahu Midas bahwa terdapat satu benua lain selain Eropa, Asia, dan Afrika—“sebuah negeri di mana emas dan perak begitu melimpah sampai-sampai dihargai tidak lebih dari penghargaan kita terhadap besi”. St. Clement, dalam Epistle-nya kepada Corinthians, mengatakan bahwa terdapat dunia lain di luar samudera tersebut.

Di sini perhatian dapat ditujukan pada banyaknya contoh kiasan dalam Perjanjian Lama mengenai “pulau-pulau laut”, khususnya dalam Isaiah dan Ezekiel. Apa urusannya bangsa pedalaman, seperti Yahudi, dengan laut dan pulau? Apakah keterangan-keterangan ini tumbuh dari tradisi samar yang mempertalikan ras mereka dengan “pulau di laut”?

Orphic Argonaut bernyanyi tentang pembagian Lyktonia kuno menjadi pulau-pulau terpisah. Dia berkata, “Saat Poseidon si rambut gelap, dalam keadaan marah kepada sang Ayah, Kronion, memukul Lyktonia dengan trident emas.”

Plato menyatakan bahwa orang Mesir memberitahu Solon bahwa kehancuran Atlantis terjadi 9.000 tahun sebelum hari itu, yakni, sekitar 9.600 tahun sebelum era Kristen. Ini kelihatannya periode yang sangat lama, tapi harus diingat bahwa para geolog menyatakan bahwa sisa-sisa manusia yang ditemukan di gua-gua Eropa berasal dari 500.000 tahun silam; dan fosil tengkorak Calaveras ditemukan jauh di bawah dasar Table Mountain, California, dan seluruh gunung itu telah terbentuk sejak manusia tersebut hidup dan meninggal.

“M. Oppert membacakan sebuah esai di Brussels Congress untuk menunjukkan, dari observasi astronomis atas bangsa Mesir dan Assyria, bahwa 11.542 tahun sebelum zaman kita, manusia yang eksis di bumi pada tahap peradaban demikian mampu memperhatikan fenomena astronomi, dan mengkalkulasi panjang tahun dengan akurasi tinggi sekali. Bangsa Mesir, kata dia, mengkalkulasi dengan siklus 1.460 tahun—siklus zodiak, demikian disebutnya. Tahun mereka terdiri dari 365 hari, yang menyebabkan mereka kehilangan satu hari di setiap empat tahun surya, dan, konsekuensinya, mereka akan mencapai titik awal lagi baru setelah 1.460 tahun (365 x 4). Oleh sebab itu, siklus zodiak yang berakhir di tahun 139 era kita memulai di tahun 1.322 SM. Di sisi lain, siklus Assyria adalah 1.805 tahun, atau 22.325 siklus bulan. Siklus Assyria dimulai pada 712 SM. Bangsa Chaldea menyatakan bahwa antara Bah dan dinasti pertama mereka terdapat periode 39.180 tahun. Nah, apa artinya angka ini? Itu berarti 12 siklus zodiak Mesir ditambah 12 siklus bulan Assyria.

12 x 1.460 = 17.520
12 x 1.805 = 21.660 +
39.180

Dua mode pengkalkulasian waktu ini cocok satu sama lain, dan diketahui sekaligus oleh satu bangsa, Chaldea. Sekarang mari kita menyusun rangkaian kedua siklus, dimulai dari era kita, dan hasilnya adalah sebagai berikut:

Siklus Zodiak                    Siklus Bulan

1.460                                        1.805
1.822                                           712
2.782                                        2.517
4.242                                        4.322
5.702                                        6.127
7.162                                        7.932
8.622                                        9.737
110.082                                   11.542
11.542

Pada tahun 11.542 SM, kedua siklus bertemu, dan konsekuensinya pada tahun itu mereka mempunyai awal yang sama dan observasi astronomis yang sama.”

Observasi tersebut barangkali dilakukan di Atlantis.

Keanekaragaman bahasa yang eksis di antara penduduk Atlantis di permulaan Periode Sejarah mengimplikasikan selang waktu yang sangat lebar. Fakta bahwa bangsa-bangsa Dunia Lama begitu sedikit mengingat Atlantis, kecuali fakta kolosal kehancurannya yang mendadak dan besar, tampaknya juga mengasingkannya jauh ke masa lampau. Herodotus menceritakan kepada kita bahwa dia tahu dari bangsa Mesir bahwa Hercules adalah salah satu dewa terkuno mereka, dan bahwa Herculse adalah salah satu dari dua belas [dewa] yang dihasilkan dari delapan dewa, 17.000 tahun sebelum kekuasaan Amasis.

Singkatnya, saya tidak mengerti mengapa kisah Plato ini, yang diceritakan sebagai sejarah (yang diperoleh dari bangsa Mesir, orang-orang yang diketahui memelihara riwayat paling kuno dan mampu menelusuri keberadaan mereka sampai zaman purbakala), mesti dipandang hina dan dikesampingkan sebagai fabel oleh bangsa Yunani, Romawi, dan dunia modern. Boleh jadi itu hanya karena pendahulu kita, dengan pengetahuan mereka yang terbatas akan sejarah geografi dunia, tidak percaya bahwa sebagian besar permukaan bumi ditelan tiba-tiba oleh laut.

Maka dari itu, mari kita pertama-tama menghadapi pertanyaan tersebut.