Pertanyaan: Bagaimana
pandangan mayoritas ulama tentang wilâyah fakih pasca ghaibah kubra (kegaiban
Imam Mahdi as)?
Jawaban Global
Lebih dari seabad lamanya
ulama Syiah telah membahas masalah, batasan dan kewenangan wilâyah
fakih. Sebagian ulama seperti Abu al-Shalah al-Halabi dan Ibnu Idris Hilli
dalam buku-buku mereka, dalam sebuah pasal tersendiri, membahas dan mengulas
tentang syarat-syarat deputi Imam Maksum As. Sebagian lainnya menyinggung
sebagian tugas seorang deputi Imam Maksum di sela-sela rangkaian pembahasan
tertentu. Sebagian lainnya seperti penulis “Miftâh al-Karâmah”
menyebutkan dalil-dalil pembahasan wilâyah fakih. Dan ulama lainnya
seperti Mulla Ahmad Naraki menjelaskan batasan tugas wali fakih. Sekelompok
juris seperti penyusun buku “Jawâhir al-Kalâm” secara rinci membahas
masalah ini dan kelompok lainnya menyinggungnya secara global dan ringkas.
Namun dalam pandangan mereka semuanya sepakat bahwa inti wilâyah fakih
adalah sebuah masalah yang pasti dan definitif.
Jawaban Detil
Semenjak masa Syaikh Mufid
(333 atau 413 – 338 H) hingga kini, ulama Syiah telah membahas masalah wilâyah
fakih. Sebagian ulama seperti Abu al-Shalah al-Halabi, dalam karyanya
mengkhususkan sebuah pasal sehubungan dengan wilâyah fakih dan
menyebutkan syarat-syarat deputi Imam Maksum as. Sebagian lainnya dalam
sela-sela rangkaian pembahasan tertentu menyinggung masalah wilâyah
fakih, syarat-syarat dan batasan kewenangannya. Namun dalam pandangan seluruh
ulama, inti masalah wilâyah fakih merupakan sebuah masalah yang pasti
dan definitif.
Untuk menjelaskan hal ini
lebih jauh, selayang pandang sejarah pembahasan wilâyah fakih, minus
pandangan Syaikh Mufid yang memerlukan ruang dan waktu lain,[1] di sini kita akan membahas dan mengkaji
pandangan sebagian juris besar Syiah terkait dengan masalah ini.
1.
Syaikh Abu al-Shalah al-Halabi (447 H)
Syaikh Abu al-Shalah
al-Halabi adalah salah seorang murid Sayid Murtadha dan Syaikh Thusi. Ia dalam
kitabnya al-Kâfi mengkhususkan masalah wilâyah fakih dalam sebuah
pasal dan menyebut pasal tersebut sebagai “Tanfidz al-Ahkâm”
(Implementasi Hukum-hukum). Ia berujar, “Implementasi hukum-hukum syariat dan
hukum-hukum yang bertautan dengan peribadatan merupakan salah satu kewajiban
dan terkhusus untuk para Imam Maksum As, bukan orang lain yang tidak memenuhi
kelayakan dan kriteria dalam pandangan mereka.”[2]
Dalam tuturan ini
disebutkan bahwa masalah pelaksanaan hukum-hukum syariat dan hukum yang
berdasarkan kepadanya termasuk seluruh masalah pemerintahan dan politik, adalah
hak eksklusif para Imam Maksum As dan orang-orang yang dipandang layak oleh
mereka. Syaikh Abu al-Shalah menambahkan penjelasan syarat-syarat orang-orang
seperti ini dan berkata, “Syarat-syarat deputi (perwalian) dari Imam Maksum As
adalah sebagai berikut:
1.
Ilmu yang benar terhadap sebuah hukum yang dihadapkan kepadanya.
2.
Kemampuan untuk melaksanakannya semampunya.
3.
Berakal dan berpikiran sehat.
4.
Jeli melihat persoalan.
5.
Nampaknya keadilan, kesucian dan keberagamaannya terhadap hukum.
6.
Kemampuan untuk menegakkan hukum dan meletakkanya pada tempatnya.[3]
Syarat-syarat ini adalah
pengingat sebuah ungkapan yang kita saksikan setelah berabad dalam pasal
seratus sembilan (109) konstitusi Republik Islam Iran yaitu syarat-syarat dan
tipologi seorang pemimpin (Rahbar):
1.
Kelayakan keilmuan yang diperlukan untuk memberikan fatwa dalam pelbagai
persoalan fikih.
2.
Keadilan dan ketakwaan yang diperlukan untuk memimpin umat Islam.
3.
Pandangan politik benar, sosial, manajerial, berani, kecakapan yang memadai
untuk menjadi pemimpin.
2.
Ibnu Idris Hilli (598 H)
Ibnu Idris Hilli dalam
kitab “Al-Sarâir” setelah kurang lebih satu abad setengah semenjak masa
Abu al-Shalah al-Halabi, juga mengkhususkan masalah wilâyah fakih dalam
sebuah pasal dan menyebutnya sebagai “Tanfidz al-Ahkam” yaitu Implementasi
Hukum-hukum. Dalam pasal ini, ia menyatakan sebuah ungkapan yang mirip dengan
pernyataan Abu al-Shalah yang mengungkapkan syarat-syarat orang yang memangku
jabatan ini setelah menjelaskan pengkhusuan pelaksanaan hukum bagi para Imam
Maksum As dan orang-orang yang memiliki kelayakan untuk hal ini. Satu-satunya
syarat yang ditambahkan dari syarat-syarat yang telah ada dalam ucapan Halabi
adalah “kesenantiasaan dalam memberikan fatwa dan beramal atasnya” yang boleh
jadi yang dimaksudnya ini adalah ijtihad seorang deputi yang telah disinggung
pada syarat pertama yaitu “Ilmu yang benar dalam sebuah hukum yang dihadapkan
kepadanya.”
3.
Muhaqqiq Hilli (676 H)
Muhaqqiq Hilli dalam
pembahasan khumus berkata demikian, “Orang yang harus mengurus penggunaan saham
Imam As bagi orang-orang yang layak mendapatkannya adalah orang yang merupakan
deputi imam sebagaimana pelaksanaan kewajiban-kewajiban syariat juga berada di
pundaknya.”
Zainuddin bin Ali Amili,
yang umumnya dikenal sebagai Syahid Tsani (966 H) dalam menjelaskan perkataan
ini, “Yang dimaksud oleh Muhaqqiq Hilli dari ungkapannya “seseorang yang
menjadi deputi imam” adalah juris adil bermazhab Imamiyah yang memenuhi seluruh
syarat dalam mengeluarkan fatwa; karena orang seperti ini adalah seorang deputi
yang telah diangkat oleh imam.”[4]
4.
Muhaqqiq Karaki (940 H)
Muhaqqiq Karaki sehubungan
dengan deputi imam menulis, “Para juris (fakih) Syiah bersepakat bahwa fakih
yang memenuhi seluruh syarat yang disebut sebagai mujtahid adalah deputi dari
sisi para Imam Maksum As dalam segala urusan perwalian yang terkait di
dalamnya. Karena itu wajib hukumnya untuk mematuhinya.”
Seorang wali (deputi)
dapat menjual harta seseorang yang tidak menunaikan kewajibannya. Ia memiliki
wewenang (wilâyah) atas harta benda orang-orang yang tidak ketahuan
entah dimana mereka berada, anak-anak, orang-orang dungu, orang-orang pailit
dan pendeknya atas segala apa yang ditetapkan bagi seorang hakim yang diangkat
oleh Imam Maksum As. Dalil atas masalah ini adalah riwayat Umar bin Hanzalah
dan riwayat-riwayat yang memiliki makna dan kandungan yang sama.[5]
Kemudian Muhaqqiq Karaki
mengimbuhkan, “Apabila seseorang menelaah dengan baik dan jujur jejak langkah
ulama Syiah seperti Sayid Murtadha, Syaikh Thusi, Bahrul Ulum, Allamah Hilli,
maka ia akan dapatkan bahwa mereka telah melalui jalan ini dan mempertahankan
model ini dan menyebutkannya dalam tulisan-tulisan mereka yang dipandang
sebagai pandangan valid dan benar terkait dengan masalah ini.”[6]
5.
Maula Ahmad Muqaddas Ardabili (990 H)
Muqaddas Ardabili sekaitan
dengan dianjurkannya (istihbâb) menyerahkan zakat kepada seorang juris
beragumentasi seperti ini, “Dalilnya adalah bahwa fakih lebih tahu tentang
penggunaan zakat dan ragam kelompok masyarakat berkumpul di sekitarnya karena
itu ia mengetahui siapa yang lebih prioritas dan layak untuk mendapatkan zakat
tersebut. Fakih adalah khalifah dan pengganti Imam Maksum As. Maka apa pun yang
sampai ke tangannya maka sesungguhnya telah diserahkan kepada Imam Maksum As.[7]
Haj Aghai Ridha Hamadani
(1322 H) juga menyatakan bahwa menyerahkan harta kepada seorang fakih adalah
laksana menyerahkannya kepada Imam Maksum As.[8]
6.
Jawad bin Muhammad Husaini Amili (1226 H)
Ia dalam karya
monumentalnya Miftâh al-Karâmah dan penguasaannya atas pandangan para
fukaha Syiah, berpandangan bahwa fakih (juris) adalah wali dan diangkat dari
sisi Imam Zaman Ajf: Fakih diangkat oleh Imam Zaman Ajf dan hal ini
disokong oleh akal, jima dan riwayat.
Adapun dari sudut pandang
akal: Apabila fakih tidak memiliki izin dan perwalian dari sisi Imam Zaman Ajf
maka urusan masyarakat akan menjadi sulit. Mereka akan berada dalam kondisi
terjepit dan pola hidup mereka akan tak teratur.
Dari sudut pandang ijma:[9] Maka realisasinya – sebagaimana yang telah
diakui – kita dapat mengklaim bahwa ulama Syiah bersepakat dalam masalah ini
dan konsesus (ijmâ) mereka adalah hujjah.
Dari sudut pandang
riwayat: Petunjuk yang disampaikan atas hal ini telah memadai dan cukup jelas.
Di antara riwayat tersebut adalah Shaduq[10] yang disebutkan dalam Ikmâl al-Din:
Imam As menulis jawaban atas pertanyaan-pertanyaan Ishak bin Ya’kub: “Pada
pelbagai peristiwa yang terjadi maka hendaklah engkau merujuk kepada para perawi
hadis kami; karena mereka adalah hujjahku atas kalian dan aku adalah hujjah
Allah.[11]
7.
Mullah Ahmad Naraqi (1245 H)
Naraqi berkata bahwa fakih
memiliki otoritas dan wewenang (wilâyah) atas dua perkara:
Wilâyah yang dimiliki Rasulullah Saw dan Imam Maksum – yang
merupakan para penguasa bagi masyarakat, benteng kuat dan kokoh Islam – fakih
juga memiliki wilâyah seperti ini kecuali dalam beberapa hal yang sesuai
dengan ijma dan nash dan lain sebagianya yang berada di luar domain wilâyah
fakih.
Setiap perbuatan yang
bertautan dengan agama dan dunia masyarakat dan mau-tidak-mau harus dilakukan,
baik secara rasional atau mengikut tradisi, dan yang berkaitan dengan dunia dan
akhirat seseorang, atau kelompok yang bergantung kepadanya, dan agama dan dunia
masyarakat terkait di dalamnya, atau dari sisi syariat, yang harus dilakukan
atasnya, atau para fakih telah mencapai konsensus atasnya atau sesuai dengan
tuntutan hadis, nafi dharar (melenyapkan kerugian) atau menafikan
kesulitan, atau kerugian bagi kaum Muslimin atau dalil lainnya (yang telah
diwajibkan) atau kewajiban atau larangan yang diperoleh dari Allah Swt yang
harus dikerjakan, dan dari sisi Allah Swt telah keluar izin untuk
melaksanakannya, namun tidak jelas petugas pelaksananya maka fakih harus
memikul dan menunaikan seluruh pekerjaan ini.[12]
8.
Syaikh Muhammad Hasan Najafi (1266 H)
Penulis buku Jawâhir
al-Kalâm sekaitan dengan keumuman wilâyah fakih menulis, “Keumuman wilâyah
fakih dapat disimpulkan dari amalan dan fatwa para sahabat dalam pelbagai bab
fikih. Bahkan boleh jadi dalam pandangan mereka merupakan masalah yang pasti
atau urgen dan gamblang.”[13] Menurut hemat saya, Allah Swt telah
mewajibkan kepada kita ketaataan kepada fakih sebagai “Ulil Amri.”
Dalilnya adalah kemutlakan dalil pemerintahan fakih khususnya riwayat dari Imam
Zaman Ajf.[14]
Syaikh Muhammad Hasan
Najafi menulis tentang domain wilâyah fakih, “Dari lahir sabda Imam yang
menyatakan secara umum tentang fakih jami’ al-syaraith: “Aku menjadikan
ia sebagai hakim bagi kalian.” Kemudian hal-hal khusus terkait dengan seseorang
tertentu ketika diangkat, “Aku menjadikannya sebagai hakim” dapat disimpulkan
bahwa sabda imam menunjukkan atas wilâyah umum fakih jâmi’
al-syarâith. Di samping itu, bahwa Imam Zaman Ajf bersabda, “Para perawi
hadis adalah hujjahku atas kalian dan Aku adalah hujjah Allah” dengamn baik
menunjukkan pelbagai kewenangan luas fakih di antaranya, “Melaksanakan dan
menegakkan hudud..” Bagaimanapun menegakkan hudud (syariat) dan
melaksanakannya pada masa ghaibat adalah wajib; karena perwalian dari Imam
Zaman Ajf pada banyak hal ditetapkan bagi fakih jâmi al-syarâith.
Fakih adalah memiliki
kedudukan seperti kedudukan Imam Maksum dalam urusan sosial dan politik. Dengan
demikian, tidak terdapat perbedaan antara fakih dan imam.
Hal ini merupakan suatu
hal yang telah dituntaskan di antara ulama dan para fakih. Karya-karya mereka
dipenuhi oleh masalah keharusan merujuk kepada seorang hakim yang menjadi
deputi imam pada masa okultasi (ghaibat). Apabila para fakih tidak
memiliki perwalian dari Imam Maksum As maka seluruh urusan yang berkenaan
dengan Syiah akan menganggur. Karena itu, ucapan-ucapan yang dilontarkan yang
mengandung keraguan tentang wilâyah umum fakih seolah-olah mereka tidak
pernah mencicipi kefakihan dan tidak memahami makna rahasia ucapan para Imam
Maksum As serta tidak memikirkan dengan baik sabda para Imam Maksum As yang
menyatakan, “Aku menjadikan fakih sebagai penguasa, khalifah, hakim dan
hujjah…” Sabda dan sabda-sabda semisalnya memahamkan kepada kita bahwa yang
dimaksud para Imam Maksum As adalah berdirinya sebuah tatanan dan pemerintahan
bagi para Syiah mereka, pada kebanyakan hal yang berkaitan dengan mereka,
dilaksanakan oleh fakih pada masa okultasi (ghaibat).
Atas dasar itu, Salar bin
Abdulaziz dalam kitab “Marâsim” meyakini bahwa para Imam Maksum As
mendelegasikan urusan ini kepada para juris (fakih). Pendeknya, masalah wilâyah
umum fakih sedemikian terang sehingga tidak memerlukan dalil untuk
menjelaskannya.[15]
9.
Syaikh Murtadha Anshari (1281 H)
Kendati Syaikh Anshari
tidak mutlak memberikan batasan wilâyah dalam kitab al-Makasib, namun
beliau menandaskan, “Wilâyah fakih dalam pelbagai urusan yang menegaskan
legalitasnya adalah bersifat tetap.”[16] Beliau dalam kitab al-Qadhâ setelah
membagi urusan-urusan yang berkenaan dengan Imam Maksum As menjadi dua bagian:
(Pertama, atas apa yang menjadi tugas individualnya. Kedua, atas wilâyah
yang dimilikinya). Syaikh Anshari menyatakan bahwa yang pertama berkaitan
dengan masa Imam Maksum As sendiri. Namun kedua mencakup setiap masa. Kemudian
memandang pengangkatan fukaha oleh Imam Maksum As berhubungan dengan bagian
kedua dan menyebutkan bahwa wilâyah para fakih sebagai pemerintahan
mereka pada masa okultasi (ghaibat).[17]
10.
Sayid Muhammad Bahrul Ulum (1326 H)
Sayid Muhammad Bahrul Ulum
memiliki sebuah pembahasan bahwa apakah dalil-dalil wilâyah fakih
menunjukkan wewenangnya atas masyarakat umum atau tidak? Ia berkata, “Terdapat
pembahasan penting di sini berkenaan dengan dalil-dalil wilâyah fakih
bahwa apakah dalil-dalil tersebut menunjukkan keumumannya atau tidak? Dalam
menjawab persoalan ini kita katakan bahwa kepemimpinan masyarakat umum dan
seluruh masyarakat dipikul oleh Imam Maksum As dan hal ini menyebabkan
masyarakat merujuk kepada Imam Maksum pada setiap urusan yang berkenaan dengan
kemaslahatan mereka, seperti urusan yang berhubungan dengan dunia dan akhirat,
dalam membasmi kejahatan dan menghilangkan keburukan. Sebagaimana bahwa setiap
bangsa merujuk kepada para pembesar mereka dalam masalah-masalah seperti ini
dan jelas bahwa hal ini menjadi sebab kuat dan kukuhnya pemerintahan Islam yang
realiasinya senantiasa menjadi salah satu tujuan Islam.
Dengan demikian, untuk
menjaga pemerintahan Islam, Imam Maksum harus menentukan penggantinya dan
hanyalah fakih jâmi’ al-syarâith (memenuhi selaksa syarat-syarat) yang
dapat memenuhi kriteria perwalian ini. Hal ini dapat disimpulkan dari sebagian
riwayat seperti “Pada pelbagai peristiwa yang terjadi maka hendaklah kalian
merujuk kepada para periwayat hadis kami.” Di samping itu, para fakih pada
banyak hal bersepakat bahwa orang-orang harus merujuk kepada fakih. Mereka
menyimpulkan keumuman wilâyah fakih ini, sesuai dengan dalil rasional
dan referensial. Serta nukilan ijma atas masalah ini melebihi batasan istifâdha.[18] Persoalan ini adalah persoalan jelas,
Alhamdulillah, dan tiada sangsi dan keraguan di dalamnya.[19]
11.
Ayatullah Burujerdi (1382 H)
Ayatullah Burujerdi
memandang bahwa wilâyah fakih dalam pelbagai urusan yang dihadapi pada
umumnya masyarakat merupakan perkara yang jelas dan gamblang. Beliau
mengungkapkan bahwa dalam hal ini kita tidak memerlukan hadis maqbulah
(yang diterima) dari Umar bin Hanzalah. Katanya, “Singkatnya, tiada isykalan
dalam masalah ini bahwa fakih adil diangkat untuk menunaikan urusan-urusan
penting yang umumnya dihadapi oleh masyarakat.” Dengan memperhatikan atas apa
yang telah kami sebutkan kami memandang bahwa kita tidak memerlukan hadis
Hanzalah untuk menetapkannya, meski hadis tersebut dapat dijadikan sebagai
salah satu bukti atas masalah ini.[20]
12.
Ayatullah Syaikh Murtadha Hairi (1362 S)
Ayatullah Syaikh Murtadha
Hairi berpandangan bahwa salah satu dalil wilâyah fakih adalah untuk
mengukuhkan syariat. Beliau menulis, Tanda tangan mulia Imam Zaman Ajf, yang
merupakan salah satu dalil wilâyah fakih, telah memadai untuk menetapkan
izin bagi fakih (untuk menunaikan shalat Jumat). Sanad tanda tangan mulia telah
kami jelaskan pada kitab “Ibtighâ al-Fâdhilah.” Dalam menyampaikan
argumentasi atas riwayat ini, terdapat sebuah isyakalan yang telah dijawab dan
dinyatakan bahwa isyakalan ini tertolak; karena riwayat ini bersifat mutlak dan
berada pada tataran mencari sebab (ta’lil) serta menjelaskan sebuah
prinsip universal dan pertanyaan global yang tidak akan menimbulkan masalah.
Karena itu, apabila pertanyaannya berkaitan dengan pelbagai peristiwa baru,
maka hal itu tidak akan menciderai keumumam riwayat tersebut; mengingat riwayat
bersifat umum dan sebab (illah) mengeneralisir hukum dan argumentasi
yang dilontarkan terhadap riwayat ini adalah sedemikian bahwa, “Fakih merupakan
hujjah dari sisi Imam Maksum As” dan arti bahwa ia adalah hujjah dari sisi Imam
Maksum As, dalam tradisi masyarakat, bermakna bahwa kalau dalam setiap urusan
masyarakat harus merujuk kepada Imam Maksum As maka fakih juga demikian adanya.[21]
13.
Imam Khomeini Qs (1368 S)
Imam Khomeini meyakini
bahwa fakih memiliki wilâyah mutlak. Wilâyah mutlak bermakna
bahwa seluruh wewenang dan tanggung jawab yang berada di pundak Imam Maksum As,
pada masa ghaibat berada di pundak fakih jâmi’ al-syarâith, kecuali
terdapat dalil khusus yang menyatakan sebagian wewenang dan tanggung jawab
tertentu terkhusus bagi Imam Maksum As.
Karena itu, Imam Khoemini
berkata, “Dari apa yang telah dijelaskan kita mengambil kesimpulan bahwa para
fakih memiliki wilâyah dari sisi para Imam Maksum As, dalam segala
urusan wilâyah yang dimiliki para Imam Maksum memiliki wilâyah.
Dan untuk mengeluarkan satu hal di bawah kaidah ini maka seharusnya secara
khusus masalah ini sampai di tangan Imam Maksum As. Berbeda dengan riwayat yang
mengatakan, “Urusan tersebut berada dalam wewenang imam,” atau “Imam bersabda
demikian,” dan seterusnya; karena hal ini akan menjadi tertetapkan bagi fakih
adil sesuai dengan dalil-dalil yang telah disebutkan. Kami telah menyinggung
bahwa, “Seluruh wewenang Rasulullah Saw dan para Imam Maksum As dalam urusan
pemerintahan dan kesultanan juga dapat berlaku bagi seorang fakih.”[22] [IQuest]
Beberapa Litetatur
untuk Telaah Lebih Jauh:
Mahdi Hadawi Tehrani, Wilâyat
wa Diyânat, Muassasah Farhanggi Khane-ye Kherad, Qum, Cetakan Kedua, 1380
S.
Catatan:
[1]. Silahkan lihat, Indeks, Wilayah Fakih dan
Syaikh Mufid, Pertanyaan 22.
[2]. Abu al-Shalah Halabi, al-Kâfi fi al-Fiqh,
hal. 422.
[3]. Ibid, hal. 423.
[4]. Zainuddin bin Ali al-Amili al-Jab’I, Masâlik
al-Afham, jil. 1, hal. 53.
[5]. Muhaqqiq Karaki, Rasâil al-Muhaqqiq
al-Tsâni, Risâlah Shalat al-Jum’ah, jil. 1, hal. 142.
[6]. Kita menyaksikan hal ini dalam
tuturan-tuturan Syaikh Mufid, Sayid Murtadha dan Syaikh Thusi.
[7]. Muqaddas Ardabili, Majma’ al-Fawâid wa
al-Burhân, jil. 4, hal. 205.
[8]. Haj Agha Ridha Hamadani, Mishbâh al-Faqih,
Kitâb al-Khums, hal. 160.
[9]. Ijma adalah kesepakatan dan konsensus ulama
dalam satu masalah yang mengisahkan adanya sebuah dalil standar dalam masalah
ini dan menampakkan pendapat para Maksum As.
[10]. Dalam pembahasan-pembahasan mendatang kami
akan menjelaskan bagaimana proses petunjuk riwayat ini. Silahkan lihat, dalam
artikel ini, pembahasan dalil-dalil wilayah fakih, dalil
referensial.
[11]. Husaini Amili, Miftah al-Karâmah (Kitâb
al-Qadhâ), jil. 10, hal. 21.
[12]. Ahmad Naraqi, ‘Awâid al-Ayyâm, hal.
187-188.
[13]. Muhammad Hasan Najafi, Jawâhir al-Kalâm,
jil. 16, hal. 178.
[14]. Syaikh Hurr al-Amili, Wasâil al-Syiah,
jil. 18, hal. 101, Kitâb al-Qadhâ, Abwâb Shifat al-Qadhâi, bab 9
-11.
[15]. Muhammad Hasan Najafi, Jawâhir al-Kalâm,
jil. 21, hal. 395-397.
[16]. Syaikh Murtadha Anshari, al-Makâsib,
hal. 154, Pertanyaan 34.
[17]. Syaikh Murtadha Anshari, Kitâb al-Qadhâ
wa al-Syahâdah, hal. 243-244.
[18]. Kebanyakan dan pada satu tempat yang
menukil riwayat atau hikayat ijma dari beberapa orang disebut sebagai khabar mustafidh
atau ijma manqul mustafidh.”
[19]. Sayid Muhammad Bahr al-Ulum, Balaghat
al-Faqih, jil. 3, hal. 221 dan 232-234.
[20]. Kitab al-Badr al-Zahir, Taqrir
Dars Ayatullah Burujerdi, hal. 52.
[21]. Murtadha Hairi, Shalat al-Jum’ah,
hal. 144.
[22]. Imam Khomeini Qs, Kitâb al-Ba’i,
jil. 2, hal. 488-489.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar