Setelah Yazid bin
Muawwiyah mengangkat diri sebagai khalifah di Syam (wilayah sekitar Damaskus,
Suriah, Lebanon, dan Palestina) menggantikan ayahnya, Muawwiyah bin Abu Sufyan,
Imam Husain as diancam oleh kelompok Yazid untuk turut membai’at Yazid yang
terkenal keji itu. Tentu saja Imam Husain menolak, sebab sudah jamak diketahui
dengan nyata bahwa baik Yazid maupun ayahnya telah sama-sama melanggar dan
mengingkari perjanjian dengan kakaknya Imam Husain, yaitu Imam Hasan (yang
seperti sama-sama kita tahu diracun oleh Muawwiyah).
Ketika Penduduk Kufah
(Irak) mendengar sikap Imam Husain terhadap Yazid yang terkenal keji itu,
mereka langsung mengirim berbagai surat kepada Imam Husain. Menurut ragam
riwayat, ada lebih dari 500 surat yang diterima Imam Husain. Inti dari isi
surat itu ada tiga hal:
Penduduk Kufah tidak mau membai’at Yazid. Penduduk Kufah hanya mau taat jika Imam Husain dan
keluarga Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah sebagai khalifah. Mengundang Imam
Husain untuk datang ke Kufah agar bisa dibai’at.
Untuk menyelidiki
kebenaran ini, Imam Husain mengirim Muslim bin Aqil (sepupu Imam Husain) agar
memeriksa keadaan di Kufah yang sebenarnya. Ketika Muslim bin Aqil tiba di
Kufah, dia singgah di rumah Hani bin Urwah. Di rumah ini, banyak penduduk Kufah
yang membaiat Imam Husain melalui perwakilan Muslim bin Aqil. Merasa bahwa
penduduk Kufah telah loyal terhadap Imam Husain, Muslim mengirim surat kepada
Imam Husain, agar segera datang ke Kufah, karena semua telah disiapkan.
Berita tentang penduduk Kufah didengar oleh Yazid. Ketika itu Kufah termasuk daerah kekuasaan Bani Umayyah dengan Gubernurnya bernama Nu’ban bin Basyir. Namun karena Nu’man tidak perhatian dan mengabaikan dengan kejadian bai’at kepada Imam Husain di Kufah tersebut, ia dinon-aktifkan dan wilayah Kufah diserahkan kepada Ubaydillah Ibn Ziyad, yang ketika itu menjadi Gubernur Bashrah. Dengan demikian, Ubaydillah Ibn Ziyad memegang kekuasaan dua wilayah: Bashrah dan Kufah.
Ubaydillah pun menemui
Hani’ bin Urwah dan menanyakan tentang gejolak di Kufah. Ubaydillah ingin
mendengar sendiri penjelasan langsung dari Hani’ bin Urwah. Namun Hani’ tidak
mau mengaku, hingga dia dipenjara dan disiksa dengan kejam.
Dengan cara-cara kejam dan
barbar, siapa saja yang terindikasi mendukung Imam Husain, maka akan segera
disiksa dan dibunuh oleh Ubaydillah Ibn Ziyad dan para prajuritnya. Dan karenanya, penduduk Kufah
pun ketakutan dan hilanglah tekad mereka untuk mendukung Imam Husain as.
Tak lama kemudian Muslim
bin Aqil pun ditangkap, dan Ubaydillah memerintahkan agar dia dibunuh. Namun,
sebelum dieksekusi, Muslim bin Aqil meminta izin untuk mengirim surat kepada
Imam Husein as, dan keinginan terakhirnya itu dikabulkan oleh Ubaydullah bin
Ziyad.
Isi surat Muslim kepada
Imam Husain as itu adalah: “Pergilah,
pulanglah kepada keluargamu! Jangan engkau tertipu oleh penduduk Kufah.
Sesungguhnya penduduk Kufah telah berkhianat kepadamu dan juga kepadaku.
Orang-orang pendusta itu tidak memiliki akal”.
Dan akhirnya, Muslim bin
Aqil kemudian dibunuh dengan keji, tepatnya tanggal 9 Dzulhijjah, di hari
Arafah.
Dan setelah Muslim bin
Aqil, sang utusan Imam Husain as dibunuh dengan cara ditusuk dan disabet dengan
pedang-pedang pasukan Ubaydillah Ibn Ziyad atas perintah Yazid bin Muawwiyah
la’natullah, dan lalu tubuhnya dilempar dari atas menara tersebut, dua anak-nya,
yaitu Muhammad dan Ibrahim juga ditahan dan dibawa ke sel bawah tanah.
Diriwayatkan bahwa
Muhammad waktu itu masih berumur sepuluh tahun dan Ibrahim delapan tahun.
Pada tanggal 20 Zulhijah
tahun 60 Hijriah, ketika sipir penjara datang membawa makan untuk anak-anak
itu, ia melihat mereka sedang salat. Sipir pun kemudian menunggu. Ketika
anak-anak itu selesai salat, ia menanyakan siapa mereka sesungguhnya. Ketika
sipir tahu bahwa mereka adalah anak-anak Muslim bin Aqil, ia melepaskannya.
Anak-anak pun keluar dari penjara.
Di malam hari, yang
pertama ada di pikiran mereka adalah menemui Imam Husain as dan mengingatkannya
untuk tidak pergi ke Kufah. Tapi ke manapun mereka pergi, mereka melihat
jalanan diblokade oleh pasukan Ibnu Ziyad. Tidak mungkin untuk keluar dari
Kufah. Kondisi pun semakin larut. Ke mana anak-anak ini akan pergi?
Mereka sadar berada di
sisi sungai Eufrat. Mereka meminum air sungai dan menaiki pohon untuk
bersembunyi pada hari itu. Sampai akhirnya seorang wanita datang ke sungai
untuk mencari air. Ia melihat dua anak kecil dan bertanya siapa mereka. Ibrahim
menjawab, “Kami adalah dua anak yatim, maukah engkau
meninggalkan kami dan jangan beri tahu kalau engkau melihat kami?”
Wanita itu meminta mereka untuk ikut bersama menemui majikannya yang mungkin
bisa membantu.
Majikan wanita itu adalah
perempuan yang baik. Setelah berbicara kepada anak-anak itu, ia sadar siapa
mereka. Ia pun memberi mereka makan dan berkata, “Kalian bisa menghabiskan waktu di sini dan
saya akan coba membantu kalian. Sayangnya, suamiku Harits bekerja untuk Ibnu
Ziyad. Kalian dapat beristirahat di ruang penyimpan makanan tapi jangan membuat
suara karena ia akan segera pulang dan menemukan kalian.”
Anak-anak itu kemudian
berdoa dan pergi tidur. Malam harinya Muhammad bangun dan mulai menangis.
Ibrahim bertanya mengapa ia menangis, Muhammad menjawab, “Aku melihat ayah dalam mimpi. Ia memanggil
kita…” Ibrahim berkata, “Saudaraku, sabarlah. Aku
juga melihat ayah dalam mimpi dan memberi isyarat kepada kita.”
Kemudian mereka mulai
menangis. Harits yang sudah pulang mendengar suara. Ia membuka pintu dan
bertanya siapa kalian. Setelah mengetahui bahwa mereka adalah anak-anak Muslim
bin Aqil, ia mengikat anak-anak itu ke tiang. Istri Harits berusaha
menghentikannya tapi ia dipukul. Harits ingin mendapatkan hadiah yang Ibnu
Ziyad tawarkan kepada siapa saja yang bisa menangkap anak-anak itu.
Anak-anak Muslim bin Aqil
itu pun menghabiskan malam mereka dalam ikatan. Pagi harinya, Harits menyeret
mereka ke tepi sungai. Ia mengambil pedangnya. Ibrahim bertanya, “Harits, apakah engkau akan membunuh kami?”
Harits menjawab, “Ya!” Ibrahim
bertanya, “Kalau begitu, izinkan kami untuk menyelesaikan
salat subuh kami.”
Mereka berdua pun
melakukan shalat dan mengangkat tangan ke atas dan menangis, “Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’un! Ya Allah,
kami datang kepadamu. Berikan kepada ibu kami kekuatan ketika ia mendengar
kematian kami dan adililah antara kami dan pembunuh kami!”
Pedang itu pun melayang. Mereka dilemparkan ke sungai. Dua tubuh anak-anak Muslim
bin Aqil itu pun hanyut di sungai Furat (Eufrat).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar