Kamis, 05 Maret 2015

Syaikh Shaduq dan Karya-karyanya





Oleh Muhammad Husain Falah Zadeh. Penerjemah: Nasir Dimyati (Dewan Penerjemah Situs Sadeqin)

Tempat dan Tanggal Lahir
Muhammad bin Ali bin Babuwaih [1] yang lebih dikenal dengan julukan 'Syaikh Shaduq' lahir di kota Qom pada tahun 306 H., Qom terletak di pusat negara Iran dan 135 kilometer ke arah selatan dari Teheran, kota ini sejak lama dikenal sebagai kota ilmu dan ijtihad. Nama kota Qom selalu beriringan dengan sejarah dan budaya Syi'ah, dari dulu memang penduduk kota itu punya kecenderungan yang kuat terhadap agama Islam dan kecintaan pada para pemimpinnya. Kota ini telah menghasilkan banyak tokoh ulama, ahli hadis, Islamisis yang ternama. Dari sejak lama di sana terdapat pusat-pusat penelitian Islam di berbagai jurusan seperti hadis, tafsir, fikih, dan sejarah. Dan seiring dengan waktu, pusat-pusat pendidikan dan penelitian Islam itu terus berkembang sampai sekarang. Jerih payah para tokoh ulama itu dalam menyebarkan ilmu-ilmu Ahli Bait as. menjadi catatan sejarah yang tak terlupakan, bahkan di periode kekuasaan Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiah yang mencekam mereka mendatangi para imam dan menimba ilmu lalu menyebarkannya ke berbagai kota yang tidak memungkinkan saat itu untuk didatangi oleh imam.

Pemakaman ulama di kota ini menunjukkan latar belakang intelektual dan kulturalnya yang gemilang. Para sejarawan mencatat ada sekitar 700 tokoh muhadis (ahli sekaligus periwayat hadis) yang dikuburkan di Qom, dan betapa banyak tokoh ilmu, budaya, politik dan sosial yang terdidik dan tumbuh berkembang di kota ini. Tokoh muhadis paling penting dan besar yang dikuburkan di Qom adalah Syaikh Shaduq. Berikut ini kami akan membawakan sekilas tentang riwayat hidupnya.

Keturunan
Salah satu klan besar Iran yang pada sekitar tiga ratus tahun yang lalu telah menyumbangkan ulama ternama adalah Babuwaih, dan Syaikh Shaduq merupakan sumbangannya yang terbesar. Babuwaih adalah kakek tertua Syaikh Shaduq, orang pertama yang berjulukan Ibnu Babuwaih adalah bapaknya, yaitu Ali bin Husain bin Musa bin Babuwaih. Ibnu Babuwaih sendiri termasuk tokoh Syi'ah yang terkemuka, karya-karyanya lebih dari seratus judul buku. Dia adalah pemuka Syi'ah di kota Qom dan sekitarnya, dia hidup pada zaman Imam Hasan al Askari as. dan masa gaib kecil Imam Mahdi af., tepatnya pada saat Husain bin Ruh menjadi wakil istimewa Imam Mahdi af. Selain kegiatan intelektual, dia juga punya toko dan mengelolanya untuk menghidupi keluarga dan sanak familinya. Dia bukan saja ulama dan intelektual pada zamannya, tapi sampai sekarang pun dia sangat dihormati dan karya-karyanya dihargai sekali.

Kelahiran Muhammad
Apa yang sempat membuat hati Ibnu Babuwaih selama bertahun-tahun gelisah adalah belum dikaruniai anak, padahal usianya sudah menginjak tua, tapi dia tidak pernah putus asa dari rahmat Allah swt., terus saja dia berdoa dan memohon-Nya agar dikaruniai anak. Suatu hari, dia bermaksud untuk menulis surat kepada Imam Mahdi af. dan minta tolong kepada beliau agar berdoa untuknya. Dia cari-cari kesempatan yang pas dan orang yang bisa dipercaya untuk menyampaikan surat itu kepada beliau. Sampai suatu hari, ada kafilah dari Qom yang ingin pergi ke negeri Irak, di antara mereka terdapat seorang teman yang biasa dipanggil dengan Abu Ja'far [2], maka dia titipkan surat itu kepadanya untuk disampaikan kepada Husain bin Ruh [3] untuk kemudian dia sampaikan kepada Imam Mahdi af. Abu Ja'far meriwayatkan bahwa dia serahkan surat itu kepada wakil istimewa Imam Mahdi af., setelah tiga hari saya diberitahu bahwa Imam af. telah mendoakan Ibnu Babuwaih dan tidak lama lagi dia akan dikaruniai anak yang menjadi sumber berkah bagi orang lain. [4]

Syaikh Thusi berkata: "Banyak sekali tokoh Qom yang meriwayatkan bahwa Ali bin Husain bin Babuwaih menikah dengan puteri pamannya, tapi pernikahan itu tidak membuahkan anak. Lalu, dia mengirimkan surat kepada Syaikh Abu Qasim Husain bin Ruh yang berisikan permohonan kepada Imam Mahdi af. agar berdoa untuknya, maka berkat doa itu Allah swt. mengaruniainya anak. Jawaban yang sampai kepada Ibnu Babuwaih dari Imam Mahdi af. adalah kamu tidak bisa punya anak bersama istrimu yang sekarang, tapi tidak lama lagi kamu akan menikah dengan seorang budak perempuan asal Dailam [5] dan melalui dia kamu akan dikaruniai dua anak yang alim." [6] Syaikh Shaduq sendiri menuliskan cerita doa Imam Mahdi af. dan kelahiran dirinya itu dalam kitab Ikmâl Al-Dîn, lalu dia menambahkan bahwa setiap kali Abu Ja'far Muhammad bin Ali Aswad melihat saya gigih dan semangat sekali mempelajari hadis dan ilmu-ilmu Ahli Ahli Bait as. dia berkata, 'Tidak heran jika kamu semangat dan gigih sekali menuntut ilmu, karena memang kamu lahir berkat doa Imam Mahdi af.'

Itulah berita gembira Imam Mahdi af. untuk Ibnu Babuwaih. Tak lama setelah menikah dengan budak asal Dailam, Allah swt. mengaruniainya anak yang dia beri nama Muhammad, setelah itu dia dikaruniai anak yang kedua dan dia beri nama Husain. Husain bin Ali bin Babuwaih juga tergolong ulama besar setelah ayah dan kakaknya.

Masa Kecil
Pada waktu Allah swt. mengaruniainya anak yang pertama, dia relatif tua dan sudah mempelajari ajaran Islam dari berbagai ulama dan muhaddis, bahkan ketika itu dia merupakan salah satu tokoh terkemuka dunia Islam dan pemimpin kelompok Syi'ah di Qom. Mungkin di balik itulah terletak hikmah kenapa Muhammad (Syaikh Shaduq) lahir di usia bapak yang relatif tua, karena dengan demikian Muhammad sangat diuntungkan oleh pengalaman dan kemampuan bapaknya, sehingga dia dapat berkembang pesat di bawah budi pekerti dan pengetahuan agama yang istimewa.

Masa Sekolah
Di masa kecil, Muhammad belajar ilmu agama dari bapaknya, selain itu dia juga menjalani pendidikan dasar di kota Qom bersama ulama dan muhaddis di sana. Dia gigih sekali menuntut ilmu dan mengejar makrifah. Maka tidak lama kemudian dia telah menguasai banyak bidang ilmu dan pengetahuan. Kebanyakan ilmu dasar dipelajarinya secara langsung dari bapak, selebihnya dia pelajari dari para ulama di majelis-majelis mereka. Setelah mencapai jenjang pendidikan yang tinggi, dia ingin sekali menimba ilmu dari guru besar dan muhaddis lain, itulah sebabnya dia memulai perjalanan keluar kota untuk mencapai maksud, dan besar kemungkinan salah satu faktor kesuksesan dia adalah banyaknya jumlah guru yang dia datangi untuk menimba ilmu mereka. Ulama dan peneliti yang bernama Syaikh Abdurrahim Rabani Syirazi di dalam pengantar kitab Ma‘ânî Al-Akhbâr menuliskan riwayat hidup Syaikh Shaduq dan menyebutkan 252 gurunya. [7] Di antara guru besar dia di Qom adalah Muhammad bin Hasan bin Walid, Ahmad bin Ali bin Ibrahim Qomi, Muhammad bin Yahya bin Athar Ays'ari Qomi, Hasan bin Idris Qomi, dan Hamzah bin Muhammad Alawi. Pada ulasan tentang perjalanan dia, kami juga akan menyinggung berapa nama guru besar yang ditimba ilmunya oleh Syaikh Shaduq.

Di Kota Rei
Salah satu fenomena sosial – politik yang penting dan terjadi pada masa hidup Syaikh Shaduq adalah kekuasaan dinasti yang berasal dari Iran dan bermazhab Syi'ah, yaitu Alu Buwaih. Dari tahun 322 sampai 448 H. mereka menguasai kawasan luas yang mencakup Iran, Irak, dan Siria. Kepergian Syaikh Shaduq dari kota Qom ke kota Rei juga atas permintaan salah satu dari penguasa mereka yang bernama Ruknud Daulah Dailami. Allamah Syusytari menceritakan kepergian Syaikh Syaduq dari Qom ke Rei sebagai berikut: "Ruknud Daulah [8] meminta Syaikh Shaduq untuk datang ke Darul Khilafah dan menyebarkan mazhab yang benar di kawasannya, dia sendiri turut belajar darinya. Pada awal kedatangannya, sultan mengutarakan beberapa pertanyaan darinya dan mendapatkan jawaban yang memuaskan. Dia sangat menghormati dan memuliakannya, dia juga memberikan berbagai fasilitas dan hadiah kepadanya." [9]

Sepertinya, faktor utama undangan Ruknud Daulah dan sambutan positif Syaikh Shaduq adalah kekosongan yang dialami oleh kota Rei semenjak ditinggalkan oleh Syaikh Kulaini ke Baghdad dan kematiannya. Keberadaan Syaikh Shaduq di kota itu tentu menjadi sumber berkah, dan mengingat pentingnya kehadiran dia di sana maka dia menerima undangan Ruknud Daulah dan meninggalkan kota tempat lahirnnya menuju kota Rei. Hal itu terbukti dengan diskusi dan dialog dia selama tinggal di kota Rei dengan tokoh-tokoh mazhab yang lain mengenai topik-topik kajian Islam, khususnya tentang imamah dan kegaiban Imam Mahdi af., diskusi dan dialog yang terkadang dihadiri juga oleh Ruknud Daulah itu kemudian dicatat dan menjadi peninggalan buku yang sangat berharga.

Era Hadis
Tepat sekali jika zaman ketika Syaikh Shaduq hidup diberi nama era hadis, yaitu periode yang telah dimulai oleh gerakan intelektual Syaikh Kulaini dan dilanjutkan oleh kegiatan Syaikh Shaduq yang tidak mengenal lelah. Syaikh Kulaini juga meninggalkan tempat lahirnya, kota Kulain dan pergi ke Rei, di sana dia menulis kitab Al-Kâfî yang merupakan salah satu kitab induk hadis Syi'ah, dengan itu dia telah memulai gerakan intelektual baru dan merintis penulisan hadis-hadis Ahli Bait as., kemudian dilanjutkan oleh para tokoh ulama yang lain, seperti Syaikh Shaduq. Demi meneruskan misi dari gerakan yang dibangun oleh Syaikh Kulaini tersebut, Syaikh Shaduq merencanakan perjalanan ke luar kota dan negara. Dan ini merupakan pasal baru dari kehidupannya.

Perjalanan Intelektual
Dari hasil penelitian tentang pasal kehidupan Syaikh Shaduq yang ini, kita tahu betapa besar keinginan dia untuk mengumpulkan hadis para imam agama, menjaga dan menyebarkannya kepada orang lain. Untuk itu, dia bepergian ke Balkh, Bukhara, Kufah, dan Baghdad, lalu dari sana ke Mekah dan Madinah, dia hampiri semua pusat kegiatan Islam di kota-kota tersebut, baik itu pusat kelompok Syi'ah maupun Ahli Sunnah. Berbagai rintangan dan kesulitan dihadapinya dalam perjalanan itu, tiada lain karena dia ingin pulang dengan memikul oleh-oleh hadis Nabi Muhammad saw. dan Ahli Bait beliau as. Ke kota mana pun dia menginjakkan kaki, dia mencari tokoh ulama yang terkemuka di sana untuk menimba ilmu darinya, disamping itu dia juga membagikan ilmu yang dikuasainya kepada para pecinta yang haus ilmu.

Di bulan Rajab tahun 352 H., dia pergi menziarahi makam Imam Ali Ridha as. di kota Masyhad dan kembali lagi ke kota Rei. Lalu, di bulan Sya'ban tahun yang sama dia pergi ke Nisyabur yang termasuk kota penting di kawasan Khurasan. Di kota itu dia dikerumuni oleh masyarakat yang kebingungan akibat kerancuan intelektual tentang Imam Mahdi af. yang tersebar luas di sana, dia isi majlis-mejlis ilmu di sana dengan pembahasan-pembahasan yang sistematik dan argumentatif sehingga praktis kerancuan mereka tentang gaibnya Imam Mahdi af. tersingkirkan.

Syaikh Shaduq menceritakan pengalamannya tersebut di dalam kitab Ikmâl Al-Dîn. Selain menyelesaikan kerancuan-kerancuan yang tersebar di tengah masyarakat Nisyabur, dia juga mendatangi para tokoh ulama untuk meriwayatkan hadis dari mereka, seperti Husain bin Ahmad Baihaqi, Abu Thayib Husain bin Ahmad, dan Abdullah bin Muhammad bin Abdulwahab. Di kota Marw, dia juga mendatangi para muhadis dan meriwayatkan hadis dari mereka, antara lain Muhammad bin Ali Syah Faqih, dan Abu Yusuf Rafi' bin Abdullah bin Abdulwahab bin Abdulmalik. Setelah itu, dia pergi ke kota Baghdad, di sana dia juga mendatangi tokoh-tokoh ulama dan muhaddis seraya meriwayatkan hadis dari mereka, seperti Husain bin Yahya Alawi, Ibrahim bin Harun, dan Ali bin Tsabit.

Pada tahun 354 H., dia memasuki kota Kufah dan meriwayatkan hadis dari para syaikh di sana. Antara lain Muhammad bin Bikran Naqasy, Ahmad bin Ibrahim bin Harun, Hasan bin Muhammad bin Sa'id Hasyimi, Ali bin Isa, Hasan bin Muhammad bin Muhammad Maskuni, dan Yahya bin Zaid bin Abbas bin Walid. Pada tahun itu juga dia pergi haji dan mengunjungi Baitullahil Haram, di tengah perjalanan dia sempat bertemu dengan para muhadis dan meriwayatkan hadis dari mereka, seperti Qasim bin Muhammad bin Ahmadi Abdiwaih, Fadhl bin Fadhl bin Abbas Kindi, dan Muhammad bin Fadhl bin Zaidiyah Jallab.

Sepulang dari manasik haji, di tengah perjalanan pulang dia bertemu dengan Ahmad bin Abu Ja'far Baihaqi di daerah Faid, lalu dia meriwayatkan hadis darinya. Lalu pada tahun 355 dia kembali lagi memasuki kota Baghdad, dan sepertinya kedatangan dia itu setelah pulang dari haji. Kitab Al-Majâlis menyebutkan dua perjalanan yang lain dari Syaikh Shaduq ke kota Masyhad, sekali pada tahun 367 dimana dia bertemu dengan Sayid Abu Barakat Ali bin Husain Husaini dan Abu Bakar bin Muhammad bin Ali untuk meriwayatkan hadis, sekali lagi ketika dia ingin pergi ke Balkh untuk bertemu dengan tokoh-tokoh ulama di sana, seperti Husain bin Muhammad Asynani Razi, Husain bin Ahmad Astarabadi, Hasan bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Amr Athar, Hakim Abu Hamid Ahmad bin Husain dan Ubaidullah bin Ahmad Faqih.

Di daerah Ilaq dia bertemu dengan Muhammad bin Amr bin Ali bin Abdullah bashri, Muhammad bin Hasan bin Ibrahim Kurkhi dan lain-lain untuk meriwayatkan hadis dari mereka, di daerah ini pula Syarifudin Abu Abdillah Muhammad bin Husain, [10] yang dikenal dengan sebutan Nikmat, memintanya agar menulis buku Man Lâ Yahdhuruhu Al-Faqîh. Dari sana kemudian Syaikh Shaduq pergi ke Sarakhs, dan dari Sarakhs menuju Samarqand dan Fara'inah. [11] Di tengah perjalanan menuju Gurgan, dia bertemu dengan Abu Hasan Muhammad bin Qasim Astarabadi dan meriwayatkan hadis darinya. [12]

Kedudukan Intelektual
Berkat doa Imam Mahdi af., berkah keberadaan Syaikh Shaduq menyebar ke mana-mana dan popularitasnya mendunia, ulama di segala penjuru dunia memuji dan mengakui kebesarannya. Syaikh Shaduq tidak bisa hanya dikatakan sebagai seorang muhaddis, faqih, atau pakar usul fikih, melainkan berdasarkan karya-karyanya yang beraneka ragam harus dinyatakan sebagai ulama yang menguasai berbagai ilmu secara utuh. Umar Ridha Kahhalah, salah seorang ulama Ahli Sunnah mengatakan: "Muhammad bin Ali bin Husain ... adalah bermazhab Syi'ah, dia seorang mufasir, fakih, pakar usul fikih, muhadis, hafiz, ahli ilmu rijal dan ... " [13] Tenaga dan waktunya lebih banyak dia fokuskan untuk mengumpulkan hadis, menulis, membukukan, menyusun secara tematis, mengajarkan dan menyebarkannya kepada orang lain, selain juga menulis berbagai buku tentang persoalan yang dibutuhkan pada zamannya atau bahkan untuk generasi yang akan datang. Semua ini tidak mungkin dilakukan oleh seseorang kecuali dia menguasai bidang-bidang ilmu tersebut.

Pengumpulan hadis, dan penulisan, pembukuan serta penyusunannya secara tematis, itu pun pada saat tidak ada atau sedikit sekali fasilitas penelitian dan penulisan seperti yang tersedia pada zaman sekarang, menunjukkan betapa jerih payah Syaikh Shaduq dalam hal ini luar biasa berat dan berharga. Pada zaman sekarang pun satu tim saja masih kesulitan untuk melakukan pekerjaan seperti itu, padahal berbagai fasilitas telah tersedia di hadapan mereka. Inovasi Syaikh Shaduq dalam menyusun hadis dan riwayat Nabi saw. serta Ahli Baitnya as. menjadi sumber ilmu yang segar dan dapat dinikmati oleh generasi-generasi setelahnya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan intelektual dan religius mereka.

Seorang Faqih Mazhab Syi'ah
Sebagian penulis riwayat hidup fukaha lupa tidak menyebutkan nama Syaikh Shaduq di antara fukaha ternama Syi'ah, padahal dia menulis buku-bukunya –termasuk kitab Man Lâ Yahdhuruhu Al-Faqîh (salah satu dari empat buku induk hadis Syi'ah)- berdasarkan basis fikih yang diyakininya, di pengantar buku Man Lâ Yahdhuruhu Al-Faqîh dia menyebutkan, 'Apa yang saya tuangkan dalam kitab ini persis apa yang saya fatwakan.' [14] Yakni, sesuai dengan pendapat dia di bidang hukum. Kitab dia yang berjudul Al-Muqni‘ juga termasuk buku pedoman fikih Syi'ah dan betul-betul berdimensi fatwa, para fakih setelah dia pun memandang buku ini sebagai pandangan-pandangan hukum dia. Selain itu, banyak ulama yang menulis tentang rijal menyebutnya dalam kategori fukaha. [15] Tokoh ternama Syi'ah, Syaikh Thusi di dalam kitabnya yang berjudul Al-Fihrist menyebutkan: "Syaikh Shaduq adalah tokoh kita, fakih kita, dan kebanggaan orang-orang Syi'ah Khurasan, ... ". [16]

Pandangan Ulama Non-Syi'ah
Sosok Syaikh Shaduq yang besar membuat para ulama Islam yang terkemuka sekalipun –baik dari kalangan Syi'ah maupun Ahli Sunnah- memujinya dengan nama dan ungkapan yang istimewa, sehingga membuat orang yang mendengarnya takjub menyaksikan kebesarannya. Syaikh Thusi di dalam kitab Al-Fihrist-nya mengatakan, 'Syaikh Shaduq adalah seorang tokoh, hafiz hadis, kritikus riwayat, dan pakar ilmu rijal. Di antara ulama Qom saat itu, tidak ada sosok ulama yang memiliki ingatan dan ilmu setingkat dia.' [17]  Muhammad bin Idris di dalam kitab Sarô'ir mengatakan, 'Dia adalah ulama yang besar dan terpercaya, spesialis hadis, kritikus riwayat, pakar ilmu rijal, hafiz kawakan, dan merupakan guru Syaikh Mufid bin Muhammad bin Nu'man. [18]

Najasyi, pakar ilmu rijal yang terkenal itu mengatakan, 'Syaikh Shaduq adalah tokoh dan fakih kita serta sosok yang sangat terkenal di kalangan Syi'ah Khurasan. Pada tahun 355, dia bepergian ke Baghdad, ketika itu usia dia relatif muda, tapi para ulama besar di sana menimba ilmu darinya.' [19]  Sayid bin Thawus mengatakan, 'Syaikh Abu Ja'far Muhammad bin Ali bin Babuwaih adalah orang yang berilmu, mulia dan terpercaya. Hal itu disepakati oleh semua ulama yang mengenalnya.' [20] Syaikh Asadullah Syusytari di dalam kitab Maqôbis Al-Anwâr mengatakan, 'Syaikh Shaduq adalah pemuka para muhadis, pembangkit kembali tonggak agama, penyandang berbagai keutamaan dan keistimewaan. Dia dan saudaranya lahir berkat doa Imam Hasan Askari as. dan Imam Mahdi af.' [21]

Allamah Mamaqani di dalam kitab Tanqîh Al-Maqôl mengatakan, 'Muhammad bin Ali bin Babuwaih adalah sosok ulama yang istimewa, masyarakat umum sangat diuntungkan dengan kepandaiannya dalam hukum Islam, dan para fukaha sangat diuntungkan dengan hadis-hadis yang dia riwayatkan, dan para ulama spesialis selalu mengenang serta memujinya.' [22] Sayid Hasan Shadr mengatakan, 'Muhammad bin Ali bin Husain telah menulis lebih dari 300 kitab, bisa dinyatakan bahwa dia merupakan sosok yang sangat istimewa di antara ulama Islam.' [23] Pujian dan sanjungan seperti ini bukan hanya diungkapkan oleh ulama Syi'ah, melainkan ulama Ahli Sunnah juga melakukan hal yang serupa. Di sini, kami hanya akan membawakan satu contoh saja dari pujian mereka terhadap Syaikh Shaduq.

Khairudin Zarkali di dalam kitab Al-A‘lâm mengatakan, 'Muhammad bin Ali bin Husain dikenal dengan julukan Syaikh Shaduq, kita tidak akan bisa menemukan sosok ulama seistimewa dia di kota Qom. Dia tinggal di kota Rei, kedudukan dia di kawasan timur dan Khurasan tinggi sekali. Dia meninggal di kota Rei dan di sanalah dia dikuburkan. Karya-karyanya sekitar 300 kitab.' [24]

Jujur dan Terpercaya
Pada umumnya, para muhaddis dan ahli hadis akan menerima sebuah hadis apabila perawinya dinyatakan oleh ulama ilmu rijal sebagai orang yang jujur dan terpercaya. Di saat yang sama, jarang sekali kita menyaksikan mereka menggunakan istilah jujur dan terpercaya untuk Syaikh Shaduq. Tapi itu sama sekali bukan berarti dia tidak memenuhi syarat tersebut. Syaikh Hur Amili, muhadis kawakan Syi'ah dan penulis buku kumpulan hadis besar yang berjudul Wasâ'il Al-Syî‘ah mengatakan, 'Pujian yang disebutkan para ulama rijal tentang Syaikh Shaduq tidak kurang dari pujian jujur dan terpercaya, ketika seseorang telah mencapai tingkat kemuliaan dan popularitas yang begitu tinggi maka apa perlunya menyanjung dia hanya dengan kata-kata jujur dan terpercaya. Begitu percayanya para ulama terhadap dia sehingga pujian 'jujur dan terpercaya' baginya terhitung remeh bahkan mungkin termasuk pelecehan.' [25]

Muhaqiq Bahrani mengatakan, 'Saya melihat sebagian ulama kita yang menerima Marôsîl (hadis-hadis mursal) Syaikh Shaduq [26] sebagai hadis yang sahih. Menurut mereka, Marôsîl Syaikh Shaduq tidak kurang berkualitas jika dibandingkan dengan Marôsîl Ibnu Abi Umair. Sebagian ulama itu antara lain Damad di dalam kitab Mukhtalaf, Syahid di dalam kitab Syarh Irsyâd, dan Sayid Damad di dalam kitab Hawâsyî Faqîh.' [27] Allamah Mamaqani, yang dikenal sebagai pakar ilmu rijal, di dalam kitab Tanqîh Al-Maqôl mengatakan, 'Meragukan dan mempersoalkan kejujuran serta keadilan tokoh besar (Syaikh Shaduq) ini sama dengan meragukan dan mempersoalkan cahaya matahari yang terang benderang. Imam Mahdi af. berkata tentangnya, 'Sungguh Allah telah memberi manfaat kepada masyarakat melalui dia.' Pernyataan beliau ini setingkat atau bahkan lebih dari pernyataan jujur dan adil.' [28] Sebagian ulama menyebutkan bahwa kejujuran, keadilan dan keterpercayaan beliau adalah sesuatu yang sangat jelas, seperti jelasnya kejujuran, keadilan dan keterpercayaan Salman Al-Farisi atau Abu Dzar al Ghifari. [29]

Karya
Untuk mengulas secara terperinci karya-karya Syaikh Shaduq, perlu kitab tersendiri. Syaikh Thusi di dalam kitab Al-Fihrist mengatakan, 'Dia telah menulis sekitar 300 kitab.' [30] Najasyi yang menulis buku Rijâl setelah penulisan buku Al-Fihrist oleh Syaikh Thusi hanya menyebutkan 198 nama buku karya Syaikh Shaduq. [31] Tapi perlu digarisbawahi bahwa kebesaran Syaikh Shaduq bukan karena kuantitas karya-karyanya, tapi karena kualitasnya yang sangat tinggi. Pembukuan dan penyusunan hadis Ahli Bait as. yang telah dilakukan olehnya tidak pernah ada yang mendahului sebelum dia, hal ini menunjukkan penguasaan dia yang dalam terhadap hadis.

Man Lâ Yahdhuruhu Al-Faqîh
Karya Syaikh Shaduq yang paling terkenal dan paling besar setelah kitab Madînat Al-'Ilm adalah Man Lâ Yahdhuruhu Al-Faqîh, satu dari empat kitab induk hadis Syi'ah. Kitab ini memuat sekitar 6000 hadis yang disusun berdasarkan topik-topik ilmu fikih. Mengenai penulisan buku ini, Syaikh Shaduq menjelaskan: "Saya tidak ingin seperti penulis-penulis riwayat yang lain, mereka mencatat semua riwayat yang sampai kepada mereka mengenai segala topik, tapi di buku ini saya hanya membawakan hadis yang berdasarkannya saya memberi fatwa, dan menurut saya hadis-hadis itu sahih serta merupakan hujjah antara saya dan Allah swt."

Marhum Mamaqani mengatakan, 'Sebagian ulama lebih memprioritaskan kitab Man Lâ Yahdhuruhu Al-Faqîh daripada tiga kitab induk hadis yang lainnya karena beberapa alasan; ingatan penulisnya yang sangat kuat sehingga hadis yang diriwayatkannya dijamin telah dicatat secara lebih teliti daripada yang lain, kegigihan dia dalam menukil riwayat, masa penulisannya yang lebih baru dibandingkan dengan kitab Al-Kâfî, jaminan yang diberikan oleh penulisnya tentang kesahihan hadis-hadis di dalamnya, dan tujuan dia dari penulisan buku itu yang bukan sebatas penukilan riwayat, melainkan dia juga memberikan fatwa atas dasar hadis-hadis yang dinukilnya. [32]

Kamâl Al-Dîn wa Tamâm Al-Ni‘mah
Syaikh Shaduq menulis buku ini di akhir hayatnya. Pada zaman itu, kelompok Ismailiyah yang punya pengaruh luas di kawasan, begitu pula kelompok Zaidiyah, pendukung Ja'far Kadzab dan pengikut mazhab Ahli Sunnah sama-sama melancarkan gugatan mereka terhadap mazhab Syi'ah Imamiyah dan membuat benak masyarakat rancu akan duduk persoalan yang sesungguhnya. Di dalam buku ini, pertama-tama dia menukil gugatan-gugutan mereka, lalu menjawabnya satu persatu dan membela kebenaran mazhab Syi'ah Imamiyah, dalam pada itu dia membahas persoalan tentang Imam Mahdi af. secara luas dan terperinci. [33] Buku ini ditulisnya sekitar 90 tahun setelah gaib besar Imam Mahdi af., dan isinya menunjukkan kepada kita bahwa sejak zaman itu sudah banyak orang dari berbagai kalangan muslim, kafir dan munafik yang mempersoalkan masalah gaibnya Imam Mahdi af. dan menggugat kelompok Syi'ah karenanya.

Ma‘ânî Al-Akhbâr
Salah satu karya Syaikh Shaduq yang sangat berharga adalah Ma‘ânî Al-Akhbâr yang memuat riwayat-riwayat yang menerangkan kesulitan dalam hadis atau pun ayat Al-Qur'an.

‘Uyûn Akhbâr Al-Ridhô ‘Alaihi Al-Salâm
Buku ini dia tulis dan hadiahkan untuk Shahib bin Ubad, seorang menteri yang alim dan konsisten beragama dari Dinasti Buwaih. Di dalam buku ini, Syaikh Shaduq mengumpulkan hadis-hadis dari imam kedelapan, yaitu Imam Ali Ridha as.

Al-Khishôl
Buku ini memuat poin-poin penting etika, sains, sejarah, fikih dan nasihat yang berharga, disusun berdasarkan urutan angka sehingga memberinya keindahan yang tersendiri dan nilai yang besar sekali.

Amâlî (Majâlis)
Kuliah dan pidato Syaikh Shaduq telah ditulis dan dikumpulkan di dalam buku ini. Buku ini disusun oleh murid-muridnya.

‘Ilal Al-Syarô'i‘
Sebagaimana tampak dari judulnya, buku ini memuat sebab dan filsafat hukum. Syaikh Shaduq mengumpulkan hadis-hadis yang menyinggung persoalan sebab atau filsafat hukum di dalam buku ini. Mungkin bisa dinyatakan bahwa buku ini merupakan buku yang pertama tentang topik filsafat hukum. Karya-karya beliau yang lain di antaranya adalah: Tsawâb Al-A‘mâl, ‘Iqôb Al-A‘mâl, Al-Muqni‘, Al-Awâ'il, Al-Awâkhir, Al-Manâhî, Al-Tauhîd, Da‘â'im Al-Islâm, Itsbât Al-Washiyah, Al-Mashôbîh, Al-Târîkh, Al-Mawâ‘idz, Al-Taqiyah, Al-Nâsikh wa Al-Mansûkh, Ibthôl Al-‘Ulûm wa Al-Taqshîr, Al-Sir Al-Maktûm ilâ Al-Waqt Al-Ma‘lûm, Mishbâh Al-Mushollâ, Mushôdaqot Al-Ikhwân, Al-Hidâyah fî Al-Ushûl wa Al-Fiqh, Al-Mawâ'idz wa Al-Hikam, beberapa buku tentang keutamaan amalan-amalan dan bulan-bulan tertentu, beberapa tesis tentang topik-topik fikih, beberapa buku tentang keutamaan para nabi dan imam serta sahabat, beberapa kitab tentang sifat zuhud para nabi dan imam, dan beberapa kita lagi tentang tanya jawab dengan masyarakat.

Mutiara yang Hilang, Madînah Al-‘Ilm
Karya Syaikh Shaduq yang paling penting, sebagaimana dia nyatakan sendiri dan sempat dimanfaatkan oleh para ulama sampai zaman orangtua Syaikh Baha'i, adalah kitab yang berjudul Madînah Al-‘Ilm. Tapi sayang sekali buku ini kemudian hilang dan tidak sampai ke tangan kita. Menurut riwayat Ibnu Syahr Asyub di dalam kitab Ma‘âlim Al-‘Ulamâ', kitab Madînah Al-‘Ilm adalah sepuluh jilid, sedangkan kitab Man Lâ Yahdhuruhu Al-Faqîh hanya empat jilid. Oleh karena itu, kitab Madînah Al-‘Ilm dua kali lipat –bahkan lebih- lebih besar dari kitab Man Lâ Yahdhuruhu Al-Faqîh. [34] Syaikh Thusi, Syaikh Muntakhabudin dan ulama yang lain menyebut kitab ini sebagai karya terbesar Syaikh Shaduq. Banyak juga ulama yang menukil hadis dari kitab itu. [35]

Penulis kitab Roudhôt Al-Jannât mengatakan, 'Pasca periode Allamah, Syahid Awal dan Syahid Tsani, kitab itu hilang dan tidak pernah lagi dilihat atau didengar. Tapi menurut versi riwayat yang lain, kitab itu ada sampai zaman orangtua Syaikh Baha'i, dia sempat menyalin sebagian darinya.' [36] Syaikh Hasan bin Abdushamad Harisi (ayah Syaikh Bahaudin Amili) di dalam kitab Dirôyahnya menuliskan, 'Kitab induk hadis kita ada lima; Al-Kâfî, Madînah Al-‘Ilm, Man Lâ Yahdhuruhu Al-Faqîh, Al-Tahdzîb, dan Al-Istibshôr.' Allamah Majlisi dan setelah itu Sayid Muhammad Baqir Jailani sangat berusaha keras dan telah mengeluarkan biaya besar-besaran untuk menemukan buku itu, tapi sayangnya buku itu tidak kunjung ditemukan.

Murid Syaikh Shaduq
Syaikh Shaduq tahu persis bahwa cara yang terbaik untuk menjaga hadis para imam agama di sepanjang zaman dari tangan-tangan pengkhianat –selain menulis dan membukukannya- adalah memindahkannya dari hati ke hati orang-orang yang peduli terhadap mazhab Ahli Bait as. Oleh karena itu, seringkali ketika dia mendapatkan hadis dari seseorang maka dia menghafal, mencatat, dan meriwayatkannya kepada orang yang lain, itulah sebabnya jarang sekali ada ulama yang tidak dikuras ilmunya oleh dia dan jarang pula pelajar agama yang tidak mendapatkan siraman ilmu darinya.

Ratusan jumlah muridnya, antara lain yang terkenal adalah ulama ternama Syi'ah yang bernama Muhammad bin Nu'man atau lebih dikenal dengan sebutan Syaikh Mufid. Contoh lain dari murid-muridnya yang juga ulama adalah saudaranya yang bernama Husain bin Ali bin Babuwaih Qomi, kemudian Harun bin Musa Tal'akbari, Husain bin Ubaidullah Ghadha'iri, Husain bin Ahmad bin Abbas Najasyi, Alamul Huda Sayid Murtadha, dan Sayib Abu Barakat Ali bin Husain Jauzi Husaini Hilli.

Wafat
Setelah sekian banyak berjuang keras di bidang budaya, pendidikan, dan penelitian Islam, Syaikh Shaduq memenuhi panggilan Tuhannya pada tahun 381 H. dan pada usianya yang ke-75 tahun. Dia wafat di kota Rei. Kepergiannya menghujani dunia Syi'ah dan pecinta Ahli Bait as. dengan duka dan air mata. Jenasah beliau kemudian diarak dan dimakamkan di dekat kuburan Hadirat Abdulazim Hasani di kota Rei. Pemakaman dia sekarang menjadi tempat ziarah yang dikenal dengan nama Ibnu Babuwaih. Sejak itu kuburan dia selalu dihormati dan diziarahi, tapi pasca fenomena yang terjadi pada sekitar 185 tahun yang lalu, kebesaran Syaikh Shaduq semakin tampak besar bagi para peziarahnya, sehingga mereka pun semakin mencintainya. Menurut riwayat kitab Roudhôt Al-Jannât dan kitab sejarah lainnya disebutkan bahwa pada tahun 1388 H., hujan yang sangat lebat mengguyur kota Rei, sehingga membuat tanah di sekitar kuburan Syaikh Shaduq longsor dan terjadi rekahan di kuburannya. Ketika orang-orang mukmin di sana hendak memperbaikinya dan sampai ke liang kuburan dia, ternyata tubuh dia masih tampak selamat dan tidak mengalami kerusakan sedikit pun, bahkan warna daun pacar di kukunya masih terlihat jelas. Berita ini kemudian menyebar di seluruh penjuru Teheran, dan raja Fatahali Syah Qajar juga mendengarnya, maka dia perintahkan agar kuburan itu jangan segera ditutup dan dibetulkan, karena dia ingin menyaksikan fenomena itu dengan mata kepalanya sendiri. Lalu, raja beserta rombongan, tokoh masyarakat dan ulama datang ke sana, dan memang benar; mereka menyaksikan berita sebagaimana faktanya di luar. Setelah menyaksikan keajaiban itu, kuburan Syaikh Shaduq ditutup dan dibenahi kembali, bahkan dibuatkan bangunan di atasnya untuk memberikan fasilitas yang dibutuhkan oleh para peziarah. [37]

Catatan:

1- Muhammad bin Ali bin Husain bin Musa bin Babuwaih, disingkat menjadi Muhammad bin Ali Babuwaih.
2- Abu Ja'far Muhammad bin Ali Aswad.
3- Wakil istimewa Imam Mahdi af. yang ketiga, dialah orang yang menyampaikan surat atau pesan masyarakat kepada beliau, sebaliknya dia pula yang menyampaikan jawaban dan pemberian beliau kepada mereka.
4- Tanqîh Al-Maqôl, jld. 3, hal. 154.
5- Dailam adalah nama sebuah suku yang hidup di Iran bagian utara dan sempat berkuasa di kawasan Iran.
6- Al-Ghoibah, hal. 188.
7- Ma‘ânî Al-Akhbâr, hal. 37.
8- Ruknud Daulah adalah julukan untuk hasan putera Abu Syuja' Dailami.
9- Majâlis Al-Mu'minîn, Qadhi Nurullah Syusytari, jld. 2, hal. 325.
10- Dari keturunan Imam Musa bin Ja'far as.
11- Pendahuluan kitab Bihâr Al-Anwâr, cetakan Bairut, hal. 69.
12- Hosyiyeh-e Syarhe Lum'eh (10 jilid), jld. 9, hal. 267.
13- Mu‘jam Al-Mu'allifîn, Umar Ridha Kahhalah, jld. 11, hal. 3.
14- Man Lâ Yahdhuruhu Al-Faqîh, jld. 1, hal. 3.
15- Shaduq dar Negohe Digaron.
16- Al-Fihrist, Syaikh Thusi, Manshur As-Syarif Ar-Ridha, hal. 304.
17- Ibid. hal. 157.
18- Mafokhere Islom, jld. 3, hal. 177; Pengantar kitab Ma‘ânî Al-Akhbâr, hal. 9, dinukil dari kitab Safînah Al-Bihâr, jld. 2, hal. 22.
19- Syarh Al-Lum‘ah, Kalantar, jld. 9, hal. 265.
20- Ibid.
21- Ibid.
22- Tanqîh Al-Maqôl, jld. 3, hal. 154.
23- Ta'sîs Al-Syî‘ah li ‘Ulûm Al-Islâm, hal. 262.
24- Al-A‘lâm, Khairudin Zarkali, jld. 6, hal. 274.
25- Al-Fawâ'id Al-Thûsiyah, hal. 7.
26- Hadis atau riwayat Mursal adalah hadis atau riwayat yang nama perawinya sebagian atau seluruhnya tidak disebutkan dan langsung dialamatkan kepada penyabda hadis, baik itu Nabi saw. atau pun Imam as.
27- Pendahuluan dalam kitab Ma‘ânî Al-Akhbâr, hal. 14; Roudhôt Al-Jannât, jld. 6, hal. 133.
28- Tanqîh Al-Maqôl, jld. 3, hal. 154.
29- Syarh Al-Lum‘ah, Kalantar, jld. 9, hal. 265
30- Al-Fihrist, hal. 204.
31- Rijâl Al-Najâsyî, hal. 389 – 392.
32- Tanqîh Al-Maqôl, jld. 3, hal. 155.
33- Hezoreh-e Syaikh Thusi, hal. 522.
34- Ma‘âlim Al-'Ulamâ', hal. 122.
35- Al-Dzarî‘ah ilâ Tashônîf Al-Syî‘ah, jld. 20, hal. 252.
36- Roudhôt Al-Jannât, jld. 6, hal. 136.
37- Ibid., hal. 140.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar