Ketika
itu, Kamis tanggal 26 Shafar Tahun 14 dari kenabian atau 12 September 622
Masehi, atau sekitar dua setengah bulan setelah peristiwa Bai’at Aqabah Kubro,
diadakan pertemuan anggota parlemen Mekkah di Darun Nadwah, yang dimulai sejak
pagi hari. Ini merupakan pertemuan yang paling penting dalam sejarah mereka,
yang dihadiri para wakil dari setiap Kabilah Quraisy. Mereka mengkaji langkah
yang paling jitu untuk menghabisi pembawa bendera Islam secara cepat dan
memotong pancaran sinarnya dari permukaan bumi.
Rapat
dan konferensi itu bukan rapat sembarangan. Yang hadir dalam pertemuan di Darun
Nadwah ini adalah tokoh-tokoh utama Quraisy yaitu: Abu Jahal bin Hisyam dari
Kabilah Bani Makhzum. Jubair bin Muth’im, Thu’aimah bin Ady, dan al-Harits bin
Amir dari Bani Naufal bin Abdi Manaf. Selanjutnya adalah Syaibah bin Rabi’ah,
Utbah bin Rabi’ah, dan Abu Sufyan bin Harb dari Bani Abdi Syams bin Abdi Manaf.
Juga hadir dalam konferensi sangat penting itu An-Nadhr bin al-Harits dari Bani
Abdid Dar, yaitu orang yang pernah melemparkan isi perut hewan yang sudah
disembelih kepada Muhammad Rasulullah al Mustafa. Juga hadir Abul Bakhtary bin
Hisyam, Zam’ah bin al-Aswad, dan Hakim bin Hizam dari Bani Asad bin Abdul Uzza.
Hadir pula Nubih bin al-Hajjaj dan Munabbih bin al-Hajjaj dari Bani Sahm, serta
Umayyah bin Khalaf dari Bani Jumah.
Tatkala
mereka datang ke Darun Nadwah pada waktu yang telah ditetapkan itu, tiba-tiba
muncul seorang syaikh mengenakan pakaian yang tebal, berdiri di ambang pintu. “Siapa
syaikh ini?” Tanya mereka. Salah-satu peserta konferensi yang ada kala itu
pun menjawab, “Dia Syaikh dari Najd yang mendengar apa yang hendak kalian
rembug tentang Muhammad. Dia sengaja datang ke sini untuk mendengar pendapat
kalian. Siapa tahu dia bisa memberikan pendapat dan nasehat bagi kalian.”
“Baiklah. Kalau begitu masuklah!” Kata mereka bersepakat. Maka orang tua
itu pun ikut masuk (Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa syaikh tersebut tak
lain setan yang menyamar sebagai seorang syaikh).
Dalam
pertemuan alias konfereni itu berkembanglah berbagai usulan dan pendapat yang
cukup menghasilkan perdebatan hangat dan antusias. Hanya saja setiap pendapat yang
diajukan selalu dibantah oleh Syaikh dari Najd tersebut dengan alasan tidak
akan berhasil.
Saat
itulah Abul Aswab berkata, “Kita usir dan enyahkan dia dari tengah kita.”
Syaikh Dari Najd itu langsung berkata menanggapi, “Aku tidak setuju dengan
pendapat kalian ini. Apakah kalian tidak tahu kata-katanya bagus dan manis
serta kepintarannya menguasai hati siapa pun yang datang kepadanya? Andaikata
kalian bertindak seperti itu, maka kalian tidak akan mampu menjamin seorang
Arab pun yang bisa melepaskan diri darinya”. Mendengar ucapannya itu, Abul
Bakhtary menyampaikan usulan, “Masukkan saja dia ke dalam penjara besi,
tutup pintunya rapat-rapat, kemudian biarkan dia seperti nasib yang dialami
penyair sebelumnya (Zuhair dan An-Nabighah) hingga meninggal dunia”.
Syaikh
dari Najd itu pun langsung menanggapi lagi, “Aku tidak setuju dengan
pendapat kalian ini. Jika kalian menahannya seperti itu, maka keadaannya akan
segera didengar rekan-rekannya, lalu secepat itu pula mereka akan mendatangi
kalian, melepaskannya dari cengkeraman kalian dan menghimpun sekian banyak
orang. Boleh jadi mereka bisa mengalahkan kalian. Aku tidak setuju dengan
pendapat ini. Pikirkanlah pendapat yang lain lagi.”
Setelah
dua usulan ini di tolak, kini giliran Abu Jahal bin Hisyam menyampaikan
pendapatnya, “Menurutku, kita tunjuk salah seorang yang gagah perkasa,
berdasarkan kebangsawanannya dan biasa menjadi penengah dari setiap kabilah.
Masing-masing pemuda kita beri pedang yang tajam, lalu mereka harus
mengepungnya, kemudian menebas Muhammad dengan sekali tebasan, layaknya tebasan
satu orang hingga ia meninggal. Dengan begitu kita bisa merasa tenang dari
gangguannya. Jika mereka berbuat seperti itu, maka darahnya bercecer di semua
kabilah, sehingga Bani Abdi Manaf tidak akan sanggup memerangi semua kaumnya,
dan dengan lapang dada mereka akan menerima keadaan ini dan kita pun
menerimanya”.
Mendengar
pendapat Abu Jahal bin Hisyam yang cemerlang tersebut, Syaikh dari Najd itu pun
kembali berkata menanggapi, “Aku setuju dengan pendapat ini dan tidak
kulihat pendapat yang lain.” Maka mereka semua menyetujui pendapat Abu
Jahal tersebut dan bersiap untuk melaksanakannya malam itu juga.
Maka
dipilihlah sebelas orang untuk melakukan rencana tersebut, yaitu: Abu Jahal bin
Hisyam, Al-Hakam bin Abul Ash, Uqbah bin Abu Mu’ith, An-Nadhr bin al-Harits,
Zam’ah bin al-Aswad, Thu’aimah bin Ady, Abu Lahab, Umayyah bin Khalaf,
Ubay bin Khalaf, Nubih bin al-Hajjaj, dan Munabbih bin al-Hajjaj.
Setelah
orang-orang itu ditetapkan oleh mereka, dikepunglah rumah Rasulullah Saww dari
segala penjuru. Rasulullah Saww yang telah mengetahui rencana jahat tersebut
dari Jibril as, memanggil Imam Ali as untuk menempati tempat tidurnya dan
memakai selimutnya. Kemudian Rasululah Saww keluar rumahnya tanpa diketahui oleh
orang-orang Quraisy karena Allah swt menutup pandangan mereka, “Dan Kami
adakan di hadapan mereka dinding dan di belakang mereka dinding (pula), dan
Kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat.” (al
Qur’an Surah Yasin: 9).
Demikianlah,
Rasululah Saww pun dengan pertolongan Allah Swt keluar dengan selamat dan kaum
Quraisy terkejut saat menerobos masuk ke rumah Nabi saaw, dan yang mereka
temukan dan yang mereka dapati ternyata Imam Ali bin Abi Thalib as yang tengah
tidur di ranjang beliau. Mereka gagal menjalankan misi yang telah direncanakan
dengan bantuan Setan yang menyamar menjadi seorang Syaikh dari Najd itu, sebab
Allah berkehendak lain, “Dan (ingatlah) ketika orang-orang kafir memikirkan
daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu atau
mengusirmu. Mereka memikirkan strategi, dan Allah adalah sebaik-baik pembuat
strategi.” (al Qur’an Surah al Anfal: 30).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar