Oleh Annemarie Schimmel
Dalam perjalanan saya
mencari wilayah-wilayah pengetahuan baru, saya mendapat dukungan dari ibu yang
tinggal bersama saya sejak Mei 1946, tak lama setelah ayah saya ditemukan tewas
dalam pertempuran di Berlin. Ayah adalah satu dari begitu banyak laki-laki
sepuh, sebagian besar tanpa punya kemampuan memegang senjata (dan hanya ada enam
senjata untuk 25 orang!), yang dikirim untuk melawan tentara Rusia sebagai
“barisan pertahanan utama”.
Salah satu aspek kehidupan
saya yang menarik selama di Marburg adalah ternyata Friedrich Heiler termasuk
orang pertama yang menyadari mengenai pentingnya peran perempuan dalam agama
dan tradisi kesarjanaan. Seminar-seminar dan buku Die Fran in den Religionen sudah membahas isu ini jauh sebelum
dunia akademis dan organisasi keagamaan membahasnya. Secara berseloroh kami
menjulukinya sebagai “orang suci pelindung para perempuan professor.” Dalam
perannya inilah ia dengan penuh semangat mengadvokasi perempuan untuk tampil
sebagai pemimpin gereja. Akhirnya pada 1948 seorang perempuan pertama yang
menduduki posisi tersebut, Märta Tamm-Götlind, mengunjunginya. Märta lalu
mengundang saya untuk datang ke Swedia pada 1949. Setelah serangkaian kesulitan
“eksternal”, saya berhasil memenuhi undangannya dan menghabiskan dua minggu di
sebuah pulau kecil di pantai barat Swedia untuk melancarkan bahasa Swedia saya
yang sebelumnya murni bahasa teologi. Setelah itu saya melewatkan hari-hari di
Sigtuna yang jelita di utara Stockholm, dilanjutkan dengan sebulan penuh di
Uppsala.
Saya cukup beruntung
karena dapat bertemu dengan beberapa sarjana terkemuka studi-studi Oriental
seperti H.S Nyberg dam Zetterstéen dan sejumlah sejarawan agama, antara lain
Geo Widengren. Namun yang terpenting adalah hubungan dengan Gamla Ärkebiskopinna, janda Uskup
Agung Söderblom, Anna, yang menerima kolega muda dan teman suaminya dengan
kehangatan kasih sayangnya. Saya benar-benar menikmati setiap detik dari
kunjungan tersebut dan merasa sangat dimanja. Saya tak pernah mengira bahwa 35
tahun kemudian Fakultas Ketuhanan di tempat ini menganugerahi saya sebuah gelar
kehormatan. Harus diakui bahwa saya sangat bangga atas peristiwa tersebut,
karena berkesempatan untuk menyampaikan rasa terima kasih atas nama penerima
penghargaan serupa dalam bahasa Swedia: bahasa yang memungkinkan saya menyampaikan
segenap kenangan indah dengan perasaan mendalam. Dan sekali lagi saya
berkesempatan mencium harumnya bunga-bunga lila di sekitar Domkyrkan, sembari
mencoba membaca baris-baris yang“ditulis” oleh sekawanan burung gagak yang
terbang di atas gereja berlatar langit biru kristal.
Untuk ukuran mahasiswa
yang sedang mempelajari bahasa-bahasaTimur, mungkin sangat aneh bahwa kami tak
pernah berjumpa dengan seorang Arab pun, apalagi belajar di negeri Arab. Namun
untuk konteks Jerman pasca-perang, bahkan sekadar mengunjungi negara tetangga
pun sudah merupakan hal yang luar biasa. Salah satu dari kunjungan luar biasa
ini terjadi ketika saya berpartisipasi dalam Konferensi Internasional Sejarah
Agama yang pertama pada tahun 1950 di Amsterdam, di mana saya bertemu dengan
para pendekar di bidang ini. Salah satu di antaranya adalah Louis Massignon,
seorang tokoh yang tampaknya hanya tercipta dari cahaya putih karena tak tampak
jejak material pada tubuhnya – seorang sufi yang berjuang tanpa lelah bagi
mereka yang tak berdaya, Muslim Aljazair, dan memadukan dalam dirinya
semangat perjuangan dan cinta. Bertahun-tahun kemudian kami terlibat percakapan
di sebuah lift super-padat di Tokyo mengenai rahasia mawar mistik, tak peduli
dengan hiruk-pikuk manusia di sekitar kami.
Amsterdam membuka mata
saya mengenai banyaknya cara untuk menafsirkan agama dari segi esensi dan
manifestasinya: secara filologis, historis, teologis, dan sosiologis. Tak lama
setelah itu saya berhasil meraih gelar doktor di bidang Sejarah Agama dari
Fakultas Ilmu Ketuhanan di Marburg. Sayangnya tak lama berselang gereja
Protestan di provinsi Hessen melarang fakultas memberikan gelar tersebut dengan
alasan tidak sesuai dengan sikap gereja terkait studi agama-agama non-Kristen.
Bukankah akan selalu ada risiko bahwa orang di luar Protestan akan menerima
gelar dari sebuah fakultas Protestan?
Kunjungan singkat ke Swis
pada musim semi 1951 mempertemukan saya dengan filsuf Rudolf Pannwitz, yang
pemikiran menariknya – meski sangat sedikit yang mengenalnya di negara-negara
berbahasa Jerman – membantu saya lebih menghargai filsafat Muhammad Iqbal,
filsuf-penyair Indo-Muslim. Ketika itu juga saya pertama kali bertemu dengan
Fritz Meier, tokoh paling otoritatif dalam studi-studi Sufisme yang kemudian
menjadi tokoh yang saya hormati dan teman yang luar biasa hingga hari ini.
Sebuah kunjungan yang
sangat menentukan jalan hidup saya terjadi pada 1952: kunjungan pertama ke
Turki. Saya menerima dana yang tak terlalu besar untuk mempelajari
manuskrip-manuskrip mengenai doa-doa dalam Islam di beberapa perpustakaan
Turki. Saya segera jatuh cinta dengan Istanbul, dengan keramahan
sahabat-sahabat Turki saya yang mengajarkan banyak hal mengenai budaya Islam
dan sejarah klasik Turki. Pada akhir kunjungan pertama tersebut ternyata saya
masih memiliki cukup uang untuk memenuhi impian hati selama ini. Saya segera
terbang ke Konya untuk berziarah ke makam Maulana Jalaluddin Rumi yang wafat di
tempat itu pada 1273. Setelah beberapa tahun membaca dan menerjemahkan beberapa
puisinya yang “memabukkan”, saya merasa harus
berangkat ke sana.
Dan Konya, kota kecil yang
sepi, sama sekali tidak mengecewakan (tak seperti sekarang, ketika
bangunan-bangunan apartemen sudah mengepung kota dan terkesan menghalau
spiritualitas). Sambaran petir pada malam hari mengubah jalan-jalan yang kelabu
dan taman-taman mungil menjadi surga yang sesungguhnya; jalan-jalan besar
dipenuhi wangi igde (pohon musk willow), dan seketika itu saya paham mengapa puisi-puisi Rumi banyak disusupi
oleh lagu-lagu musim semi. Itu semua bukan logo, atau imaji usang, yang berasal
dari referensi dari kitab suci mengenai hari kebangkitan. Alih-alih, Rumi paham
bahwa sambaran petir itu serupa dengan tiupan terompet Israfil yang mengumumkan
kebangkitan semua makhluk dari kematian. Dan bukankah pohon-pohon di musim semi
memang seolah mengenakan jubah hijau yang dikirim oleh Surga?
Saya begitu mencintai
Turki sehingga musim gugur berikutnya saya kembali ke sana meski tanpa ada yang
mendukung. Kalau saya pikir sekarang, dalam kedua kunjungan tersebut saya
benar-benar merasakan ekstase yang sempurna, dan sumber kesenangan utama saya –
di samping bekerja di perpustakaan– adalah menemukan Istanbul yang
sesungguhnya. Seorang pustakawan dari perpustakaan besar Aya Sofia mengajak
saya berjalan-jalan selepas jam kerja, membacakan sebuah puisi di setiap sudut
kota, sehingga saya benar-benar mengalami kota tersebut melalui puisi. Saya pun
sering duduk bersama dengan para penyair terkenal negeri itu untuk membahas
berbagai masalah mengenai literatur modern – masalah yang dihadapi mereka yang
berasal dari periode sebelum aksara Arab dilarang pada 1928, dan sampai
sekarang tetap berusaha membebaskan diri dari belenggu sejarah.
Pada kunjungan kedua,
teman-teman baru saya membantu saya mendapatkan akses ke sisi lain dari
kebudayaan Turki, yakni tradisi terbaik sufisme Turki. Ada beberapa pedagang
kaya yang menghabiskan malam-malam mereka dalam meditasi sunyi. Lalu ada Samiha
Ayverdi, perempuan tokoh yang sangat dikenal di kalangan mistikus dan penulis.
Samiha adalah penulis banyak buku dan artikel yang sering memakai imaji
kehidupan tradisional. Di rumahnya saya diperkenalkan pada kebudayaan Turki
Usmani, dan Samiha beserta keluarganya membukakan mata saya terhadap kecantikan
abadi seni Islam yang paling halus, terutama kaligrafi. Saya sangat senang
mendengarkan penjelasan-penjelasannya yang panjang, dengan kalimat-kalimat
indah, sementara langit di atas Bosphorus tampak bagai diselimuti oleh awan
yang terbentuk dari jutaan kuntum mawar. Beberapa minggu lalu, tepatnya pada
Maret 1993, Samiha wafat pada malam Idul Fitri, tiga hari setelah saya mencium
tangannya yang telah merapuh untuk terakhir kalinya.
Setelah dihibur oleh
persahabatan dari sejumlah orang dari berbagai latar belakang, Jerman tiba-tiba
tampak dingin dan tak bersahabat di mataku, dan dugaan kolega lama saya di
Marburg tampak kian menjadi kenyataan. Lebih nyata ketimbang pada masa awal
karir saya. Ada banyak orang yang tidak menyukai perempuan muda (menjadi
perempuan sendiri sudah sesuatu yang buruk) menerbitkan sebuah buku berisi
terjemahan puisi-puisi Oriental, lalu satu volume puisi-puisi Jerman dalam gaya
Persia, dan (parahnya lagi!) lebih tertarik pada dimensi mistik dari Islam
ketimbang hanya melihat aspek-aspek eksternal agama itu seperti sejarah atau
filologi. Karena itu dengan gembira saya menerima tawaran dari Universitas
Ankara untuk bergabung di Fakultas Teologi Islam yang baru mereka buka, untuk
mengajar (dalam bahasa Turki) sejarah agama, meskipun saya adalah penganut Kristen.
Lima tahun berikutnya
berjalan dengan indah, meskipun saya harus bekerja keras dengan jadwal yang
ketat. Ibu saya menemani saya beberapa bulan dalam setahun, dan seperti saya,
beliau juga sangat menyukai lanskap Anatolia dengan jalan-jalannya yang
panjang dan berdebu yang sering kami susuri berdua, sambil saya ditemani oleh
puisi-puisi Yunus Emre, penyair abad pertengahan Turki.
Tahun-tahun di Ankara itu
juga memberi saya kesempatan untuk mengunjungi desa-desa dan kota-kota kecil,
menyaksikan langsung “kesalehan para perempuan tua” dan membahas berbagai
pertanyaan mengenai kebenaran agama dengan para sufi dan orang-orang awam,
serta berbagai adat dan praktik agama Islam. Pada saat bersamaan saya juga
memiliki banyak sekali teman pendukung gagasan Ataturk. Saya menyaksikan bagaimana jurang perbedaan di antara dua wajah Turki
kontemporer itu bertambah lebar tahun demi tahun. Ini adalah hasil
Amerikanisasi superfisial yang dialami mereka yang berusaha melepaskan
keterikatan dengan tradisi Islam-Turki di satu sisi, dan posisi yang kian
mengeras dari mereka – sebagai reaksi dari perkembangan tersebut – yang memilih
untuk berpaling pada “fundamentalisme” hukum di sisi lain.
Tentu kami juga
mengunjungi Konya beberapa kali. Tak lama setelah kedatangan kami, saya diminta
untuk menyampaikan makalah pada peringatan hari lahir Rumi yang untuk pertama
kalinya diadakan pada 17 Desember1954. Itu adalah pertama kalinya para darwis
sepuh berkumpul untuk melakukan sama’,
konser sufi dan tarian berputar mereka yang sangat terkenal, setelah
Ataturk melarang organisasi persaudaraan sufi pada 1925 berikut semua kegiatan
mereka.
Ketika itu untuk pertama
kalinya, di sebuah rumah pribadi, kami melihat mereka berputar-putar seperti
sekelompok kupu-kupu putih dan mendengar musik yang benar-benar memikat
jiwa. Sejak itu Rumi semakin hidup dan menetap dalam benak saya sebagai
inspirasi yang selalu segar dan menenangkan, hingga hari ini. Sayangnya saat ini tarian sufi telah
mengalami kemunduran dan ditampilkan tak lebih dari sebuah drama rakyat untuk
kepentingan pariwisata. Sama seperti mereka yang mengklaim telah menerjemahkan
puisi-puisi Rumi ke dalam berbagai bahasa Barat, namun hanya sedikit memahami
esensi, bahkan menyalah-pahami konsep-konsep yang dulu membuat kalbu penyair
dan pemikir mistik tersebut benar-benar bergetar. Tapi siapa yang bersedia
melakukan latihan 1001 hari, untuk mempelajari karya-karya Rumi yang ditulis
dalam bahasa Persia, sementara musik, gerakan berputar terus-menerus dan
meditasi secara perlahan akan “memanggang” sang darwis sampai ia benar-benar
matang secara spiritual?
Ketika akhirnya saya
mencapai kejenuhan dalam menghasilkan karya-karya kesarjanaan lima tahun
kemudian, saya memutuskan untuk kembali ke Marburg. Tak seorang kolega pun
tampak senang menerima kehadiran saya kembali.
Namun pada saat itu juga
selembar benang lain muncul untuk memperkaya kain kehidupan saya. Sejak dulu
saya adalah murid yang menghormati karya-karya Muhammad Iqbal, penyair
Indo-Muslim (1877-1938) dan Bapak Spiritual Pakistan yang karya puitisnya
menggabungkan -- dengan cara luar biasa -- capaian-capaian tertinggi Timur dan
Barat yang masing-masing dipersonifikasikan oleh Rumi dan Goethe. Setelah
Pakistan merdeka pada 1947, saya membeli beberapa buku hasil studi mengenal
Iqbal. Sebuah kebetulan yang luar biasa –namun sebagian memang berkat Rudolf
Pannwitz – saya terhubung dengan seorang penyair terkenal Jerman yang pernah
menerjemahkan beberapa karya Iqbal dari bahasa Inggris ke bahasa Jerman. Ia
mengirimkan hasil karya terjemahannya itu ke Lahore dan sekarang mereka
memajangnya di Museum Iqbal. Karena tidak bisa membaca karya-karya Iqbal dalam
bahasa Persia yang diberikan kepadanya oleh Iqbal sendiri sebagai tanda
terimakasih, Harms Meinke memberikan kedua buku itu kepada saya. Yang pertama
berjudul Payam-i mashriq, yang
merupakan jawaban Iqbal terhadap karya Goethe West-Őstlicher Divan, dan Javid
Namah, yang menceritakan perjalanan ruh ke langit ketujuh. Saya tidak
bisa menahan keinginan untuk menerjemahkan yang kedua ini ke dalam bahasa
Jerman. Minat saya terhadap karya ini sedemikian besar, sehingga saya tak bisa
berhenti membicarakan pikiran-pikiran penulisnya yang luar biasa, penuh
semangat pembaruan, namun sekaligus sangat sufistik. Banyak teman berkebangsaan
Turki akhirnyamendesak saya untuk menerjemahkan epik ini ke dalam bahasa mereka
– bukan dalam bentuk puisi, melainkan hanya ulasan saja. Semua ini mengantarkan
saya untuk berkunjung ke Pakistan pada awal 1958.
Akhirnya bukan hanya
kenangan dan gema karya Iqbal tersebut yang saya jumpai; saya pun mulai
tertarik dengan beberapa bahasa asing lain dan karya-karya sastra negara itu.
Saya terutama jatuh cinta pada Sindhi, bahasa yang digunakan oleh rakyat jelata
di Lembah Industan. Membaca lirik-lirik mistis karya Shah Abdul Latif (w. 1752)
dan para pengikutnya, menjanjikan sebuah petualangan spiritual tanpa akhir.
Pemikiran Islam klasik penulisnya, kecenderungan-kecenderungan mistiknya, serta
pengaruh unsur-unsur bhakti
dari tradisi India terutama konsep mengenai perempuan sebagai representasi jiwa
dalam pencariannya menuju Sang Kekasih Abadi, mampu memikat saya selama
bertahun-tahun.
Saya sering teringat
kepada kisah Padmanaba yang bijak, bacaan saya ketika masih anak-anak, yang
mengenalkan seorang anak muda Arab kepada misteri tasawuf. Dari dinding-dinding
nisan para sufi yang tersebar di seputar kota seolah menggema pesan: “Orang-orang tertidur, dan ketika mati baru
mereka terjaga.”[1] Dan alunan
musik Sindi yang terdengar seperti rayuan gelombang bak mengantarkan
pendengarnya pada kecintaan yang lebih dalam terhadap musik India dan musik
Timur pada umumnya
(Annemarie Schimmel, 1993).
Diterjemahkan oleh Nurul Agustina
Catatan:
[1] Salah-satu
hadits atau perkataannya Imam Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar