Jawab: Pemerintahan
(jabatan kepala negara) hanyalah salah satu fungsi imamah. Aspek duniawi hanya
salah satu saja dari fungsi dari imamah. Syi’ah percaya bahwa tingkat imamah
lebih tinggi dibanding tingkat pemerintahan (Abu Bakar-Umar-Usman- Mu’awiyah
dan para tiran Dinasti Umayyah Abbasiyah). Imam adalah wakil Allah SWT dan khalifah
Nabi saw.
Logika: [1] Sebelum hijrah Nabi SAW, tidak ada
soal tentang berkuasanya orang lain di Mekkah. Sebelum hijrah, Nabi SAW tidak
pernah duduk di singgasana. Mengenai kenabian, kita juga melihat bahwa Nabi saw
adalah pemimpin umat Muslim –namun kepemimpinan ini atau kedudukannya sebagai
pemimpin negara hanyalah salah satu fungsinya sebagai seorang Nabi. [2] Bukankah Nabi Harun tidak mampu
berkuasa ketika umat menzalimi-nya?
Maka begitu pula dengan 12
imam. Imam Ali as tak memiliki cukup pendukung yang kompeten. Ketika para Imam
tidak mampu duduk di singgasana karena kezaliman umat –tidaklah menjadikan
kekhalifahan dan keimaman itu menjadi tidak ada. Dalam kondisi demikian, maka
tidak ada masalah siapa yang jadi penguasa. Kita tak boleh mencampuradukkan
masalah imamah dengan masalah pemerintahan. Bahwasanya Golongan Sunni tidak
mengakui pengangkatan Ali bin Abi Thalib tersebut, tidaklah menjadikan pengangkatan
itu menjadi tidak ada. Hak untuk memerintah bukan diberikan kepadanya oleh
umat. Hak tersebut diberikan kepadanya oleh Allah SWT –atas dasar
superioritasnya atas seluruh manusia. Imam
diangkat oleh Nabi saw setelah mendapat perintah dari Allah SWT.
Sebagian nabi adalah
pemandu sekaligus pemimpin seperti Ibrahim as, Musa as, Isa as dan Nabi
terakhir Muhammad saw. Sebagian nabi lainnya hanya pemandu saja. Beda antara kenabian dan imamah adalah
kenabian itu bimbingan –sedangkan imamah adalah kepemimpinan. Kenabian
adalah menyampaikan dan menunjukkan jalan yang benar. Imamah adalah memimpin
dan memobilisasi serta mengorganisasikan kekuatan-kekuatan yang ada. Tugas
seorang imam adalah mengawasi, memimpin, memandu dan memperhatikan umat yang di
pimpinnya. Fungsi lain yang lebih tinggi tingkatannya adalah tugas imam untuk
menjelaskan Islam dengan terperinci.
Imamah adalah tugas atau
misi ilahiah. Imamah adalah perjanjian Allah SWT –bukan perjanjian manusia.
Imamah merupakan suatu organisasi kaum Muslim dan sebuah sistem kehidupan.
Imamah adalah basis Islam dan bagian tertinggi dari Islam. Penunaian salat,
zakat, puasa, haji dan jihad dan seterusnya berkaitan dengan eksistensi imam. Kehidupan
Imam Husain as merupakan contoh kepemimpinan yang sangat bagus. Imam Husain as
bangkit untuk mengembalikan masyarakat yang sesat ke jalan yang benar. Imam Husain as melakukan revolusi suci
melawan kemunafikan dan kepalsuan, dan memandu gerakan reformasi untuk
beramar makruf bernahi munkar.
Imam Ali as berkata kepada
Ibn Abbas: “Kekhalifahan ini lebih tak
ada artinya bagiku ketimbang sepatu usang kalau aku tidak membawa yang benar
atau tidak memperbaiki yang salah.” (Nahj al-Balâghah, khotbah 33). Pengangkatan
Abu Bakar sebagai Khalifah tentu tidak disetujui keluarga Nabi –Ahlul Bait
dan pengikutnya, Imam Ali
mem-bai’at Abu Bakar setelah Fatimah meninggal, yaitu enam bulan
setelah meninggalnya Rasulullah demi mencegah perpecahan dalam ummat.
Sahabat Nabi SAW ada yang menyatakan bahwa Ali belum pantas untuk
menyandang jabatan Khalifah karena umurnya yang masih muda, ada pula
yang menyatakan bahwa kekhalifahan dan kenabian sebaiknya
tidak berada di tangan Bani Hasyim.
Imam Ali AS berbai’at
kepada Abu Bakar setelah USMAN bin AFFAN menyatakan: “Tidak seorangpun mau
bergabung dalam laskar muslim untuk memerangi kaum MURTAD kalau anda tidak
berbai’at kepada ABU BAKAR”. Jadi Imam Ali menjaga keutuhan Islam dari
kepunahan !!! “Justifikasi sangat penting yang dititahkan Allah SWT adalah
penguasa dapat menuntut haknya atas rakyat dan rakyat dapat menuntut haknya
atas penguasa. Allah SWT menetapkan masing-masing berkewajiban terhadap satu
sama lain. Sistem ini ada untuk mengembangkan cinta di antara mereka dan untuk
kemuliaan dan keagungan agama mereka. Rakyat tidak akan baik kalau penguasa-nya
tidak baik, dan penguasa tidak akan baik kalau rakyatnya tidak jujur.” (Nahj
al-Balâghah, Khotbah 216)
Pembai’atan oleh Imam ‘Ali bukanlah pengakuan akan
keabsahan Abu Bakar. Baiat ‘Ali
terhadap Abu Bakar karena Kaum Muslimin Meminta Hal Tersebut Sebagai Syarat
Agar Mereka Mau memerangi sebagian kabilah Arab yang MURTAD. Abu Bakar dan Umar
Tidak Memberi peluang Kelompok Imam Ali menghimpun kekuatan.
Ada dua pilihan bagi Imam
Ali: [1] Memerangi Abu Bakar cs
dengan resiko ISLAM hancur binasa karena MUSUH-MUSUH Imam Ali
dan MUSUH-MUSUH ABU BAKAR Cs telah mengepung mereka!! [2] Membai’at Abu Bakar secara
the facto agar Islam tetap hidup di muka bumi ini. Tanpa
membai’at secara THE JURE. Ummul
Mukminin Aisyah telah berkata: “Sekalian orang Arab telah murtad setelah
wafatnya Rasulullah” (Al-Bidayah wa al-Nihayah: 6/336; Tarikh Madinah
Dimasyq: 30/316, dalam pandangan Syiah yang dimaksud dengan murtad bukanlah
murtad daripada keimanan –akan tetapi menentang perintah-perintah yang telah
ditetapkan oleh Rasulullah).
Ummul Mukminin Aisyah telah berkata: “Sekalian
orang Arab telah murtad setelah wafatnya Rasulullah” Al-Bidayah wa
al-Nihayah: 6/336; Tarikh Madinah Dimasyq: 30/316
Allah (swt)
berfirman kepada Rasulullah (s): “Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu
dan kepada (nabi-nabi) sebelummu ‘jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya
akan hapuslah amalanmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang
merugi.” Surah az-Zummar ayat 65. Kita menerima bahwasannya
ayat-ayat ini diturunkan tentang sahabat. Akan tetapi berapa ramai antara sahabat-sahabat
yang mampu menjaga makam tersebut, Perlulah adanya pembahasan dan penelitian.
Begitu juga dalam Sahih
Muslim terdapat hadis yang bernama Hadis Haudh, yang mana tidak ada jalan lagi
untuk Ahlussunnah mengelak dari hal tersebut. Di hari kiamat sebilangan para sahabat akan dibawa ke api neraka.
Rasulullah bertanya ke mana dibawa sahabat-sahabat baginda. Lantas dijawab ke
neraka. Ditanya kenapa, lantas dijawab lagi, kerana mereka murtad dan kembali
ke masa jahiliyah sepeninggalan baginda. Yang lebih menarik, Bukhari mengatakan
hanya sedikit daripada mereka yang selamat. Sahih Bukhari: 7/208; Shawahid
Tanzil: 284/1
Ringkasan Pertanyaan: Apakah Imam Ali As memberikan bai’at kepada Abu Bakar? Mengapa
demikian? Pertanyaan: Tatkala Imam
Ali As mengetahui bahwa Allah Swt telah mengangkatnya sebagai khalifah –lalu
mengapa ia memberikan bai’at kepada Abu Bakar, Umar, dan Usman? Apabila Anda
katakan bahwa ia tidak memiliki kekuasaan dan kemampuan, sementara kita tahu
bahwa barangsiapa yang tidak memiliki kekuasaan dan kemampuan maka sesungguhnya
ia tidak memiliki kelayakan untuk menjadi imam, karena seseorang dapat menjadi
imam tatkala ia memiliki kemampuan. Apabila Anda katakan bahwa Imam Ali
memiliki kemampuan namun beliau tidak memanfaatkannya, maka hal ini merupakan
sebuah pengkhianatan dan seorang pengkhianat tidak dapat menjadi seorang imam!
Ia tidak dapat menjadi pemimpin yang dipercaya oleh masyarakat. Sementara Imam
Ali As tidak mungkin berbuat khianat. Ia suci dari segala macam pengkhianatan.
Lalu apa jawaban Anda atas keberatan ini? Apa Anda memiliki jawaban benar atas
kritikan dan isykalan ini?
Jawaban Global:
Pertama, Imam Ali As, sejumlah
sahabatnya, dan sebagian sahabat Rasulullah Saw pada mulanya tidak memberikan
bai’at kepada Abu Bakar –dan tatkala memberikan baiat hal itu dilakukan
semata-mata untuk menjaga Islam dan kemaslahatan pemerintahan Islam. Kedua, seluruh problema yang ada tidak
dapat diselesaikan dengan pedang dan keberanian. Tidak setiap saat otot dan
kekuatan fisik harus digunakan. Manusia bijak dan cendekia memecahkan setiap
persoalan dengan perantara media-media tertentu. Ketiga, apabila Imam Ali As memberikan bai’at kepada beberapa orang
tertentu lantaran kemaslahatan yang bernilai seperti menjaga agama Tuhan dan
segala jerih payah Rasulullah Saw, maka hal itu tidak bermakna bahwa beliau
lebih menguatirkan kekuasaan mereka ketimbang jiwanya atau mereka lebih
memiliki kemampuan dan kekuasaan dalam masalah kepemimpinan dan leadership
umat Islam. Keempat, yang dapat
disimpulkan dari sejarah dan tuturan Imam Ali bahwa beliau berulang kali
menyampaikan protes terhadap situasi dan kondisi di masa tiga khalifah –namun
upaya maksimal beliau dikerahkan untuk menjaga dan menguatkan pemerintahan
Islam di hadapan musuh-musuhnya.
Jawaban Detil:
Dengan menyimak sejarah masa awal-awal kemunculan Islam maka menjadi jelas
bahwa: Pertama, Rasulullah Saw belum
lagi dikebumikan orang-orang berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah –dan sebagian
orang memberikan bai’at kepada orang selain Ali As, sementara Ali As sedang
sibuk mengurus pemakaman Rasulullah Saw, mengafani dan mengebumikan Rasulullah
Saw.[1] Sebagaian kecil sahabat beserta
pemuka kabilah seperti Abbas bin Abdul Muththalib, Fadhl bin Abbas, Zubair bin
Awwam, Khalid bin Sa’id, Miqdad bin Amr, Salman Parsi, Abu Dzar Ghiffari, Ammar
bin Yasir, Bara’a bin ‘Azib, Ubay bin Ka’ab tidak memberikan baiat kepada
segelintir orang yang berkumpul di Saqifah dan berpihak pada Imam Ali As.[2]
Sesuai dengan nukilan lugas dari Ahmad bin Hanbal dalam Musnad 1/55 dan
Thabari 2/466 sebagian orang ini berkumpul di rumah Fatimah Zahra As –dan
menolak memberikan baiat kepada Abu Bakar.[3]
Disebutkan dalam kitab
sejarah bahwa Baginda Ali As dalam menjawab mereka yang berkumpul di rumahnya
dan permintaan mereka untuk memberikan baiat kepadanya, “Besok pagi datanglah
(kemari) dan cukurlah rambut kalian!” Akan tetapi keesokan harinya hanya tiga
orang yang datang.[4] Demikian juga dalam sejarah diriwayatkan bahwa Ali As
tidak memberikan bai’at selama Fatimah Zahra masih hidup –namun tatkala melihat
orang-orang mengabaikannya maka beliau terpaksa berdamai dengan Abu Bakar.[5] Karena
itu, Imam Ali As dan sebagian sahabatnya demikian juga sebagian sahabat
Rasulullah Saw mula-mula dan hingga masa tertentu pasca wafatnya Rasulullah Saw
tidak memberikan bai’at kepada Abu Bakar dan tatkala mereka memberikan bai’at
hal itu dilakukan untuk kemaslahatan dan keselamatan pemerintahan Islam.
Baladzuri dalam
menjelaskan sebab mengapa Imam Ali memberikan baiat berkata: “Pasca wafatnya
Rasulullah Saw dimana sebagian suku Arab telah murtad, Usman datang ke hadapan
Ali dan berkata, “Wahai Putra Paman!
Selama Anda tidak memberikan bai’at, tiada seorang pun yang akan pergi
berperang melawan musuh.” Usman senantiasa membicarakan hal ini dengan Ali
hingga pada akhirnya Baginda Ali As memberikan baiat kepada Abu Bakar.”[6] Akan
tetapi Baginda Ali As sendiri senantiasa menyampaikan keluhan dan protes
(terhadap proses perampasan khilafah ini) pada masa Abu Bakar dan setelahnya.
Terkait dengan hal ini,
Imam Ali As bersabda: “Ketahuilah! Demi
Allah putra Abu Quhafah (Abu Bakar) membusanai dirinya dengan (kekhalifahan)
itu, padahal ia tahu pasti bahwa kedudukanku sehubungan dengan itu adalah sama
dengan kedudukan poros pada penggiling. Air bah mengalir (menjauh) dariku dan
burung tak dapat terbang sampai kepadaku. Aku memasang tabir terhadap
kekhalifahan dan melepaskan diri darinya. Kemudian aku mulai berpikir, apakah
aku harus menyerang ataukah menanggung dengan tenang kegelapan membutakan dan
azab, di mana orang dewasa menjadi lemah dan orang muda menjadi tua, dan orang
mukmin yang sesungguhnya hidup di bawah tekanan sampai ia menemui Allah (saat
matinya). Aku dapati bahwa kesabaran atasnya lebih bijaksana. Maka aku
mengambil kesabaran –walaupun ia menusuk di mata dan mencekik di kerongkongan.”[7]
Adapun terkait mengapa
Imam Ali As dengan keberanian yang dimilikinya namun tidak angkat senjata? Maka
jawabannya adalah bahwa seluruh problema yang terjadi tidak dapat diselesaikan
dengan pedang dan perang. Tidak setiap saat otot dan kekerasan fisik harus
digunakan. Manusia bijak dan cendekia memecahkan setiap persoalan dengan
media-media tertentu. Memiliki kekuasaan dan kemampuan serta keberaninan di
medan perang sekali-kali tidak dapat menjadi dalih untuk melakukan pelbagai
perbuatan yang tidak mendatangkan kemasalahatan. Sebagaimana Nabi Harun As
tatkala melihat kaum Musa berpaling menjadi penyembah sapi meski beliau adalah
seorang elokuen (fasih) dan merupakan washi (penyampai wasiat) Nabi Musa
As akan tetapi beliau tidak melakukan apa pun kecuali menyampaikan kebenaran
dan peringatan kepada mereka. Al-Qur’an menandaskan tuturan Harun sebagai
jawaban dari protes keras Nabi Musa As atas sikapnya yang berdiam diri tidak
mencegah penyembahan sapi Bani Israil, “Harun menjawab, “Hai putra ibuku,
janganlah kamu pegang janggutku dan jangan (pula) kepalaku; sesungguhnya aku
khawatir bahwa kamu akan berkata (kepadaku), “Kamu telah memecah antara Bani
Isra’il dan kamu tidak memelihara amanahku.” (Qs. Thaha [20]:94)
Ihwal Nabi Ibrahim,
al-Qur’an memberitakan bahwa Nabi Ibrahim menjauhkan diri dari penyembah
berhala, “Maka ketika Ibrahim sudah menjauhkan diri dari mereka” (Qs.
Maryam [19]:49) Demikian juga terkait dengan tindakan para pemuda Ashabul Kahf
yang menarik diri dari kaum zalim, “(Kami berkata kepada mereka), “Apabila
kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah
tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Tuhanmu akan melimpahkan rahmat-Nya
kepadamu dan menghamparkan ketenangan bagimu dalam urusan kamu ini.” (Qs.
Al-Kahf [18]:16) Apakah benar kita memandang mereka dalam proses toleransi dan
menahan diri ini atau takut atau pengkhianat? Padahal dalam kondisi seperti ini
jalan toleransi dan menahan diri merupakan jalan terbaik.
Apabila Imam Ali As
memberikan baiat kepada sebagian orang karena kemaslahatan seperti menjaga
agama Tuhan dan hasil kerja keras Rasulullah Saw hal ini tidak bermakna bahwa
beliau takut dari kekuatan dan kekuasaan mereka atau lebih kurang kekuasaan dan
kekuatannya dalam masalah kepemimpinan umat Islam dimana apabila kepemimpinan
diserahkan kepadanya maka pada masa-masa tersebut kekuasaan kepemimpinannya
dapat dibuktikan.
Baginda Ali As menjelaskan
mengapa dirinya tidak angkat senjata. Hal itu disebabkan karena beliau sendiri,
sebagaimana yang dijelaskan, “Saya melihat dan mendapatkan bahwa tidak
ada pendukung bagi aku kecuali keluarga saya; maka aku hindarkan mereka dari
terjerumus ke dalam kematian. Aku terus menutup mata saya walaupun kelilipan.
Aku minum walaupun kerongkongan terteguk. Aku bersabar walaupun susah bernapas
dan walaupun harus menelan jadam sebagai makanan.”[8]
Pada kesempatan lain,
Baginda Ali menjelaskan alasannya mengapa tidak angkat senjata sedemikian,
“Apabila aku katakan maka mereka akan menyebut aku serakah akan kekuasaan,
tetapi apabila aku berdiam diri mereka akan mengatakan bahwa aku takut mati.
Sungguh sayang, setelah segala pasang surut (yang saya alami)! Demi Allah,
putra Abu Thalib lebih akrab dengan kematian daripada seorang bayi dengan dada
ibunya. “[9]
Kesimpulannya bahwa alasan
mengapa Baginda Ali As memberikan baiat kepada para khalifah hal itu bukan
lantaran takut (karena semua orang, kawan dan lawan tahu tentang keberaniaan
tiada tara yang dimiliki Baginda Ali As) melainkan kurangnya pendukung di jalan
kebenaran dan juga didorong oleh kemaslahatan untuk menjaga kesatuan, keutuhan
dan kemaslahatan Islam. Sebuah tindakan yang dilakukan oleh setiap pemimpin
sejati bahkan Rasulullah Saw sendiri, dimana lantaran kurangnya pendukung dan
untuk menjaga pendukung yang sedikit itu dan menjaga kemaslahatan Islam,
terpaksa menarik diri dari kaumnya dan berhijrah ke Madinah hingga beliau
mendapatkan banyak pengikut yang berujung pada peristiwa Fathu Makkah. Atau
pada masa lainnya, Rasulullah Saw terpaksa memilih berdamai dengan orang-orang
Musyrik. Apakah tindakan seperti ini dapat disebut sebagai tindakan pengecut
bahwa apabila Rasulullah Saw memandang dirinya sebagai Rasululullah lantas
mengapa berdamai dengan orang-orang musyrik? Dimana apabila beliau tidak
memiliki kekuataan yang dapat menandingi lantas ia tidak memiliki kelayakan
untuk menjabat sebagai seorang nabi dan pemimpin?!
Karena itu, Baginda Ali
As, meski beliau adalah khalifah Rasulullah Saw, lebih memilih bersabar dan
menahan diri. Hal itu didorong oleh keinginan yang luhur untuk menjaga
kemaslahatan masyarakat Islam. Karena beliau dengan baik memahami bahwa bukan
tempatnya untuk angkat senjata, menghunus pedang dan memamerkan keberanian dan
adu otot di jalan Allah. Akan tetapi kondisi masyarakat Islam pasca wafatnya
Rasulullah menuntut kesabaran lebih tinggi nilainya ketimbang keberanian.
Beliau mengetahui bahwa dalam kondisi seperti ini bahwa menghunus pedang akan
lebih banyak dimanfaatkan oleh musuh-musuh Islam untuk melenyapkan dan
mencerabut Islam hingga ke akar-akarnya. Karena itu, kemaslahatan pribadi
dikorbankan untuk kemaslahatan yang lebih penting yaitu asas Islam.
Catatan:
[1]. Kanz
al-‘Ummâl, 5/652.
[2].
Suyuthi, Târikh al-Khulâfah, hal. 62, Dar al-Fikr, Libanon. Târikh
Ya’qubi, 124/125-2. Thabari, Târikh al-Umam wa al-Muluk, jil. 2,
hal. 443, Istiqamat, Kairo. Musnad Ahmad, jil. 3, hal. 165, Dar
al-Shadir.
[3]. Ibid.
[4]. Ma’âlim
al-Madrasatain, Allamah ‘Askari, jil. 1, hal. 162.
[5].
Thabari, Târikh al-Umam wa al-Muluk, 2/448, Istiqamat, Kairo.
[6]. Ansab
al-Asyrâf, 1/587.
[7]. Nahj
al-Balâgha, Khutbah 3, hal. 45.
[8]. Nahj
al-Balâgha, Khutbah 36, hal. 73.
[9]. Nahj
al-Balâgha, Khutbah 5, hal. 51.
Sumber: Islam Quest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar