Oleh Abdul Basit, MA.
Menurut Muthahhari,
ada tiga cara mendefinisikan sejarah dan ada tiga disiplin kesejarahan yang
saling berkaitan, yaitu pertama,
sejarah tradisional (tarikh naqli) adalah pengetahuan tentang
kejadian-kejadian, peristiwa-peristiwa dan keadaan-keadaan kemanusiaan di masa
lampau dalam kaitannya dengan keadaan-keadaan masa kini. Kedua, sejarah ilmiah (tarikh ilmy), yaitu pengetahuan tentang
hukum-hukum yang tampak menguasai kehidupan masa lampau yang diperoleh melalui
pendekatan dan analisis atas peristiwa-peristiwa masa lampau. Ketiga, filsafat sejarah (tarikh
falsafi), yaitu pengetahuan tentang perubahan-perubahan bertahap yang membawa
masyarakat dari satu tahap ke tahap lain, ia membahas hukum-hukum yang
menguasai perubahan-perubahan ini. Dengan kata lain, ia adalah ilmu tentang
menjadi masyarakat, bukan tentang mewujudnya saja.
Pendapat lain tentang
sejarah dikemukakan oleh Hugiono dan Poerwantara bahwa dalam penulisan sejarah
perlu dibedakan terlebih dahulu antara sejarah dalam kerangka ilmiah, dan
sejarah dalam kerangka filosofis. Sejarah dalam kerangka ilmiah adalah sejarah
sebagai ilmu, artinya sejarah sebagai salah satu bidang ilmu yang meneliti dan
menyelidiki secara sistematis keseluruhan perkembangan masyarakat serta
kemanusiaan di masa lampau beserta seluruh kejadian-kejadian, dengan maksud
untuk menilai secara kritis seluruh hasil penelitian dan penyelidikan tersebut,
untuk akhirnya dijadikan pedoman bagi penilaian dan penentuan keadaan sekarang
serta arah program masa depan.
Sejarah dalam kerangka
filosofis adalah sejarah dalam pengertian sebagai filsafat sejarah. Filsafat
sejarah mengandung dua spesialisasi. Pertama, sejarah yang berusaha untuk memastikan
suatu tujuan umum yang mengurus dan menguasai semua kejadian dan seluruh
jalannya sejarah. Usaha ini sudah dijalankan berabad-abad lamanya. Kedua,
sejarah yang bertujuan untuk menguji serta menghargai metode ilmu sejarah dan
kepastian dari kesimpulan-kesimpulannya.
Dalam kajian-kajian
modern, filsafat sejarah menjadi suatu tema yang mengandung dua segi yang
berbeda dari kajian tentang sejarah. Segi yang pertama berkenaan dengan kajian
metodologi penelitian ilmu ini dari tujuan filosofis. Ringkasnya, dalam segi
ini terkandung pengujian yang kritis atas metode sejarawan. Pengujian yang
kritis ini termasuk dalam bidang kegiatan analitis dari filsafat, yakni
kegiatan yang mewarnai pemikiran filosofis pada zaman modern dengan cara
khususnya, di mana si pemikir menaruh perhatian untuk menganalisis apa yang
bisa disebut dengan sarana-sarana intelektual manusia. Ia mempelajari tabiat
pemikiran, hukum-hukum logika, keserasian dan hubungan-hubungan antara
pikiran-pikiran manusia dengan kenyataan, tabiat, realitas, dan kelayakan
metode yang dipergunakan dalam mengantarkan pada pengetahuan yang benar.
Dari segi yang lain,
filsafat sejarah berupaya menemukan komposisi setiap ilmu pengetahuan dan
pengalaman umum manusia. Di sini perhatian lebih diarahkan pada kesimpulan dan
bukannya pada penelitian tentang metode atau sarana-sarana yang digunakan
seperti yang digunakan dalam metode analitis filsafat. Dalam kegiatan
konstruktif, filosof sejarah bisa mencari pendapat yang paling komprehensif
yang bisa menjelaskan tentang makna hidup dan tujuannya.
Kritik Muthahhari terhadap Konsep Sejarah Kaum Marxis
Ada tiga hal yang
dikritik oleh Muthahhari terhadap kaum marxisme, yaitu sifat sejarah, hukum
sejarah, dan perkembangan sejarah. Menurut Muthahhari, sifat sejarah
bukan hanya bersifat bendawi, melainkan ada wujud yang bersifat nonbendawi dan
suprabendawi. Yang dimaksud dengan nonbendawi adalah keberadaan sejati manusia
sebagai dirinya sendiri, sedangkan supra bendawi adalah apa yang ada di atas
diri manusia.
Hukum sejarah yang dianut oleh kaum Marxis termuat dalam
pandangannya tentang determinisme sejarah. Menurut kaum Marxis, hukum sejarah
adalah menentukan, ttdak dapat diganggu gugat dan di luar kehendak manusia.
Dengan kata lain, kaum Marxis memaknai hukum sejarah adalah hukum alam yang
menggunakan prinsip kemestian sejarah.
Sementara itu, menurut
Muthahhari, ada tiga bentuk hukum sejarah dari al-Qur’an. Pertama, hukum determinisme, yaitu hukum sejarah
yang berjalan menurut hukum-hukum umum dan secara natural tidak bertentangan
dengan kebiasaan di dalam alam. Teori ini merujuk kepada Al-Qur’an surat [35]:
43, [48]: 23, [17]: 77, [33]: 62, dan sebagainya. Kedua, hukum ketuhanan, yaitu hukum-hukum sejarah terikat dan terkait
dengan Allah ( sunnatullah). Hukum ini bertujuan untuk mengikatkan manusia
dengan Tuhannya dan manusia dapat mengambil manfaat dan meminta bantuan untuk
menyempurnakan perkembangan sejarah. Hal itu sesungguhnya merupakan penampakan
hukum Allah, kebaikan takdirnya, dan bangunan dalam perkembangan sejarah. Ketiga,
hukum ikhtiar manusia. Hukum ini
berkaitan dengan konsep al-bada’ (perubahan perjalanan hidup yang telah
ditentukan). Maksudnya, Allah tidak menentukan bentuk yang pasti dan final bagi
perjalanan sejarah manusia. Manusialah yang bertanggung jawab memenuhi
ketentuan Tuhan, dapat memajukan atau menghentikan perjalanan sejarah.
Kritik ketiga dari Muthahhari terhadap kaum Marxis
berkenaan dengan perkembangan sejarah
Dalam pandangan Marx,
keputusan manusia tidak dibuat oleh pilihan dan keinginan bebas manusia karena
manusia kebanyakan dikuasai oleh kepentingan bebas. Oleh karena itu,
keputusan-keputusan mereka yang menyangkut kehidupan masyarakat merupakan hasil
dari kelas mereka. Sementara itu, Muthahhari mengakui adanya tahapan-tahapan
perkembangan sejarah yang terus berproses menuju kesempurnaannya. Ia
menjelaskan bahwa masalah perkembangan zaman adalah masalah yang tidak perlu
diragukan lagi. Komunitas manusia mirip dengan kafilah yang terus bergerak maju
tanpa henti. Manusia dan masyarakat tidak pernah tetap berada pada satu
masalah. Kalau kita berusaha menghentikan gerak manusia dan masyarakat dalam
perjalanan sejarahnya, maka berarti kita menentang hukum alam.
Oleh karena itu, kata
Muthahhari, dari masa ke masa manusia dan masyarakat bergerak menyempurnakan
dirinya, dan yang menjadi titik awal penyempurnaannya adalah masa lampaunya.
Islam tidak menganggap masa lampau dengan pesimisme secara total.
Tujuan Sejarah
Penjelasan Muthahhari
tentang tujuan sejarah diambil dari al-Qur’an yang menjelaskan adanya dua
eksistensi manusia, yaitu sebagai individu, dan sebagai anggota masyarakat.
Tindakan manusia sebagai individu memiliki dua dimensi, yaitu sebab aktif, dan
sebab material. Tindakan manusia sebagai anggota masyarakat memiliki tiga dimensi,
yaitu sebab aktif (pelaku), sebab ideal (tujuan), dan sebab material
(tindakannya). Meskipun ada dua eksistensi dan tindakan, namun al-Qur’an tidak
memisahkan secara objektif antara tindakan pribadi manusia secara individual
dengan tindakan manusia sebagai aktivitas masyarakat.
Tujuan-tujuan utama
dalam kehidupan adalah satu-satunya faktor yang menciptakan sejarah. Pada
gilirannya, mereka memiliki pondasi yang mendalam di dalam kandungan batin
manusia, yakni cita-cita utama kehidupannya. Cita-cita ini merupakan tiang
utama semua tujuan yang menggerakkannya. Makin tinggi dan luhur suatu cita-cita
masyarakat, makin layak dan luas tujuan- tujuannya atau sebaliknya. Oleh karena
itu, cita-cita yang besar dari suatu masyarakat adalah titik tolak dari pembentukan
batin masyarakat manusia. Cita-cita utama masyarakat bergantung pada
konsepsinya tentang kehidupan dan dunia.
Dalam hal ini,
Muthahhari meyakini benar perlunya mengenal masa depan sebagai tujuannya.
Sejarah bagi Muthahhari berperan untuk membuka jalan bagi masa depan. Jika
manusia tidak mengenali masa depan dan tidak mempunyai rencana tentangnya serta
tidak memberikan perhatian pada tanggung jawabnya untuk membuat sejarah, maka
manusia berhak mendapatkan celaan dari generasi mendatang. Sejarah dibuat oleh
manusia dan bukannya manusia dibuat sejarah. Jika manusia tidak mempunyai
rencana tentang masa depan, tidak seorang pun dapat menjanjikan bahwa bahtera
ini akan mencapai tujuannya secara otomatis.
Selain tujuan sejarah
untuk mengetahui masa depan, juga bertujuan untuk membangun idealisme sejati.
Idealisme sejati itu akan mampu membuat perubahan pada proses perjalanan
sejarah karena kemampuannya memberikan kekuatan pada subjek sejarah. Semangat
itu bukan berupa kekuatan fisik, melainkan berupa spirit yang bergejolak dalam
jiwa manusia sebagai penyebab penggerak ( active cause ) untuk menghasilkan
langkah-langkah konkrit dalam memecahkan problematika manusia.
Perjalanan sejarah
manusia untuk mencapai idealisme sejati yang mampu menciptakan dinamika bentuk
dan proses perjalanan itu sendiri sangat bergantung pada beberapa prinsip
sebgai berikut:
[1] Bergantung pada
konsep yang jelas baik dilihat dari pikiran dan ideologinya terhadap idealisme
sejati;
[2] Harus mempunyai
kekuatan spiritual yang bersumber pada idealisme itu agar kekuatan spiritual
ini bisa menjadi sumber motivasi abadi bagi tindakan manusia dalam dinamika
gerak sejarah;
[3] Ia harus berbeda
dengan idealisme lain yang hanya bersifat siklus pengulangan. Dengan dasar
ideologi ini sebagai objek yang terlepas dari subjektivitas manusia, bukan
bagian dari manusia dan bukan pula hasil olah budi manusia, tetapi harus
memiliki benang merah yang menghubungkannya dengan manusia;
[4] Prinsip
kelembagaan terhadap nilai-nilai yang telah dirumuskan oleh para Nabi dalam berbagai
bentuk pranata sosial kemasyarakatan
Gerak Sejarah
Jiwa dari teori-teori
sejarah beranggapan bahwa sejarah itu merupakan suatu gerak yang tumbuh dan
berkembang secara evolusi atau perubahan secara alami. Menurut Muthahhari,
pengertian evolusi secara sederhana dapat diartikan sebagai kemajuan dan
transformasi. Secara terminologi oleh sebagian orang diartikan sebagai suatu
proses yang di dalamnya terdapat suatu proses pelipatgandaan bagian-bagian yang
diikuti oleh pembagian yang ditandai oleh suatu gerakan dari homogenitas ke
arah heterogenitas.
Dalam proses evolusi
sejarah, peran manusia sangat menentukan sekali. Bahkan, manusia menjadi inti
masalah dari gerak sejarah itu sendiri. Oleh karena manusia eksistensinya
begitu kompleks, maka para sejarawan berbeda pendapat dalam menentukan gerak
sejarah. Secara garis besar dan ringkas konsepsi gerak sejarah dapat
diterangkan sebagai berikut.
[1] Pandangan sosial
yang individualistis cenderung pada anggapan bahwa kerja individulah yang
menggerakkan perkembangan umat manusia. Pendapat ini menitikberatkan pada karya
pribadi yang menggerakkan atau mendorong gerak perkembangan masyarakat.
Individu-individu yang berbuat dan berlaku serta mencipta kebudayaan, sedangkan
masyarakat merupakan latar belakangnya dan bersifat abstrak.
[2] Gerak sejarah
merupakan kesadaran umat manusia. Manusia adalah makhluk budaya. Pikiran dan
kesadaran manusia berkembang dari tingkat yang bersahaja ke tingkat yang
tinggi. Perkembangan pikiran dan kesatuan manusia ini menjadi tenaga penggerak
kemajuan manusia.
[3] Pengaruh alam
terhadap kehidupan manusia. Perbedaan antara kebudayaan dapat dilihat dari segi
perbedaan tempat. Cara hidup ini membentuk corak kebudayaan. Gerak sejarah
dipersamakan dengan gerak kebudayaan.
[4] Kekuatan penggerak
sejarah berada dalam bangsa. Perbedaan ruhani ataupun watak di antara
bangsa-bangsa menimbulkan perbedaan cara berpikir dan perasaan, begitu pula
tingkah-laku dan perbuatan. Hasrat yang ada pada suatu bangsa menimbulkan daya
cipta, hasrat untuk mengubah dan mengambil alih dari bangsa lain. Aliran ini
membuka jalan bagi Cauvinisme.
[5] Teori
evolusionisme atau Darwinisme. Darwin berpendapat bahwa setiap makhluk itu
berkembang dan berubah secara alami dari tingkat yang lebih rendah ke tingkat
yang sempurna sesuai dengan alam lingkungannya. Proses perubahan ini adalah
proses penyesuaian diri, baik yang bersifat ruhani maupun jasmaninya. Perubahan
ini dapat diterapkan dalam perkembangan bangsa dan negara.
[6] Teori historis
materialisme. Teori ini berdasarkan pada paham determinisme ekonomi. Gerak
sejarah ditentukan oleh cara-cara menghasilkan barang untuk keperluan
masyarakat. Cara produksi ini menentukan perubahan-perubahan dalam masyarakat
yang bertentangan satu sama lain. Tujuan gerak sejarah menurut paham ini adalah
mewujudkan masyarakat tanpa pertentangan kelas.
Dari berbagai pendapat
tentang gerak sejarah, Muthahhari memandang bahwa gerak sejarah dari arti active
cause, yakni pemahaman tentang determinisme sejarah dan arti ideal cause,
yakni pandangan tentang masa depan manusia. Bagi Muthahhari, determinisme
sejarah dipahami dari dua makna yang saling terkait. Makna ini diambil dari
ayat al-Qur’an surat [35]: 43 “ Maka engkau sekali- kali tidak akan mendapatkan
pergantian di dalam sunnatullah ”, dan di dalam al-Qur’an surat [13]: 11 “
Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai kaum itu sendiri
yang mengubah diri mereka sendiri ”. Ayat pertama determinisme sejarah dipahami
sebagai “undang-undang hidup manusia yang tidak berubah”. Ayat kedua
determinisme sejarah dipahami bahwa “nasib perjalanan hidup manusia berhubungan
dengan kondisi jiwa, pikiran, dan akhlak manusia itu sendiri”. Selagi semuanya
belum berubah, maka mustahil keadaan mereka akan berubah.
Sementara itu, tentang
pandangan masa depan manusia ada yang bersifat pesimis, optimis, atomistik, dan
sosialis. Bagi Islam, masa depan manusia ditanggapi dengan dua sikap. Pertama,
Islam tidak menganggap masa lalu dengan pesimis secara total. Kedua, Islam
tidaklah demikian sinis terhadap watak manusia. Dengan kata lain, Islam
memandang masa depan manusia dengan sikap optimisme
Pandangan masa depan
ini sangat terkait dengan pemahaman hukum-hukum sejarah. Hukum- hukum sejarah
memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan Kitab Allah dalam kedudukannya
sebagai petunjuk suci yang akan mengantarkan manusia dari kegelapan menuju pada
terangnya kebenaran.
Apabila pandangan
tentang masa depan manusia dan hukum-hukum sejarah yang mengitari proses
dinamika sejarah ini diambil makna esensialnya, maka akan terlihat secara jelas
sifat-sifat dari gerak sejarah itu sendiri, yakni bersifat progresif. Hal ini
disebabkan adanya kepercayaan yang tinggi kepada kebaikan esensial (fitrah)
manusia. Meskipun demikian, kita tidak mampu menentukan bentuk fisik masa depan
sejarah manusia.
Penggerak Sejarah
Di dalam al-Qur’an
surat ar-Ra’du [13] ayat 11; “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah kondisi
(objektif) suatu bangsa, hingga bangsa tersebut mau mengubah kondisi
(subjektif) yang ada pada mereka sendiri ” menggambarkan bahwa manusia
memainkan peran penting dalam gerak sejarah. Selain itu, dalam ayat tersebut
juga tergambar hubungan kausalitas dalam hukum sejarah, yakni antara perubahan
yang ada di dalam diri manusia dengan perubahan yang ada di luar manusia.
Konsepsi Islam dan
al-Qur’an meyakini bahwa dua proses perubahan ini harus berjalan beriringan.
Proses pembangunan manusia terhadap pribadi, semangat, dan pikirannya harus
seiring dengan pembangunan fisik dan sosial budayanya. Jika pembangunan mental
berjalan jauh di depan pembangunan fisik, maka yang akan terjadi adalah menara
gading yang tidak berpondasi. Demikian pula sebaliknya, jika pembangunan fisik
meninggalkan pembangunan mental, maka yang terjadi adalah istana megah yang
kropos.
Penjelasan Muthahhari
tentang peran manusia dalam menggerakkan sejarah tidak hanya bersifat umum,
tetapi beliau menjelaskan secara lebih rinci terutama tentang kecenderungan
yang dimiliki manusia. Penjelasan ini dimaksudkan untuk melawan pendapat kaum
Marxis yang mengatakan bahwa kecenderungan pokok dalam diri manusia hanya satu
jalan, yakni ekonomi Muthahhari menyatakan bahwa Islam mengakui manusia
pada hakikatnya lebih komitmen kepada keimanan dan ideologi daripada kepada
kepentingan material yang cenderung buruk seperti kelemahan (Q.S. [4]: 20),
sentimentalisme (Q.S. [11]: 9-11), sifat membangkang (Q.S. [18]: 54), dan
tergesa-gesa (Q.S. [21]: 37).
Meskipun manusia
memiliki seluruh kecenderungan ke arah nafsu, hal-hal inderawi, korupsi dan
kejahatan, wujudnya (manusia) dianugerahi suatu percikan suci yang secara
esensial menentang kejahatan, pertumpahan darah, kepalsuan, korupsi, kehinaan,
degradasi, dan penghinaan serta penekanan dan kezaliman. Manusia memiliki
kecenderungan kepada kesempurnaan.
Ada kecenderungan lain
pada diri manusia selain dari kecenderungan pada perbuatan baik, yaitu
kecenderungan untuk tetap hidup, menghilangkan rasa lapar, kecenderungan pada
makanan dan kelezatan, kecenderungan seksual, kecenderungan pada seni dan
keindahan, serta kecenderungan pada ilmu pengetahuan.
Kecenderungan yang
beragam tersebut, menurut Muthahhari, semuanya dapat dijadikan sebagai motor
penggerak. Alasannya, dalam realitas kehidupan manusia, segala macam bentuk
pertentangan, perselisihan, dan tidak adanya keserasian bersumber dari satu
kenyataan bahwa dalam diri manusia tidak hanya satu motor penggerak. Jika
memang benar dalam masyarakat hanya ada satu motor penggerak, maka mustahil
akan timbul segala macam bentuk pertentangan dan perselisihan dalam masyarakat.
Penyebab paling mendasar bagi timbulnya pertentangan dan perselisihan karena
berbagai naluri dalam diri manusia selalu berperang satu sama lain.
Penjelasan Muthahhari
tentang manusia sebagai penggerak sejarah tidak hanya dilihat dari setting
individual yang terpisah, melainkan juga dari sisi masyarakat. Muthahhari
membedakan secara jelas tindakan individu dengan tindakan kolektif. Tindakan
individu mengandung dua dimensi (sebab aktif dan sebab material), sedangkan
tindakan kolektif mengandung tiga dimensi (sebab aktif, material, dan sebab akhir).
Penutup
Muthahhari dalam
kajian sejarahnya lebih memfokuskan pada kajian yang bersifat filosofis. Kajian
ini dimaksudkan untuk menampilkan filsafat sejarah perspektif al-Qur’an. Selain
itu, kajiannya dimaksudkan untuk melawan pemikiran-pemikiran sejarah yang ada,
khususnya Marxisme. Untuk membedakan filsafat sejarahnya dengan
filsafat-filsafat sejarah yang ada, Muthahhari mengawali pembahasannya tentang
sifat sejarah yang bukan hanya bersifat bendawi, melainkan bersifat non-bendawi
dan suprabendawi. Sifat inilah yang menjadi dasar dalam pembahasan filsafat
sejarah berikutnya, khususnya tentang tujuan sejarah, gerak sejarah, dan
penggerak sejarah.
Daftar Pustaka
Algar, Hamid. 1985. The Roots of the Islamic Revolution.
London: The Open Press.
Bagir, Haidar. 1988.
Murthada Muthahhari, Sang Mujahid, Sang Mujtahid. Bandung: Yayasan Muthahhari.
Hugiono dan
Poerwantara. 1992. Pengantar Ilmu Sejarah. Semarang: Rineka Cipta.
Kuntowijoyo. 1993.
Paradigma Islam. Bandung: Mizan.
Muthahhari, Murthada. 1984.
Perspektif al-Qur’an tentang Manusia dan Agama. Bandung: Mizan.
_______, 1991. Menguak
Masa Depan Manusia Suatu Pendekatan Filsafat Sejarah. Jakarta: Pustaka Hidayah.
_______, 1991. Kritik
Islam terhadap Paham Materialisme. Jakarta: Risalah Masa.
_______. 1991.
Falsafah Kenabian. Jakarta: Pustaka Hidayah.
______. 1996. Islam
dan Tantangan Zaman. Jakarta: Pustaka Hidayah.
Qutb, Muhammad. 1992.
Perlukah Menulis Ulang Sejarah Islam. Jakarta: Gema Insani Press.
Siddiqi, Mazheruddin.
1986. Konsep Qur’an tentang Sejarah. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Suryanegara, Ahmad
Mansur. 1995. Menemukan Sejarah. Bandung: Mizan.
Al-Sarqawi, Effat.
1981. Filsafat Kebudayaan Islam. Jakarta: Pustaka Hidayah. Shadr,
Muhammad Baqir. 1992.
Tafsir Modern. Jakarta: Risalah Masa.
____. 1993. Sejarah
dalam Perspektif al-Qur’an Sebuah Analisis. Jakarta: Pustaka Hidayah.
Sumber:
Jurnal
Ibda, Jurnal Studi Islam dan Budaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar