Minggu, 12 Oktober 2014

Geometri Dan Pengalaman




“Ceramah Albert Einstein pada Akademi Sains Prusia di Berlin, 27 Januari 1921”

Suatu alasan mengapa matematika memperoleh penghargaan istimewa, di atas ilmu-ilmu yang lain, adalah bahwa hukum-hukumnya bersifat pasti secara mutlak dan tidak dapat diperdebatkan, sementara pada ilmu-ilmu yang lain sampai pada batas tertentu dapat diperdebatkan dan secara konstan berada dalam bahaya untuk suatu waktu dicampakkan oleh temuan-temuan baru. Sekalipun demikian, peneliti dalam departemen ilmiah yang lain tidak akan beriri hati terhadap matematikawan jika hukum-hukum matematika mengacu pada obyek-obyek bayangan kita, dan bukan pada obyek-obyek nyata. Karena bukanlah suatu hal yang mengejutkan bahwa orang-orang yang berbeda sampai pada kesimpulan logis yang sama jika mereka telah sepakat dengan hukum-hukum dasarnya (aksioma), dan juga metode-metode darimana hukum-hukum yang lain akan diturunkan daripadanya. Tetapi ada alasan yang lain untuk reputasi tinggi dari matematika, yaitu bahwa matematikalah yang memberikan kepada ilmu-ilmu alam eksak suatu ukuran keamanan, yang tanpa matematika tidak dapat diperoleh.

Pada titik ini suatu teka-teki muncul dengan sendirinya yang pada segala jaman telah mengganggu para pemikir. Bagaimana mungkin matematika, yang merupakan produk pikiran manusia yang terlepas dari pengalaman, secara mencolok bersesuaian dengan obyek-obyek nyata? Adalah pemikiran manusia, yang kemudian, tanpa pengalaman, hampir-hampir melulu oleh perenungan, mungkin untuk mengukur dalamnya sifat-sifat hal-hal nyata.

Menurut saya jawaban atas pertanyaan ini adalah, ringkasnya, ini : -Sejauh hukum-hukum matematika mengacu pada kenyataan, tidak bersifat pasti; dan sejauh mereka bersifat pasti, tidak mengacu pada kenyataan. Tampaknya kejernihan yang lengkap mengenai hal-hal ini mulanya menjadi suatu sifat yang lumrah melalui bidang baru dalam matematika yang dikenal sebagai logika matematika atau "Aksiomatik". Kemajuan yang dicapai oleh aksiomatik adalah bahwa ia secara rapi telah memisahkan logika-formal dari pengertian objektif atau intuitifnya; menurut aksiomatik logika-formal itu sendiri membentuk benda-subyek dari matematik, yang tidak berkaitan dengan pengertian intuitif atau pengertian lain yang berhubungan dengan logika-formal.

Marilah kita sejenak memperhatikan dari sudut pandang ini sebarang aksioma dari geometri, misalnya, yang berikut : -Melalui dua titik dalam ruang akan selalu lewat satu dan hanya satu garis lurus. Bagaimana aksioma ini harus diinterpretasikan dalam cara lama dan dalam cara yang lebih modern ?

Penafsiran yang lebih tua: - Setiap orang tahu apakah garis lurus itu, dan apakah titik itu. Apakah pengetahuan ini berasal dari kemampuan pikiran manusia atau dari pengalaman, dari suatu hubungan antara dua orang atau dari sumber lain, bukanlah matematikawan yang akan memutuskan. Pertanyaan tersebut ditinggalkan untuk filsuf. Didasarkan atas pengetahuan ini, yang mendahului semua matematika, aksioma yang dikemukakan di atas adalah -seperti semua aksioma lainnya, bersifat membuktikan sendiri (self-evident)- pernyataan dari suatu bagian dari pengetahuan a priori.

Penafsiran yang lebih modern: Geometri memperlakukan entitas-entitas yang dinyatakan oleh kata-kata garislurus, titik, dan sebagainya. Entitas-entitas tersebut tidak mengambil begitu saja sebarang pengetahuan atau intuisi apapun, tetapi mengandaikan hanya kesahihan dari aksioma tersebut, seperti yang telah dinyatakan di atas, yang mana akan diambil dalam cara yang formal murni, yaitu sebagai terlepas dari semua pengertian intuitif atau pengalaman. Aksioma-aksioma ini adalah kreasi bebas dari pikiran manusia. Semua proposisi geometri yang lain adalah interpretasi logis dari aksioma-aksioma (yang akan diambil dalam pengertian nominalistik saja). Hal yang dibahas oleh geometri mulanya didefinisikan oleh aksioma-aksioma. Schlick dalam bukunya tentang epistemologi telah menjelaskan aksioma secara tepat sebagai "definisi implisit".

Pandangan ini tentang aksioma, dipimpin oleh aksiomatik modern, membersihkan matematika dari elemen-elemen luar, dan karenanya mengusir kegelapan mistik yang sebelumnya melingkupi prinsip-prinsip matematika. Tetapi suatu pernyataan dari prinsip-prinsip yang telah dijernihkan tersebut membuatnya juga merupakan bukti bahwa matematika semacam itu tidak dapat meramalkan apapun tentang obyek-obyek perseptual atau yang nyata. Dalam geometri aksiomatik kata-kata "titik", "garislurus", dan sebagainya berfungsi hanya sebagai skema konseptual kosong saja. Inilah yang menyebabkan substansi tidaklah relevan dalam matematika.

Namun demikian di sisi lain tentu saja matematika secara umum, dan khususnya geometri, berhutang keberadaan pada kebutuhan yang dirasakan untuk mempelajari sesuatu tentang hubungan-hubungan antara benda-benda nyata. Kata 'geometri' yang tentunya berarti mengukur-bumi membuktikan hal ini. Karena mengukur-bumi berarti berurusan dengan kemungkinan-kemungkinan dari disposisi dalam hubungan antara satu dengan yang lain, yaitu bagian-bagian bumi, mengukur garis, mengukur tongkat, dan sebagainya. Jelaslah bahwa sistem konsep-konsep dari geometri aksiomatik sendiri tidak dapat membuat penjelasan tentang hubungan-hubungan antar obyek-obyek nyata dari jenis ini, yang kita sebut benda-benda pejal-praktis.Untuk memungkinkan membuat penjelasan semacam itu, geometri haruslah dibuka dari karakter yang hampir-hampir logika-formal dengan jalan mengko-ordinatkan obyek-obyek nyata dari pengalaman dengan kerangka konseptual kosong dari geometri-aksiomatik. Untuk mencapai hal ini, kita memerlukan hanya tambahan proposisi : - Benda-benda pejal adalah berhubungan, dalam kaitannya dengan disposisi mereka yang mungkin, sebagai benda-benda dalam geometri Euclidean tiga dimensi. Kemudian proposisi-proposisi Euclidean memuat pengesahan (afirmasi) atas hubungan-hubungan antara benda-benda pejal-praktis tersebut.

Geometri yang dilengkapkan semacam itu adalah suatu bukti dari ilmu alam; kita dapat nyatanya menganggapnya sebagai cabang fisika yang paling kuno. Pengesahannya tinggal secara esensial pada induksi terhadap pengalaman, tetapi tidak pada inferensi logis saja. Kita akan menyebut geometri yang dilengkapkan tersebut sebagai 'geometri praktis', dan akan membedakannya dari 'geometri aksiomatik murni'. Pertanyaan apakah geometri praktis dari alam semesta bersifat Euclidean atau tidak kiranya memiliki arti yang jelas, dan jawabannya hanya dapat dilengkapi lewat pengalaman. Semua pengukuran linear dalam fisika adalah geometri praktis dalam artian tersebut, demikian pula pengukuran linear geodetik dan astronomi, jika kita mengingat hukum pengalaman bahwa cahaya merambat dalam bentuk garis lurus, dan sesungguhnya adalah suatu garis lurus dalam pengertian geometri praktis.

Saya menempatkan kepentingan khusus pada pandangan yang telah saya kemukakan di depan, karena tanpanya saya seharusnya tidak mungkin memformulasikan teori relativitas. Tanpanya perenungan berikut tidak akan mungkin: - Dalam suatu sistem acuan yang berotasi secara relatif terhadap suatu sistem inersial, hukum-hukum disposisi dari benda pejal tidak berhubungan dengan aturan-aturan geometri Euclidean akibat kontraksi Lorentz; jadi jika kita melibatkan sistem-sistem tidak-lembam kita harus meninggalkan geometri Euclidean. Langkah yang menentukan dalam transisi ke persamaan-persamaan ko-varian umum pastilah tidak akan diambil jika penafsiran di atas tidak berfungsi sebagai batu pijakan. Jika kita menolak hubungan antara bangun geometri Euclidean aksiomatik dan benda pejal-praktis yang nyata, kita akan sampai pada pandangan berikut, yang telah diambil oleh seorang pemikir yang tajam H. Poincare : - Geometri Euclidean adalah berbeda di atas geometri-geometri aksiomatik lain yang dapat dibayangkan karena kesederhanaannya. Sekarang karena geometri aksiomatik pada dirinya sendiri tidak memuat kaitan apapun dengan kenyataan yang dapat dialami, tetapi dapat melakukannya hanya dengan kombinasi dengan hukum-hukum fisika, maka seharusnya mungkin dan beralasan -apapun mungkin sifat kenyataan- untuk mempertahankan geometri Euclidean. Karena jika terdapat kontradiksi antara teori dan pengalaman, kita seharusnya lebih memilih untuk mengubah hukum-hukum fisika daripada mengubah geometri Euclidean aksiomatik. Jika kita menolak hubungan antara benda pejal-praktis dan geometri, kita sesungguhnya harus dengan mudah membebaskan diri kita dari konvensi bahwa geometri Euclidean harus dipertahankan sebagai yang paling sederhana. Mengapa ekivalensi dari benda pejal-praktis dan bangun geometri -yang menyarankan pada dirinya sendiri begitu langsung- ditolak oleh Poincare dan peneliti-peneliti lain? Secara sederhana karena di bawah inspeksi yang lebih dekat benda-benda pejal nyata dalam tidaklah kaku, karena perilaku geometrik mereka, bahwa kemungkinan mereka untuk mengalami disposisi relatif, bergantung pada temperatur, gaya-gaya eksternal, dan lain-lain. Karenanya, hubungan yang original dan segera antara geometri dan realitas fisis tampaknya lebur, dan kita merasa terdorong ke arah pandangan yang lebih umum, yang menjelaskan sudutpandang Poincare. Geometri (G) meramalkan tidak sesuatupun tentang hubungan-hubungan antara benda-benda nyata, tetapi hanya geometri bersama-sama dengan arti hukum-hukum fisis (P) dapat melakukan hal semacam itu. Menggunakan simbol-simbol, kita dapat mengatakan bahwa hanya jumlah dari (G) + (P) adalah subyek dari kontrol pengalaman. Jadi (G) mungkin dipilih semaunya (arbitrarily), dan juga bagian-bagian dari (P); semua hukum-hukum ini adalah konvensi. Semua yang diperlukan untuk menghindarkan kontradiksi adalah dengan memilih selebihnya dari (P) sedemikian sehingga (G) dan seluruh (P) bersama-sama bersesuaian dengan pengalaman. Dengan bayangan semacam itu, geometri aksiomatik dan bagian dari hukum alam yang telah diberikan suatu status konvensional tampak ekivalen secara epistemologis.

Sub specie aeterni Poincare, menurut saya adalah benar. Gagasan tentang mengukur batang dan lonceng yang terko-ordinatkan dengannya dalam teori relativitas tidak menemukan korespondensi eksak dalam dunia nyata. Adalah jelas pula bahwa benda pejal dan lonceng tidaklah dalam bangunan konseptual fisika memainkan peranan elemen-elemen yang tidak dapat direduksi kembali, tetapi bahwa struktur-struktur komposit, yang mungkin tidak memainkan peran independen dalan fisika teori. Tetapi adalah keyakinan saya bahwa pada tahap per-kembangan sekarang dari fisika teori gagasan-gagasan ini harus diperlakukan sebagai gagasan-gagasan independen; karena kita masih jauh dari memiliki pengetahuan tertentu dari prinsip-prinsip teori yang memungkinkan kita untuk memberikan konstruksi teoretis eksak dari benda-benda pejal dan lonceng-lonceng.

Lebih lanjut, karena keberatan bahwa tidak ada benda yang benar-benar kaku dalam alam, dan bahwa karena itu sifat-sifat yang diramalkan oleh benda-benda kaku tidak dapat diterapkan pada realitas fisis, -keberatan ini sama sekali tidak begitu radikal sebagaimana mungkin tampak oleh suatu pengujian yang tergesa-gesa. Karena bukanlah suatu tugas yang sulit untuk menentukan keadaan fisis dari suatu batang-pengukur begitu tepatnya bahwa perilakunya relatif terhadap benda-pengukur yang lain akan menjadi cukup bebas dari keraguan untuk mengijinkannya digantikan untuk benda "kaku". Adalah untuk benda-benda pengukur jenis ini bahwa pernyataan-pernyataan yang berkaitan dengan benda-benda kaku harus diacu.

Semua geometri praktis didasarkan pada suatu prinsip yang dapat diakses pada pengalaman dan yang mana kita sekarang akan coba untuk membuktikan. Kita akan menyebut yang mana ditutup antara dua batas, ditandai atas suatu benda kaku-praktis, suatu lintasan/trek (tract). Kita membayangkan dua benda kaku-praktis, masing-masing dengan sebuah lintasan dicatat padanya. Dua lintasan ini dikatakan menjadi "sama satu terhadap yang lain" jika batas-batas dari suatu lintasan dapat dibawa berimpit secara permanen dengan batas-batas dari lainnya. Kita sekarang menganggap bahwa :

Jika dua lintasan dijumpai menjadi sama sekali dan di manapun, mereka adalah sama selalu dan di setiap tempat.

Tidak hanya geometri praktis Euclid, tetapi juga generalisasi terdekatnya, geometri praktis Riemann, dan kemudian TRU (teori relativitas umum), bertumpu pada asumsi ini. Untuk alasan-alasan eksperimental yang menyokong asumsi ini saya hanya akan menyebut satu. Gejala rambatan cahaya dalam ruang hampa menyatakan suatu lintasan, yaitu jalur cahaya yang sesuai, untuk setiap selang waktu lokal, dan sebaliknya. Kemudian bahwa asumsi tersebut di atas untuk lintasan (trek) harus terbukti baik untuk selang waktu-lonceng dalam teori relativitas. Konsekuensinya itu dapat dirumuskan sebagai berikut : -Jika dua jam ideal berdetak dengan kecepatan sama pada suatu waktu dan di suatu tempat (berdekatan satu terhadap yang lain), mereka akan selalu berdetak dengan kecepatan yang sama pula, tidak peduli kapan dan di mana mereka dibandingkan lagi satu dengan yang lain pada suatu tempat. - Jika hukum ini tidak sahih untuk lonceng-lonceng nyata, frekuensi yang sesuai untuk atom-atom yang berbeda dari elemen kimia yang sama tidak akan berada dalam kesesuaian eksak sebagaimana pengalaman menunjukkan. Kehadiran garis-garis spektral tajam adalah suatu bukti eksperimen yang meyakinkan dari prinsip geometri praktis di atas. Adalah landasan ultimit pada kenyataan yang memungkinkan kita untuk berbicara dengan pengertian pengukuran, dalam artian Riemann tentang dunia, suatu kontinuum empat-dimensi ruang-waktu.

Pertanyaan apakah struktur kontinuum ini adalah Euclidean, atau bersesuaian dengan skema umum Riemann, atau jika tidak, adalah bersesuaian dengan pandangan yang di sini dibela, suatu pertanyaan fisika yang harus dijawab dengan pengalaman, dan bukan suatu pertanyaan yang hampir merupakan kesepakatan yang dipilih berdasarkan landasan praktis. Geometri Riemann akan menjadi benar jika hukum-hukum disposisi dari benda-benda kaku-praktis ditransformasikan ke dalam benda-benda geometri Euclid dengan ketelitian yang meningkat secara proporsional bersesuaian dengan dimensi dari bagian ruang-waktu yang ditinjau mengecil.

Adalah benar bahwa usulan ini tentang interpetasi fisis dari geometri ini akan rusak jika diterapkan langsung pada ruang-ruang ukuran sub-molekuler. Namun demikian, bahkan dalam pertanyaan-pertanyaan mengenai hukum-hukum yang mengatur partikel-partikel elementer, itu tetap mempertahankan sebagian peran pentingnya. Karena bahkan jika itu merupakan suatu pertanyaan untuk menjelaskan partikel-partikel elementer listrik yang membentuk materi, upaya mungkin harus tetap dilakukan untuk menjelaskan peran pentingnya secara fisis pada gagasan-gagasan tentang medan tersebut yang telah didefinisikan secara fisis untuk tujuan menjelaskan perilaku geometris dari benda-benda yang besar dibandingkan dengan molekul. Keberhasilan itu sendiri dapat memutuskan mengenai pembenaran upaya tersebut, yang mempostulasikan realitas fisis untuk prinsip- prinsip fundamental dari geometri Riemann di luar domain definisi-definisi fisisnya. Pada gilirannya adalah mungkin bahwa ekstrapolasi ini tidak memiliki jaminan yang lebih baik daripada ekstrapolasi gagasan temperatur pada bagian-bagian benda yang berukuran molekuler.

Tampaknya menjadi kurang problematis utnuk melanjutkan gagasan-gagasan geometri praktis pada ruang-ruang pada skala kosmik. Adalah mungkin, tentunya, berkeberatan bahwa suatu konstruksi yang terdiri dari batang-batang pejal yang makin lama makin menjauh dari kondisi kekakuan ideal secara proporsional ketika ukuran spasialnya membesar. Tetapi akan sulit, menurut saya, untuk menunjukkan kepentingan mendasar dari keberatan ini. Karena itu pertanyaan apakah alam semesta adalah tidak berhingga secara spasial (spatially infinite) atau tidak tampak bagi saya merupakan pertanyaan yang penting dalam kaitannya dengan geometri praktis. Saya bahkan tidak akan memandang sebagai tidak mungkin bahwa pertanyaan ini akan dijawab tidak terlalu lama lagi oleh astronomi. Mari kita ingat kembali apa yang TRU ajarkan dalam hubungan dengan pertanyaan itu. TRU menawarkan dua kemungkinan :

[1] Alam semesta adalah secara spasial tidak berhingga. Ini hanya dapat terjadi jika densitas spasial rerata dari materi dalam ruang universal, yang terkonsentrasi dalam bintang-bintang, melenyap; yaitu jika rasio massa total bintang-bintang pada ukuran ruang melalui mana mereka tersebar mendekati nilai nol jika ruang yang ditinjau secara konstan adalah lebih besar dan lebih besar.  

[2] Alam semesta adalah secara spasial berhingga. Ini harus demikian, jika ada densitas materi rata-rata dalam ruang universal yang berbeda dari nol. Semakin kecil densitas rata-rata tersebut, semakin besar volume ruang universal.

Saya harus tidak gagal untuk menyebutkan bahwa suatu argumen teoretis dapat diberikan untuk mendukung hipotesis alam semesta berhingga. TRU mengajarkan bahwa inersia dari suatu benda adalah lebih besar jika terdapat massa tertimbang yang lebih banyak di sekitarnya; jadi tampaknya alamiah untuk mereduksi efek total inersia suatu benda mejadi aksi dan reaksi di antaranya dan benda-benda lain dalam alam semesta, karena sesungguhnya -bahkan sejak jaman Newton- gravitasi telah direduksi menjadi aksi dan reaksi antara benda-benda. Dari persamaan-persamaan TRU dapat diturunkan bahwa total reduksi inersia ini ke aksi timbal-balik antar massa -sebagaimana diperlukan oleh E. Mach, misalnya- adalah mungkin hanya jika alam semesta adalah berhingga secara spasial (spatially finite).

Bagi banyak fisikawan dan astronom, argumen ini tidaklah mengejutkan. Pengalaman saja dapat menunjukkan manakah di antara dua kemungkinan itu yang terjadi di alam. Bagaimana dapat pengalaman melengkapkan suatu jawaban? Mulanya tampaknya mungkin untuk menentukan densitas rerata materi dengan mengobservasi bagian alam semesta yang dapat diakses pada persepsi kita. Harapan ini hanyalah ilusi. Distribusi bintang-bintang yang tampak sangatlah bersifat tidak beraturan (irregular), sedemikian sehingga kita tidak dapat menganggap densitas rata-rata materi-bintang alam semesta sebagai sama dengan, katakanlah, densitas rata-rata dalam Milky Way (Bima Sakti). Dalam kasus apapun, bagaimanapun besarnya ruang yang mungkin kita tinjau, kita tidak dapat merasa yakin bahwa tidak ada lagi bintang-bintang di luar ruang tersebut. Jadi tampaknya mustahil untuk memperkirakan densitas rata-rata.

Tetapi ada cara lain, yang tampak bagi saya lebih praktis, meskipun itu juga memiliki banyak kesulitan. Karena jika kita memeriksa ke dalam perbedaan-perbedaan yang ditunjukkan oleh konsekuensi-konsekuensi dari TRU yang dapat diakses lewat pengalaman, ketika hal-hal ini diperbandingkan dengan konsekuensi-konsekuensi dari teori Newton, kita pertama-tama akan menjumpai suatu perbedaan yang nampak di dekat massa yang bergravitasi, dan juga telah dikonfirmasi untuk kasus planet Merkurius (cf. perihelion planet Merkurius, pen.) Tetapi jika alam semesta adalah berhingga secara spasial (spatially finite) maka ada perbedaan kedua terhadap teori Newton, yang mana, dalam bahasa teori Newtonian, dapat dinyatakan sebagai berikut : - Medan gravitasi adalah bersifat sedemikian sehingga ia seolah-olah dibentuk, tidak saja oleh massa yang dapat ditimbang- tetapi juga oleh densitas-massa yang bertanda negatif., yang tersebar merata di seluruh ruang. Karena densitas-massa khayalan akan harus menjadi sangat kecil, itu dapat membuat kehadirannya dirasakan hanya dalam sistem bergravitasi yang sangat besar.

Anggaplah bahwa kita mengetahui, katakanlah, distribusi statistik dari bintang-bintang dalam Milky Way, sebaik massanya, kemudian oleh hukum Newton kita dapat menghitung medan gravitasi dan kecepatan rata-rata yang harus dimiliki oleh bintang-bintang tersebut, sedemikian sehingga Milky Way tidak akan runtuh akibat tarik-menarik mutual antara bintang-bintangnya, selain menjaga keadaan aktualnya. Sekarang jika kecepatan aktual dari bintang-bintang, yang dapat -tentu saja- diukur, adalah lebih kecil daripada kecepatan-kecepatan terhitungnya, kita seharusnya memiliki pembuktian bahwa tarik-menarik aktual pada jarak jauh adalah lebih kecil dibandingkan dengan hukum- hukum Newton. Dari perbedaan semacam itu, dapat dibuktikan secara tidak langsung bahwa alam semesta adalah berhingga (finite). Bahkan adalah mungkin untuk memperkirakan ukuran spasialnya.

Dapatkah kita menggambarkan suatu alam semesta tiga dimensi yang berhingga, namun tak berbatas ?

Jawaban umum atas pertanyaan ini adalah "Tidak," tetapi itu bukanlah jawaban yang tepat. Tujuan dari catatan berikut adalah untuk menunjukkan bahwa jawabannya seharusnya adalah "Ya." Saya ingin menunjukkan bahwa tanpa kesulitan berlebihan kita dapat melukiskan teori tentang alam semesta terbatas dengan bantuan citra mental yang -dengan beberapa latihan- kita segera akan terbiasa dengannya.

Mula-mula, suatu pengamatan dari sifat epistemologis. Suatu teori geometri-fisis yang sedemikian sehingga tidak mungkin untuk langsung dilukiskan, lalu menjadi hampir-hampir suatu sistem konsep belaka. Tetapi konsep-konsep ini melayani tujuan membawa banyak pengalaman-pengalaman sensorik yang nyata maupun imajiner ke dalam suatu hubungan dengan pikiran. Untuk 'memvisualisasi' suatu teori, atau mendekatkannya dengan pikiran seseorang, kemudian berarti memberikan suatu perwakilan (representation) terhadap sejumlah besar pengalaman untuk mana teori tersebut memberikan susunan skematik. Dalam kasus sekarang, kita harus menanyakan pada diri kita sendiri bagiamana kita dapat menghadirkan hubungan antara benda-benda pejal delam kaitannya pada disposisi timbal-balik (kontak) yang berkaitan dengan teori tentang alam semesta berhingga. Tidak ada sesuatupun yang baru dalam apa yang saya harus sampaikan mengenai ini; tetapi pertanyaan-pertanyaan yang tidak terhingga banyaknya yang muncul pada saya membuktikan bahwa tuntutan-tuntutan mereka yang haus akan pengetahuan mengenai hal-hal ini tidaklah dapat dipuaskan sepenuhnya. Jadi, mohonlah dimaafkan, jika bagian dari apa yang saya akan sampaikan berikut ini sudah lama diketahui.

Apa yang kita harapkan untuk nyatakan ketika kita katakan bahwa ruang kita adalah tidak berhingga ? Sama sekali tidak lebih daripada bahwa kita mungkin menempatkan sebarang benda apapun berukuran sama berjajaran tanpa pernah memenuhi ruang. Anggap bahwa kita memiliki sejumlah besar kubus kayu yang berukuran sama. Menurut geometri Euclidean kita dapat menempatkan mereka di atas, di samping, dan di belakang satu terhadap yang lain sedemikian untuk mengisi suatu bagian dari ruang berdimensi sebarang; tetapi konstruksi ini tidak akan pernah selesai; kita dapat menambahkan lagi dan lagi kubus-kubus baru tanpa pernah menemukan bahwa tidak ada lagi tempat. Inilah apa yang kita maksudkan bahwa suatu ruang bersifat tak-hingga. Akan lebih baik untuk mengatakan bahwa ruang adalah takhingga dalam hubungannya dengan benda-benda kaku-praktis, menganggap bahwa hukum-hukum disposisi dari benda-benda ini diberikan oleh geometri Euclidean.

Contoh lain dari suatu kontinuum tak-hingga adalah bidang. Pada suatu permukaan bidang kita mungkin menempatkan potongan-potongan kertas karton persegi sedemikian sehingga setiap sisi dari sebarang persegi memiliki sisi lain dari potongan lain bersebelahan dengannya. Konstruksi ini tidak pernah selesai; kita dapat selalu menempatkan potongan-potongan baru - jika hukum-hukum disposisi mereka berhubungan dengan gambaran bidang dari geometri Euclidean. Bidang tersebut karenanya adalah takhingga dalam hubungannya dengan persegi-persegi karton. Sesuai dengan itu, kita dapat katakan bahwa bidang adalah suatu kontinuum takhingga dua dimensi, dan ruang adalah suatu kontinuum takhingga tiga dimensi. Apa yang dimaksud di sini dengan jumlah dimensi, saya kira saya boleh menganggap telah diketahui.

Sekarang kita ambil contoh tentang kontinuum dua dimensi yang berhingga tetapi tidak berbatas (unbounded). Kita bayangkan permukaan sebuah bola yang besar dan sejumlah piringan kertas kecil yang berukuran sama. Jika kita menggerakkan piringan tersebut, ke manapun kita suka, pada permukaan dunia tersebut, kita tidak akan sampai pada tepian atau batas dari suatu kontinuum yang tidak berbatas (unbounded). Namun demikian, permukaan sferis (bentuk bola) tersebut adalah suatu kontinuum yang berhingga. Karena jika menempelkan piringan-piringan kertas pada bola tadi, sehingga tidak ada piringan yang saling menumpang, maka permukaan bola tadi akhirnya akan penuh sehingga tidak ada ruang tersisa untuk piringan baru. Ini secara sederhana berarti bahwa permukaan sferis dari bola tadi adalah berhingga dalam hubungannya dengan piringan-piringan kertas. Lebih lanjut, permukaan sferis adalah suatu kontinuum non-Euclidean dua dimensi, yang berarti, hukum-hukum disposisi untuk gambar-gambar kaku yang terletak di dalamnya tidak lagi bersesuaian dengan hukum-hukum untuk bidang Euclidean. Ini dapat ditunjukkan dalam cara berikut. Tempatkan suatu piringan kertas pada permukaan sferis, dan di sekitarnya dalam suatu lingkaran tempatkan enam buah piringan yang lain, yang masing-masing kemudian dikelilingi oleh enam piringan lagi, dan seterusnya. Jika konstruksi ini dibuat pada suatu permukaan bidang, kita memiliki suatu disposisi yang tidak terganggu di mana ada enam piringan yang menyentuh setiap piringan kecuali yang terletak di luarnya.

Pada permukaan sferis konstruksi tersebut kelihatannya menjanjikan keberhasilan pada akhirnya, dan semakin kecil radius piringan terhadap bola tersebut, semakin menjanjikan tampaknya. Tetapi bersamaan dengan kemajuan konstruksi tersebut akan semakin tampak bahwa disposisi piringan-piringan dengan cara tersebut, tanpa interupsi, tidaklah mungkin, sebagaimana dimungkinkan oleh geometri Euclidean dari permukaan bidang. Dalam cara ini mahluk-mahluk yang tidak dapat meninggalkan permukaan sferis, dan bahkan tidak dapat menarik diri dari permukaan sferis ke dalam ruang tiga dimensi, mungkin akan menemukan, hampir-hampir dengan mencoba seperti piringan-piringan tadi, bahwa "ruang" dua dimensi mereka tidaklah Euclidean, tetapi ruang sferis.

Dari hasil-hasil terakhir teori relativitas adalah mungkin bahwa ruang tiga dimensi kita adalah mendekati sferis, yaitu bahwa hukum-hukum disposisi benda-benda kaku di dalamnya tidaklah diberikan oleh geometri Euclidean, tetapi mendekati geometri sferis, jika saja kita mempertimbangkan bagian-bagian ruang yang cukup besar. Sekarang, di sini adalah tempat di mana imajinasi pembaca macet. "Tidak ada orang yang dapat membayangkan hal ini," keluhnya. "Itu dapat dikatakan, tetapi tidak dapat dipikirkan. Saya dapat melukiskan suatu permukaan sferis cukup baik, tetapi tidak ada sesuatupun yang analogi dengannya dalam tiga dimensi."

Kita harus mencoba untuk membuka sekat dalam pikiran tersebut, dan pembaca yang sabar akan melihat bahwa itu merupakan suatu tugas yang sulit. Untuk maksud tersebut kita akan pertama-tama memberikan perhatian kita sekali lagi pada geometri dari permukaan sferis dua-dimensi. Dalam gambar berikut (Gambar 2) anggaplah K sebagai permukaan sferis, bersinggungan pada S oleh bidang E, yang untuk kemudahan penggambaran, ditunjukkan dalam gambar sebagai ruang yang berbatas. Kemudian anggap L sebagai suatu piringan kecil pada permukaan sferis. Sekarang bayangkan bahwa pada titik N dari permukaan sferis, yang berlawanan secara diametris terhadap S, ada suatu titik cahaya, yang membentuk bayangan L' dari piringan L pada bidang E. Setiap titik dari bola tersebut memiliki bayangannya sendiri pada bidang. Jika piringan pada bola K digerakkan, bayangannya L' pada bidang E juga bergerak. Jika piringan L adalah pada S, itu hampir berhimpit secara persis dengan bayangannya. Jika itu digerakkan pada permukaan bola menjauhi S ke atas, bayangan piringan L' pada bidang juga bergerak menjauh dari S ke arah luar bidang, semakin lama semakin membesar. Jika piringan L mendekati titik cahaya N, bayangan akan menjadi tidak berhingga besarnya.

Sekarang kita memperoleh suatu pertanyaan, Hukum-hukum disposisi manakah dari bayangan-bayangan piringan L' pada bidnag E? Kenyataannya mereka persis sama dengan hukum-hukum disposisi dari piringan L pada permukaan sferis. Untuk setiap gambar asli pada K ada suatu gambar bayangan yang bersesuaian pada E. Jika dua piringan pada K bersentuhan, bayangannya pada E juga bersentuhan. Geometri bayangan pada bidang tersebut bersesuaian dengan geometri piringan pada bola tersebut. Jika kita menyebut bayangan-bayangan piringan tadi gambar-gambar kaku (rigid figures), maka geometri sferis menjadi berlaku pada bidang E dalam hubungannya dengan gambar-gambar kaku tersebut. Lebih lanjut, suatu bidang adalah berhingga dalam hubungannya dengan bayangan piringan, karena hanya sejumlah kecil bayangan dapat menemukan tempatnya dalam bidang.

Pada titik ini seseorang akan mengatakan,"Ini tidak masuk akal. Bayangan-bayangan piringan bukanlah gambar-gambar kaku. Kita hanya harus menggerakkan sekitar dua kaki pada bidang E untuk meyakinkan bahwa bayangan-bayangan tersebut terus-menerus membesar ukurannya ketika menjauhi S pada bidang ke arah ketidak-berhinggaan (infinity)." Tetapi apakah aturan dua-kaki tersebut (two-foot rule) akan berperilaku pada bidang E dengan cara yang sama seperti bayangan-piringan L'? Akan menjadi mustahil untuk menunjukkan bahwa bayangan-bayangan akan bertambah ukurannya ketika bergerak menjauhi S; pemikiran semacam itu tidak akan lagi memiliki arti apapun. Kenyataannya satu-satunya pemikiran obyektif yang dapat dibuat mengenai bayangan piringan hanyalah ini, bahwa mereka terkait dalam cara yang persis sama dengan piringan-piringan kaku pada permukaan bola dalam pengertian geometri Euclidean.

Kita harus berhati-hati mengingat bahwa pernyataan kita tentang pertumbuhan bayangan-piringan, ketika mereka menjauh dari S ke arah tak hingga, memiliki dalam dirinya sendiri tidak sesuatupun pengertian obyektif; sepanjang kita tidak dapat menerapkan benda-benda kaku Euclidean yang dapat digerakkan pada bidang E dengan maksud membandingkan ukuran dari bayangan-piringan. Dalam hubungannya dengan hukum-hukum disposisi dari bayangan-bayangan L', titik S tidak memiliki hak-hak istimewa pada bidang tersebut lebih daripada pada permukaan bola.

Penggambaran yang diberikan di atas tentang geometri sferis (bola) pada bidang adalah penting bagi kita, karena memungkinkan dengan cepat dapat ditransfer pada kasus tiga dimensi.

Bayangkan titik S dari ruang kita, dan sejumlah besar bola-bola kecil L', yang semuanya dapat dibawa bertepatan satu dengan yang lain. Tetapi bola-bola ini tidaklah kaku dalam pengertian geometri Euclidean; radiusnya akan bertambah (dalam pengertian geometri Euclidean) jika mereka bergerak menjauhi S ke arah takhingga, dan penambahan ini akan mengambil tempat secara tepat bersesuaian dengan hukum yang sama sebagaimana diterapkan pada penambahan radius dari bayangan piringan L' pada bidang.

Setelah memiliki suatu bayangan mental yang kokoh dari perilaku geometri dari bola-bola L', mari kita anggap bahwa dalam ruang kita tidak ada benda-benda kaku sama sekali dalam pengertian geometri Euclidean, tetapi hanya benda-benda yang memiliki perilaku dari bola-bola L' kita. Kemudian kita akan memiliki suatu penggambaran yang kokoh mengenai ruang sferis tiga dimensi, atau, daripada suatu geometri bola tiga dimensi. Di sini bola-bola kita haruslah disebut bola-bola 'kaku'. Penambahan ukuran mereka ketika mereka bergerak menjauhi S tidaklah dapat dideteksi dengan cara mengukur dengan mistar-pengukur, lebih daripada dalam kasus bayangan-bayangan piringan pada E, karena aturan-aturan pengukuran berperilaku dalam cara yang sama seperti bola-bola. Ruang adalah homogen, yang berarti, bahwa konfigurasi- konfigurasi sferikal yang sama adalah mungkin dalam lingkungan tersebut pada semua titik. Ruang kita adalah berhingga, karena, sebagai akibat dari "pertumbuhan" dari bola-bola tersebut, hanya sejumlah berhingga dari mereka dapat menemukan tempatnya dalam ruang.

Dengan cara ini, menggunakan sebagai batu pijakan cara berpikir dan visualisasi yang diberikan oleh geometri Euclidean, kita telah memperoleh suatu gambaran mental tentang geometri sferis. Kita boleh tanpa kesulitan menambahkan kedalaman dan pengertian tambahan pada gagasan-gagasan ini dengan membawa konstruksi khayalan khusus. Tidak juga sulit untuk menggambarkan kasus yang dikenal sebagai geometri eliptis dengan cara yang sama. Tujuan saya hari ini hanyalah menunjukkan bahwa kemampuan visualisasi manusia dapat meng-gambarkan geometri non-Euclidean.

Sumber: Dover edition, first published in 1983, is an unabridged and unaltered republication of the translation by G.B. Jeffery, D.Sc., first published by E.P. Dutton and Company, Publishers, N.Y., in 1922

Tidak ada komentar:

Posting Komentar