Salah-satu ilmuwan (biologi) mutakhir abad ini
adalah Richard Dawkins –yang juga acapkali dinilai kontroversial oleh beberapa
kalangan yang kontra dengan tulisan-tulisan dan buku-bukunya. Dan salah satu
bukunya yang sangat populer adalah The Selfish Gene yang kira-kira semacam
pemaparan argumentasi tentang sifat selfish (mementingkan diri sendiri) yang
merupakan kodrat gen yang natural alias alami.
Buku ini juga seakan mengajak kita untuk
bertanya: Apa artinya memahami teori evolusi? Apakah pemahaman akan teori
tersebut dapat membuat kita lebih mengerti prilaku makhluk hidup, termasuk
lingkungan sosial kita? Dalam Bab Satu, contohnya, penulis menyatakan bahwa
teori evolusi mempengaruhi seluruh aspek kehidupan manusia. Mengapa demikian?
Karena prilaku mementingkan diri sendiri (selfish) dan prilaku baik (altruism)
memiliki akar dalam biologi, lebih tepatnya dalam gen.
Sifat-sifat tersebut akan sangat mempengaruhi
relasi (hubungan) antar makhluk hidup dan selanjutnya tentu saja berpengaruh
dalam skala kehidupan sosial yang lebih luas, semisal dalam eknomi dan politik.
Contoh dari sifat mementingkan diri sendiri antara lain prilaku menolak membagi
sumber-daya yang berharga seperti makanan, daerah atau pasangan, yang mencapai
titik ekstrim pada kanibalisme atau mengorbankan orang lain untuk kepentingan
sendiri. Sedangkan sifat altruisme, misalnya, tampak pada lebah yang
mengorbankan nyawanya demi membela sarangnya, karena sesudah menyengat musuh,
lebah akan mati.
Menurut Dawkins,
adanya sifat-sifat di atas dapat diterangkan dengan hukum dasar yang disebut
“gene selfishness”, atau sifat mementingkan diri sendiri gen.
Sifat mementingkan diri sendiri timbul karena evolusi bekerja melalui seleksi alam. Hal ini berarti hanya yang paling fit yang akan dapat bertahan hidup. Namun apa yang menjadi dasar seleksi ? Untuk menjelaskan hal ini penulis mengajak kembali ke asal mula terciptanya kehidupan di bumi. Bumi memiliki bahan mentah kimia yang melimpah, antara lain air, karbondioksida, metana, amonia, dan energi, namun melalui seleksi alam akhirnya tercipta sejumlah molekul yang lebih kompleks dan lebih stabil dibandingkan lainnya, dalam bentuk sup yang berisi asam amino, yaitu blok pembangun protein.
Sifat mementingkan diri sendiri timbul karena evolusi bekerja melalui seleksi alam. Hal ini berarti hanya yang paling fit yang akan dapat bertahan hidup. Namun apa yang menjadi dasar seleksi ? Untuk menjelaskan hal ini penulis mengajak kembali ke asal mula terciptanya kehidupan di bumi. Bumi memiliki bahan mentah kimia yang melimpah, antara lain air, karbondioksida, metana, amonia, dan energi, namun melalui seleksi alam akhirnya tercipta sejumlah molekul yang lebih kompleks dan lebih stabil dibandingkan lainnya, dalam bentuk sup yang berisi asam amino, yaitu blok pembangun protein.
Lalu, secara kebetulan tercipta replicator
(penyalin), yang dapat menyalin dirinya sendiri. Ini adalah gen (DNA). Kemudian
gen mencari wadah untuk memperbanyak dirinya. Wadah tersebut bisa bermacam
bentuk, baik berupa tanaman, binatang, maupun manusia, asalkan bisa memenuhi
tujuan gen, yaitu membuat salinan diri sebanyak-banyaknya (replikasi secara
besar-besaran).
Molekul DNA adalah rantai panjang dari blok pembangun, sedangkan molekul kecil disebut nucleotides, sementara itu molekul protein adalah asam amino. Molekul DNA terdiri dari sepasang rantai nucleotides yang bertautan dalam bentuk spiral, double helix. Blok pembangun nucleotides hanya terdiri dari 4 jenis, yang namanya disingkat A, T, C dan G. Semua ini sama baik dalam binatang maupun tanaman –yang berbeda hanyalah susunan atau urutan pertautan mereka. Sebuah blok pembangun G dalam seekor siput sama dengan yang terdapat dalam manusia, yang berbeda hanya urutannya (sekuens).
Itulah sebabnya menurut Dawkins, semua makhluk
hidup hanyalah alat bagi gen untuk terus hidup. Bahwa makhluk hidup hanya
merupakan “mesin survival”, “robot yang diprogram secara buta untuk
mempertahankan gen” terlihat dari struktur dasar kimiawi yang hampir sama pada
seluruh makhluk hidup. Betapapun berbedanya bentuk antara satu makhluk hidup
dengan lainnya, antara tanaman dan binatang dan manusia, namun mereka semua
memiliki strukur kimiawi yang hampir sama, dan gen, atau DNA, pada dasarnya
adalah sejenis molekul yang sama pada semua makhluk hidup. DNA dapat dianggap
sebagai “sekumpulan instruksi tentang bagaimana membuat sebuah tubuh”, sebuah
resep, blueprint.
Lalu pertanyaan selanjutnya adalah: Apa yang dilakukan DNA? Menurut Dawkins, yang dilakukan DNA adalah memperbanyak diri dan mengawasi pembuatan bermacam molekul protein secara tidak langsung, dengan cara menerjemahkan DNA tersebut dalam abjad asam amino yang menentukan molekul protein. Oleh karena tujuan utama gen adalah untuk hidup terus dan memperbanyak diri sebanyak-banyaknya (replikasi besar-besaran), maka gen akan berupaya agar tubuh (makhluk hidup) yang didiaminya cukup efisien guna mencapai tujuan tersebut.
Kemudian akan timbul pertanyaan lanjutannya:
Bagaimana mendapatkan efisiensi? Seperti halnya dengan ilmu ekonomi, dimana
efisiensi tercapai melalui kompetisi dan selfishness, maka demikian pula di
dalam alam, sehingga penulis menyebut gen sebagai “the selfish gene”. Inilah argumen
seleksi alam teori evolusi.
Berdasarkan argumen dasar di atas, maka menurut penulis setiap prilaku makhluk hidup pada dasarnya adalah mementingkan diri sendiri, bahkan sifat altruism (perbuatan baik, pengorbanan diri untuk kepentingan keluarga, masyarakat) sebenarnya juga mementingkan diri sendiri.
Sebagai contoh, mengapa makhluk hidup bersedia
mengorbankan diri untuk kelangsungan hidup anak atau kerabat dekatnya? Karena
mereka berbagi gen yang sama. Mengapa laki-laki selalu mencari perempuan yang jauh
lebih muda? Mengapa laki-laki bersifat agresif? Semua itu bisa dikembalikan
kepada hukum dasar di atas. Namun hal ini tidak berarti pembenaran terhadap
perilaku mementingkan diri sendiri. Sebaliknya, apabila kita mengetahui sifat
atau perilaku buruk yang disebabkan oleh gen, maka kita dapat melawannya,
antara lain dengan berbuat baik atau dengan memutuskan untuk tidak memiliki
keturunan.
Seperti biasanya, pendapat Richard Dawkins
disebut sebagai pendapat reductionist, termasuk dalam konteks ini, menurut
sejumlah kalangan, Dawkins mereduksi proses evolusi pada tingkat gen dan mengabaikan
faktor-faktor lainnya yang justru memiliki bukti dan argumen yang lebih
melimpah. Jadi, Dawkins memiliki kemungkinan yang sangat besar untuk keliru –sebagaimana
sains secara umum juga tak imun dari kekeliruan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar