Sabtu, 14 Maret 2015

Karl Popper dan Masa Depan Masyarakat Terbuka


Oleh Amin Mudzakkir

Karl Popper adalah nama yang cukup familiar tidak hanya di kalangan filsuf tetapi juga di kalangan masyarakat yang lebih luas. Dua bukunya, The Open Society and its Enemies dan The Poverty of Historicsm,1 telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk Bahasa Indonesia. Dalam dua karyanya itu Popper mengingatkan bahayanya sikap tertutup terhadap ilmu (science) karena itu akan menjadi dasar bagi ideologi totaliter yang membahayakan kebebasan umat manusia. Popper, sebaliknya, mengajukan pentingnya sikap terbuka terhadapnya, yaitu sikap yang siap dengan kemungkinan bahwa ia bisa benar dan/atau bisa salah. Gagasan yang kemudian disebut prinsip ‘falsifikasi’ tersebut sentral dalam pemikiran Popper. Dengan tegas Popper menyatakan bahwa ‘problem demarkasi’ antara apa yang disebutnya ‘ilmu’ dan ‘ilmu-semu’ berpangkal pada pertanyaan apakah ia bisa ‘dibuktikan salah’ atau tidak.2

Pada bagian awal, tulisan ini akan mendiskusikan pandangan Popper pada ranah epistemologi dan ontologi. Pada bagian seterusnya, kita akan melihat bagaimana itu digunakan oleh Popper untuk memahami persoalan sosial dan politik, berpusat pada apa yang dia sebut sebagai ‘masyarakat terbuka’. Sebagai ilustrasi, Popper pernah mengemukakan contoh kasus yang sangat terkenal tentang angsa putih dan angsa hitam. Sekian lama orang Eropa berkesimpulan bahwa semua angsa adalah putih. Popper menolak kesimpulan itu. Dia mengatakan bahwa “dengan observasi terhadap angsa-angsa putih, betapapun besar jumlahnya, orang tidak dapat sampai pada kesimpulan bahwa semua angsa berwarna putih, tetapi sementara itu cukup satu kali observasi terhadap seekor angsa hitam untuk menyangkal pendapat tadi”.3 Pandangan Popper jelas menyangkal prinsip verifikasi yang dikenal dalam tradisi empirisme, namun dia juga tidak setuju dengan rasionalisme Cartesian. Lebih lanjut Popper mengembangkan apa yang disebutnya sebagai ‘rasionalisme kritis’. Sebelum membahas tema-tema tersebut itu lanjut, perlu kiranya disampaikan deskripsi tentang kehidupan Popper secara singkat.

Siapakah Popper?
Karl Raimund Popper lahir di Himmelhof, sebuah distrik di Wina, Austria, pada tanggal 28 Juli 1902. Ayahnya adalah seorang pengacara yang menaruh minat besar pada filsafat dan ilmu-ilmu sosial, sementara ibunya adalah seorang yang sangat mencintai musik. Di perpustakaan pribadi ayahnya tersimpan koleksi buku-buku yang cukup banyak di bidang itu. Dia tumbuh di lingkungan yang ‘decidedly bookish’. Sejak kecil ketertarikan popper terhadap dunia intelektual sudah terbentuk. Pada usia 16 tahun Popper meninggalkan sekolah ‘realgymnasium’-nya karena menurutnya pelajaran-pelajaran di sana terlalu membosankan. Dia kemudian menjadi pendengar bebas di Universitas Wina dan baru pada usia 20 tahun diterima resmi menjadi mahasiswa di universitas itu.4

Ketika Popper studi di universitas, Eropa sedang goncang. Kemaharajaan Austria-Hongaria runtuh akibat kekalahannya dalam Perang Dunia I. Kondisi perekonomian memburuk secara drastis, sehingga kelaparan dan kerusuhan terjadi di seluruh penjuru negeri. Pada saat itu Popper sempat masuk perkumpulan pelajar sosialis dan seorang pengagum Marxisme. Akan tetapi kekaguman Popper terhadap Marxisme pudar setelah menyaksikan kebrutalan yang dilakukan oleh kelompok komunis terhadap lawan ideologisnya. Rangkaian peristiwa tersebut cukup membekas pada Popper, sehingga sejak itu topik tentang kebebasan menjadi sentral dalam filsafat sosial politiknya. Dalam pandangan Popper, “sosialisme negara hanyalah opresi dan tidak bisa direkonsiliasi dengan kebebasan; bahwa kebebasan lebih penting daripada persamaan” karena “jika kebebasan hilang, tidak akan ada persamaan bahkan di antara orang yang tak bebas”.5

Pada tahun 1937 Popper dan istrinya pergi meninggalkan Austria untuk menghindari fasisme Nazi. Perlu diketahui, meskipun dibaptis di gereja Protestan, Popper adalah keturunan Yahudi. Popper pergi ke Selandia Baru melalui Inggris. Di tempat barunya dia mengajar filsafat di Canterbury University College, Christchurch. Di sana dia menyelesaikan buku Open Society and Its Enemies dan the Poverty of Historicism. Di buku pertama dia mengkritisi pemikiran Plato, Hegel, dan Marx. Di buku kedua dia menujukkan bahwa ketiga pemikiran tersebut pada dasarnya adalah ramalan sejarah, dia menyebutnya sebagai historisisme, yang berubah menjadi ideologi. Dalam praktiknya, ideologi cenderung bersifat totaliter karena ia tidak bisa/mau dikritisi dan, apalagi, disalahkan.

Setelah Perang Dumia II berakhir, Popper pindah ke Inggris untuk mengajar di London School of Economics (LSE). Di sana dia terus mengembangkan pemikirannya, termasuk menerjemahkan tulisan-tulisannya dalam bahasa Jerman ke dalam bahasa Inggris. Sejak itu pengaruh Popper meluas cepat. Setelah resmi pensiun pada 1969, Popper tetap aktif menulis dan memberikan kuliah, termasuk beberapa kali kunjungan ke berbagai negara, sampai meninggal pada 1994. Oleh para pengagumnya, gagasan Popper tentang ‘masyarakat terbuka’ terus menerus dikembangkan dan dijadikan jargon cita-cita politik dan ekonomi liberal. George Soros, bekas muridnya di LSE, mendirikan The Open Society Foundation yang bertujuan untuk “opening up closed societies, making open societies more viable, and promoting a critical mode of thinking”.6 Dengan dana yang dimilikinya, yayasan ini aktif mempromasikan nilai-nilai yang sedikit banyak mengacu pada pemikiran Popper ke seluruh dunia. Di Indonesia, baru-baru ini majalah Prisma yang diterbitkan oleh LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Pengembangan Ekonomi dan Sosial) bekerjasama dengan Yayasan Tifa mengangkat tema ‘Masyarakat Terbuka Indonesia: Pesona atau Persoalan?’. Di sana ada tulisan menarik dari Karlina Supelli yang membahas problematik gagasan masyarakat terbuka Popper jika diimplementasikan di Indonesia.7 Di bagian akhir kita akan kembali ke topik ini, namun sebelumnya kita akan mendiskusikan terlebih dahulu pemikiran Popper pada ranah epistemologi dan ontologi.

Dasar-dasar Pemikiran Popper
Epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan ruang lingkup dan cara memperoleh pengetahuan. Sejak masa Yunani Kuno diskusi tentang epistemologi telah dimunculkan, terutama oleh kaum Sophis yang mengajukan skeptisisme. Akan tetapi, terutama pada Plato-lah epistemologi menemukan rumusannya yang lebih spesifik. Plato mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut: Apa pengetahuan itu? Di mana pengetahuan biasanya diperoleh? Di antara apa yang biasa kita anggap kita ketahui berapa yang benar-benar pengetahuan? Dapatkah indera menghasilan pengetahuan? Bisakah akal memberikan pengetahuan? Apa hubungan antara pengetahuan dan kepercayaan yang benar?8

Pada periode modern, Descartes mengembangkan apa yang disebut rasionalisme. Pandangan ini—dikenal sebagai pandangan Cartesian—mendasarkan diri pada prosedur tertentu dari akal atau rasio. Descartes percaya bahwa pengetahuan rasional bersifat mutlak dan berlaku universal. Sebagai reaksi terhadap pandangan Cartesian ini muncul empirisme. Tokoh utamanya adalah John Locke. Dia menyatakan bahwa pengetahuan yang benar didapatkan dari pengamatan inderawi. Akan tetapi, David Hume, seorang yang sebenarnya beraliran empiris, meragukan kemampuan inderawi untuk benar-benar menjangkau semesta pengetahuan. Hume lebih lanjut menyangsikan apakah pengetahuan yang partikular, yang disusun secara induktif, bisa menjadi pengetahuan yang universal.

Immanuel Kant adalah filsuf yang berusaha mengatasi rasionalisme dan empirisme. Dalam banyak hal, Popper menyetujui pandangan Kant, termasuk pandangannya tentang pengetahuan apriori, yaitu pengetahuan yang ada sebelum pengalaman.9 Akan tetapi, Popper tidak setuju dengan Kant mengenai keabsahan pengetahuan apriori. Bagi Popper, teori pengetahuan adalah penemuan kita yang bersifat konjektur, sehingga ia bisa salah kalau dikemudian hari ditemukan pengetahuan yang lebih meyakinkan. Mengikuti Darwin, Popper melihat teori pengetahuan atau epistemologi secara evolutif dan saling berkompetisi. Tidak ada epistemologi yang tunggal. Oleh karena itu, teori pengetahuan tidak bisa menjadi sebuah dogma yang berlaku sepanjang sejarah, melainkan sebentuk hipotesis yang bisa dikritisi dan bahkan disalahkan.

Popper, dengan demikian, ingin menyelamatkan rasionalisme tetapi dengan catatan. Rasionalisme Popper dikenal dengan rasionalisme kritis. Proyek Popper ini terutama ditujukkan untuk membantah kaum positivisme logis yang berbasis di Wina, Austria—dikenal sebagai Lingkaran Wina. Salah satu proyek mereka adalah hendak memisahkan mana ungkapan yang bermakna dan ungkapan yang tidak bermakna. Ungkapan ini bisa ditemukan dalam bahasa sebagai objektifikasi pikiran manusia. Menurut kaum postivisme logis, pemisahan itu ditentukan oleh sejauh mana ungkapan-ungkapan itu bisa ditangkap oleh inderawi atau tidak. Ungkapan yang tidak bisa ditangkap inderawi berarti tidak bermakna. Sebaliknya, ungkapan yang bisa ditangkap oleh inderawi adalah yang bermakna. Ungkapan yang bermakna inilah, yang hanya bisa diverifikasi secara empiris, yang dianggap oleh kaum positivisme logis sebagai pengetahuan.

Popper menyangkal pandangan kaum positivisme logis tersebut. Dalam pemahamannya manusia tidak mungkin mengetahui semesta pengetahuan hanya dengan mengandalkan verifikasi empiris. Popper memberi contoh kasus angsa putih dan angsa hitam. Orang Eropa selama ratusan atau mungkin ribuan tahun percaya bahwa semua angsa adalah putih karena memang sejauh itu tidak ditemukan angsa selain angsa putih. Keyakinan ini goyah dan kemudian runtuh ketika para pelancong Eropa menemukan angsa hitam di Sungai Victoria di Australia pada pertengahan abad ke-17. Dengan penemuan itu keyakinan orang Eropa terbukti salah. Contoh serupa bisa ditemukan dalam semua hal yang ada di ‘dunia objektif’. Oleh karena itu, bagi Popper, teori pengetahuan selalu bersifat hipotesis dan konjektural.

Melihat argumennya, Popper jelas tetap berusaha menyelamatkan empirisme tetapi dengan catatan. Bagaimanapun prinisp falsifikasi Popper dilakukan melalui pengujian yang sifatnya empiris. Akan tetapi, empirisme Popper tidak berasal dari sebab-musabab yang berujung pada akibat, dari yang partikular menuju yang universal. Empirisme Popper lahir dari pengetahuan apriori yang ditimba dari pengetahuan apriori-nya Kant, tetapi Popper meneruskan itu dengan menambahkan prinsip falsifikasi. 10 Ketika ada bukti empiris yang lebih kuat, teori pengetahuan lama otomatis terbukti salah. Namun jika bukti empiris baru ternyata lebih lemah, teori pengetahuan lama justru dikuatkan (corroborated) oleh bukti empiris baru tersebut. Dengan prinsip inilah ilmu penegetahuan berkembang dan terhindar dari pembakuan yang bisa memerosotkan ilmu menjadi mitos dan ideologi.

Berangkat dari prinsip falsifikasi, Popper ingin menghindari objektivisme dan subjektivisme dalam pengertiannnya yang ekstrem. Untuk itu dia mengajukan gagasan ontologis tentang tiga Dunia. Dunia 1 adalah dunia fisik, Dunia 2 adalah dunia mental, Dunia 3 adalah dunia objektif. Dunia 1 dan Dunia 2 saling berinteraksi. Dunia 2 dan Dunia 3 saling berinteraksi. Akan tetapi, Dunia 1 tidak bisa langsung berinteraksi dengan Dunia 3 kecuali melalui Dunia 2. Dengan kata lain, benda-benda fisiologis berinteraksi dengan benda-benda psikologis, benda-benda psikologis berinteraksi dengan benda-benda logis, tetapi benda-benda fisiologis tidak bisa langsung berinteraksi dengan benda-benda logis kecuali terlebih dulu melalui dunia psikologis.11

Apa yang dimaksud Dunia 3 tak lain adalah pendekatan objektif. Pada Popper, itu berarti pendekatan yang memandang pengetahuan manusia sebagai suatu sistem pernyataan atau teori yang dihadapkan pada diskusi kritis, ujian intersubjektif, atau kritik timbal-balik. Pendekatan objektif adalah kata lain untuk epistemologi pemecahan-masalah (problem-solving).12 Analisis yang lahir dari epistemologi Popper ini bersifat situasional, sehingga ia hanya sebuah solusi tentatif. Ia mesti menyesuaikan diri secara terus menerus dengan problem-problem baru.

Pendapat Popper tentang Dunia 3 adalah gagasan ontologis yang berpijak pada bahasa sebagai objektifikasi dunia mental manusia yang subjektif. Secara jelas Popper menyatakan bahwa “... Diri kita, fungsi bahasa yang tinggi (deskriptif dan argumentatif) dan Dunia 3 telah berevolusi dan muncul bersama dalam interaksi yang terus menerus ... untuk lebih spesifik, saya menyangkal bahwa binatang mempunyai kesadaran penuh atau bahwa mereka mempunyai diri yang sadar. Diri kita berkembang bersama dengan fungsi-fungsi bahasa yang lebih tinggi yaitu fungsi yang deskriptif dan argumentatif”.13 Kutipan ini merupakan kritik Popper terhadap kaum positivisme logis yang juga sama-sama berangkat dari permasalahan bahasa.

Popper dan Persoalan Sosial Politik
Epistemologi Popper yang menekankan prinsip falsibilitas tercermin dalam filsafat sosial dan politiknya. Berbicara tentang metode-metode ilmu sosial, Popper secara tegas menolak pandangan historisisme, yaitu “suatu pendekatan terhadap ilmu-ilmu sosial yang mengasumsikan bahwa tujuan ilmu-ilmu sosial dapat dicapai dengan menemukan 'ritme' atau 'pola', 'hukum' atau 'tren' yang mendasari evolusi sejarah”. 14 Bagi Popper, pandangan ini tidak hanya berbahaya karena cenderung totaliter, tetapi juga tidak memadai untuk memahami realitas sosial yang kompleks. Selain itu, pandangan kaum historisis juga problematis karena mengombinasikan tesis-tesis pro-naturalistis pada satu sisi tetapi anti-naturalistis pada sisi yang lain. Maksudnya, pada satu sisi mereka percaya pada hukum-hukum sosial yang bekerja sebagaimana hukum-hukum alam, sehingga menghasilkan prediksi sejarah, tetapi pada satu sisi mereka juga mempunyai kepercayaan yang besar pada keagenan manusia, sehingga jatuh pada pandangan deterministik, seperti konsepsi kelas pada kelompok Marxis sebagai contoh.

Dalam sebuah tulisannya, Popper menegaskan kembali posisinya terhadap kaum historisis.15 Di sana Popper sekali lagi menyerang Marxisme. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, sejak remaja Popper mengungkapkan kekecewaannya terhadap Marxisme. Menurut Popper, Marxisme tak lebih dari sebuah doktrin yang mendasarkan diri pada prediksi dan kenubuatan (prophecy). Bertolak dari dua hal tersebut, Marxisme menyusun proyek politiknya, padahal menurut Popper dua hal tersebut sejatinya adalah pengandaian normatif, tetapi oleh para pengikutnya dipaksakan untuk dibuktikan benar dalam sejarah. Selain itu, Popper juga mengkritik teori psikoanalisa-nya Freud dan teori psikologi individual-nya Alfred Adler. Teori-teori tersebut, menurut Popper, terlalu mengandalkan subjektivitas sehingga tidak menghasilkan objektifitas yang bisa difalsifikasi.16 Akan tetapi, William A. Gorton berpendapat bahwa Popper sebenarnya mengagumi Marx sebagai seorang ilmuwan sosial yang hebat dan dia mengambil beberapa inspirasi darinya. 17 Apa yang disebut Popper sebagai ‘Oedipus effect’ diambil dari Marx yang berbicara tentang ‘unintended consequensces of human actions’. ‘Oedipus effect’ berarti prediksi bisa mempengaruhi peristiwa yang diprediksi.18

Menurut Popper, teori ilmu-ilmu sosial seharusnya “trace the unintended social repercussions of intentional human actions”. Dengan itu, ilmu-ilmu sosial akan terhindar dari ideologisasi dan mencapai objektifikasi. Menurut Popper, seperti juga ilmu-ilmu alam, “most of the objects of social science, if not all of them, are abstract objects; they are theoritical constructions. (Even ‘the war’ or ‘the army’ are abstract concepts, strange as this may sound to some. What is concrete is the many who are killed; or the men and women in uniform, etc.,)”.19 Oleh sebab itu, dunia objektif-nya Popper berbeda dengan relativisme epistemologis yang dianut oleh banyak antropolog atau sejarawan.20 Pada Popper, terdapat konstruksi teoritis tertentu yang objektif, yang menjadi benang merang antara realitas yang satu dan realitas yang lain. Di sini terlihat pemikiran Popper masih diwarnai oleh positivisme. Pada titik ini Popper menjadi sasaran kritik Adorno dan para eksponen Madzhab Frankfurt lainnya.21

Lepas dari itu, gagasan Popper tentang ‘masyarakat terbuka’ sangat menarik dan terus menerus menjadi topik perdebatan sampai sekarang. Akan tetapi persis dalam gagasan ini pula Popper sering disalahpahami. Hari ini gagasan tersebut sering diasosiasikan dengan George Soros, seorang pengagum abadi Popper yang mendirikan The Open Society Foundation tetapi lebih dikenal publik sebagai seorang spekulan saham yang menjatuhkan ekonomi Asia pada krisis finansial 1998. Pengasosiasian itu tidak sepenuhnya salah, tetapi kita perlu memeriksa terlebih dahulu apa yang sesungguhnya diusulkan Popper dengan konsep masyarakat terbuka. Apa kaitan antara konsep yang awalnya dikemukakan oleh Henri Bergson itu dengan kapitalisme dan demokrasi liberal seperti yang sering kita baca dan lihat di media-media?

Popper mengaku sebagai seorang liberal dalam pengertian klasik, tetapi bukan seorang simpatisan partai politik. Dia menyebut dirinya “simply a man who values individual freedom and who is alive to the dangers inherent in all forms of power and authority”. 22 Dalam perbincangan kita sehari-hari, khususnya di Indonesia, liberalisme dan kapitalisme memang seringkali problematis, lebih sering ditanggapi secara emosional daripada mendudukkan perkaranya secara rasional. Dalam lingkup global, istilah-istilah itu sering dialamatkan kepada kebijakan ‘neoliberal’ Thatcher di Inggris dan Reagen di Amerika Serikat pada 1980-an. Menurut mereka, peran negara dalam ekonomi harus diminimalisasi, bahkan sebaiknya angkat kaki. Pada masa itu Popper dan von Hayek diusung oleh kaum libertarian sebagai pemikir utama Kanan Baru. Dalam berbagai kesempatan Popper bahkan sering dijadikan senjata untuk menyerang model ‘negara kesejahteraan’ seperti yang dipraktikkan di negara-negara Skandinavia.

Akan tetapi, beberapa pengamat seperti Brian Magee dan Ralf Dahrendorf mengklasifikasi Popper sebagai seorang ‘sosial demokrat’. Pengamat lain, Malachi Haim Hacohen, justeru menekankan latar belakang sosialis Popper ketika masih tergabung dalam kelompok pemuda sosialis di Wina. Hacohen berpendapat bahwa ketika menulis The Open Society sewaktu Perang, Popper tidak tahun apapun tentang Uni Soviet. Oleh karena itu, buku itu harus dibaca sebagai perlawanan terhadap fasisme, bukan sebuah “charter of cold war liberalism”. Popper, kata Hacohen, memang menekukan pandangan fasis pada Platon dan Hegel, tetapi Marx sebenarnya seorang demokrat progresif yang terperangkap jeratan historisisme.23

Popper membedakan masyarakat terbuka dengan masyarakat tertutup yang ‘magis atau tribal atau kolektivis’. Dalam masyarakat terbuka “individuals are confronted with personal decisions” dan dengan demikian mereka mempunyai tanggung jawab dalam menerima kebijakan publik. Menurut Niiniluoto, dalam konteks publik Popper sangat menekankan prinsip hukum dan etis, sehingga dia menolak ‘the unrestrained capitalism’. Yang didukung oleh Popper bukan kapitalisme, melainkan ekonomi pasar. Dua hal itu mempunyai pengertian kontras. Pengertian kapitalisme lebih dekat dengan pengertian kaum Darwinisme sosial yang menyatakan bahwa evolusi sejarah manusia hanya akan menyisakan kemenangan bagi mereka yang terkuat. Dalam pengertian ini pula terdapat keyakinan bahwa campur tangan negara terhadap ekonomi akan mengganggu alih-alih membantu. Ekonomi akan selalu mencapai titik keseimbangannya melalui kehadiran ‘tangan yang tak terlihat’. Di sisi lain, ekonomi pasar berbasis pada kompetisi bebas, tetapi para pemain dalam kompetisi bebas tersebut tetap dibatasi oleh prinsip hukum dan etika yang berlaku. Juga kompetisi ini harus bebas dari manipulasi. Yang ditekankan oleh Popper adalah kebaikan bersama dan keadilan sosial. Untuk menjamin itu, campur tangan negara adalah keniscayaan, “we must demand the unrestrained capitalism give way to an economic interventionism”. Alasan Popper adalah kebebasan pada dirinya sendiri menyimpan paradoks sejak “unlimited freedom means that a strong man is free to bully one who is weak and to rob him of his freedom”, demikian kata Popper sebagaimana dikutip oleh Niinilouto.24

Oleh karena itu tidak tepat kalau dikatakan bahwa masyarakat terbukanya Popper sebagai anti-negara kesejahteraan. Untuk mencapai masyarakat terbuka, ekonomi pasar harus diisi dan diperkaya dengan prinsip-prinsip keadilan. Dalam tafsiran Niiniluoto, bertentangan dengan pandangan libertarian yang menekankan persaingan antar individu yang bebas, gagasan masyarakat terbuka lebih dekat dengan pandangan etik komunitarian yang menekankan kerjasama dan dan saling hormat antara warga negara dan bangsa. Mengacu pada konsepsi keadilan Rawls, aktifitas ekonomi dalam masyarakat terbuka harus memberi keuntungan pada semua.25

Dalam politik, gagasan masyarakat terbuka jelas menolak segala bentuk totalitarianisme. Popper sendiri sudah mengulas banyak tentang itu dalam The Open Society dan The Poverty of Historicism. Lalu bagaimana kita menanggapi pendapat kalangan yang menyatakan bahwa demokrasi liberal adalah akhir perjalanan sejarah umat manusia seperti dikatakan Francis Fukuyama? Kalau mengikuti Popper, pendapat tersebut jelas bertentangan dengan prinsip falsifikasi, sehingga harus ditolak. Dengan kata lain itu tak lebih dari ekspresi dari historisisme kontemporer yang justeru semakin berkembang terutama pasca tragedi 9/11. Kita tentu saja tidak bisa menolelir aksi terorisme yang telah membuat banyak orang kehilangan hak hidupnya. Mereka adalah individu atau orang yang terperosok dalam lubang historisisme, menganggap nilai (agama) yang mereka yakini merupakan jalan hidup terbaik yang harus ditempuh umat manusia meski itu harus dibayar dengan aksi bom bunuh diri. Namun di sisi lain, perang terhadap terorisme (war on terror) yang pernah digelorakan oleh George W. Bush sewaktu menjabat Presiden Amerika Serikat juga sama-sama merupakan bentuk historisisme. Menurut Niiniluoto, terorisme tidak bisa diserang dengan membawa kembali jenis historisisme yang lain ke dalam gelanggang politik, yaitu kenubuatan bahwa demokrasi liberal ala Barat adalah sebuah keniscayaan sejarah. Jika pemahaman ala Bush diteruskan, yang terjadi adalah benturan antara historisisme yang telah mapan dan historisisme yang sedang diproyeksikan. Alternatif untuk mempromosikan dan membumikan gagasan masyarakat terbuka sangat diperlukan, yaitu dengan jalan pendidikan, argumentasi rasional, kebebasan berpikir, pengakuan dan penghormatan diri, dan, yang tidak boleh dilupakan, kesejahteraan ekonomi dan keadilan sosial.26

Karlina Supelli menyatakan bahwa “kondisi kita adalah kondisi ultraliberal atomis dan atomistik yang sesekali ditabrak oleh kekuatan-kekuatan tribal sektarian dalam bentuk sektarianisme agama, etnis, dan sebagainya”.27 Jika kesimpulan Supelli tersebut tepat, apakah gagasan masyarakat terbuka Popper bisa diterapkan di Indonesia? Persoalan utamanya mungkin bukan bisa atau tidak bisa diterapkan dalam pengertian hitam putih, tetapi yang terpenting adalah bagaimana caranya. Tafsir libertarian terhadap masyarakat terbuka tentu harus ditinjau ulang, sebab yang terasa hilang dalam kehidupan berbangsa kita di Indonesia justru ketiadaan rasa kepemilikan atau solidaritas terhadap cita-cita bersama. Kebersamaan tidak harus selalu identik dengan ‘kolektivisme’ yang dikritik Popper sebagai ciri masyarakat tertutup. Kebersamaan adalah kesamaan gerak menuju cita-cita kita sebagai sebuah kolektivitas politik sebagaimana tertuang dalam Konstitusi. Tentang bagaimana cara mencapai itu, resep dari Popper masih sangat relevan diperhatikan. Dia tidak mengajurkan revolusi tetapi kemudian memakan anak kandungnya sendiri. Dia mengusulkan ‘piecemeal social engineering’ dengan prinsip ‘minimizing avoidable suffering’. Yang kita butuhkan adalah kesetiaan merawat cita-cita bersama karena bangsa Indonesia adalah poyek politik yang belum dan tidak akan pernah selesai, sambil tetap membuka ruang kemugkinan untuk koreksi, sehingga bisa terus menerus difalsifikasi.  

Endnotes
1.  Karl R. Popper, Gagalnya Historisisme, terj. Nena Suprapto (Jakarta: LP3ES, 1985); Karl R. Popper, Masyarakat Terbuka dan Musuh-Musuhnya, terj. Uzair Fauzan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008)
2. Karl R. Popper, Conjectures and Refutations: The Growth of Scientific Knowledge (London dan New York: Routledge, 1989 [edisi kelima]), hlm. 39.
3. Dikutip dalam C. Verhaak dan R. Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah atas Cara Kerja Ilmu-Ilmu (Jakarta: Gramedia, 1991 [cetakan kedua]), hlm. 159.
4. Roberta Corvi, An Introduction to the Thought of Karl Popper, translated by Patrick Camiller (London dan New York, 1997), hlm. 3.

5. Ibid., hlm. 4.
6. William A. Gorton, Karl Popper and the Social Sciences (Albany: State University of New York Press, 2006), hlm. 1.
7. Lihat, misalnya, Karlina Supelli, “Masyarakat Terbuka: Catatan Kritis untuk Pesona Sebuah Konsep”, Prisma, Vol. 30, No. 1, 2011, hlm. 3-14.
8. Alfons Taryadi, Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut Karl Popper (Jakarta: Gramedia, 1991), hlm. 18.
9. Corvi, op. cit., hlm. 16.
10. Corvi, loc. cit.
11. Taryadi, op. cit., hlm. 94-95.
12.  Ibid., hlm. 30-33.
13. Ibid., hlm. 102
14. Corvi, op. cit., hlm. 47-48.
15. Karl R. Popper, “Prediction and Prophecy in the Social Sciences” dalam Patrick Gardiner (ed.), Theories of History (New York: The Free Press, 1959), hlm. 276-285.
16. Popper, Conjectures and Refutations, hlm. 34-35.
17. Gorton, op. cit., hlm. 4
18. Popper, conjectures and refutations, hlm. 38.
19. Corvi, op. cit., hlm. 49.
20. Relativsme epistemologis adalah “suatu paham yang mengingkari adanya dan dapat diketahuinya kebenaran yang objektif dan universal oleh manusia”. Lihat, Sudarminta, Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 55; lihat juga, Anton van Harskamp (ed.), Konflik-Konflik dalam Ilmu Sosial (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hlm. 14.
21. Perdebatan mereka direkam dalam Theodor W. Adorno et. all., The Positivist Dispute in German Sociology, translated by Glyn Adey dan David Frisby (London: Heinemann, 1977).
22. Dikutip dalam Ilkka Niiniluoto, “The Open Society and Its New Enemies: Critical Reflections on Democracy and Market Economy”, http://www.tampereclub.org/e-publications/vol2_niiniluoto.pdf, diakses 8 Januari 2012. Uraian selanjutnya tentang gagasan masyarakat terbuka Popper dalam tulisan ini didasarkan pada penafsiran Niiniluoto. Ilkka Niiniluoto adalah seorang profesor filsafat dan matematika di Universitas Helsinki, Finlandia dan penulis buku Critical Scientific Realism (New York: Oxford University Press, 1999)
23.  Ibid., hlm. 2.
24.  Ibid., hlm. 11

25.  Ibid., hlm. 12.
26.  Ibid., hlm. 15.
27.  Supelli, op. cit., hlm. 13-14.
 
Daftar Pustaka
Adorno, Theodor W., et. all., The Positivist Dispute in German Sociology, translated by Glyn Adey dan David Frisby, London: Heinemann, 1977.
Corvi, Roberta, An Introduction to the Thought of Karl Popper, translated by Patrick Camiller, London dan New York, 1997.
Gorton, William A., Karl Popper and the Social Sciences, Albany: State University of New York Press, 2006.
Hedstrom, Peter, Richard Swedberg, dan Lars Udehn, “Popper’s Situational Analysis and Contemporary Sociology”, Philosophy of the Social Sciences, Vol. 28, No. 3, September 1998.
Niiniluoto, Ilkka, “The Open Society and Its New Enemies: Critical Reflections on Democracy and Market Economy”, http://www.tampereclub.org/e-publications/vol2_niiniluoto.pdf, diakses 8 Januari 2008.
Popper, Karl R., “Prediction and Prophecy in the Social Sciences” dalam Patrick Gardiner (ed.), Theories of History, New York: The Free Press, 1959.
----------, Gagalnya Historisisme, terj. Nena Suprapto, Jakarta: LP3ES, 1985.
----------, Conjectures and Refutations: The Growth of Scientific Knowledge, London dan New York: Routledge, 1989, edisi kelima.
----------, Masyarakat Terbuka dan Musuh-Musuhnya, terj. Uzair Fauzan
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Sudarminta, J., Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Supelli, Karlina, “Masyarakat Terbuka: Catatan Kritis untuk Pesona Sebuah Konsep”,
Prisma, Vol. 30, No. 1, 2011, hlm. 3-14.
Taryadi, Alfons, Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut Karl Popper, Jakarta: Gramedia, 1991.
Verhaak, C. dan R. Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah atas Cara Kerja Ilmu-Ilmu, Jakarta: Gramedia, 1991, cetakan kedua.
van Harskamp, Anton (ed.), Konflik-Konflik dalam Ilmu Sosial, Yogyakarta: Kanisius, 2005.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar