Minggu, 21 Desember 2014

Narasi Kuliner dan Problem Identitas



Membaca Konde Penyair Han* (Esai ini merupakan bagian kesimpulan dari esai panjang berjudul Narasi Kuliner dan Problem Identitas, Membaca Konde Penyair Han yang ada dalam buku Memasak Nasi Goreng Tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Kritik Sastra DKJ 2013)

Oleh Sulaiman Djaya

Refleksi Bersama

Membaca puisi-puisi Hanna Fransisca yang menarasikan diri mereka dengan ujaran reflektif dan sindiran halus itu, meski berangkat dari latar belakang kehidupan si penyairnya, entah kenangan dan ingatannya tentang tanah kelahiran plus kampung halaman dan sosok ibunya, dan upayanya menggunakan adat tradisi dan mitologi etnik Tionghoa sebagai reference dan kiasan puisi-puisinya, tersebut sebenarnya dapat dibaca sebagai refleksi bersama dalam konteks budaya dan lanskap kewargaan kita di Indonesia. Salah-satu contohnya, yang dengan mempersembahkan beberapa puisinya, yang merupakan dialog fiktif dan upaya mempersembahkan kepada sosok Gus Dur, itu seakan berusaha mengajak dan menegur kita secara halus untuk belajar “bagaimana menjadi manusia” dari figur KH. Abdurrahman Wahid, yang memang telah kita kenal sebagai figur pembela humanisme yang teguh dan lantang, seperti terlihat dalam perjuangan dan upayanya menolak dan melawan diskriminasi SARA dalam konteks politik dan budaya Indonesia.

Berangkat dari dan berdasar aras wawasan tersebut, sejumlah puisi yang termaktub dalam Konde Penyair Han-nya Hanna Fransisca pada dasarnya datang dari seorang wakil warga Negara Indonesia, dari salah-satu etnik dari sekian banyak etnik di negeri kita, ketika ia merasa ada “ketidakadilan”, “prasangka negatif”, dan “tuduhan sepihak” yang merasa perlu ia hadirkan dan ia wacanakan ke hadapan kita semua demi mendapatkan “pemahaman” dan “empati”. Maka wajar, jika dalam beberapa puisinya di buku Konde Penyair Han, itu Hanna Fransisca tak segan-segan menghadirkan dan menggambarkan etnik Tionghoa sebagai korban, utamanya korban amok politik pada peristiwa Mei 1998 di Jakarta.

Peristiwa Mei 1998 tersebut bahkan dapat dikatakan sebagai inspirasi dan rujukan penting bagi kreativitas penulisan beberapa puisinya. Dengan latar dan rujukan itu pulalah kemudian si penyairnya berusaha merefleksikannya dengan jalan menengok atau berziarah kembali ke “genealogy” wangsa dirinya, adat istiadat, dan mitologi Tionghoa, yang tentu saja, sangat ia kenal dan sangat ia akrabi, karena ia sendiri hidup bersama dan menghidupi adat istiadat, tradisi, dan mitologi etnik Tionghoa itu. Inilah salah-satu pijakan dan latar-belakang yang tak dapat diabaikan ketika kita membaca puisi-puisinya Hanna Fransisca dalam buku Konde Penyair Han.

Penerokaan dan refleksi seputar identitas dan etnisitas yang terpancar lewat dan dalam sejumlah puisi Hanna Fransisca dalam buku Konde Penyair Han itu mengingatkan saya pada refleksi-refleksi diarisnya Amin Maalouf yang cukup investigatif dan mencerahkan saat Amin Maalouf mencoba mengangkat dua isu penting tersebut dalam hidup kita secara politik dan kultural. Amin Maalouf dan Hanna Fransisca bahkan memiliki kemiripan reflektif, meski Amin dan Hanna menggunakan media yang berbeda untuk mengangkat soal-soal tersebut, esai dan puisi. Keduanya pun berangkat dari dunia politik-kultural dan pengalaman mereka masing-masing, yang karena sifatnya yang universal itu, kemudian memiliki nada keprihatinan yang tak jauh berbeda. Lewat esai-esai diaris-reflektifnya dalam bukunya yang berjudul In the Name of Identity itu, seperti halnya kemudian nada serupa tampak dalam sejumlah puisi Hanna, Malouf memaklumkan kita bahwa soal identitas dan etnisitas kerapkali menjadi sumber kekerasan dan pertikaian, meski apa yang kita sebut “identitas” itu sendiri sesungguhnya tak pernah ajeg. “Orang bertanya pada saya”, tulis Maalouf, “apakah saya lebih Perancis atau lebih Lebanon? Dan saya selalu melontarkan jawaban yang sama: Keduanya! Saya berkata demikian tidak memaksudkan supaya jawaban saya terdengar adil dan berimbang, tetapi karena jawaban yang lain sama artinya dengan kebohongan” (Amin Maalouf, 2004: 1-5).

Dilema identitas sebagaimana yang diungkapkan Maalouf tersebut serupa dengan dilema yang dialami dan dihidupi oleh Hanna Fransisca, seperti tergambar dalam sejumlah puisinya, di mana ia seorang etnik Tionghoa sekaligus “hidup” di Indonesia, hingga tak teringkari bahwa Hanna adalah seorang Tionghoa sekaligus Indonesia, dan itulah identitasnya, bila kita meminjam logika dan wawasannya Amin Maalouf.

Seperti halnya Maalouf, Hanna pun seakan-akan hendak mengatakan bahwa menetapkan identitas seseorang atau pun kelompok masyarakat secara ajeg bisa menimbulkan masalah dan mengingkari realitas dunia dan hidup saat ini, di mana banyak orang menyandang sematan identitas yang beragam secara bersamaan. Dalam dunia saat ini, sebagaimana diungkapkan Amin Maalouf dan Amartya Sen, misalnya, tak lagi bisa dipahami sebagai konsep general yang mengingkari pengalaman-pengalaman khusus dan unik setiap individu. Sebagai contoh, Kartu Identitas semisal KTP, mestilah lebih dipandang sebagai kebutuhan statistik saja ketimbang sebagai definisi substantif seseorang yang menyandangnya. Sebab, seperti telah kita maphumi bersama, di jaman ini sudah banyak sekali individu-individu yang sebenarnya hidup dengan sekian identitas campuran dan menghidupinya dengan sukarela atau terpaksa, seperti Amin Maalouf yang keturunan Arab-Libanon, beragama Kristen, mengenal bahasa Arab secara fasih yang juga merupakan bahasanya banyak kaum muslim, tapi pada saat bersamaan adalah seorang warga-negara Perancis dan menulis dalam bahasa Perancis. Kenyataan serupa juga dapat kita kiaskan pada kasus Hanna, seorang keturunan Tionghoa yang lahir di Singkawang, Kalimantan Barat, dan kini hidup di Jakarta, akrab dan menghidupi adat istiadat dan budaya Tionghoa, namun pada saat bersamaan tinggal di Indonesia dan menulis juga berbicara dengan dan dalam Bahasa Indonesia.

Selain Amin Maalouf dan Amartya Sen, kita juga bisa menimba refleksi bersama ini dari tulisan-tulisan dan wawasan filosofisnya Richard Rorty, tentu sebagai cermin untuk menilai dan melihat arti refleksi yang dihadirkan oleh sejumlah puisi Hanna Fransisca dalam Konde Penyair Han itu.  Dalam esai panjangnya yang berjudul Consequences of Pragmatism itu, Richard Rorty, yang diinspirasi oleh renungan-renungan filsafatnya Adorno dan Hannah Arendt, dan pengalaman sejarah nasionalisme modern dan rezim kekuasaan politik otoritarianismenya, kita diajak menengok sebuah masa ketika kesadaran kita tergiring kepada pengalaman pahit abad 20, ketika kepercayaan ideologis yang dogmatis malah memanen kekejaman dan kemalangan bagi jutaan ummat manusia. Dalam esai panjangnya yang berjudul Consequences of Pragmatism itu, contohnya, Rorty menginterupsi kepercayaan dan pemahaman kita tentang apa yang kita terima dan kita percayai sebagai kebenaran yang masih berbasis pendasaran metafisik dan universalisme yang mengatasi sejarah alias tidak didasarkan pada pengalaman kefanaan kita yang lebih nyata. “Truth is not the sort of thing one should expect to have a philosophically interesting theory about”, tulis Rorty, “truth is just the name of a property which all true statements share” (Richard Rorty, 1991: xiii-xxi).

Di sini, dialog dan sharing pemahaman merupakan media dan jalan yang mesti dipilih dalam lingkungan sosial dan situasi epistemik dunia modern saat ini, termasuk melalui tulisan dan penyebaran dan publikasi wacana. Menurut Rorty, contohnya,  sudah bukan saatnya lagi bagi kita untuk bertanya “apakah kita” seperti lazimnya filsafat tradisional, tetapi lebih baik bertanya “siapakah kita”, di mana dengan pertanyaan kedua itu kita akan lebih menyadari eksistensi dan posisi kita dalam keragaman dan situasi epistemik jaman ini. Singkatnya lebih realistis, sebagaimana yang juga dibayangkan oleh Amartya Sen dan Amin Maalouf. Tapi, sepertinya, meski hanya tersirat saja, dalam beberapa puisi Hanna Fransisca, pertanyaan dan refleksi “apakah kita” dan “siapakah kita” sama-sama penting. Lebih khusus dan spesifik, dalam kasus sejumlah puisi Hanna Fransisca sebagaimana yang termaktub dalam buku Konde Penyair Han itu, pertanyaan dan refleksinya menjadi “Apakah Tionghoa” dan “Siapakah Tionghoa”, yang kemudian seakan-akan hendak merenungkan, merefleksikan, dan mempertanyakan kembali “Apakah Indonesia” dan “Siapakah Indonesia”.

Dari sinilah kita dapat juga menilai kekhasan sejumlah puisi Hanna Fransisca, minimal dalam pemilihan tema dan isu pergulatan puisi-puisinya dalam buku Konde Penyair Han itu, di tengah dunia penulisan yang berjuang untuk tidak menjadi sekadar “hiburan” dan “propaganda” semata, jika saya meminjam istilahnya Daniele Sallenave, di tengah serbuan kamuflase (rekayasa) buku-buku yang melabelkan best sellers, di mana sastra atau penulisan rentan menjadi komoditas sesaat saja. Di sini, dengan meminjam langsung penuturannya Daniele Sallenave, sastra mendapati fungsi dirinya lebih pada upaya membuka suatu “renungan”, yang tak bakal berakhir dan tak bakal diakhiri, tentang  makna kehadiran manusia-manusia konkret (Kalam Edisi 9, 1997: 63-64). 

Setidak-tidaknya, apa yang “diidealkan” Daniele Sallenave tentang di mana sastra, yang dalam konteks tulisan ini dapat dikatakan di mana puisi, mesti menempati dirinya atau “menjalankan” fungsinya sebagai usaha membuka kemungkinan bagi “renungan” akan manusia-manusia atau subjek-subjek konkret itu tercermin juga dalam sejumlah puisi Hanna Fransisca dalam buku Konde Penyair Han. Sejumlah puisi Hanna Fransisca dalam buku Konde Penyair Han, meski tentu saja tak luput menjadi “pembelaan” subjektif dan sepihak, berusaha menempatkan dan memposisikan diri sebagai suara-suara “perenungan” dan “refleksi-investigatif” dalam soal-soal identitas, kewargaan, dan etnisitas, yaitu “Tionghoa” dan “Indonesia” pada saat bersamaan.

Pustaka

Buku:
Amin Maalouf, In the Name of Identity, Alih Bahasa: Ronny Agustinus, Resist Book 2004.
Amartya Sen, Kekerasan dan Ilusi Tentang Identitas, Alih Bahasa: Arif Susanto, Marjinkiri 2007.
Hanna Fransisca, Konde Penyair Han, KataKita 2010.
Jung Chang, Angsa-Angsa Liar, Alih Bahasa: Honggo Wibisana, Gramedia 2005.
Richard Rorty, Consequences of Pragmatism, Harvester 1991.
Risalah Dari Ternate, Ummu Press Oktober 2011.
Sauk Seloko, Dewan Kesenian Jambi 2012.
Tan Lioe Ie, Malam Cahaya Lampion, Bentang 2005.
Toety Heraty, Hidup Matinya Sang Pengarang, Yayasan Obor Indonesia 2000.
Tuah Tara No Ate, Ummu Press Oktober 2011.
Wahyu Arya, Sebuah Pintu yang Terbuka, Kubah Budaya 2012.

Jurnal dan Majalah:
Majalah BASIS Edisi Maret-April 2007.
Jurnal Kalam Edisi 9, 1997.
Majalah INTISARI Edisi Agustus 2004.

*Edisi yang utuh dan lengkap esai ini dapat dibaca di buku Memasak Nasi Goreng Tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 halaman 145-167. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar