Sabtu, 13 September 2014

Imam Ali Membai’at Abu Bakar Tanda Beliau Tidak Melaksanakan Wasiat Nabi SAW?



Tanya: Imam Ali membai’at Abu Bakar tanda beliau tidak melaksanakan wasiat Nabi SAW ? 

Jawab: Pemerintahan (jabatan kepala negara) hanyalah salah satu fungsi imamah. Aspek duniawi hanya salah satu saja dari fungsi dari imamah. Syi’ah percaya bahwa tingkat imamah lebih tinggi dibanding tingkat pemerintahan (Abu Bakar-Umar-Usman- Mu’awiyah dan para tiran Dinasti Umayyah Abbasiyah). Imam adalah wakil Allah SWT dan khalifah Nabi saw.

Logika: [1] Sebelum hijrah Nabi SAW, tidak ada soal tentang berkuasanya orang lain di Mekkah. Sebelum hijrah, Nabi SAW tidak pernah duduk di singgasana. Mengenai kenabian, kita juga melihat bahwa Nabi saw adalah pemimpin umat Muslim –namun kepemimpinan ini atau kedudukannya sebagai pemimpin negara hanyalah salah satu fungsinya sebagai seorang Nabi. [2] Bukankah Nabi Harun tidak mampu berkuasa ketika umat menzalimi-nya?

Maka begitu pula dengan 12 imam. Imam Ali as tak memiliki cukup pendukung yang kompeten. Ketika para Imam tidak mampu duduk di singgasana karena kezaliman umat –tidaklah menjadikan kekhalifahan dan keimaman itu menjadi tidak ada. Dalam kondisi demikian, maka tidak ada masalah siapa yang jadi penguasa. Kita tak boleh mencampuradukkan masalah imamah dengan masalah pemerintahan. Bahwasanya Golongan Sunni tidak mengakui pengangkatan Ali bin Abi Thalib tersebut, tidaklah menjadikan pengangkatan itu menjadi tidak ada. Hak untuk memerintah bukan diberikan kepadanya oleh umat. Hak tersebut diberikan kepadanya oleh Allah SWT –atas dasar superioritasnya atas seluruh manusia. Imam diangkat oleh Nabi saw setelah mendapat perintah dari Allah SWT.

Sebagian nabi adalah pemandu sekaligus pemimpin seperti Ibrahim as, Musa as, Isa as dan Nabi terakhir Muhammad saw. Sebagian nabi lainnya hanya pemandu saja. Beda antara kenabian dan imamah adalah kenabian itu bimbingan –sedangkan imamah adalah kepemimpinan. Kenabian adalah menyampaikan dan menunjukkan jalan yang benar. Imamah adalah memimpin dan memobilisasi serta mengorganisasikan kekuatan-kekuatan yang ada. Tugas seorang imam adalah mengawasi, memimpin, memandu dan memperhatikan umat yang di pimpinnya. Fungsi lain yang lebih tinggi tingkatannya adalah tugas imam untuk menjelaskan Islam dengan terperinci.

Imamah adalah tugas atau misi ilahiah. Imamah adalah perjanjian Allah SWT –bukan perjanjian manusia. Imamah merupakan suatu organisasi kaum Muslim dan sebuah sistem kehidupan. Imamah adalah basis Islam dan bagian tertinggi dari Islam. Penunaian salat, zakat, puasa, haji dan jihad dan seterusnya berkaitan dengan eksistensi imam. Kehidupan Imam Husain as merupakan contoh kepemimpinan yang sangat bagus. Imam Husain as bangkit untuk mengembalikan masyarakat yang sesat ke jalan yang benar. Imam Husain as melakukan revolusi suci melawan kemunafikan dan kepalsuan, dan memandu gerakan reformasi untuk beramar makruf bernahi munkar.

Imam Ali as berkata kepada Ibn Abbas: “Kekhalifahan ini lebih tak ada artinya bagiku ketimbang sepatu usang kalau aku tidak membawa yang benar atau tidak memperbaiki yang salah.” (Nahj al-Balâghah, khotbah 33). Pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah tentu tidak disetujui keluarga Nabi –Ahlul Bait dan pengikutnya, Imam Ali mem-bai’at Abu Bakar setelah Fatimah meninggal, yaitu enam bulan setelah meninggalnya Rasulullah demi mencegah perpecahan dalam ummat. Sahabat Nabi  SAW ada yang menyatakan bahwa Ali belum pantas untuk menyandang jabatan Khalifah karena umurnya yang masih muda, ada pula yang menyatakan bahwa kekhalifahan dan kenabian sebaiknya tidak berada di tangan Bani Hasyim.

Imam Ali AS berbai’at kepada Abu Bakar setelah USMAN bin AFFAN menyatakan: “Tidak seorangpun mau bergabung dalam laskar muslim untuk memerangi kaum MURTAD kalau anda tidak berbai’at kepada ABU BAKAR”. Jadi Imam Ali menjaga keutuhan Islam dari kepunahan !!! “Justifikasi sangat penting yang dititahkan Allah SWT adalah penguasa dapat menuntut haknya atas rakyat dan rakyat dapat menuntut haknya atas penguasa. Allah SWT menetapkan masing-masing berkewajiban terhadap satu sama lain. Sistem ini ada untuk mengembangkan cinta di antara mereka dan untuk kemuliaan dan keagungan agama mereka. Rakyat tidak akan baik kalau penguasa-nya tidak baik, dan penguasa tidak akan baik kalau rakyatnya tidak jujur.” (Nahj al-Balâghah, Khotbah 216)

Pembai’atan oleh Imam ‘Ali bukanlah pengakuan akan keabsahan Abu Bakar. Baiat ‘Ali terhadap Abu Bakar karena Kaum Muslimin Meminta Hal Tersebut Sebagai Syarat Agar Mereka Mau memerangi sebagian kabilah Arab yang MURTAD. Abu Bakar dan Umar Tidak Memberi peluang Kelompok Imam Ali menghimpun kekuatan.

Ada dua pilihan bagi Imam Ali: [1] Memerangi Abu Bakar cs dengan resiko ISLAM hancur binasa karena MUSUH-MUSUH  Imam Ali  dan  MUSUH-MUSUH  ABU BAKAR Cs telah mengepung mereka!! [2] Membai’at Abu Bakar  secara the facto  agar  Islam tetap hidup di muka bumi ini. Tanpa membai’at  secara THE JURE. Ummul Mukminin Aisyah telah berkata: “Sekalian orang Arab telah murtad setelah wafatnya Rasulullah” (Al-Bidayah wa al-Nihayah: 6/336; Tarikh Madinah Dimasyq: 30/316, dalam pandangan Syiah yang dimaksud dengan murtad bukanlah murtad daripada keimanan –akan tetapi menentang perintah-perintah yang telah ditetapkan oleh Rasulullah).

Ummul Mukminin Aisyah telah berkata: “Sekalian orang Arab telah murtad setelah wafatnya RasulullahAl-Bidayah wa al-Nihayah: 6/336; Tarikh Madinah Dimasyq: 30/316

 Allah (swt) berfirman kepada Rasulullah (s): “Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) sebelummu ‘jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalanmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” Surah az-Zummar ayat 65. Kita menerima bahwasannya ayat-ayat ini diturunkan tentang sahabat. Akan tetapi berapa ramai antara sahabat-sahabat yang mampu menjaga makam tersebut, Perlulah adanya pembahasan dan penelitian.

Begitu juga dalam Sahih Muslim terdapat hadis yang bernama Hadis Haudh, yang mana tidak ada jalan lagi untuk Ahlussunnah mengelak dari hal tersebut. Di hari kiamat sebilangan para sahabat akan dibawa ke api neraka. Rasulullah bertanya ke mana dibawa sahabat-sahabat baginda. Lantas dijawab ke neraka. Ditanya kenapa, lantas dijawab lagi, kerana mereka murtad dan kembali ke masa jahiliyah sepeninggalan baginda. Yang lebih menarik, Bukhari mengatakan hanya sedikit daripada mereka yang selamat. Sahih Bukhari: 7/208; Shawahid Tanzil: 284/1

Ringkasan Pertanyaan: Apakah Imam Ali As memberikan bai’at kepada Abu Bakar? Mengapa demikian? Pertanyaan: Tatkala Imam Ali As mengetahui bahwa Allah Swt telah mengangkatnya sebagai khalifah –lalu mengapa ia memberikan bai’at kepada Abu Bakar, Umar, dan Usman? Apabila Anda katakan bahwa ia tidak memiliki kekuasaan dan kemampuan, sementara kita tahu bahwa barangsiapa yang tidak memiliki kekuasaan dan kemampuan maka sesungguhnya ia tidak memiliki kelayakan untuk menjadi imam, karena seseorang dapat menjadi imam tatkala ia memiliki kemampuan. Apabila Anda katakan bahwa Imam Ali memiliki kemampuan namun beliau tidak memanfaatkannya, maka hal ini merupakan sebuah pengkhianatan dan seorang pengkhianat tidak dapat menjadi seorang imam! Ia tidak dapat menjadi pemimpin yang dipercaya oleh masyarakat. Sementara Imam Ali As tidak mungkin berbuat khianat. Ia suci dari segala macam pengkhianatan. Lalu apa jawaban Anda atas keberatan ini? Apa Anda memiliki jawaban benar atas kritikan dan isykalan ini?

Jawaban Global: Pertama, Imam Ali As, sejumlah sahabatnya, dan sebagian sahabat Rasulullah Saw pada mulanya tidak memberikan bai’at kepada Abu Bakar –dan tatkala memberikan baiat hal itu dilakukan semata-mata untuk menjaga Islam dan kemaslahatan pemerintahan Islam. Kedua, seluruh problema yang ada tidak dapat diselesaikan dengan pedang dan keberanian. Tidak setiap saat otot dan kekuatan fisik harus digunakan. Manusia bijak dan cendekia memecahkan setiap persoalan dengan perantara media-media tertentu. Ketiga, apabila Imam Ali As memberikan bai’at kepada beberapa orang tertentu lantaran kemaslahatan yang bernilai seperti menjaga agama Tuhan dan segala jerih payah Rasulullah Saw, maka hal itu tidak bermakna bahwa beliau lebih menguatirkan kekuasaan mereka ketimbang jiwanya atau mereka lebih memiliki kemampuan dan kekuasaan dalam masalah kepemimpinan dan leadership umat Islam. Keempat, yang dapat disimpulkan dari sejarah dan tuturan Imam Ali bahwa beliau berulang kali menyampaikan protes terhadap situasi dan kondisi di masa tiga khalifah –namun upaya maksimal beliau dikerahkan untuk menjaga dan menguatkan pemerintahan Islam di hadapan musuh-musuhnya.

Jawaban Detil: Dengan menyimak sejarah masa awal-awal kemunculan Islam maka menjadi jelas bahwa: Pertama, Rasulullah Saw belum lagi dikebumikan orang-orang berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah –dan sebagian orang memberikan bai’at kepada orang selain Ali As, sementara Ali As sedang sibuk mengurus pemakaman Rasulullah Saw, mengafani dan mengebumikan Rasulullah Saw.[1] Sebagaian kecil sahabat beserta pemuka kabilah seperti Abbas bin Abdul Muththalib, Fadhl bin Abbas, Zubair bin Awwam, Khalid bin Sa’id, Miqdad bin Amr, Salman Parsi, Abu Dzar Ghiffari, Ammar bin Yasir, Bara’a bin ‘Azib, Ubay bin Ka’ab tidak memberikan baiat kepada segelintir orang yang berkumpul di Saqifah dan berpihak pada Imam Ali As.[2] Sesuai dengan nukilan lugas dari Ahmad bin Hanbal dalam Musnad 1/55 dan Thabari 2/466 sebagian orang ini berkumpul di rumah Fatimah Zahra As –dan menolak memberikan baiat kepada Abu Bakar.[3]

Disebutkan dalam kitab sejarah bahwa Baginda Ali As dalam menjawab mereka yang berkumpul di rumahnya dan permintaan mereka untuk memberikan baiat kepadanya, “Besok pagi datanglah (kemari) dan cukurlah rambut kalian!” Akan tetapi keesokan harinya hanya tiga orang yang datang.[4] Demikian juga dalam sejarah diriwayatkan bahwa Ali As tidak memberikan bai’at selama Fatimah Zahra masih hidup –namun tatkala melihat orang-orang mengabaikannya maka beliau terpaksa berdamai dengan Abu Bakar.[5] Karena itu, Imam Ali As dan sebagian sahabatnya demikian juga sebagian sahabat Rasulullah Saw mula-mula dan hingga masa tertentu pasca wafatnya Rasulullah Saw tidak memberikan bai’at kepada Abu Bakar dan tatkala mereka memberikan bai’at hal itu dilakukan untuk kemaslahatan dan keselamatan pemerintahan Islam.

Baladzuri dalam menjelaskan sebab mengapa Imam Ali memberikan baiat berkata: “Pasca wafatnya Rasulullah Saw dimana sebagian suku Arab telah murtad, Usman datang ke hadapan Ali dan berkata, “Wahai Putra Paman! Selama Anda tidak memberikan bai’at, tiada seorang pun yang akan pergi berperang melawan musuh.” Usman senantiasa membicarakan hal ini dengan Ali hingga pada akhirnya Baginda Ali As memberikan baiat kepada Abu Bakar.”[6] Akan tetapi Baginda Ali As sendiri senantiasa menyampaikan keluhan dan protes (terhadap proses perampasan khilafah ini) pada masa Abu Bakar dan setelahnya.

Terkait dengan hal ini, Imam Ali As bersabda: “Ketahuilah! Demi Allah putra Abu Quhafah (Abu Bakar) membusanai dirinya dengan (kekhalifahan) itu, padahal ia tahu pasti bahwa kedudukanku sehubungan dengan itu adalah sama dengan kedudukan poros pada penggiling. Air bah mengalir (menjauh) dariku dan burung tak dapat terbang sampai kepadaku. Aku memasang tabir terhadap kekhalifahan dan melepaskan diri darinya. Kemudian aku mulai berpikir, apakah aku harus menyerang ataukah menanggung dengan tenang kegelapan membutakan dan azab, di mana orang dewasa menjadi lemah dan orang muda menjadi tua, dan orang mukmin yang sesungguhnya hidup di bawah tekanan sampai ia menemui Allah (saat matinya). Aku dapati bahwa kesabaran atasnya lebih bijaksana. Maka aku mengambil kesabaran –walaupun ia menusuk di mata dan mencekik di kerongkongan.”[7]

Adapun terkait mengapa Imam Ali As dengan keberanian yang dimilikinya namun tidak angkat senjata? Maka jawabannya adalah bahwa seluruh problema yang terjadi tidak dapat diselesaikan dengan pedang dan perang. Tidak setiap saat otot dan kekerasan fisik harus digunakan. Manusia bijak dan cendekia memecahkan setiap persoalan dengan media-media tertentu. Memiliki kekuasaan dan kemampuan serta keberaninan di medan perang sekali-kali tidak dapat menjadi dalih untuk melakukan pelbagai perbuatan yang tidak mendatangkan kemasalahatan. Sebagaimana Nabi Harun As tatkala melihat kaum Musa berpaling menjadi penyembah sapi meski beliau adalah seorang elokuen (fasih) dan merupakan washi (penyampai wasiat) Nabi Musa As akan tetapi beliau tidak melakukan apa pun kecuali menyampaikan kebenaran dan peringatan kepada mereka. Al-Qur’an menandaskan tuturan Harun sebagai jawaban dari protes keras Nabi Musa As atas sikapnya yang berdiam diri tidak mencegah penyembahan sapi Bani Israil, “Harun menjawab, “Hai putra ibuku, janganlah kamu pegang janggutku dan jangan (pula) kepalaku; sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan berkata (kepadaku), “Kamu telah memecah antara Bani Isra’il dan kamu tidak memelihara amanahku.” (Qs. Thaha [20]:94)

Ihwal Nabi Ibrahim, al-Qur’an memberitakan bahwa Nabi Ibrahim menjauhkan diri dari penyembah berhala, “Maka ketika Ibrahim sudah menjauhkan diri dari mereka” (Qs. Maryam [19]:49) Demikian juga terkait dengan tindakan para pemuda Ashabul Kahf yang menarik diri dari kaum zalim, “(Kami berkata kepada mereka), “Apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Tuhanmu akan melimpahkan rahmat-Nya kepadamu dan menghamparkan ketenangan bagimu dalam urusan kamu ini.” (Qs. Al-Kahf [18]:16) Apakah benar kita memandang mereka dalam proses toleransi dan menahan diri ini atau takut atau pengkhianat? Padahal dalam kondisi seperti ini jalan toleransi dan menahan diri merupakan jalan terbaik.

Apabila Imam Ali As memberikan baiat kepada sebagian orang karena kemaslahatan seperti menjaga agama Tuhan dan hasil kerja keras Rasulullah Saw hal ini tidak bermakna bahwa beliau takut dari kekuatan dan kekuasaan mereka atau lebih kurang kekuasaan dan kekuatannya dalam masalah kepemimpinan umat Islam dimana apabila kepemimpinan diserahkan kepadanya maka pada masa-masa tersebut kekuasaan kepemimpinannya dapat dibuktikan.

Baginda Ali As menjelaskan mengapa dirinya tidak angkat senjata. Hal itu disebabkan karena beliau sendiri,  sebagaimana yang dijelaskan, “Saya melihat dan mendapatkan bahwa tidak ada pendukung bagi aku kecuali keluarga saya; maka aku hindarkan mereka dari terjerumus ke dalam kematian. Aku terus menutup mata saya walaupun kelilipan. Aku minum walaupun kerongkongan terteguk. Aku bersabar walaupun susah bernapas dan walaupun harus menelan jadam sebagai makanan.”[8]

Pada kesempatan lain, Baginda Ali menjelaskan alasannya mengapa tidak angkat senjata sedemikian, “Apabila aku katakan maka mereka akan menyebut aku serakah akan kekuasaan, tetapi apabila aku berdiam diri mereka akan mengatakan bahwa aku takut mati. Sungguh sayang, setelah segala pasang surut (yang saya alami)! Demi Allah, putra Abu Thalib lebih akrab dengan kematian daripada seorang bayi dengan dada ibunya. “[9]

Kesimpulannya bahwa alasan mengapa Baginda Ali As memberikan baiat kepada para khalifah hal itu bukan lantaran takut (karena semua orang, kawan dan lawan tahu tentang keberaniaan tiada tara yang dimiliki Baginda Ali As) melainkan kurangnya pendukung di jalan kebenaran dan juga didorong oleh kemaslahatan untuk menjaga kesatuan, keutuhan dan kemaslahatan Islam. Sebuah tindakan yang dilakukan oleh setiap pemimpin sejati bahkan Rasulullah Saw sendiri, dimana lantaran kurangnya pendukung dan untuk  menjaga pendukung yang sedikit itu dan menjaga kemaslahatan Islam, terpaksa menarik diri dari kaumnya dan berhijrah ke Madinah hingga beliau mendapatkan banyak pengikut yang berujung pada peristiwa Fathu Makkah. Atau pada masa lainnya, Rasulullah Saw terpaksa memilih berdamai dengan orang-orang Musyrik. Apakah tindakan seperti ini dapat disebut sebagai tindakan pengecut bahwa apabila Rasulullah Saw memandang dirinya sebagai Rasululullah lantas mengapa berdamai dengan orang-orang musyrik? Dimana apabila beliau tidak memiliki kekuataan yang dapat menandingi lantas ia tidak memiliki kelayakan untuk menjabat sebagai seorang nabi dan pemimpin?!

Karena itu, Baginda Ali As, meski beliau adalah khalifah Rasulullah Saw, lebih memilih bersabar dan menahan diri. Hal itu didorong oleh keinginan yang luhur untuk menjaga kemaslahatan masyarakat Islam. Karena beliau dengan baik memahami bahwa bukan tempatnya untuk angkat senjata, menghunus pedang dan memamerkan keberanian dan adu otot di jalan Allah. Akan tetapi kondisi masyarakat Islam pasca wafatnya Rasulullah menuntut kesabaran lebih tinggi nilainya ketimbang keberanian. Beliau mengetahui bahwa dalam kondisi seperti ini bahwa menghunus pedang akan lebih banyak dimanfaatkan oleh musuh-musuh Islam untuk melenyapkan dan mencerabut Islam hingga ke akar-akarnya. Karena itu, kemaslahatan pribadi dikorbankan untuk kemaslahatan yang lebih penting yaitu asas Islam.

Catatan:

[1]. Kanz al-‘Ummâl, 5/652.
[2]. Suyuthi, Târikh al-Khulâfah, hal. 62, Dar al-Fikr, Libanon. Târikh Ya’qubi, 124/125-2. Thabari, Târikh al-Umam wa al-Muluk, jil. 2, hal. 443, Istiqamat, Kairo. Musnad Ahmad, jil. 3, hal. 165, Dar al-Shadir.
[3]. Ibid.
[4]. Ma’âlim al-Madrasatain, Allamah ‘Askari, jil. 1, hal. 162.
[5]. Thabari, Târikh al-Umam wa al-Muluk, 2/448, Istiqamat, Kairo.
[6]. Ansab al-Asyrâf, 1/587.
[7].  Nahj al-Balâgha, Khutbah 3, hal. 45.
[8]. Nahj al-Balâgha, Khutbah 36, hal. 73.
[9]. Nahj al-Balâgha, Khutbah 5, hal. 51.

Sumber: Islam Quest

Tidak ada komentar:

Posting Komentar