Pada
hari kelabu tanggal 10 Muharram yang disebut hari Asyura itu, sesuai rencana
Imam Husain as dan istrinya, Hazrat Sahr Banu, Dzuljanah sempat menunaikan
tugasnya melarikan Shar Banu ke suatu tempat. Dalam sejarah dikisahkan sebagai
berikut:
Tatkala
Dzuljanah kembali ke perkemahan tanpa tuan yang telah menungganginya, seorang
wanita yang mengenakan hijab tertentu turut mendekati Dzuljanah lalu
menciuminya sambil meratap dan memeras air mata kesedihan. Wanita itu adalah
Sahr Banu as, satu-satunya wanita non-Arab diantara wanita keluarga Imam Husain
as yang mengerumuni Dzuljanah yang sudah penuh luka itu. Dia adalah puteri raja
Persia yang telah mendapat anugerah Allah untuk menikah dengan cucu Rasul, Imam
Husain as, dan setia kepadanya hingga akhir hayatnya sehingga dia tergolong
wanita paling mulia. Tentang jatidirinya, ibu para imam suci sesudah Imam
Husain ini berkisah sendiri sebagai berikut:
“Di
suatu malam aku pernah bermimpi berjumpa dengan Khatamul Anbiya Muhammad AlMustafa
saww. Beliau singgah di beranda istanaku yang megah. Beliau bersabda kepadaku:
‘Hai puteri raja Persia, aku telah menjodohkan kamu dengan puteraku,
Husain.’ Rasul kemudian pergi meninggalkan istana. Setelah itu aku
didatangi oleh seorang wanita mulia, Fatimah Azzahra as yang diiringi oleh para
bidadari. Beliau memelukku sambil berkata: ‘Kamu adalah calon isteri puteraku.
Kamu adalah menantuku. Ketahuilah bahwa tak lama lagi umat Islam akan
menaklukkan (kerajaan)-mu sehingga kamu akan menjadi tawanan. Tetapi janganlah
kamu risau, karena di Madinah kamu akan berjumpa dengan (calon) suamimu.'”
Benar,
tak lama setelah itu terjadilah perang besar antara pasukan Islam dan pasukan
imperium Persia. Prajurit Islam berhasil menaklukkan kerajaan besar ini. Sang
raja melarikan diri, sementara sebagian dari keluarga istana, termasuk
puteri-puteri raja, tertangkap dan menjadi tawanan. Mereka diboyong ke
Madinah. Kedatangan puteri sang raja mengundang perhatian warga Madinah
sehingga mereka datang berbondong-bondong untuk menyaksikannya. Saat itu, di
dalam masjid khalifah Umar menanyakan dimana puteri-puteri raja itu. Orang-orang
lantas menunjukkan mereka. Rupanya, satu diantara mereka nampak sangat anggun
dan seperti bercahaya. Umar meminta puteri anggun supaya memperlihatkan
wajahnya yang tersembunyi di balik cadar. Namun, puteri ketakutan dan menolak.
Diperlakukan
seperti itu, Umar sebagai khalifah tersinggung berat sehingga dia memerintahkan
supaya tawanan yang satu ini dihukum mati. Untungnya, diantara hadirin terdapat
Imam Ali bin Abi Thalib as. Sepupu Rasul ini bangkit menentang perintah
eksekusi itu. “Dosa apa puteri sehingga kamu akan mengeksekusinya?” Kilah
Imam Ali as.
“Orang
ajam (non Arab) ini telah menghinaku.” Jawab Umar.
Imam
Ali as berkata: “Dia membenci kakeknya, Khusru, dan dia tidaklah seperti para
pengeran sehingga kamu pantas memperlakukannya demikian. Bebaskanlah
puteri-puteri ini agar mereka bisa mendapatkan jodohnya diantara para pemuda
kita.”
Ide
Imam Ali ini kemudian dipenuhi sehingga didatangkanlah para pemuda Muslim
Madinah di aula masjid. Imam Ali as meminta kepada puteri-puteri bangsawan itu
untuk bangkit dan memilih jodoh yang dikehendakinya diantara para pemuda itu.
Dalam
kitab AlKharaij Arrawandi dikisahkan bahwa saat itu puteri raja Persia yang
paling anggun itu bangkit dan menatap satu persatu barisan pemuda yang
menyatakan siap untuk menikah dengan puteri-puteri raja itu. Sampai pada
giliran pemuda Husain bin Ali as, tatapan mata gadis bernama Jahan Syah itu
terhenti dan tak berpijak ke arah lain. Setelah merasa yakin dengan pemuda
putera Azzahra as itu, dia berkata: “Jika aku memang diberi pilihan, maka aku
akan memilih pemuda ini.”
Setelah
dipilih gadis itu, Imam Husain as yang saat itu berusia 18 tahun memintanya
supaya nama Jahan Syah diganti dengan nama Syahrbanu. Imam Ali as kemudian
meminta Imam Husain supaya segera membawa menantunya itu pulang. Beliau juga
memberitahu Imam Husain bahwa perkawinan ini akan segera dianugerahi dengan
kelahiran seorang putera yang sangat agung dan mulia. Putera itu tak lain
adalah Ali Zainal Abidin Assajjad as. Putera yang berusia 23 tahun saat
ayahandanya dibantai di padang Karbala pada hari Asyura, dan dia sendiri dalam
keadaan sakit parah dan ditangisi oleh ibundanya.
Menjelang
detik-detik perpisahan dengan suaminya, Imam Husain as, Sahr Banu bersimpuh
dengan beliau. “Wahai putera Rasul.” Ucap Shar Banu. “Demi ibundamu
Fatimah Azzahra, pikirkanlah nasibku nanti, karena di sini akulah orang
yang paling asing. Selama ini aku bernaung di bawahmu dan dengan ini aku
menjadi mulia. Namun, katakanlah apa yang aku lakukan nanti setelah
kepergianmu? Aku bukanlah orang Arab (‘ajam), dan engkau sendiri tahu besarnya
permusuhan antara Arab dan ‘ajam.”
Sambil
berlinang air mata, Imam Husain as menjawab: “Janganlah cemas, sebab Allah yang
telah mengantarkanmu dari negeri ajam ke negeri Arab mampu mengembalikanmu ke
negerimu lagi. Nantikanlah nanti sepeninggalku; Dzuljanah akan datang ke
perkemahan. Naikilah Dzuljanah dan pergilah dari sini, dan ketahuilah pasukan
musuh tidak akan bisa berbuat apa-apa terhadapmu.”
Diriwayatkan
bahwa ketika Dzuljanah kembali dalam keadaan tak bertuan, Shar Banu ikut
menyambutnya dengan ratap tangis hingga kemudian mengendarainya untuk pergi ke
negeri asalnya. Sebelum pergi, beliau sempat ditegur oleh Hazrat Zainab.
“Hai
menantu Fatimah Azzahra, apa gerangan yang sedang engkau pikirkan? Adakah engkau
akan menambah berat beban kesedihan kami dengan kepergianmu?” Ujar Hazrat
Zainab.
“Aku
harus pergi sesuai perintah suamiku, Husain.” Jawab Sahr Banu kepada adik
iparnya itu.
Kepergian
Hazrat Sahr Banu menuju negeri Persia itu dilepas dengan derai tangis
orang-orang yang ditinggalkannya. Saat Dzuljanah sudah siap mengantarkan
perjalanan jauh itu, Imam Ali Zainal Abidin Assajjad berkata lirih kepada ibundanya:
“Ibunda,
bersabarlah hingga aku ucapkan salam perpisahan denganmu.”
Assajad
berusaha bangkit, namun tenaganya yang tersisa tak mendukungnya untuk berbuat
itu sehingga sang ibu mendekati sendiri anaknya. Sambil memeluknya erat-erat
beliau berucap: “Aku harus pergi dari sini sesuai perintah ayahmu. Aku telah
menitipkanmu kepada bibimu, Zainab, karena aku tahu dia lebih penyayang
daripada aku.”
Ibunda
Assajjad akhirnya pergi dibawa oleh Dzuljanah. Bebetapa orang pasukan musuh
sempat melihat bayangannya dari kejauhan saat beliau bergerak pergi seorang
diri. Mereka berusaha mengejarnya, namun mereka terpaksa kembali lagi setelah
kecepatan kuda Dzuljanah tak terkejar oleh kuda-kuda pasukan musuh.
Dalam
perjalanan, Hazrat Sahr Banu sempat berpapasan dengan kafilah yang sedang
bergerak menuju Kufah. Orang-orang kafilah berhenti saat menyaksikan seorang
wanita bercadar sendirian mengendarai kuda yang penuh luka. Seorang lelaki yang
mengetuai kafilah mencegat beliau dan bertanya: “Hai siapa kamu? Mengapa kamu
menempuh perjalanan seorang diri di tengah sahara?”
Suara
lelaki itu dikenal oleh Sahr Banu. Pria itu ternyata adik beliau dan setelah
saling menyadari, beliau balik bertanya: “Adikku, hendak kemanakah kamu?”
Pria
itu menjawab: “Aku hendak menemui suamimu. Karena dia telah menuliskan surat
kepadaku dan menyatakan bahwa beliau akan berperang dengan sekelompok musuh,
dan sekarang aku datang bersama teman-temanku untuk membantunya.”
Sahr
Banu menjawab: “Tak usah kamu pergi. Kembalilah karena Husain sudah terbunuh
dalam keadaan kehausan, dan inilah kudanya sekarang aku kendarai.”
Berita
ini mengejutkan sang adik yang segera jatuh tersimpuh ke pasir. Sahr Banu
kemudian melanjutkan perjalanan ke arah tujuan sebagaimana mereka juga
melanjutkan perjalanan ke arah tujuan mereka, setidaknya untuk menyaksikan
bagaimana nasib keluarga Imam Husain as.
Dengan
bantuan dan perlindungan dari Allah, janda Imam Husain as berdarah bangsawan
Persia itu akhirnya tiba di bumi leluhurnya. Beliau menetap di kota Rey dan
meninggal di sana. Jasad suci beliau dikebumikan di sebuah gunung di pinggiran
kota Teheran. Lokasi makamnya selalu disesaki para peziarah hingga kini.
Raja itu adalah Yazdgard III. Disebutkan bahwa saat terjadi perang
Qadisiah yang menewaskan lima puluh ribu pasukan Persia, Raja Yazdgard terpaksa
melarikan diri. Sebelum melarikan diri dia sempat berdiri di beranda istana
sambil berseru: “Selamat tinggal beranda! Ketahuilah bahwa aku akan kembali
kepadamu, atau kalau bukan aku, maka yang kembali adalah seorang pria dari
keturunanku.” Sulaiman Addailami pernah bertanya kepada Imam Jakfar Asshadiq as
tentang siapa yang dimaksud oleh Raja Persia itu. Imam Asshadiq as
menjawab: “Dia adalah Al-Qaim, yaitu salah seorang puteraku dari generasi
keenam, dan dia juga termasuk keturunan Yazdgard III. (Kitab Malahim hal.149 menukil
dari Ibnu Shar Asyub dalam bab Imamah; Setara-e Dirakhsyan juz 1 hal. 230).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar