Selasa, 02 Desember 2014

Musim Semi Puisi Rumi




Oleh Annemarie Schimmel

Dalam perjalanan saya mencari wilayah-wilayah pengetahuan baru, saya mendapat dukungan dari ibu yang tinggal bersama saya sejak Mei 1946, tak lama setelah ayah saya ditemukan tewas dalam pertempuran di Berlin. Ayah adalah satu dari begitu banyak laki-laki sepuh, sebagian besar tanpa punya kemampuan memegang senjata (dan hanya ada enam senjata untuk 25 orang!), yang dikirim untuk melawan tentara Rusia sebagai “barisan pertahanan utama”.

Salah satu aspek kehidupan saya yang menarik selama di Marburg adalah ternyata Friedrich Heiler termasuk orang pertama yang menyadari mengenai pentingnya peran perempuan dalam agama dan tradisi kesarjanaan. Seminar-seminar dan buku Die Fran in den Religionen sudah membahas isu ini jauh sebelum dunia akademis dan organisasi keagamaan membahasnya. Secara berseloroh kami menjulukinya sebagai “orang suci pelindung para perempuan professor.” Dalam perannya inilah ia dengan penuh semangat mengadvokasi perempuan untuk tampil sebagai pemimpin gereja. Akhirnya pada 1948 seorang perempuan pertama yang menduduki posisi tersebut, Märta Tamm-Götlind, mengunjunginya. Märta lalu mengundang saya untuk datang ke Swedia pada 1949. Setelah serangkaian kesulitan “eksternal”, saya berhasil memenuhi undangannya dan menghabiskan dua minggu di sebuah pulau kecil di pantai barat Swedia untuk melancarkan bahasa Swedia saya yang sebelumnya murni bahasa teologi. Setelah itu saya melewatkan hari-hari di Sigtuna yang jelita di utara Stockholm, dilanjutkan dengan sebulan penuh di Uppsala.

Saya cukup beruntung karena dapat bertemu dengan beberapa sarjana terkemuka studi-studi Oriental seperti H.S Nyberg dam Zetterstéen dan sejumlah sejarawan agama, antara lain Geo Widengren. Namun yang terpenting adalah hubungan dengan Gamla Ärkebiskopinna, janda Uskup Agung Söderblom, Anna, yang menerima kolega muda dan teman suaminya dengan kehangatan kasih sayangnya. Saya benar-benar menikmati setiap detik dari kunjungan tersebut dan merasa sangat dimanja. Saya tak pernah mengira bahwa 35 tahun kemudian Fakultas Ketuhanan di tempat ini menganugerahi saya sebuah gelar kehormatan. Harus diakui bahwa saya sangat bangga atas peristiwa tersebut, karena berkesempatan untuk menyampaikan rasa terima kasih atas nama penerima penghargaan serupa dalam bahasa Swedia: bahasa yang memungkinkan saya menyampaikan segenap kenangan indah dengan perasaan mendalam. Dan sekali lagi saya berkesempatan mencium harumnya bunga-bunga lila di sekitar Domkyrkan, sembari mencoba membaca baris-baris yang“ditulis” oleh sekawanan burung gagak yang terbang di atas gereja berlatar langit biru kristal.

Untuk ukuran mahasiswa yang sedang mempelajari bahasa-bahasaTimur, mungkin sangat aneh bahwa kami tak pernah berjumpa dengan seorang Arab pun, apalagi belajar di negeri Arab. Namun untuk konteks Jerman pasca-perang, bahkan sekadar mengunjungi negara tetangga pun sudah merupakan hal yang luar biasa. Salah satu dari kunjungan luar biasa ini terjadi ketika saya berpartisipasi dalam Konferensi Internasional Sejarah Agama yang pertama pada tahun 1950 di Amsterdam, di mana saya bertemu dengan para pendekar di bidang ini. Salah satu di antaranya adalah Louis Massignon, seorang tokoh yang tampaknya hanya tercipta dari cahaya putih karena tak tampak jejak material pada tubuhnya – seorang sufi yang berjuang tanpa lelah bagi mereka yang tak berdaya,  Muslim Aljazair, dan memadukan dalam dirinya semangat perjuangan dan cinta. Bertahun-tahun kemudian kami terlibat percakapan di sebuah lift super-padat di Tokyo mengenai rahasia mawar mistik, tak peduli dengan hiruk-pikuk manusia di sekitar kami.

Amsterdam membuka mata saya mengenai banyaknya cara untuk menafsirkan agama dari segi esensi dan manifestasinya: secara filologis, historis, teologis, dan sosiologis. Tak lama setelah itu saya berhasil meraih gelar doktor di bidang Sejarah Agama dari Fakultas Ilmu Ketuhanan di Marburg. Sayangnya tak lama berselang gereja Protestan di provinsi Hessen melarang fakultas memberikan gelar tersebut dengan alasan tidak sesuai dengan sikap gereja terkait studi agama-agama non-Kristen. Bukankah akan selalu ada risiko bahwa orang di luar Protestan akan menerima gelar dari sebuah fakultas Protestan?

Kunjungan singkat ke Swis pada musim semi 1951 mempertemukan saya dengan filsuf Rudolf Pannwitz, yang pemikiran menariknya – meski sangat sedikit yang mengenalnya di negara-negara berbahasa Jerman – membantu saya lebih menghargai filsafat Muhammad Iqbal, filsuf-penyair Indo-Muslim. Ketika itu juga saya pertama kali bertemu dengan Fritz Meier, tokoh paling otoritatif dalam studi-studi Sufisme yang kemudian menjadi tokoh yang saya hormati dan teman yang luar biasa hingga hari ini.

Sebuah kunjungan yang sangat menentukan jalan hidup saya terjadi pada 1952: kunjungan pertama ke Turki. Saya menerima dana yang tak terlalu besar untuk mempelajari manuskrip-manuskrip mengenai doa-doa dalam Islam di beberapa perpustakaan Turki. Saya segera jatuh cinta dengan Istanbul, dengan keramahan sahabat-sahabat Turki saya yang mengajarkan banyak hal mengenai budaya Islam dan sejarah klasik Turki. Pada akhir kunjungan pertama tersebut ternyata saya masih memiliki cukup uang untuk memenuhi impian hati selama ini. Saya segera terbang ke Konya untuk berziarah ke makam Maulana Jalaluddin Rumi yang wafat di tempat itu pada 1273. Setelah beberapa tahun membaca dan menerjemahkan beberapa puisinya yang “memabukkan”, saya merasa harus berangkat ke sana.

Dan Konya, kota kecil yang sepi, sama sekali tidak mengecewakan (tak seperti sekarang, ketika bangunan-bangunan apartemen sudah mengepung kota dan terkesan menghalau spiritualitas). Sambaran petir pada malam hari mengubah jalan-jalan yang kelabu dan taman-taman mungil menjadi surga yang sesungguhnya; jalan-jalan besar dipenuhi wangi igde (pohon musk willow), dan seketika itu saya paham mengapa puisi-puisi Rumi banyak disusupi oleh lagu-lagu musim semi. Itu semua bukan logo, atau imaji usang, yang berasal dari referensi dari kitab suci mengenai hari kebangkitan. Alih-alih, Rumi paham bahwa sambaran petir itu serupa dengan tiupan terompet Israfil yang mengumumkan kebangkitan semua makhluk dari kematian. Dan bukankah pohon-pohon di musim semi memang seolah mengenakan jubah hijau yang dikirim oleh Surga?

Saya begitu mencintai Turki sehingga musim gugur berikutnya saya kembali ke sana meski tanpa ada yang mendukung. Kalau saya pikir sekarang, dalam kedua kunjungan tersebut saya benar-benar merasakan ekstase yang sempurna, dan sumber kesenangan utama saya – di samping bekerja di perpustakaan– adalah menemukan Istanbul yang sesungguhnya. Seorang pustakawan dari perpustakaan besar Aya Sofia mengajak saya berjalan-jalan selepas jam kerja, membacakan sebuah puisi di setiap sudut kota, sehingga saya benar-benar mengalami kota tersebut melalui puisi. Saya pun sering duduk bersama dengan para penyair terkenal negeri itu untuk membahas berbagai masalah mengenai literatur modern – masalah yang dihadapi mereka yang berasal dari periode sebelum aksara Arab dilarang pada 1928, dan sampai sekarang tetap berusaha membebaskan diri dari belenggu sejarah.

Pada kunjungan kedua, teman-teman baru saya membantu saya mendapatkan akses ke sisi lain dari kebudayaan Turki, yakni tradisi terbaik sufisme Turki. Ada beberapa pedagang kaya yang menghabiskan malam-malam mereka dalam meditasi sunyi. Lalu ada Samiha Ayverdi, perempuan tokoh yang sangat dikenal di kalangan mistikus dan penulis. Samiha adalah penulis banyak buku dan artikel yang sering memakai imaji kehidupan tradisional. Di rumahnya saya diperkenalkan pada kebudayaan Turki Usmani, dan Samiha beserta keluarganya membukakan mata saya terhadap kecantikan abadi seni Islam yang paling halus, terutama kaligrafi. Saya sangat senang mendengarkan penjelasan-penjelasannya yang panjang, dengan kalimat-kalimat indah, sementara langit di atas Bosphorus tampak bagai diselimuti oleh awan yang terbentuk dari jutaan kuntum mawar. Beberapa minggu lalu, tepatnya pada Maret 1993, Samiha wafat pada malam Idul Fitri, tiga hari setelah saya mencium tangannya yang telah merapuh untuk terakhir kalinya.

Setelah dihibur oleh persahabatan dari sejumlah orang dari berbagai latar belakang, Jerman tiba-tiba tampak dingin dan tak bersahabat di mataku, dan dugaan kolega lama saya di Marburg tampak kian menjadi kenyataan. Lebih nyata ketimbang pada masa awal karir saya. Ada banyak orang yang tidak menyukai perempuan muda (menjadi perempuan sendiri sudah sesuatu yang buruk) menerbitkan sebuah buku berisi terjemahan puisi-puisi Oriental, lalu satu volume puisi-puisi Jerman dalam gaya Persia, dan (parahnya lagi!) lebih tertarik pada dimensi mistik dari Islam ketimbang hanya melihat aspek-aspek eksternal agama itu seperti sejarah atau filologi. Karena itu dengan gembira saya menerima tawaran dari Universitas Ankara untuk bergabung di Fakultas Teologi Islam yang baru mereka buka, untuk mengajar (dalam bahasa Turki) sejarah agama, meskipun saya adalah penganut Kristen.

Lima tahun berikutnya berjalan dengan indah, meskipun saya harus bekerja keras dengan jadwal yang ketat. Ibu saya menemani saya beberapa bulan dalam setahun, dan seperti saya, beliau juga sangat menyukai lanskap Anatolia dengan  jalan-jalannya yang panjang dan berdebu yang sering kami susuri berdua, sambil saya ditemani oleh puisi-puisi Yunus Emre, penyair abad pertengahan Turki.

Tahun-tahun di Ankara itu juga memberi saya kesempatan untuk mengunjungi desa-desa dan kota-kota kecil, menyaksikan langsung “kesalehan para perempuan tua” dan membahas berbagai pertanyaan mengenai kebenaran agama dengan para sufi dan orang-orang awam, serta berbagai adat dan praktik agama Islam. Pada saat bersamaan saya juga memiliki banyak sekali teman pendukung gagasan Ataturk. Saya menyaksikan bagaimana jurang perbedaan di antara dua wajah Turki kontemporer itu bertambah lebar tahun demi tahun. Ini adalah hasil Amerikanisasi superfisial yang dialami mereka yang berusaha melepaskan keterikatan dengan tradisi Islam-Turki di satu sisi, dan posisi yang kian mengeras dari mereka – sebagai reaksi dari perkembangan tersebut – yang memilih untuk berpaling pada “fundamentalisme” hukum di sisi lain.

Tentu kami juga mengunjungi Konya beberapa kali. Tak lama setelah kedatangan kami, saya diminta untuk menyampaikan makalah pada peringatan hari lahir Rumi yang untuk pertama kalinya diadakan pada 17 Desember1954. Itu adalah pertama kalinya para darwis sepuh berkumpul untuk melakukan sama’, konser sufi dan tarian berputar mereka yang sangat terkenal, setelah Ataturk melarang organisasi persaudaraan sufi pada 1925 berikut semua kegiatan mereka.

Ketika itu untuk pertama kalinya, di sebuah rumah pribadi, kami melihat mereka berputar-putar seperti sekelompok kupu-kupu putih dan mendengar musik yang benar-benar memikat  jiwa. Sejak itu Rumi semakin hidup dan menetap dalam benak saya sebagai inspirasi yang selalu segar dan menenangkan, hingga hari ini. Sayangnya saat ini tarian sufi telah mengalami kemunduran dan ditampilkan tak lebih dari sebuah drama rakyat untuk kepentingan pariwisata. Sama seperti mereka yang mengklaim telah menerjemahkan puisi-puisi Rumi ke dalam berbagai bahasa Barat, namun hanya sedikit memahami esensi, bahkan menyalah-pahami konsep-konsep yang dulu membuat kalbu penyair dan pemikir mistik tersebut benar-benar bergetar. Tapi siapa yang bersedia melakukan latihan 1001 hari, untuk mempelajari karya-karya Rumi yang ditulis dalam bahasa Persia, sementara musik, gerakan berputar terus-menerus dan meditasi secara perlahan akan “memanggang” sang darwis sampai ia benar-benar matang secara spiritual?

Ketika akhirnya saya mencapai kejenuhan dalam menghasilkan karya-karya kesarjanaan lima tahun kemudian, saya memutuskan untuk kembali ke Marburg. Tak seorang kolega pun tampak senang menerima kehadiran saya kembali.

Namun pada saat itu juga selembar benang lain muncul untuk memperkaya kain kehidupan saya. Sejak dulu saya adalah murid yang menghormati karya-karya Muhammad Iqbal, penyair Indo-Muslim (1877-1938) dan Bapak Spiritual Pakistan yang karya puitisnya menggabungkan -- dengan cara luar biasa -- capaian-capaian tertinggi Timur dan Barat yang masing-masing dipersonifikasikan oleh Rumi dan Goethe. Setelah Pakistan merdeka pada 1947, saya membeli beberapa buku hasil studi mengenal Iqbal. Sebuah kebetulan yang luar biasa –namun sebagian memang berkat Rudolf Pannwitz – saya terhubung dengan seorang penyair terkenal Jerman yang pernah menerjemahkan beberapa karya Iqbal dari bahasa Inggris ke bahasa Jerman. Ia mengirimkan hasil karya terjemahannya itu ke Lahore dan sekarang mereka memajangnya di Museum Iqbal. Karena tidak bisa membaca karya-karya Iqbal dalam bahasa Persia yang diberikan kepadanya oleh Iqbal sendiri sebagai tanda terimakasih, Harms Meinke memberikan kedua buku itu kepada saya. Yang pertama berjudul Payam-i mashriq, yang merupakan jawaban Iqbal terhadap karya Goethe West-Őstlicher Divan, dan Javid Namah, yang menceritakan perjalanan ruh ke langit ketujuh. Saya tidak bisa menahan keinginan untuk menerjemahkan yang kedua ini ke dalam bahasa Jerman. Minat saya terhadap karya ini sedemikian besar, sehingga saya tak bisa berhenti membicarakan pikiran-pikiran penulisnya yang luar biasa, penuh semangat pembaruan, namun sekaligus sangat sufistik. Banyak teman berkebangsaan Turki akhirnyamendesak saya untuk menerjemahkan epik ini ke dalam bahasa mereka – bukan dalam bentuk puisi, melainkan hanya ulasan saja. Semua ini mengantarkan saya untuk berkunjung ke Pakistan pada awal 1958.

Akhirnya bukan hanya kenangan dan gema karya Iqbal tersebut yang saya jumpai; saya pun mulai tertarik dengan beberapa bahasa asing lain dan karya-karya sastra negara itu. Saya terutama jatuh cinta pada Sindhi, bahasa yang digunakan oleh rakyat jelata di Lembah Industan. Membaca lirik-lirik mistis karya Shah Abdul Latif (w. 1752) dan para pengikutnya, menjanjikan sebuah petualangan spiritual tanpa akhir. Pemikiran Islam klasik penulisnya, kecenderungan-kecenderungan mistiknya, serta pengaruh unsur-unsur bhakti dari tradisi India terutama konsep mengenai perempuan sebagai representasi jiwa dalam pencariannya menuju Sang Kekasih Abadi, mampu memikat saya selama bertahun-tahun.

Saya sering teringat kepada kisah Padmanaba yang bijak, bacaan saya ketika masih anak-anak, yang mengenalkan seorang anak muda Arab kepada misteri tasawuf. Dari dinding-dinding nisan para sufi yang tersebar di seputar kota seolah menggema pesan: “Orang-orang tertidur, dan ketika mati baru mereka terjaga.[1] Dan alunan musik Sindi yang terdengar seperti rayuan gelombang bak mengantarkan pendengarnya pada kecintaan yang lebih dalam terhadap musik India dan musik Timur pada umumnya

(Annemarie Schimmel, 1993). Diterjemahkan oleh Nurul Agustina

Catatan:

[1] Salah-satu hadits atau perkataannya Imam Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar