Jumat, 01 Agustus 2014

Ijinkan Kami Shalat Sebelum Kau Bunuh Kami


Setelah Yazid bin Muawwiyah mengangkat diri sebagai khalifah di Syam (wilayah sekitar Damaskus, Suriah, Lebanon, dan Palestina) menggantikan ayahnya, Muawwiyah bin Abu Sufyan, Imam Husain as diancam oleh kelompok Yazid untuk turut membai’at Yazid yang terkenal keji itu. Tentu saja Imam Husain menolak, sebab sudah jamak diketahui dengan nyata bahwa baik Yazid maupun ayahnya telah sama-sama melanggar dan mengingkari perjanjian dengan kakaknya Imam Husain, yaitu Imam Hasan (yang seperti sama-sama kita tahu diracun oleh Muawwiyah).

Ketika Penduduk Kufah (Irak) mendengar sikap Imam Husain terhadap Yazid yang terkenal keji itu, mereka langsung mengirim berbagai surat kepada Imam Husain. Menurut ragam riwayat, ada lebih dari 500 surat yang diterima Imam Husain. Inti dari isi surat itu ada tiga hal:

Penduduk Kufah tidak mau membai’at Yazid. Penduduk Kufah hanya mau taat jika Imam Husain dan keluarga Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah sebagai khalifah. Mengundang Imam Husain untuk datang ke Kufah agar bisa dibai’at.

Untuk menyelidiki kebenaran ini, Imam Husain mengirim Muslim bin Aqil (sepupu Imam Husain) agar memeriksa keadaan di Kufah yang sebenarnya. Ketika Muslim bin Aqil tiba di Kufah, dia singgah di rumah Hani bin Urwah. Di rumah ini, banyak penduduk Kufah yang membaiat Imam Husain melalui perwakilan Muslim bin Aqil. Merasa bahwa penduduk Kufah telah loyal terhadap Imam Husain, Muslim mengirim surat kepada Imam Husain, agar segera datang ke Kufah, karena semua telah disiapkan.

Berita tentang penduduk Kufah didengar oleh Yazid. Ketika itu Kufah termasuk daerah kekuasaan Bani Umayyah dengan Gubernurnya bernama Nu’ban bin Basyir. Namun karena Nu’man tidak perhatian dan mengabaikan dengan kejadian bai’at kepada Imam Husain di Kufah tersebut, ia dinon-aktifkan dan wilayah Kufah diserahkan kepada Ubaydillah Ibn Ziyad, yang ketika itu menjadi Gubernur Bashrah. Dengan demikian, Ubaydillah Ibn Ziyad memegang kekuasaan dua wilayah: Bashrah dan Kufah.

Ubaydillah pun menemui Hani’ bin Urwah dan menanyakan tentang gejolak di Kufah. Ubaydillah ingin mendengar sendiri penjelasan langsung dari Hani’ bin Urwah. Namun Hani’ tidak mau mengaku, hingga dia dipenjara dan disiksa dengan kejam.

Dengan cara-cara kejam dan barbar, siapa saja yang terindikasi mendukung Imam Husain, maka akan segera disiksa dan dibunuh oleh Ubaydillah Ibn Ziyad dan para prajuritnya. Dan karenanya, penduduk Kufah pun ketakutan dan hilanglah tekad mereka untuk mendukung Imam Husain as.

Tak lama kemudian Muslim bin Aqil pun ditangkap, dan Ubaydillah memerintahkan agar dia dibunuh. Namun, sebelum dieksekusi, Muslim bin Aqil meminta izin untuk mengirim surat kepada Imam Husein as, dan keinginan terakhirnya itu dikabulkan oleh Ubaydullah bin Ziyad.

Isi surat Muslim kepada Imam Husain as itu adalah: “Pergilah, pulanglah kepada keluargamu! Jangan engkau tertipu oleh penduduk Kufah. Sesungguhnya penduduk Kufah telah berkhianat kepadamu dan juga kepadaku. Orang-orang pendusta itu tidak memiliki akal”.

Dan akhirnya, Muslim bin Aqil kemudian dibunuh dengan keji, tepatnya tanggal 9 Dzulhijjah, di hari Arafah.

Dan setelah Muslim bin Aqil, sang utusan Imam Husain as dibunuh dengan cara ditusuk dan disabet dengan pedang-pedang pasukan Ubaydillah Ibn Ziyad atas perintah Yazid bin Muawwiyah la’natullah, dan lalu tubuhnya dilempar dari atas menara tersebut, dua anak-nya, yaitu Muhammad dan Ibrahim juga ditahan dan dibawa ke sel bawah tanah.

Diriwayatkan bahwa Muhammad waktu itu masih berumur sepuluh tahun dan Ibrahim delapan tahun.

Pada tanggal 20 Zulhijah tahun 60 Hijriah, ketika sipir penjara datang membawa makan untuk anak-anak itu, ia melihat mereka sedang salat. Sipir pun kemudian menunggu. Ketika anak-anak itu selesai salat, ia menanyakan siapa mereka sesungguhnya. Ketika sipir tahu bahwa mereka adalah anak-anak Muslim bin Aqil, ia melepaskannya. Anak-anak pun keluar dari penjara.

Di malam hari, yang pertama ada di pikiran mereka adalah menemui Imam Husain as dan mengingatkannya untuk tidak pergi ke Kufah. Tapi ke manapun mereka pergi, mereka melihat jalanan diblokade oleh pasukan Ibnu Ziyad. Tidak mungkin untuk keluar dari Kufah. Kondisi pun semakin larut. Ke mana anak-anak ini akan pergi?

Mereka sadar berada di sisi sungai Eufrat. Mereka meminum air sungai dan menaiki pohon untuk bersembunyi pada hari itu. Sampai akhirnya seorang wanita datang ke sungai untuk mencari air. Ia melihat dua anak kecil dan bertanya siapa mereka. Ibrahim menjawab, “Kami adalah dua anak yatim, maukah engkau meninggalkan kami dan jangan beri tahu kalau engkau melihat kami?” Wanita itu meminta mereka untuk ikut bersama menemui majikannya yang mungkin bisa membantu.

Majikan wanita itu adalah perempuan yang baik. Setelah berbicara kepada anak-anak itu, ia sadar siapa mereka. Ia pun memberi mereka makan dan berkata, “Kalian bisa menghabiskan waktu di sini dan saya akan coba membantu kalian. Sayangnya, suamiku Harits bekerja untuk Ibnu Ziyad. Kalian dapat beristirahat di ruang penyimpan makanan tapi jangan membuat suara karena ia akan segera pulang dan menemukan kalian.”

Anak-anak itu kemudian berdoa dan pergi tidur. Malam harinya Muhammad bangun dan mulai menangis. Ibrahim bertanya mengapa ia menangis, Muhammad menjawab, “Aku melihat ayah dalam mimpi. Ia memanggil kita…” Ibrahim berkata, “Saudaraku, sabarlah. Aku juga melihat ayah dalam mimpi dan memberi isyarat kepada kita.”

Kemudian mereka mulai menangis. Harits yang sudah pulang mendengar suara. Ia membuka pintu dan bertanya siapa kalian. Setelah mengetahui bahwa mereka adalah anak-anak Muslim bin Aqil, ia mengikat anak-anak itu ke tiang. Istri Harits berusaha menghentikannya tapi ia dipukul. Harits ingin mendapatkan hadiah yang Ibnu Ziyad tawarkan kepada siapa saja yang bisa menangkap anak-anak itu.

Anak-anak Muslim bin Aqil itu pun menghabiskan malam mereka dalam ikatan. Pagi harinya, Harits menyeret mereka ke tepi sungai. Ia mengambil pedangnya. Ibrahim bertanya, “Harits, apakah engkau akan membunuh kami?” Harits menjawab, “Ya!” Ibrahim bertanya, “Kalau begitu, izinkan kami untuk menyelesaikan salat subuh kami.”

Mereka berdua pun melakukan shalat dan mengangkat tangan ke atas dan menangis, “Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’un! Ya Allah, kami datang kepadamu. Berikan kepada ibu kami kekuatan ketika ia mendengar kematian kami dan adililah antara kami dan pembunuh kami!” Pedang itu pun melayang. Mereka dilemparkan ke sungai. Dua tubuh anak-anak Muslim bin Aqil itu pun hanyut di sungai Furat (Eufrat).

Sulaiman Djaya 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar