Artikel
ini berbicara mengenai peran Zionisme Amerika yang dalam persoalan Palestina
kerap salah dipahami dan dinilai. Dalam pandangan saya, peran kelompok-kelompok
dan aktivitas-aktivitas Zionis yang terorganisasi di Amerika Serikat kurang
mendapatkan sorotan yang semestinya selama berlangsungnya apa yang disebut
“proses perdamaian”. Ini adalah pengabaian yang menurut saya luar biasa,
mengingat kebijakan Palestina secara esensial bergantung kepada orang-orang di
panggung Amerika Serikat (AS) yang minus kesadaran strategis tentang betapa
kebijakan AS, sebagai akibatnya, didominasi—jika tidak dikontrol secara
keseluruhan—oleh sebuah minoritas kecil dari orang-orang yang pandangannya
mengenai perdamaian di Timur Tengah, dalam sebagian cara, jauh lebih ekstrim
bahkan daripada orang-orang Israel di Partai Likud.
Izinkan
saya memberi sebuah contoh kecil. Harian Israel Haaretz pernah
mengirimkan seorang kolomnis ternama mereka, Ari Shavit, untuk berbicara dengan
saya selama beberapa hari; ringkasan dari wawancara yang panjang ini hadir
dalam bentuk tanya-jawab pada edisi 18 Agustus 2000 dari suplemen harian itu
dengan tanpa dipotong dan disensor secara fundamental. Saya menyuarakan
pandangan saya dengan sangat jelas, dengan penekanan utama kepada “hak pulang”
bangsa Palestina, peristiwa-peristiwa pada 1948, dan tanggung jawab Israel atas
semua itu. Saya terkejut bahwa pandangan-pandangan saya ditampilkan seperti apa
yang saya sampaikan, tanpa sedikit pun penyuntingan dari Shavit, yang
pertanyaan-pertanyaannya selalu sopan dan tidak konfrontatif.
Satu
minggu setelah wawancara itu, muncul respon dari Meron Benvenisti, mantan wakil
walikota Yerusalem di bawah Teddy Kollek. Respon itu begitu mengerikan secara
personal: penuh dengan cacian dan serangan terhadap pribadi dan keluarga saya.
Namun, Benvenisti tidak pernah mengingkari eksistensi bangsa Palestina, atau
bahwa kami diusir dari tanah air kami pada 1948. Faktanya, dia mengatakan,
“Kami menundukkan kalian, lantas mengapa kami harus merasa bersalah?” Saya
menanggapi Benvenisti satu minggu kemudian di Haaretz. Apa yang saya
tulis juga diterbitkan tanpa dipangkas. Saya mengingatkan para pemimpin Israel
bahwa Benvenisti bertanggung jawab atas pembumihangusan (dan mungkin mengetahui
pembunuhan sejumlah orang Palestina) Haret al-Magharibah pada 1967, yang di
dalamnya ratusan orang Palestina kehilangan rumah-rumah mereka karena
dihancurkan buldozer-buldozer Israel. Namun, saya tidak harus mengingatkan
Benvenisti atau para pembaca Haaretz bahwa sebagai sebuah bangsa, kami
(bangsa Palestina—penerj.) eksis dan setidaknya bisa mempertanyakan hak pulang
kami (right of return). Hal itu sudah menjadi kebenaran yang diterima
begitu saja (taken for granted).
Ada
dua hal di sini. Pertama, keseluruhan wawancara tersebut tidak akan bisa tampil
di suratkabar Amerika mana pun, dan pastinya tidak di jurnal Yahudi-Amerika
mana pun. Dan kalaupun ada wawancara, maka pertanyaan untuk saya akan menjadi
konfrontatif, intimidatif, penuh hinaan, seperti, mengapa anda terlibat dalam
terorisme, mengapa anda tidak mengakui Israel, kenapa Haji Amin seorang Nazi,
dan lain sebagainya. Kedua, orang Israel sayap kanan, seperti Benvenisti, tak
peduli seberapa besar ia membenci saya dan pandangan saya, tidak akan
mengingkari eksistensi bangsa Palestina yang dipaksa pergi pada 1948. Seorang
Zionis Amerika sejak awal akan mengatakan bahwa tidak ada pendudukan yang
terjadi atau, seperti yang diklaim Joan Peters dalam buku terbitan 1984 yang
kini menghilang dan dilupakan, From Time Immemorial (yang memenangi
hampir semua penghargaan Yahudi ketika terbit di sini), bahwa tidak ada bangsa
Palestina yang hidup di Palestina sebelum 1948.
Setiap
orang Israel akan siap mengakui dan tahu secara persis bahwa seluruh Israel
sekarang ini dulunya adalah Palestina, bahwa (sebagaimana yang juga diakui
Moshe Dayan [3] secara terbuka pada 1976) setiap kota atau desa Israel dulunya memiliki
nama-nama Arab. Dan Benvenisti pun mengatakan secara terbuka, “Kami menjajah,
lantas apa?” “Mengapa kami harus merasa bersalah karena kemenangan kami?”
Diskursus Zionis Amerika tidaklah pernah sejujur itu. Ia selalu saja berputar
dan berbicara mengenai penciptaan padang pasir menjadi subur atau demokrasi
Israel, dan lain-lain, sehingga benar-benar menghindari fakta-fakta esensial
mengenai 1948, dimana setiap orang Israel secara aktual menyadarinya. Bagi
Zionis Amerika, semua itu adalah fantasi, atau mitos, bukan realitas. Begitu
tercerabut dari aktualitas dan begitu terperangkap ke dalam superioritas
sebagai minoritas yang paling sukses dan digdaya di Amerika Serikat itulah
Zionis Amerika, sehingga apa yang muncul seringkali adalah kecemasan yang
bercampur dengan kekerasan eksplisit terhadap Arab dan ketakutan yang mendalam
serta kebencian kepada mereka. Ini adalah hasil dari, tidak seperti Yahudi
Israel, ketiadaan hubungan langsung yang berkelanjutan antara Zionis Amerika
dengan Arab.
Dengan
demikian, bagi Zionis Amerika, Arab bukanlah sesuatu yang nyata, tetapi fantasi
dari segala sesuatu yang selalu bisa dijelek-jelekkan dan dibenci; terorisme
dan anti-Semitisme lebih khususnya. Saya pernah menerima surat dari seorang
bekas mahasiswa saya, yang memperoleh keuntungan karena mendapatkan suatu
pendidikan terbaik di AS: dia masih mampu menampikan dirinya untuk bertanya
kepada saya secara jujur dan sopan, mengenai mengapa, sebagai seorang
Palestina, saya membiarkan seorang Nazi seperti Haji Amin bisa membentuk agenda
politik saya, “Sebelum Haji Amin,” dia berkomentar, “Yerusalem tidak penting
bagi Arab. Karena begitu jahat, ia membuat Yerusalem menjadi isu penting bagi
Arab dengan tujuan hanya untuk menggagalkan keinginan Zionis yang selalu
memandang Yerusalem penting bagi mereka.” Jelas ini bukanlah logika bagi
seseorang yang pernah hidup bersama Arab dan mengetahui sesuatu yang konkret
mengenai Arab. Ini adalah tentang seseorang yang membicarakan sebuah diskursus
yang terorganisasi dan diarahkan oleh sebuah ideologi yang hanya memandang Arab
sebagai sebuah fungsi negatif, sebagai manifestasi dari hasrat-hasrat jahat
anti-Semit. Dengan sendirinya, maka Arab adalah untuk diperangi dan, jika
mungkin, dibuang jauh-jauh. Tak terkecuali Dr. Baruch Goldstein, pembunuh
berdarah dingin atas 29 orang Palestina yang tengah mendirikan salat dengan
tenang di mesjid Hebron, adalah seorang Amerika, dan juga Rabbi Meir Kahane [4].
Alih-alih dipandang sebagai penyimpangan yang memalukan bagi para pengikut
mereka, baik Kahane maupun Goldstein kini malah dihormati oleh orang-orang lain
yang serupa dengan keduanya. Sebagian besar imigran (Yahudi) radikal kanan
paling fanatik yang kini menduduki tanah Palestina tanpa kenal lelah berbicara
tentang “tanah Israel” seolah-olah tanah itu milik mereka dan membenci serta
mengabaikan para pemilik tanah dan pemukim Palestina di sekitar mereka. Dan
mereka ternyata juga kelahiran Amerika. Melihat mereka melangkah di jalan-jalan
Hebron, seolah-olah kota Arab itu seluruhnya kepunyaan mereka, adalah sebuah
pemandangan yang menakutkan. Ini dipicu oleh sikap kasar dan penghinaan yang
mereka tampilkan secara terang-terangan terhadap mayoritas Arab.
Saya
mengungkapkan semua itu di sini adalah untuk menyampaikan satu hal esensial.
Setelah Perang Teluk, ketika PLO mengambil keputusan strategis—yang telah
ditempuh sebelumnya oleh dua negara utama Arab—untuk bekerja sama dengan
pemerintah Amerika Serikat dan jika mungkin dengan lobi kuat yang menguasai
perdebatan soal kebijakan Timur Tengah, mereka telah membuat keputusan tersebut
berdasarkan atas kepandiran yang besar dan asumsi-asumsi yang luar biasa salah.
Gagasan itu, sebagaimana diungkapkan kepada saya setelah 1967 oleh seorang
diplomat Arab, adalah untuk benar-benar menyerah, atau katakan saja, kami tidak
ingin lagi berjuang. Kini kami bersedia menerima Israel dan juga menerima peran
menentukan AS terhadap masa depan kami. Pada saat itu, dan juga kini, terdapat
alasan-alasan objektif bagi pandangan semacam itu, yakni untuk apa lagi
berjuang jika semua itu hanya menghasilkan kekalahan yang lebih jauh dan bahkan
bencana. Namun, saya sepenuhnya percaya bahwa adalah sebuah kebijakan yang
salah untuk menyerahkan kepentingan Arab di pangkuan AS, karena
organisasi-organisasi utama Zionis begitu berpengaruh di mana pun di negara
itu, seraya mengatakan, kami tidak akan berjuang lagi, izinkan kami bergabung
dengan kalian tetapi perlakukan kami dengan baik. Harapannya adalah bahwa jika
kami menerima dan mengatakan, kami tidak lagi menjadi musuh kalian, maka
sebagai Arab kami akan menjadi teman kalian. Persoalannya
adalah kesenjangan kekuatan yang ada. Bagi yang kuat, perbedaan apakah yang
bisa diharapkan dari strategi mereka jika musuh mereka yang lemah menyerah dan
mengatakan, kami tidak akan berjuang lagi, ajaklah kami, kami ingin menjadi
sekutu kalian, hanya tolong pahami kami sedikit lebih baik dan kemudian kalian
akan menjadi lebih adil?
Cara
terbaik untuk menjawab pertanyaan ini dalam terminologi yang praktis dan
konkret adalah dengan memerhatikan proses pemilihan senator di New York, ketika
Hillary Clinton bersaing dengan calon Republik Ric Lazio untuk memperebutkan
kursi yang ditinggalkan Daniel Patrick Moynihan (D). Akhir tahun lalu, Hillary
mengatakan bahwa dia mendukung berdirinya sebuah negara Palestina dan, dalam
kunjungan resmi ke Gaza bersama suaminya, memeluk Suha Arafat. Namun, sejak
memasuki persaingan kursi senat di New York, dia malah telah mengalahkan Zionis
sayap kanan yang paling radikal sekalipun dalam fanatisme kepada Israel dan
penentangan kepada Palestina. Lebih jauh, dia bahkan mendorong pemindahan
kedutaan besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem dan (jauh lebih ekstrem)
mengkampanyekan keringanan hukuman bagi Jonathan Pollard, analis intelijen
Angkatan Laut AS yang divonis sebagai mata-mata Israel karena telah
mengungkapkan sejumlah data intelijen kepada Israel, dan kini menjalani hukuman
seumur hidup.
Para
pesaing Hillary dari Partai Republik berupaya mempermalukannya dengan
menyebutnya sebagai “pecinta Arab” dengan merilis sebuah foro dimana ia memeluk
Suha. Karena New York adalah pusat kekuasaan Zionis, maka menyerang seseorang
dengan label semacam itu, “pecinta Arab” dan “sahabat Suha Arafat”, sama
artinya dengan sebuah penghinaan terburuk yang paling mungkin dilakukan. Semua
ini tentu saja terlepas dari kenyataan bahwa Arafat dan PLO justru telah
menyatakan diri mereka sebagai sekutu Amerika, penerima bantuan militer dan
keuangan AS, dan penikmat dukungan keamanan Dinas Intelijen Pusat CIA.
Dalam
kesempatan yang berbeda, Gedung Putih pun kemudian merilis sebuah foto yang
menampilkan Lazio sedang berjabat tangan dengan Arafat dua tahun yang lalu.
Satu serangan tampaknya layak mendapatkan balasannya.
Fakta
sebenarnya adalah bahwa diskursus Zionis merupakan diskursus kekuatan, dan Arab
dalam diskursus itu adalah objek dari kekuatan—objek yang tidak termaafkan.
Dengan menyerahkan posisi tawar Palestina kepada kekuatan ini sebagai bekas musuh
yang menyerah, maka Palestina tidak akan pernah dipandang dalam terminologi
yang setara dengan kekuatan tersebut. Karenanya, pertunjukkan yang merendahkan
dan menghinakan Arafat (selalu dan selamanya dipandang sebagai simbol kebencian
kepada pemikiran Zionis) telah dan terus akan digunakan dalam keseluruhan
persaingan lokal di Amerika antara dua kompetitor yang mencoba membuktikan
siapa di antara mereka yang lebih pro-Israel. Dan bahkan keduanya, baik Hillary
Clinton maupun Ric Lazio, bukanlah Yahudi.
Apa
yang hendak saya diskusikan dalam bagian selanjutnya adalah bagaimana
satu-satunya strategi politik yang mungkin bagi AS sejauh terkait kebijakan
mengenai Arab dan Palestina bukanlah sebuah kesepakatan dengan Zionis maupun
dengan kebijakan AS. Namun, strategi itu adalah sebuah mobilisasi kampanye
publik yang diarahkan kepada rakyat AS demi kepentingan hak-hak kemanusiaan,
sipil, dan politik bangsa Palestina. Semua kesepakatan, apakah itu Oslo atau
Camp David, akan gagal karena, sederhananya, diskursus resmi mengenai Palestina
secara total didominasi oleh Zionisme dan, dengan beberapa pengecualian, tidak
ada alternatif lain yang mungkin. Dengan demikian, semua kesepakatan damai yang
diambil atas dasar sebuah persekutuan dengan AS adalah kesepakatan yang justru
lebih menjustifikasi kekuatan Zionisme ketimbang melawannya. Untuk menyerah
begitu saja kepada kebijakan Timur Tengah yang didominasi Zionis, sebagaimana
yang Arab telah lakukan selama lebih daripada satu generasi, tidak akan
menghasilkan stabilitas di Palestina dan juga kesetaraan dan keadilan di AS.
Ironinya
adalah bahwa masih ada sejumlah besar opini yang siap beroposisi, baik kepada
Israel maupun kebijakan luar negeri AS. Tragedinya adalah Arab terlalu lemah,
terlalu bercerai-berai, sangat tidak terorganisasi, dan tidak peduli untuk
mengambil keuntungan dari kesempatan tersebut. Saya juga akan membahas
faktor-faktor penyebabnya pada bagian selanjutnya karena harapan saya tertuju
kepada generasi baru yang mungkin terkacaukan dan terlemahkan oleh tempat yang
memilukan, dimana kebudayaan dan masyarakat kami kini berada, dan oleh
kemarahan yang konstan serta kehinaan yang kami semua alami sebagai akibatnya. Sebuah
episode kecil tapi mungkin memalukan terjadi sejak saya menulis bagian terakhir
dari artikel ini dua minggu lalu. Martin Indyk, duta besar AS kepada Israel
(untuk periode kedua selama masa pemerintahan Clinton), tiba-tiba dicabut
jaminan keamanan diplomatiknya oleh Departemen Luar Negeri. Ceritanya karena ia
menggunakan komputer jinjingnya tanpa melalui prosedur keamanan yang
semestinya, dan karenanya mungkin telah merilis informasi kepada orang-orang
yang tidak berwenang. Akibatnya, ia kini tidak bisa memasuki atau meninggalkan
Departemen Luar Negeri tanpa pengawasan, tidak bisa tetap berada di Israel, dan
seharusnya menjalani sebuah investigasi menyeluruh.
Kita
mungkin tidak bisa menemukan apa yang sebenarnya terjadi. Namun, apa yang
menjadi rahasia publik dan sayangnya tidak dibahas oleh media adalah skandal
penunjukkan Indyk pada kali pertamanya. Menjelang pelantikan Clinton pada
Januari 1993, diumumkan bahwa Martin Indyk, yang lahir di London dan menjadi
warganegara Australia, telah disumpah menjadi warganegara AS berdasarkan atas
kehendak langsung presiden terpilih. Prosedur-prosedur yang semestinya tidak
dilalui. Ini adalah sebuah tindakan dari hak prerogatif eksekutif, sehingga,
setelah memperoleh kewarganegaraan AS, Indyk dapat segera menjadi seorang
anggota Dewan Keamanan Nasional AS yang bertanggung jawab dalam kebijakan Timur
Tengah. Semua ini, saya percaya, merupakan skandal yang sebenarnya, bukan
kecerobohan Indyk setelahnya atau atau ketidakhati-hatiannya, atau bahkan
keterlibatannya dalan mengabaikan kode-kode etik yang resmi. Karena sebelum ia
datang ke jantung pemerintahan AS pada puncak dan posisi yang seringkali
dijalankan secara rahasia, Indyk adalah kepala Washington Institute for Near
East Policy, semacam think thank yang terlibat dalam mendukung secara
aktif kepentingan Israel, dan yang mengordinasikan aktivitasnya dengan AIPAC
(American Israel Public Affairs Committee), lobi paling berpengaruh dan
ditakuti di Washington. Patut diperhatikan bahwa sebelum datang ke pemerintahan
Bush, Dennis Ross, penasehat Departemen Luar Negeri AS yang memimpin proses
perdamaian Amerika, adalah juga kepala Washington Institute. Jadi, lalu-lintas
antara lobi Israel dan kebijakan Timur Tengah AS sangatlah reguler, dan memang
diregulasikan.
AIPAC
selama bertahun-tahun menjadi begitu berpengaruh bukan hanya karena didukung
oleh populasi Yahudi yang terorganisasi, terhubungkan dengan baik, sangat
menonjol, sukses, dan kaya tetapi sebagian besarnya karena sedikit sekali
resistensi terhadapnya. Terdapat ketakutan dan rasa hormat yang kuat bagi AIPAC
di seluruh Amerika, dan khususnya di Washington, dimana dalam beberapa jam saja
nyaris seluruh anggota Senat dapat digiring untuk menandatangani sebuah surat
kepada presiden demi kepentingan Israel. Siapa yang mau menentang AIPAC dan
melanjutkan karirnya di Kongres, atau berhadapan dengannya demi kepentingan,
katakan saja, bangsa Palestina ketika tidak ada hal konkret yang dapat
ditawarkan dibandingkan dengan apa yang ditawarkan kepada siapa pun yang
mendukung AIPAC? Di masa lalu, satu atau dua anggota Kongres memang melakukan
resistensi terhadap AIPAC secara terbuka tetapi segera setelahnya pemilihan
ulang mereka diblok oleh banyak komite aksi politik yang dikendalikan AIPAC.
Satu-satunya senator yang terlihat memiliki pandangan oposisi terhadap AIPAC
adalah James AbuRezk, tetapi dia menolak untuk dipilih kembali dan, karena
alasannya sendiri, mengundurkan diri setelah periode enam tahunnya berakhir.
Tidak
ada pengamat politik yang secara jelas dan terbuka menentang Israel di AS.
Seorang kolumnis liberal, seperti Anthony Lewis dari New York Times,
kadang-kadang menulis kritik terhadap praktik pendudukan Israel, tetapi tidak
ada yang dikatakannya mengenai 1948 dan seluruh isu tentang pengusiran
Palestina yang orisinal, yang menjadi akar dari keberadaan Israel dan
perilaku-perilaku setelahnya. Dalam sebuah artikel, baru-baru ini mantan
pejabat Departemen Luar Negeri AS, Henry Pracht, mengungkapkan adanya
keselarasan opini yang luar biasa di semua sektor media Amerika, dari film,
televisi, radio, suratkabar, hingga terbitan-terbitan mingguan, bulanan,
kwartalan, dan harian: semuanya, lebih atau kurangnya, bersentuhan dengan garis
kepentingan Israel, yang juga menjadi garis kebijakan resmi Amerika. Inilah
keselarasan yang Zionisme Amerika capai sejak 1967, dan yang dieksploitasi
dalam sebagian besar wacana publik mengenai Timur Tengah. Dengan begitu,
kebijakan AS setara dengan kebijakan Israel, terkecuali dalam beberapa
kesempatan yang teramat jarang (misalnya dalam kasus Pollard), dimana Israel
melangkahi batas dan berasumsi bahwa ia mempunyai hak untuk menolong dirinya
sendiri sesuai dengan apa yang dikehendakinya.
Kritik
terhadap praktik-praktik Israel, karenanya, sangat terbatas pada
manuver-manuver yang sporadik, yang sangat jarang hingga nyaris tidak terlihat.
Konsensus utamanya benar-benar tak tersentuh kritik dan begitu kuat hingga
dapat dipaksakan di mana-mana sebagai arus utama yang diterima. Konsensus ini
terdiri dari ‘kebenaran’ yang anti-kritik mengenai status Israel sebagai negara
demokrasi, kualitas dasarnya, hingga modernitas dan rasionalitas rakyat serta
keputusannya. Rabbi Arthur Hertzberg, seorang agamawan liberal Amerika, suatu
kali pernah mengatakan bahwa Zionisme adalah agama sekuler komunitas Yahudi
Amerika. Ini didukung secara jelas oleh beragam organisasi Amerika yang
perannya adalah untuk mengawasi kehidupan publik dari perbedaan, bahkan ketika
banyak organisasi Yahudi lainnya menjalankan rumah sakit, musium, dan
lembaga-lembaga riset demi kebaikan negara ini. Dualitas ini tampaknya adalah
sebuah paradoks yang tak tertuntaskan dimana lembaga-lembaga publik yang mulia
eksis bersama dengan lembaga-lembaga yang tak berhati nurani dan nyaris tidak
manusiawi. Karenanya, sebagai contoh, Zionist Organization of America (ZOA),
sebuah kelompok fanatik kecil tapi vokal, memasang sebuah iklan di New York
Times pada 10 September 2000. Iklan ini ditujukan kepada Ehud Barak
seolah-olah ia adalah pegawai yang digaji Yahudi Amerika. Iklan ini
mengingatkan Barak bahwa enam juta Yahudi Amerika adalah lebih banyak daripada
lima juta orang Israel yang telah memutuskan untuk menegosiasikan Yerusalem.
Bahasa di dalam iklan itu bukan hanya bernada peringatan tetapi juga mengancam
dengan mengatakan bahwa perdana menteri Israel secara tidak demokratis telah
memutuskan apa yang ditentang oleh Yahudi Amerika, yang tidak rela dengan
sikapnya. Tidaklah jelas siapa yang memberi kelompok fanatik kecil nan agresif
ini sebuah mandat untuk menceramahi perdana menteri Israel dalam nada seperti
itu. Namun, ZOA merasa mempunyai hak untuk mengintervensi urusan siapa pun.
Mereka secara rutin menghubungi dan menulis surat kepada rektor universitas
saya agar ia mengeluarkan atau mencekal saya karena sesuatu yang telah saya
katakan, seolah-olah universitas sama dengan taman kanak-kanak dan para
profesornya dapat diperlakukan layaknya para penjahat di bawah umur. Tahun
lalu, mereka menggalakkan sebuah kampanye untuk menjatuhkan saya dari posisi
sebagai presiden Modern Language Association, dimana 30 ribu anggotanya mereka
ceramahi seolah-olah kumpulan orang bodoh. Ini adalah jenis intimidasi gaya
Stalin yang paling buruk tetapi telah menjadi ciri khas Zionisme Amerika dalam
kondisinya yang paling fanatik.
Demikian
juga, selama beberapa bulan terakhir, para penulis dan editor Yahudi sayap
kanan (seperti Norman Podhoretz, Charles Krauthammer, dan William Kristol—untuk
menyebut beberapa nama propagandis yang paling kasar) melancarkan kritik
terhadap Israel karena telah membuat mereka tidak rela, seolah-olah mereka
lebih berhak memiliki label “Israel” ketimbang siapa pun. Nada bahasa mereka
dalam artikel-artikel tersebut, dan artikel-artikel lainnya, benar-benar
mengerikan: sebuah kombinasi dari selera rendah, kebodohan yang eksplisit,
khotbah soal moral, dan bentuk kemunafikan paling buruk. Semua itu mereka
sampaikan dalam suasana kepercayaan diri yang sempurna. Mereka berasumsi bahwa
dengan adanya kekuatan organisasi-organisasi Zionis yang mendukung dan
melindungi keliaran mereka, maka mereka bisa bebas begitu saja menampilkan
verbalisme yang melewati batas. Namun, hal ini lebih banyak disebabkan oleh
mayoritas orang Amerika yang tidak peduli kepada apa yang mereka katakan atau
diintimidasi untuk bungkam sehingga membuat mereka terus melenggang dengan
semua omong kosong tersebut. Hanya sedikit orang Amerika yang bersentuhan
dengan aktualitas-aktualitas politik Timur Tengah yang sebenarnya. Bahkan,
orang-orang Israel yang lebih sensitif kerap memandang jijik orang-orang
seperti itu.
Zionisme
Amerika kini telah mencapai level dari sesuatu yang nyaris murni fantasi, yakni
bahwa apa yang baik bagi Zionis Amerika, dalam hegemoni mereka dan wacana fiksi
mereka, adalah baik bagi Amerika dan Israel, dan tentunya bagi Arab, Muslim,
dan Palestina, yang dipandang tak lebih daripada sekedar rasa gatal yang bisa
diabaikan. Siapa pun yang menentang dan berani menantang mereka (khususnya
ketika dia seorang Arab atau Yahudi yang mengkritik Zionisme) akan menjadi
korban dari pembunuhan karakter dan kekerasan yang paling buruk, dimana
semuanya bersifat personal, rasis, dan ideologis. Mereka tak pernah mengenal
lelah dan benar-benar tanpa rasa kasih sayang atau kemanusiaan yang tulus.
Mengatakan bahwa serangan dan analisis mereka seperti Perjanjian Lama dalam
praktiknya adalah sama dengan menghina Perjanjian Lama itu sendiri.
Dengan
kata lain, menjalin persekutuan dengan mereka, seperti yang coba dijustifikasi
oleh negara-negara Arab dan PLO sejak Perang Teluk, adalah sebuah
ketidakpedulian yang paling bodoh. Zionis Amerika secara dogmatis menentang
segala hal yang Arab, Muslim, dan khususnya bangsa Palestina perjuangkan serta
dengan segera akan menghancurkan segala sesuatunya alih-alih membuat
kesepakatan damai dengan kita. Adalah juga benar adanya bahwa sebagian besar
orang awam dikacaukan oleh antusiasme dalam nada bahasa mereka seraya tidak
menyadari apa yang sebenarnya berada di balik itu. Kapan pun anda berbicara
tentang Palestina dengan orang-orang Amerika yang bukan Yahudi atau Arab, dan
tidak akrab dengan persoalan Timur Tengah, seringkali terdapat kemarahan yang
ditunjukkan lewat sikap intimidatif, seolah-olah seluruh Timur Tengah adalah
milik mereka untuk mereka ambil. Zionisme di Amerika, saya simpulkan, hanyalah
sebuah fantasi yang dibangun di atas fondasi yang lemah. Tidaklah mungkin
menjalin persekutuan atau melakukan pertukaran rasional dengannya. Namun, ia
juga dapat dibongkar dan dikalahkan.
Berkali-kali
sejak pertengahan 1980-an, saya menyatakan kepada para pemimpin PLO dan setiap
orang Palestina serta Arab yang saya temui bahwa upaya PLO untuk menarik
perhatian presiden AS sepenuhnya merupakan sebuah ilusi karena semua presiden
AS kontemporer telah mendedikasikan dirinya kepada Zionisme. Saya mengusulkan
bahwa satu-satunya jalan untuk mengubah kebijakan AS dan memperoleh hak
menentukan nasib sendiri adalah dengan melalui sebuah kampanye publik yang
langsung kepada rakyat Amerika tentang hak-hak asasi bangsa Palestina, yang
berefek pada terbongkarnya Zionisme. Sebagai populasi yang tidak tercerahkan
oleh informasi dan masih terbuka kepada rasa keadilan, orang-orang Amerika akan
bereaksi seperti yang mereka lakukan terhadap rezim apartheid ANC, yang pada
akhirnya mengubah keseimbangan di dalam Afrika Selatan. Secara berimbang di
sini, saya harus menyebutkan bahwa James Zogby, sebelumnya adalah seorang
aktivis hak asasi manusia yang energik (sebelum dia menjalin hubungan dengan
Arafat, pemerintah AS, dan Partai Demokrat), dulu merupakan seorang pelopor ide
tersebut. Bahwa dia mengabaikannya sekarang hanyalah tanda bahwa dia telah
berubah, dan bukan tanda invaliditas ide itu sendiri.
Namun,
juga menjadi jelas bagi saya bahwa PLO tidak akan pernah melakukan ide itu
karena beberapa alasan. Pertama, ide itu membutuhkan kerja keras dan dedikasi.
Kedua, ia berarti mencakup sebuah pandangan filosofis yang benar-benar
berbasiskan pada organisasi akar-rumput yang demokratis. Ketiga, ia harus
menjadi sebuah pergerakan daripada sekedar sebuah inisiatif pribadi dalam
kaitan dengan pemimpin-pemimpin yang ada sekarang. Dan terakhir, ia
meniscayakan sebuah pengetahuan riil, dan bukan superfisial, tentang masyarakat
AS. Di samping itu, saya merasa bahwa pemikiran konvensional yang selama ini
mengunci kita dalam satu posisi yang buruk adalah sesuatu yang sulit diubah,
dan waktu ternyata membuktikan hal itu benar. Kesepakatan Oslo adalah sebuah
penerimaan yang tak terbayangkan oleh Palestina bagi supremasi Israel-AS,
alih-alih sebuah upaya untuk mengubahnya.
Bagaimanapun,
setiap aliansi atau kompromi dengan Israel dalam situasi dan kondisi sekarang,
ketika kebijakan AS benar-benar didominasi Zionisme Amerika, dapat dipastikan
hanya memunculkan hasil yang sama bagi Arab secara umum dan bangsa Palestina
pada khususnya. Israel harus dominan, kepentingan Israel lebih utama, dan
ketidakadilan sistemik Israel dapat terus berlangsung. Terkecuali Zionisme
Amerika diatasi dan dilucuti—sebuah tugas yang sejatinya tidak sulit, seperti
yang akan saya tunjukkan pada bagian selanjutnya—maka hasilnya akan sama:
kepedihan dan kehinaan bagi kami sebagai Arab.
Peristiwa-peristiwa
selama empat minggu terakhir di Palestina benar-benar menjadi kemenangan bagi Zionisme
Amerika Serikat untuk pertama kalinya sejak kemunculan kembali pergerakan
nasional Palestina modern pada akhir 1960-an. Wacana politik dan publik dengan
sangat definitif mentransformasi Israel menjadi ‘korban’ dalam beberapa konflik
terakhir. Bahkan meskipun dilaporkan 140 orang Palestina meninggal dan hampir
5000 lainnya terluka, tetap saja dikatakan bahwa “kekerasan orang Palestina”
adalah faktor yang menghalangi kelancaran “proses perdamaian”.
Kini
ada sebuah ritual kecil dari ungkapan-ungkapan yang setiap pengamat akan
mengulanginya kata demi kata atau bergantung kepadanya sebagai sebuah asumsi
yang tak terkatakan; semua itu telah terukir di dalam telinga, pikiran, dan
ingatan sebagai pembimbing bagi orang yang bingung; sebuah manual atau mesin untuk
menghasilkan ungkapan-ungkapan yang telah menghentikan udara selama, paling
tidak, satu bulan. Saya dapat membacakan kembali sebagian besar dari ungkapan
itu, bahwa: Barak menawarkan konsensi yang lebih banyak di Camp David daripada
perdana menteri Israel sebelumnya (90 persen wilayah dan kedaulatan terbatas
atas Yerusalem); Arafat penakut dan tidak memiliki keberanian untuk menerima
tawaran Israel demi mengakhiri konflik; kekerasan orang Palestina, yang
diarahkan oleh Arafat, telah mengancam Israel (semua jenis variasi mengenai
ini, termasuk keinginan untuk mengeliminasi Israel, anti-Semitisme, bom bunuh
diri untuk tampil di televisi, dan menempatkan anak-anak di garis depan hingga
mereka menjadi martir) dan membuktikan bahwa “kebencian” klasik kepada Yahudi
memotivasi orang-orang Palestina; Arafat adalah seorang pemimpin lemah yang
mengizinkan dan memprovokasi rakyatnya untuk menyerang Yahudi dengan merilis
para teroris dan memproduksi buku-buku sekolah yang mengingkari eksistensi
Israel.
Mungkin
terdapat satu atau dua formula lainnya yang tidak saya kutipkan, tetapi
gambaran umumnya adalah bahwa Israel dikelilingi oleh para barbarian yang
melempari batu sehingga bahkan rudal-rudal, tank-tank, dan
helikopter-helikopter pemburu yang digunakan untuk “membela” Israel dari
kekerasan hanyalah sebuah upaya untuk mencegah kekuatan yang mengerikan itu.
Perintah Bill Clinton (dengan penuh kesetiaan ditirukan menteri luar negerinya)
kepada Palestina untuk “mundur” berhasil mengesankan bahwa orang-orang Palestina
menginfiltrasi wilayah Israel, dan bukan sebaliknya.
Juga
penting untuk disebutkan bahwa begitu berhasilnya upaya Zionisasi media ini
sehingga tidak pernah ada sebuah peta pun yang diterbitkan atau ditunjukkan di
televisi untuk mengingatkan para pembaca dan pemirsa Amerika—yang sangat tidak
peduli dengan geografi dan sejarah—bahwa kamp-kamp, pemukiman-pemukiman,
jalan-jalan, dan barikade-barikade Israel-lah yang mencacah tanah orang
Palestina di Gaza dan Tepi Barat. Lebih jauh, seperti di Beirut pada 1982,
terjadi sebuah pengepungan riil Israel terhadap orang Palestina, termasuk
terhadap Arafat dan orang-orangnya. Yang benar-benar telah dilupakan—jika ini
memang benar-benar dipahami—adalah sistem wilayah A, B, dan C yang dengannya
pendudukan militer Israel terhadap 40 persen Gaza dan 60 persen Tepi Barat
terus berlangsung, dan yang proses perdamaian Oslo tidak pernah benar-benar
dirancang untuk mengakhirinya, atau bahkan tidak memodifikasinya sama sekali.
Sebagaimana
yang ditunjukkan oleh tidak adanya geografi dalam konflik yang sebagian
besarnya bersifat geografis ini, maka kelemahan yang dihasilkan adalah hal yang
sangat penting karena gambar-gambar ditampilkan atau dijelaskan tanpa konteks
sama sekali. Menurut saya, penghapusan oleh media yang terzionisasi ini adalah
tindakan yang disengaja pada awalnya dan kini lambat-laun menjadi hal biasa.
Media yang terzionisasi memberikan tempat kepada para komentator palsu, seperti
Thomas Friedman, untuk menjajakan komoditasnya tanpa perasaan malu sedikit pun,
menyuarakan ketidakberpihakan Amerika, fleksibilitas dan kedermawanan Israel,
dan pragmatismenya yang bijaksana, yang dengannya dia mengecam para pemimpin
Arab dan mengejutkan para pembacanya yang membosankan. Ia tidak hanya
membiarkan anggapan yang luar biasa absurd tentang Palestina yang menyerang
Israel untuk tampil ke permukaan tetapi lebih jauh mendehumanisasi Palestina
sebagai binatang-binatang buas yang memangsa tanpa kesadaran dan motif. Ada
sedikit pertanyaan mengapa ketika catatan mengenai siapa yang tewas dan terluka
disebutkan, tidak ada informasi mengenai kebangsaan mereka? Hal ini jelas untuk
membiarkan orang-orang Amerika berasumsi bahwa penderitaan terbagi secara
seimbang di antara “kelompok-kelompok yang bertikai”, dan pada kenyataannya
menonjolkan penderitaan Yahudi dan mereduksi atau menghilangkan sama sekali
perasaan orang-orang Arab, terkecuali tentu saja bagi kemarahan mereka.
Kemarahan dan faktor-faktor penyebabnya tinggal menjadi satu-satunya cara
mendefinisikan emosi orang-orang Palestina. Hal itu menjelaskan kekerasan, dan
memang, memperlakukannya sedemikian rupa sehingga Israel harus tampil sebagai
representasi dari keluhuran moral dan demokrasi yang selamanya dikelilingi oleh
kemarahan dan kekerasan. Tidak ada proses lain yang secara logis bisa
menjelaskan para pelempar batu itu dan keperkasaan “pertahanan” Israel.
Tidak
ada yang dikatakan mengenai penghancuran rumah, perampasan lahan, penahanan
ilegal, penyiksaan, dan yang sejenisnya. Tidak ada yang dikutip mengenai apa
yang disebut (kecuali bagi pendudukan Jepang atas Korea) pendudukan militer
terlama dalam sejarah modern; tidak ada mengenai resolusi-resolusi PBB; tidak
ada tentang pelanggaran Israel terhadap seluruh Konvensi Jenewa; tidak ada yang
dikatakan mengenai penderitaan sebuah bangsa dan kekeraskepalaan bangsa
lainnya. Lupakan tentang bencana (Nakba) pada 1948, pembersihan dan pembantaian
etnis, penghancuran Qibya, Kafr Qassem, Shabra serta Shatila, dan periode
panjang pemerintahan militer bagi warga Israel non-Yahudi tidak mengatakan apa
pun tentang penindasan yang terus berlangsung terhadap mereka sebagai 20 persen
minoritas yang dikorbankan di dalam negara Yahudi. Ariel Sharon, dikatakan,
sebagai provokator terbaik, dan bukan seorang penjahat perang sementara Ehud
Barak adalah negarawan, dan bukan penjagal Beirut. Terorisme selalu menjadi
catatan di pihak Palestina sementara “membela diri” adalah milik Israel.
Apa
yang abai disebut Friedman dan “para pecinta perdamaian” pro-Israel ketika
mereka memuji kedermawanan Barak yang tak terbayangkan sebelumnya adalah
substansi sebenarnya dari hal itu. Kita tidak diingatkan bahwa komitmen Barak
untuk melakukan penarikan mundur yang ketiga (dari sekitar 12 persen wilayah
pendudukan) yang dibuat di Wye 18 bulan yang lalu tidak pernah terjadi. Maka,
nilai apakah yang lebih daripada “konsesi” seperti itu? Kita diberi tahu bahwa
Barak akan mengembalikan 90 persen wilayah. Apa yang diabaikan adalah bahwa 90
persen merupakan nilai yang Israel tidak pernah akan kembalikan. Yerusalem Raya
pastinya adalah 30 persen Tepi Barat; pemukiman besar yang harus dianeksasi
adalah 15 persen lagi; jalan-jalan militer di wilayah-wilayah itu belum
diputuskan. Jadi setelah semua ini dideduksikan, 90 persen sama sekali bukan
jumlah yang banyak.
Mengenai
Yerusalem, konsesi Israel pada prinsipnya adalah mereka konon berkeinginan
untuk membahasnya dan mungkin, cuma mungkin, menawarkan pembagian otoritas yang
sama atas Haram asy-Syarif. Kemunafikan yang mengejutkan dari persoalan ini
adalah bahwa seluruh Yerusalem Barat (mayoritasnya Arab pada 1948) telah
disepakati oleh Arafat, plus sebagian besar Yerusalem Timur yang diperluas.
Sebuah rincian yang lebih jauh: orang-orang Palestina yang menembakkan
senjata-senjata kecil mereka ke Gilo secara rutin dibuat seakan-akan seperti
kekerasan yang tak ada pemicunya, sementara tak ada seorang pun yang
menyebutkan bahwa Gilo itu sendiri berdiri di atas tanah yang dirampas dari
Beit Jala, tempat dimana tembakan itu berasal. Di samping itu, Beit Jala secara
membabi-buta terus dihujani rudal oleh helikopter Israel untuk menghancurkan
rumah-rumah penduduk sipil.
Saya
melakukan sebuah survei terhadap suratkabar-suratkabar utama. Beberapa kali
sejak 28 September, terdapat setidaknya antara satu hingga tiga artikel
rata-rata setiap harinya di New York Times, Washington Post, Wall
Street Journal, Los Angeles Times, dan Boston Globe. Dengan
pengecualian, mungkin, sekitar tiga artikel yang ditulis dari sudut pandang
pro-Palestina di Los Angeles Times, dan dua lainnya (satu ditulis oleh
seorang pengacara Israel, Alegra Pacheco, dan yang lainnya oleh jurnalis
liberal pro-Oslo asal Yordania, Rami Khoury) di New York Times, seluruh
artikel yang diterbitkan—termasuk yang ditulis para kolumnis reguler seperti
Friedman, William Safire, Charles Krauthammer, dan yang serupa dengan
mereka—berposisi mendukung Israel, proses perdamaian yang disponsori AS, dan
ide bahwa kekerasan Palestina, kurangnya kerja sama Arafat, dan fundamentalisme
Islam adalah yang patut dipersalahkan. Para penulis yang dimaksud, semuanya,
merupakan mantan pejabat militer dan sipil AS, pejabat dan apologis Israel,
para spesialis dan ahli, serta pejabat-pejabat lobi dan organisasi pro-Israel.
Dengan kata lain, peliputan media arus utama telah benar-benar berasumsi bahwa
pandangan Palestina atau Arab atau Muslim mengenai persoalan-persoalan seperti
taktik teror Israel terhadap penduduk sipil, kolonialisme pemukiman, dan
pendudukan militer sama sekali tidak ada, atau tidak berharga untuk didengar.
Hal ini terjadi bukan tanpa preseden dalam catatan jurnalisme AS, dan merupakan
sebuah refleksi langsung dari pola pikir Zionis yang menjadikan Israel sebagai
norma dalam perilaku manusia, yang dengan begitu mengenyampingkan pertimbangan
yang setara dari eksistensi 300 juta Arab dan 1,2 milyar Muslim.
Pola
pikir yang sudah saya gambarkan sungguh mengerikan dalam kesembronoannya dan,
jika hal itu bukan sebuah distorsi realitas secara praktis dan juga aktual,
orang bisa dengan sangat mudah berbicara tentang sebuah bentuk gangguan
kejiwaan. Dan ia sangat bersesuaian dengan kebijakan resmi Israel dalam
berhadapan dengan Palestina, bukan sebagai bangsa dengan sejarah tentang
perampasan hak milik dimana dalam sebagian besar kasus Israel bertanggung
secara langsung, tetapi sebagai suatu gangguan periodik bagi mereka yang
memandang kekuatan, dan bukan pemahaman serta akomodasi penuh, sebagai
satu-satunya respon yang mungkin. Segala sesuatu selain itu jelas tidak pernah
terlintas dalam pikiran. Ketidakpedulian yang luar biasa ini diperparah di
Amerika Serikat karena Arab dan Muslim jarang dipedulikan kecuali sebatas
(seperti yang sudah saya tulis sebelumnya) menjadi objek setiap politikus yang
berambisi tinggi. Beberapa hari yang lalu, Hillary Clinton mengumumkan, dengan
sebuah isyarat kemunafikan yang sangat menjijikkan, bahwa dia telah
mengembalikan donasi sebesar $50,000 dari sebuah kelompok Muslim-Amerika
karena, Hillary berkata, mereka mendukung terorisme; hal ini sesungguhnya
adalah sebuah dusta yang luar biasa, karena kelompok yang dipersoalkan hanya mengatakan
bahwa mereka mendukung resistensi bangsa Palestina terhadap Israel selama
periode-periode krisis, dan dengan sendirinya bukanlah posisi yang problematik
tetapi tetap dipandang kriminal di dalam sistem Amerika hanya karena Zionisme
yang totaliter menuntut semua—dan lebih jelasnya saya bermaksud “setiap”—kritik
terhadap apa yang Israel lakukan tidak dapat ditoleransi dan termasuk ke dalam
kategori anti-Semitisme. Dan hal ini terjadi meski faktanya (kembali dalam
maknanya yang paling jelas) seluruh dunia mengecam kebijakan-kebijakan
pendudukan militer Israel, kekejaman yang tak sebanding, dan pengepungan bangsa
Palestina. Di Amerika, anda harus menahan diri untuk tidak melancarkan kritik
apa pun terhadap Israel jika anda tidak ingin didakwa sebagai seorang
anti-Semit yang meniscayakan penghinaan yang brutal.
Keanehan
lebih lanjut dari Zionisme Amerika, yang merupakan sebuah sistem pemikiran
antitesis dan distorsi gaya Orwellian, adalah bahwa tidak diizinkan untuk
berbicara tentang kekejaman Yahudi, atau tindakan-tindakan Yahudi yang
berkaitan dengan Israel, meskipun segala yang dilakukan Israel dilakukan atas
nama Yahudi, untuk, dan oleh negara Yahudi. Fakta bahwa negara seperti itu
(Israel) secara istilah tidaklah cocok, karena hampir 20 persen populasinya
bukanlah Yahudi, tidak pernah disampaikan kepada publik dan hal ini juga
bertanggung jawab terhadap kesenjangan yang luar biasa, dan memang disengaja,
antara apa yang media sebut sebagai “Arab Israel” dengan “Palestina”: mungkin
tak seorang pembaca atau pemirsa pun tahu bahwa mereka adalah orang-orang yang
sama, yang dalam kenyataannya dipisahkan oleh kebijakan Zionis, atau bahwa
kedua komunitas itu merepresentasikan akibat dari kebijakan Israel—kasus
apartheid di satu sisi, dan pendudukan militer serta pembersihan etnis di sisi
lain.
Ringkasnya,
Zionisme Amerika telah menciptakan setiap diskusi publik yang serius mengenai
Israel, penerima bantuan asing AS terbesar yang pernah ada, baik masa lalunya
maupun masa depannya, sebuah tabu yang tidak boleh dilanggar dalam situasi apa
pun. Untuk menyatakan hal ini secara jelas sebagai tabu terakhir di dalam
diskursus Amerika akan dipandang sebagai suatu pernyataan yang
dibesar-besarkan. Aborsi, homoseksualitas, hukuman mati, bahkan anggaran
militer yang suci itu telah dibicarakan dengan bebas (meski selalu harus berada
di dalam batas). Bendera Amerika bisa saja dibakar di muka umum, sementara
kesinambungan sistematis perlakuan Israel selama 52 tahun terhadap Palestina
hampir tak terbayangkan, sebuah kisah yang tidak boleh muncul ke hadapan
publik.
Konsensus
ini hingga batas-batas tertentu mungkin dapat ditoleransi selama tidak
menjadikan dehumanisasi yang terus berlangsung terhadap orang-orang Palestina
itu sebagai sesuatu yang bermoral. Tidak pernah ada bangsa di dunia pada hari
ini yang pembunuhan terhadap mereka di layar-layar televisi dipandang oleh
mayoritas pemirsa Amerika untuk diterima sebagai sebuah hukuman yang wajar.
Inilah yang menimpa Palestina yang kematian warganya sehari-harinya
dipersepsikan di bawah judul “kekerasan dua pihak”, seolah-olah batu dan
katapel anak-anak muda itu, yang lelah dengan ketidakadilan dan penindasan,
merupakan kekerasan yang lebih utama alih-alih resistensi mereka yang berani
terhadap perendahan nasib yang ditakar kepada mereka, bukan hanya oleh para
prajurit Israeli dengan senjata buatan Amerika tetapi juga oleh sebuah “proses
damai” yang dirancang untuk memenjarakan mereka di dalam Bantustan [5] dan tempat-tempat penampungan yang hanya cocok untuk binatang.
Bahwa
para pendukung Israel di Amerika selama tujuh tahun merencanakan demi
menghasilkan suatu dokumen yang utamanya didesain untuk memenjarakan banyak
orang layaknya para pesakitan dalam sebuah tempat rehabilitasi atau penjara,
adalah sebuah kejahatan yang nyata. Dan bahwa ini bisa disamarkan sebagai
perdamaian alih-alih sebagai kebinasaan yang memang terjadi selama ini telah
melampaui kemampuan saya untuk memahami atau cukup menggambarkannya sebagai
sesuatu yang tidak lain daripada kebejatan yang tanpa batas. Hal terburuk dari
semua ini adalah begitu tebalnya dinding yang membatasi wacana tentang Israel
di Amerika, bahwa tidak ada pertanyaan yang dapat diajukan kepada pikiran
mereka yang menghasilkan Oslo dan bahwa selama tujuh tahun rencana mereka
disamarkan kepada dunia sebagai “perdamaian”. Nyaris tidak ada orang yang
mengetahui manakah yang lebih jahat: mentalitas yang berpikir bahwa Palestina
bukan entitas yang berhak untuk mengekspresikan perasaan ketidakadilan mereka
(mereka terlalu rendah bagi hal itu) ataukah mentalitas yang terus merencanakan
perbudakan atas mereka?
Apakah
seluruh hal tersebut sudah cukup buruk? Namun, status kita yang menyedihkan
terkait Zionisme Amerika semakin diperparah oleh tidak adanya institusi di sini
atau di dunia Arab yang siap dan mampu menghasilkan sebuah alternatif. Saya
cemas bahwa peliputan seputar batu yang dilemparkan para pengunjuk rasa di
Bethlehem, Gaza, Ramallah, Nablus, dan Hebron tidak cukup terefleksikan di
dalam kepemimpinan Palestina yang serba ragu, tidak mampu untuk mundur ataupun
bergerak maju. Dan ini adalah kemalangan yang terakhir.
Catatan:
[1] Dimuat sebagai artikel berseri di Al Ahram
Weekly, 21-27 September, 2-8 November, Edisi No. 500-506.
[2] Edward Said (1935-2003) adalah teoritikus sastra
Amerika-Palestina. Ia lahir dari keluarga Palestina Protestan. Posisi
terakhirnya adalah Gurubesar Kesusastraan Inggris dan Komparatif pada
Universitas Colombia, dan dipandang sebagai salah satu figur pelopor dalam
teori posmodernisme. Dalam dunia Islam dan Ketimuran, Said dikenal sebagai
salah seorang yang pertama menjelaskan dan mengkritik “Orientalisme”. Selain
itu, ia juga populer sebagai aktivis pembela hak-hak bangsa Palestina. Awalnya,
Said mendukung “solusi dua negara” dan masuk ke dalam Palestinian National
Council (PNC) sebagai salah seorang anggotanya. Menjelang penandatanganan Kesepakatan
Oslo 1993, Said mengundurkan diri dari PNC karena merasa Oslo sebagai
pengkhianatan atas bangsa Palestina dan tidak akan pernah menghasilkan
berdirinya negara Palestina yang berdaulat. Secara khusus, ia menyebut Yasser
Arafat telah menjual “hak pulang” bangsa Palestina ke tanah air mereka.
Akhirnya, ia mendukung “solusi satu negara” di tanah historis Palestina, dimana
warganya, baik Yahudi, Arab, maupun lainnya, bisa hidup damai dan menikmati
kesetaraan hak. Karena Leukemia kronis, Edward Said wafat pada 25 September
2003 di New York City pada usia 67 tahun. Pada 2006, seorang antropologis,
David Price, berhasil membongkar kumpulan dokumen Biro Penyelidik Federal FBI,
yang 147 halaman di antaranya berkaitan dengan Said. Sejak 1971, Said ternyata
diawasi dan dimata-matai FBI dengan kode “IS Middle East” (IS= Israel).
[3] Moshe Dayan (1915-1981) adalah panglima militer
tersukses dalam sejarah negara Israel. Ia menjadi simbol peperangan Israel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar